اللهمّ
صلّ على محمّد وعلى أهل بيته و على أزواجه وذرّيّته كما صلّيت على آل
إبراهيم
إنّك حميد مجيد .
وبارك
على محمّد و على آل بيته و على أزواجه وذرّيّته كماباركت على آل إبراهيم
إنّك
حميد مجيد
Nabi Muhammad SAW
merupakan nabi terakhir dan pembawa ajaran Islam. Nama "Muhammad"
dalam bahasa Arab berarti "dia yang terpuji". Ajaran Nabi Muhammad
SAW(Islam) merupakan penyempurnaan dari agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi
sebelumnya.
Ketika cahaya tauhid
padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja menyelimuti akal. Di
sana tidak tersisa orang-orang yang bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang
yang masih mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak
dengan rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran
langit untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah kehidupan.
Dan ketika malam
mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi Muhammad SAW tersebut
sebagai bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai
bukti kebenaran berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah SWT menyampaikan
salawatnya kepada Nabi Muhammad SAW itu, sebagai bentuk rahmat dan keberkahan.
Para malaikat pun menyampaikan salawat kepadanya sebagai bentuk pujian dan
permintaan ampunan, sedangkan orang-orang mukmin bersalawat kepadanya sebagai
bentuk penghormatan.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya Allah SWT
mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman mereka saja, namun
Allah SWT mengutus beliau saw sebagai rahmat bagi alam semesta.
Beliau saw datang
dengan membawa rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk seluruh
zaman.
Allah SWT berfirman,
"Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat dakwah para
nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh
Nabi yang terakhir adalah Islam.
Beliau Nabi Muhammad
SAW adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, lahir di arab, anak
seorang wanita Quraisy. Beliau adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam as. Beliau
adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat Allah SWT yang dihadiahkan
kepada umat manusia.
Ketika itu malam gelap,
tiba-tiba Abdul Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu ia
bangun dan ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan yang
luar biasa menyelimuti gurun yang terbentang.
Ia menuju pintu kemah,
lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di
selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur.
Belum lama ia dikuasai
oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali bermimpi untuk kedua
kalinya.
Segala sesuatunya
tampak jelas kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk
melaksanakan perintah yang sangat penting, "Galilah zamzam!"
Dalam mimpinya Abdul
Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?"
Kemudian untuk kedua
kalinya perintah itu mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam.
Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga ia
berdiri di tempat tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras.
Abdul Muthalib bangkit,
lalu ia membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti
zamzam?
Tiba-tiba pikirannya
dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti zamzam adalah sebuah
sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang dalam tidur itu agar
ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu jawaban dari
pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan berkeliling di sekitar
Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu sendiri, bukankah di
sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di
tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam, ia memikirkan bintang-bintang
sembari merenungkan cerita-cerita kuno yang mengatakan tentang sumur yang
memancar darinya air sebagai akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana
juga ada cerita yang mengatakan bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan
perjalanan zaman.
Matahari terbit di atas
gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar menemui orang-orang, dan menceritakan
kepada mereka bahwa ia akan menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia
menunjukkan ke tempat yang di situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam
mimpinya.
Orang-orang Quraisy
menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul Muthalib terletak
di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat
setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan NAllah.
Abdul Muthalib merasa
bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya untuk
menggali sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu
selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang dapat
menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di
kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan
fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk melindungi keluarga yang
sangat menonjol.
Akhirnya Abdul Muthalib
pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan mengungkapkan
suatu nazar kepada Allah SWT.
Ia berkata: "Jika
aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga
mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan
menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk
korban."
Pintu langit pun
terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun, istrinya melahirkan
anaknya yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun
yang kesembilan, sehingga Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki.
Kemudian berlalulah
zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya
menjadi seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha
melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia
bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk
pelaksanaannya dari nazarnya.
Maka dilakukanlah
undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil
yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka orang-orang yang
ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak
akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu
terkenal sebagai seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia telah dapat menarik
simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti seseorang pun.
Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya lebih dari orang lain.
Senyuman khas Abdullah
terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan
ruhaninya demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di
tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang
kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya.
