Oleh
Dr. H. Rusli
Hasbi, MA
Nabi Muhammad SAW
diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun dan menerima wahyu yang pertama
sewaktu beliau berada di gua Hira’. Sejak itu beliau mulai berdakwah
memperkenalkan ajaran Islam kepada penduduk Mekkah. Selama 13 tahun
berkecimpung dalam dakwah, mempertahankan, dan memperjuangkan syiar Allah di
Mekkah tidak sedikit tantangan dan rintangan yang beliau hadapi. Beratnya
tantangan yang dihadapi menyebabkan beliau hijrah ke Madinah dan di sana beliau
diterima dengan tangan terbuka. Beliau berdakwah di Madinah kurang lebih selama
10 tahun, sehingga akhirnya Islam menjadi agama yang sempurna dan diterima luas
oleh masyarakat.
Masa Sakit
Akhirnya pada tahun 11
Hijrah, pada awal bulan Rabi’ul Awwal Rasulullah mulai sakit-sakitan. Meskipun
dalam kondisi sakit beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah dengan
para sahabat di masjid. Ini yang perlu kita garis bawahi. Dalam kondisi sakit
pun Rasulullah tetap melakukan shalat berjamaah di masjid. Hal ini sangat
berbeda dengan yang kita lakukan sekarang. Jangankan dalam kondisi sakit,
ketika sehat pun kita sangat jarang berhubungan dengan masjid.
Sebenarnya Nabi telah
memberikan isyarat kepada para sahabat bahwa sakitnya tersebut adalah sakit
yang akan membawanya kapada kematian. Namun, para sahabat tidak menyadarinya
kecuali Abu Bakar r.a. Suatu hari setelah shalat berjamaah beliau naik ke
mimbar untuk menyampaikan sesuatu. Setelah memuji Allah dan berselawat kepada
diri dan keluarganya, beliau berkata:
Innallaha khayyara
‘abdan baina ad-dunya wabaina ma ‘indahu. Fa ikhtara zalika al-’abdu ma
‘indallahi…. “Sesungguhnya Allah telah memberikan
pilihan kepada seorang hamba untuk memilih antara kehidupan dunia dan apa yang
ada di sisi-Nya di kehidupan akhirat. Hamba tersebut memillih apa yang ada di
sisi Allah di kehidupan akhirat.”
Tidak satupun dari
sahabat yang hadir mengerti bahasa yang disampaikan Nabi tersebut. Hanya Abu
Bakar yang menangis tersedu-sedu karena hati dan perasaan beliau yang begitu
dekat dengan Nabi. Hatinya berkata bahwa Nabi akan segera berpulang menghadap
sang Khalik. Abu Bakar tahu bahwa hamba yang dimaksud adalah Nabi sendiri dan
hari-hari beliau yang tersisa tinggal sedikit. Beberapa hari kemudian sakit
Nabi bertambah parah dan beliau tidak sanggup lagi bangun dari tempat tidur.
Nabi lalu meminta Abu Bakar untuk menjadi imam menggantikannya. Lihatlah betapa
dalam kondisi sakit parah sekalipun Rasulullah tetap memikirkan umatnya.
Masa-masa Kritis
Di tengah masa-masa
kritisnya, Nabi meminta izin kepada istri-istrinya untuk tinggal di tempat
Aisyah, seorang istri yang paling disayangi di antara beberapa istri beliau.
Beliau dirawat oleh Aisyah dan Fatimah putri kesayangannya. Fatimah adalah
satu-satunya anak Nabi yang masih hidup pada waktu itu. Selama sakit, setiap
hari Fatimah menjenguk ayahnya dan biasanya tiap kali ia memasuki kamar Nabi,
beliau selalu berdiri menyambutnya dan mengajaknya duduk di sampingnya. Begitu
besar cintanya kepada Fatimah. Di sini ada satu lagi pelajaran. Seorang Nabi berdiri
menyambut kedatangan anaknya, bukan seperti kita yang tidak bergerak menunggu
anak datang mencium tangan kita. Rasulullah tidak demikian, dia berdiri dan
menghampiri anaknya yang datang.