Para pembesar Quraisy
berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus
disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami tidak
akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya kami
menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya
kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak
tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang
telah ditetapkannya.
Kemudian mereka
mendatangi seorang dukun.
Si dukun berkata:
"Berapakah taruhan yang kalian miliki?"
Mereka menjawab:
"Sepuluh ekor unta."
Dukun itu berkata:
"Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan
atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh ekor
unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga tidak keluar
lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah
undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun
mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor
unta lagi, kemudian lagi-lagi yang keluar nama Abdullah sehingga mereka pun
menambah sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus
ekor unta.
Setelah itu, datanglah
nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian gembiranya sehingga
berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena melihat Abdullah berhasil
diselamatkan.
Kemudian disembelihlah
seratus ekor unta di sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga
korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh
binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat
gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah.
Lalu ia menetapkan
untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia keluar
dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab, dan di sana ia meminang
untuknya Aminah binti Wahab.
Kemudian Aminah binti
Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling
mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api
di gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan para tamu mengetahui tempat
diadakannya acara tersebut, yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan Aminah.
Lalu disembelihlah
hewan-hewan korban, dan manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan
binatang-binatang buas dan burung makan darinya.
Abdullah tinggal
bersama istrinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu hari ada kabar
bahwa kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan
melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu
adalah kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya.
Wajah Abdullah yang
mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada Aminah, lalu
setelah itu bayang-bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan mereka pun
hilang.
Aminah tidak mengetahui
bahwa itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya.
Abdullah mengunjungi paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di
sana ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul
Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh lima tahun. Kabar
kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan hati orang-orang yang
mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke istrinya.
Aminah tampak menangis
tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan
tidak mengetahui jawabannya, mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta
jika kemudian Dia menetapkan kematian baginya.
Tidak lama kemudian,
lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan yang sedikit, ia tampak mulai
mengetahui bahwa ia sedang hamil.
Aminah menangis dua
kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali ini ia menangis untuk
anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat dilahirkan.
Aminah tidak pernah
mengetahui sebelumnya bahwa janin yang dikandungnya akan menjadi anak yatim,
ayahnya meninggal saat ia dilahirkan.
Anak yatim ini harus
menanggung beban anak-anak yatim dan orang-orang fakir serta orang-orang yang
sedih di muka bumi.
Ia akan menjadi Nabi
yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia.
Ia akan menjadi rahmat
yang dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat kecuali
orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan.
Inilah anak kecil yang
sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan.
Dan berlalulah hari
demi hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah
mengering, namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang tumbuh
bersama kehausan.
Kemudian kesedihannya
hari demi hari semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu mulai tidak tampak
ketika ia mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya tidaklah memberatkannya,
sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin yang dikandungnya bagaikan
merpati yang berkeliling di seputar Ka'bah, dan seandainya kesedihannya yang selalu
mengitarinya, maka tidak ada wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan
yang ringan ini.
Janin itu adalah
manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari kelahirannya.
Sementara itu, pasukan
Abrahah mendekati Mekah.
Abrahah adalah seorang
penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk kepada Habasyah setelah penguasa
Persia diusir.
Di Yaman ia membangun
suatu gereja yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahah membangunnya
dengan niat agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah. Ia
melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut.
Dan ketika ia tidak
melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik seperti itu dan tidak mampu
menarik hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan kuat untuk menghancurkan
Ka'bah, sehingga orang-orang tidak menuju ke Ka'bah lagi melainkan ke
gerejanya.
Demikianlah akhirnya ia
menyiapkan pasukan yang besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian
pasukan itu menuju Ka'bah.
Pasukan Abrahah terdiri
dari kelompok gajah yang besar yang digunakannya untuk menghancurkan Ka'bah.
Gajah-gajah itu
bagaikan tank-tank yang kita gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar
rencana tersebut. Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah
berhala, meskipun demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan
penghormatan terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini bahwa mereka adalah
anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan
tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang mulia dari penduduk Yaman yang
bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari kalangan orang-orang Arab untuk
memerangi Abrahah, sehingga ada beberapa orang yang mengikutinya.
Abrahah berhadapan
dengan tentara tersebut,dan pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah
dipatahkan oleh pasukan kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan
menjadi tawanan Abrahah.
Pasukan Abrahah
tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahah
pun dapat mengalahkan mereka dan berhasil menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahah
melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya beberapa orang tokoh setempat, dan
mereka tampak gemetar ketakutan dan berkata kepadanya bahwa sesungguhnya
'rumah' yang ditujunya tidak berada di tempat mereka, tetapi berada di Mekah.
Hal itu mereka
sampaikan dengan maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana
mereka membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka
mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah.
Ketika Abrahah berada
di antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang pemimpin pasukannya sehingga ia
melihat keadaan Mekah. Di sana ia merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan
selain mereka, dan di antara yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul
Muthalib bin Hasyim.
Saat itu Abdul Muthalib
adalah salah seorang pembesar Quraisy dan pemimpin mereka, serta pengawas sumur
Zamzam.
Kedatangan utusan
Abrahah di Mekah telah menimbulkan gejolak pada kabilah-kabilah.
Akhirnya kaum Quraisy
bergerak, begitu juga kaum Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka
tidak memiliki kemampuan untuk melawan Abrahah, sehingga mereka membiarkannya,
lalu tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat
yang sulit untuk ditandingi.
Dalam surat yang dibawa
oleh utusannya itu, Abrahah menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi
mereka, namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika mereka tidak
menentangnya, maka darah mereka tidak akan ditumpahkan.
Lalu utusan itu menemui
Abdul Muthalib, ia menceritakan tentang keinginan Abrahah.
Abdul Muthalib berkata:
"Kami tidak ingin
memeranginya karena kami tidak memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah Allah SWT
yang mulia dan suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia mencegahnya, maka
itu adalah rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya, maka
demi Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya."
Kemudian utusan itu
pergi bersama Abdul Mutihalib menuju Abrahah.
Abdul Muthalib adalah
seseorang yang sangat terpandang dan sangat mulia. Ia memiliki kewibawaan dan
kehormatan yang mengagumkan.
Ketika Abrahah
melihatnya, Abrahah menampakkan penghormatan kepadanya. Abrahah memuliakannya
dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia duduk bersamanya di kursi
kekuasaannya.
Lalu Abrahah turun dari
kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul Muthalib di
sisinya.
Kemudian ia berkata
kepada penerjemahnya: "Katakan padanya apa kebutuhannya?"
Abdul Muthalib berkata:
"Kebutuhanku adalah agar Abrahah mengembalikan dua ratus ekor unta yang
diambilnya dariku"
Ketika Abdul Muthalib
mengatakan demikian, wajah Abrahah berubah, lalu ia berkata kepada
penerjemahnya:
"Katakan padanya
sungguh aku merasa kagum ketika melihatnya, kemudian aku merasakan
kehati-hatian saat berbicara dengannya, apakah engkau berbicara denganku
tentang dua ratus ekor unta yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah
yang merupakan simbol agamanya dan kakek-kakeknya, yang aku datang untuk
menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali"
Abdul Muthalib
menjawab: "Aku adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu adalah
Tuhan yang melindunginya."
Abrahahh berkata:
"Dia tidak akan mampu melindunginya dariku."
Abdul Muthalib
menjawab: "Lihat saja nanti!"
Selesailah dialog
antara Abdul Muthalib dan Abrahah. Abrahah pun mengembalikan unta yang telah
dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui orang-orang Quraisy dan menceritakan
apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan mereka untuk meninggalkan Mekah dan
berlindung dibalik gua-gua di gunung.
Akhirnya kota Mekah
dikosongkan oleh pemiliknya.
Aminah binti Wahab
keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian malaikat turun di bumi
Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri
dan memegangi pintu Ka'bah dan berdiri bersama dengan sekelompok orang-orang
Quraisy, mereka berdoa kepada Allah SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para
malaikat memerintahkan gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah
itu pun tetap di tempatnya dan menaati perintah para malaikat,
kemudian gajah-gajah
itu menerima pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di
tempatnya, gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi gajah-gajah
itu menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah pun.