Namun pada hari
wafatnya Nabi tidak sanggup lagi untuk bangun menyambutnya. Akhirnya, Fatimah
pun duduk di samping beliau. Nabi kemudian mengatakan sesuatu yang membuat
Fatimah menangis, sesaat kemudian Nabi berkata-kata lagi dan kali ini Fatimah
tersenyum. Di kemudian hari setelah Nabi wafat Fatimah ditanya tentang apa yang
dibisikkan Nabi kepadanya. Fatimah berkata, “Ayah memberitahuku bahwa ini
adalah sakitnya yang terakhir, akupun menangis karena sedih. Sesaat kemudian
ayah mengatakan bahwa aku adalah orang pertama yang akan menyusulnya, lalu
akupun tersenyum karena gembira”. Sungguh sebuah percakapan yang mengharukan
antara ayah dan anak.
Pada saat sakaratul
maut, Nabi berusaha menahan rasa sakitnya dengan mengusap-usap wajahnya dengan
air yang tersedia dalam mangkok di sampingnya sambil berkata Allahumma
a’inni ‘ala sakaratil maut ..”Ya Allah bantulah aku dalam menghadapi
sakitnya sakaratul maut”. Saat itu kepala beliau berada dalam pangkuan Aisyah
istrinya tercinta. Aiyah mendengar Rasul berujar bal ar-rafiq al-’ala (Hanya
Tuhanku yang Maha Tinggi dan Agung). Dengan terharu Aisyah berkata, “Engkau
telah diberikan pilihan dan inilah pilihanmu, demi Zat yang telah mengutusmu
dengan kebenaran”. Sesaat kemudian Rasul pun menghadap sang Khalik dengan
tenang dan diiringi oleh istri dan anaknya tercinta serta puluhan sahabat yang
menunggu di luar rumah.
Setelah Rasulullah
Meninggal
Berita wafatnya Nabi
dengan segera menyebar ke masyarakat. Kaum muslimin berduyun-duyun mendatangi
rumah Rasulullah dengan perasaan sedih, bingung dan histeris. Bahkan ada yang
tidak bisa menerima dan percaya bahwa Nabi sudah tiada, termasuk Umar bin Khattab.
Dengan menghunus pedang, Umar mengancam akan membunuh siapa saja yang
mengatakan Rasulullah sudah meninggal. Umar histeris sambil mengatakan bahwa
Nabi tidak meninggal tetapi Nabi hanya pergi sebentar menemui Allah dan akan
kembali kepada umatnya, seperti yang terjadi ketika Nabi Musa bin Imran yang
pergi meninggalkan kaumnya dan kembali lagi setelah 40 hari. Lihatlah betapa
dalam rasa cinta sahabat terhadap Nabi. Wafatnya Rasulullah bisa menghilangkan
akal sehat seorang Umar yang terkenal tegas dan keras.
Sesaat kemudian Abu
Bakar masuk dan membuka kain penutup wajah Nabi, mengecupnya lalu menangis
tersedu-sedu. Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku, engkaulah yang terbaik
dalam hidup dan matimu. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Allah tidak akan
pernah menyakitimu”. Itulah ungkapan hati dari seorang penasehat, sahabat,
mertua, dan sekaligus pengikut setia.
Abu Bakar kemudian
keluar rumah dan meminta kaum muslimin yang hadir untuk duduk. Mereka pun
menurutinya, kecuali Umar r.a. yang masih belum bisa mengendalikan emosinya.
Abu Bakar meminta Umar untuk duduk, maka ia pun menurutinya. Lalu Abu Bakar
berpidato, “Siapa saja yang menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad
telah tiada. Dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu
hidup dan tidak akan pernah mati.” Kemudian ia membacakan ayat Al-Quran Surah
Ali ‘Imran ayat 144 yang bunyinya: wama Muhammadun illa Rasulun qad
khalat min qablihi ar-rusulu. Afa-in mata aw qutila inqalabtum ‘ala a’qabikum.