Abrahah bertanya:
"Mengapa pasukan tidak bergerak?"
Kemudian dikatakan
kepadanya bahwa gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat
cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi
dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu
bersinar dan ia duduk di kemahnya.
Ketika ia keluar,
matahari bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah mengangkat
pandangannya ke arah langit.
Mula-mula ia
membayangkan bahwa ia melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia
mengamat-amati awan itu. Dan ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah
sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari dan menyerupai awan yang tebal.
Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin
berteriak dengan kencang dan tampak ketakutan. Dan rasa takut itu kini
menghinggapi seluruh pasukan.
Abrahah berteriak di
tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara paksa.
Kemudian terbukalah
salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan burung-burung itu menghujani
pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu batu yang sama yang pernah dihujankan
kepada kaum Nabi Luth. Batu itu menyerupai bom-bom atom yang digunakan saat
ini.
Jika Anda membaca
buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui bagaimana peristiwa yang menimpa
pasukan Abrahah.
Anda akan membayangkan
bahwa Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang menghancurkan yang tidak
diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian darinya setelah empat belas
abad dari peristiwa tersebut.
Buku-buku itu
mengatakan bahwa pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang dahsyat.
Para tentara Abrahah
kembali dalam keadaan binasa di mana daging-daging dari tubuh mereka berceceran
di jalan.
Abrahah pun mendapatkan
luka dan mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan dagingnya terpisah satu
persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati.
Kemudian jasad para
pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman yang dimakan oleh
binatang.
Setelah mendekati
setengah abad, turunlah suatu surah di Mekah yang menceritakan tentang
peristiwa itu:
"Apakah kamu tidak
memperhatikan bagimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah? Bukankah
Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka 'bah) itu
sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang
melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia
menjadihan mereka seperti daun yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah yang
ingin memporak-porandakan Mekah dikalahkan.
Kemudian mereka
dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya.
Perlindungan tersebut
bukan sebagai penghormatan bagi orang yang tinggal di rumah itu dan bukan
sebagai bentuk pengkabulan doa kaum yang menyembah berhala yang memenuhi tempat
itu.
Allah SWT sebagai
Pelindung Ka'bah memeliharanya karena adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT
menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin melindunginya agar tempat
itu menjadi tempat yang damai bagi manusia dan supaya tempat itu menjadi pusat
dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang aman, yang tidak dikuasai
oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak didominasi oleh pemerintahan asing
yang akan membatasi dakwah.
Yang demikian itu
karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah yang lahir di sana
seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti Wahab dan ayahnya adalah
Abdullah, salah seorang tokoh Arab.
Anak itu belum
dilahirkan dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul Islam di atas
pundaknya dan belum menjadi rahmat bagi alam semesta. Kemudian datanglah
Abrahah yang ingin menghancurkan semua ini tanpa ia mengetahui semua rahasia
ini.
Tragedi yang menimpa
Abrahah adalah karena bahwa ia berusaha menentang kehendak Ilahi sehingga
kehendak Ilahi itu menghancurkannya dengan mukjizat yang mengagumkan. Datanglah
banyak burung dengan membawa batu-batuan yang tidak didengar suaranya. Kemudian
burung-burung melemparkan batu-batu itu kepada Abrahah beserta tentaranya.
Semua ini berdasarkan
rencana Ilahi terhadap rumah-Nya dan agama-Nya serta nabi-Nya sebelum orang
mengetahui bahwa Nabi Islam telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat
tidurnya di perut ibunya dan mulai memasuki kehidupan yang keras di muka bumi.
Di tengah-tengah
kegembiraan Mekah karena keselamatan penghuninya dan selamatnya Ka'bah, Aminah
binti Wahab bermimpi: di tengah suatu malam ia menyaksikan dirinya berdiri
sendirian di tengah-tengah gurun, dan telah keluar dari dirinya suatu cahaya
besar yang menyinari timur dan barat dan terbentang hingga langit.
Aminah tiba-tiba
terbangun dari tidurnya namun ia tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi
hari dari tahun gajah.
Dan pada waktu sahur
dari malam Senin hari keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan
seorang anak kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Abdul
Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum ia dilahirkan,
dunia mati karena kehausan padanya. Kehausan dunia sangat besar kepada cinta,
rahmat, dan keadilan.
Sekarang telah berlalu
600 tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah menjauhi ajaran
cinta, bahkan keyakinan-keyakinan berhalaisme telah meresap kepada sebagian
kelompok mereka dan kejernihan ajaran tauhid telah ternodai.
Sedangkan orang-orang
Yahudi telah meninggalkan wasiat-wasiat Musa dan mereka kembali menyembah lembu
yang terbuat dari emas. Dan setiap orang dari mereka lebih memilih untuk
memiliki lembu emas yang khusus.
Demikianlah,
berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi dipenuhi oleh kegelapan. Akal
disingkirkan dan Tuhan dilupakan dan mereka menyerahkan diri mereka kepada
pembohong.
Ketika jantung dunia
telah terkena kekeringan, maka memancarlah dari timur suatu mata air keimanan
yang jernih yang menjadi puas dengannya separo dunia. Dan mukjizat besar terjadi
ketika mata air ini mengeluarkan air yang jernih dari jantung gurun yang paling
besar ketandusannya di dunia, yaitu gurun jazirah Arab.
Berkenaan dengan
penggambaran masa tersebut, dalam hadis yang mulia dikatakan:
"Sesungguhnya
Allah melihat penduduk bumi lalu Dia murka kepada mereka, baik orang-orang Arab
maupun orang-orang Ajam kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di tenda yang kasar,
lahirlah seorang anak yatim yang kemudian bertanggung jawab untuk memberikan
minum kepada dunia yang haus pada cinta, keadilan, kebebasan, serta kebenaran.
Sementara itu, beberapa
langkah dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul
'Athiq dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail agar
menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan manusia merasa
tenteram di dalamnya.
Di rumah yang kuno ini
—yang dibangun sebelumnya oleh Adam— dipenuhi patung-patung tuhan yang terbuat
dari batu dan kayu.
Ini menunjukkan betapa
akal orang-orang Arab saat itu mengalami titik terendah.
Sementara itu nun jauh
di sana, tepatnya di Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh orang-orang Yahudi yang
mereka datang di sana karena melarikan diri dari penindasan orang-orang Romawi.
Mereka tinggal di situ bagaikan srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di
mana mereka melakukan monopoli dalam perdagangan.
Mereka membangun
kejayaan mereka dengan memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka
terhadap diri mereka sendiri.
Para cendikiawan Yahudi
memperdagangkan segala sesuatu, dimulai dari emas sampai Taurat.
Mereka menyembunyikan
kertas-kertas darinya dan menampakkan sebagiannya; mereka mengubah
kertas-kertas Taurat itu untuk memperkaya diri mereka.
Pada saat orang-orang
Yahudi menyembah emas dan sangat lihai melakukan persekongkolan, orang-orang
Arab justru menyembah batu dan mereka pandai berperang.
Mereka juga lihai dalam
membuat syair lalu menggantungkannya di atas tirai-tirai Ka'bah.
Orang-orang Arab hidup
di bawah naungan sistem kesukuan di mana kepala suku adalah pemimpin dan
nilainya sebanding dengan anak buahnya, dan kemampuan mereka dalam berperang.
Dan keutamaan seseorang
dilihat dari asal muasalnya serta nilainya juga dilihat dari kefanatikannya
serta kebanggaannya kepada nasab yang merupakan kemuliannya, juga
kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang merupakan agamanya.
Jadi, segala bentuk
kemuliaan dan kewibawaan tidak terbentuk kecuali dalam ruang lingkup yang
sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan di tempat
yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai burung rajawali yang lemah, namun belum
sampai kehilangan kekuatannya.
Orang-orang Romawi
sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di belahan timur dari utara negeri Arab,
orang-orang Persia menyembah api dan air. Api tetap menyala di tempat
peribadatan mereka di mana manusia rukuk untuknya. Dan di sana terdapat danau
Sawah yang dianggap suci oleh mereka.