Wa man yanqalibu ‘ala a’qibaihi falan yadhurru allaha syai-an wa sayajzi allahu
asy-syakirina. Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia
wafat atau dibunuh kamu berpaling ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah
sedikit pun; dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.”
Mendengar pidato Abu
Bakar tersebut, kaum muslimin pun menangis sedih dan akhirnya mereka menyadari
bahwa inilah kehendak Allah yang harus mereka terima.
Nabi meninggal pada
usia 63 tahun dengan tidak meninggalkan harta benda berharga apapun. Nabi
Muhammad adalah seorang pemimpin hebat, tetapi hidupnya sangat sederhana. Hal
ini semestinya menjadi contoh bagi pemimpin sekarang. Semoga Allah selalu
memberikan rahmat dan petunjuknya kepada kita semua.
Kesimpulan
Kisah di atas
menyajikan banyak pelajaran buat kita, di antaranya:
- Sakit bukan alasan untuk
meninggalkan shalat. Banyak di antara kaum muslimin yang selama usia
sehatnya selalu rajin ke masjid mendirikan shalat, tetapi beberapa hari
menjelang kematiannya secara total meninggalkan shalat. Sikap meninggalkan
shalat semacam ini sangat disayangkan.
- Ketika Nabi SAW ditawarkan sebuah
pilihan: kehidupan di dunia atau kehidupan di sisi Allah, Nabi SAW dengan
tidak ragu-ragu memilih yang kedua. Inilah sikap muslim yang selalu dekat
dengan Allah, dan inilah pula sikap yang benar (bukannya malah takut mati
seperti umumnya manusia sekarang.)
- Nabi SAW menunjukkan kasih sayang
pada anak dan terus menjaga hubungan baik dengan anaknya. Orangtua harus
meniru sikap Nabi yang menyayangi dan menghargai anak-anak, tidak hanya
dengan berdiri menyambut kedatangan mereka tetapi juga dalam
arti seluas-luasnya.
- Keluarga Nabi seluruhnya hadir pada
detik-detik Rasulullah menghembuskan nafas yang terakhir. Usahakan ini
pulalah kondisi keluarga kita pada saat salah seorang dari anggota
keluarga kita akan menjumpai Tuhannya. Anak jangan sampai tidak
menemani orangtuanya yang sakaratul maut, walaupun harus meninggalkan
pekerjaan yang nilainya berpuluh-puluh milyar sekalipun. Jadilah anak yang
shaleh dengan berusaha hadir di samping orangtua saat sakaratul maut,
jangan hanya mendengar dari jauh kabar kesakitan dan kematiannya.
- Kita boleh bersedih dan menangis di
saat orang dekat kita menghadapi sakaratul maut atau meninggal dunia.
Tapi jagalah perasaan sedih tersebut, jangan sampai berlebih-lebihan
seperti meratapi si mayat atau memukuli diri sendiri.
- Seperti dicontohkan Nabi, hanya
keluarga dekat sajalah yang menemani saat-saat terakhir anggota keluarga
kita. Teman-teman, anggota masyarakat, tetangga cukup menunggu di luar.
Tidak usah bergabung beramai-ramai menyaksikan orang yang sedang menjelang
ajal.
- Dalam menghadapi sakaratul maut
mintalah agar disediakan air untuk mengusap wajah sambil membaca Allahumma
a’inni ‘ala sakaratil maut. Mudah-mudahan Allah mengurangi sakitnya
sakaratul maut.
- Sekeras apapun kepribadian Anda,
hendaklah Anda tunduk kepada kebenaran. Umar langsung menjadi “dingin” dan
menerima berita kematian Rasulullah setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran
yang menegaskan adanya kematian bagi Rasul. Hati seorang mukmin seyogyanya
lembut sekeras apapun watak dan perilakunya.
- Contohlah kehidupan sederhana
Rasulullah. Jangan terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia sehingga
kita terjauh dari nilai-nilai hidup sederhana yang dicontohkan Rasulullah.
Sukses tidak ditentukan oleh kemewahan duniawi, tapi oleh kedekatan
seseorang dengan Allah SWT. (25/e)