Sementara itu, Kisra,
raja kaum Persia duduk di atas singgasananya dan memberikan keputusan terhadap
manusia.
Keputusan Kisra selalu
didengar dan dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya dan
menolaknya.
Orang-orang Persia
berhasil mengalahkan Romawi dan Yunani, sehingga mereka menjadi kekuatan yang
dahsyat di muka bumi. Meskipun mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa,
namun penyembahan api jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan betapa
kekuatan mereka diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan
mereka terhalangi untuk mencapai kebenaran.
Alhasil, kegelapan
semakin meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan
yang lebat di mana di dalamnya seorang yang kuat akan menyingkirkan seorang
yang lemah dan di dalamnya yang menang adalah kebatilan.
Di tengah-tengah
suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang anak di tenda Mekah.
Ketika anak tersebut
lahir, maka padamlah api yang disembah oleh kaum Persia dan keringlah danau
Sawah yang disucikan oleh manusia, bahkan robohlah empat belas loteng dari
istana Kisra.
Dan setan merasa bahwa
penderitaan yang besar telah merobek-robek hatinya.
Ini semua sebagai
simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau keburukan di muka bumi dan
terbebasnya akal manusia dari penyembahan terhadap sesama manusia atau terhadap
hal-hal yang bersifat khurafat.
Manusia diajak hanya
untuk menyembah kepada Allah SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti hilangnya
kelaliman,sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan kebebasan Bani
Israil dari kelaliman Fir'aun.
Ajaran Muhammad bin
Abdillah merupakan ajaran revolusi yang paling meyakinkan dan yang paling
penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran yang bertugas untuk menyelamatkan
dan membebaskan akal dan materi.
Tentara Al-Qur'an
adalah tentara yang paling adil dan paling berani untuk menghancurkan
orang-orang yang lalim.
Kita akan melihat dalam
sejarah Nabi bahwa kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah
sebelum kelahirannya.
Kemudian terjadilah
peristiwa luar biasa setelah kelahirannya di mana terjadilah peristiwa
pembelahan dada pada saat beliau masih kecil, begitu juga beliau dinaungi oleh
awan di waktu kecil, bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil dengan
kecenderungan untuk meninggalkan permainan-permainan yang biasa dimainkan oleh
anak-anak kecil seusia beliau.
Allah SWT memberikan
penjagaan khusus kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa
wahyu.
Selanjutnya,
mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang terdapat pada kepribadiannya dan
pemikiran-pemikirannya.
Itulah yang menjadi
mukjizatnya yang terbesar setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani yang
tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT. Dan dalam
menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai macam rintangan.
Beliau melaksanakan
amanat yang diembannya secara sempuma dan sebaik-baik mungkin. Hal yang indah
yang dikatakan tentang mukjizat Nabi setelah diutusnya beliau adalah bahwa
beliau tidak mempunyai mukjizat selain usaha membebaskan akal: tanpa memiliki
kekuatan luar biasa selain membebaskan pikiran, tanpa dalil selain kalimat
Allah SWT.
Sedangkan Isa bin
Maryam telah berdakwah dan mengajak manusia untuk menciptakan kesamaan,
persaudaraan, dan cinta kasih di antara mereka, namun Nabi Muhammad SAW diberi
karunia untuk mewujudkan persamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara
orang-orang mukmin di tengah-tengah kehidupannya dan setelah kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu
menghidupkan orang-orang yang mati dan mengeluarkan mereka dari kuburan,
Muhammad bin Abdillah menghidupkan orang-orang hidup dari kematian mereka yang
tidak pernah mereka sadari. Itu adalah bentuk kematian yang paling berat.
Beliau juga mengeluarkan mereka dari kegelapan dan kebodohan menuju cahaya
ilmu, dan dari belenggu syirik dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman sebagai
seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi padanya, bahkan
mereka mampu terbang beribu-ribu mil untuk menghadirkan singgasana
musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang terhadap kemampuannya, sehingga
mereka masuk Islam. Namun Nabi Muhammad SAW justru mengabdi kepada Islam hanya
sebagai seorang tentara yang sederhana. Beliau mengetahui bahwa ketika beliau
lalai sesaat saja dari dakwah di jalan Allah SWT, maka kesempatannya dalam
menyebarkan agama Islam akan hilang.
Di saat terjadi
peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan salat dikumandangkan, sehingga
para pasukan yang berperang mengerjakan salat. Tidak ada malaikat yang turun
untuk melindungi mereka ketika salat atau mencegah datangnya anak-anak panah
dari punggung mereka saat sujud. Karena itu, hendaklah para pasukan melindungi
dirinya sendiri. Para pasukan mukmin berusaha salat secara bergantian: sebagian
mereka salat dan sebagian mereka bertugas untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka sujud (telah
menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka
bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah
terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah masalah itu
dan tidak adak malaikat yang turun untuk melindunginya dan menolongnya. Ini
adalah masa kematangan akal dan masa keletihan para nabi dan orang-orang mukmin.
Dan sesuai kadar keletihan mereka dalam menyampaikan ajaran Islam, mereka pun
akan mendapatkan balasan yang besar.
Pada masa para nabi
sebelum Nabi Muhammad SAW, mereka menghadirkan mukjizat-mukjizat kepada kaum
mereka saat memulai dakwah, sehingga kaum tersebut mempercayai apa saja yang
mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tidak menghadirkan kepada
kaumnya selain dirinya dan ketulusannya.
Allah SWT telah
memutuskan untuk melindungi Musa dan memerintahkannya untuk mengangkat gunung
di atas kaumnya hingga mereka beriman kepada Taurat, atau untuk menjatuhkan
gunung tersebut di atas mereka. Ketika mengetahui hal yang Demikian itu,
orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan pipi mereka di atas tanah dan mereka
mengamati bukit batu yang berada di atas kepala mereka yang diangkat oleh
tangan yang tersembunyi.
Sedangkan Nabi Muhammad
bin Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun.
Berimanlah beberapa
orang kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan matilah bersamanya
orang-orang yang mati dalam keadaan puas.
Beliau tidak membawa
pedang kecuali saat panah yang beracun mendekati jantung Islam dan
mengancamnya.
Dakwah para nabi
menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa kekanak-kanakan
manusia serta kelemahan akal dan hilangnya panca indera menuntut rahmat Allah
SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai dengan masa turunnya mukjizat
tersebut dan budaya masyarakat setempat.
Adalah hal yang maklum
bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak terdapat orang-orang yang
cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu menyerap kata-kata yang baik. Dan
kesulitan yang dihadapi oleh Islam adalah;bahwa ia tidak diturunkan pada masa
ini saja, tetapi Islam diturunkan untuk setiap masa.
Allah SWT mengetahui
bahwa manusia telah memasuki masa kematangan berpikir yang mengagumkan, maka
hikmah-Nya menuntut bahwa pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam
risalah-Nya adalah "iqra'" (bacalah). Di samping itu, risalah
tersebut mengandung pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan hukum
yang mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah tidak mengurangi
kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW di mana mereka tidak diutus di
masa-masa kematangan pemikiran, tetapi yang menambah kehormatan Nabi Muhammad
SAW bahwa beliau diutus di tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan beliau
diutus sebelum datangnya masa ini.
Beliau memikul berbagai
lipat cobaan yang pernah dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan
menanggung berbagai lipat godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan yang
pernah dialami oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT sebagaimana
para nabi mencintai-Nya.
Allah SWT memuliakannya
ketika beliau mengimami mereka di saat salat pada saat beliau melakukan Isra'
dan Mi'raj. Meskipun demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari menemui
sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan mendahulukannya
atas mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan dan wajahnya berubah.
Beliau berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku atas Yunus bin
Mata."
Melalui pernyataan itu,
beliau berusaha meletakkan suatu pondasi pemikiran yang harus dilalui oleh kaum
Muslim di mana para nabi memang memiliki derajat tertentu di sisi Allah SWT.
Boleh jadi ada nabi
yang lebih afdal atau yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang
menetapkan hal itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT.
Ada pun kaum Muslim
hendaklah mereka berhenti pada batas tertentu yang seharusnya mereka berikan
berkaitan dengan sopan santun terhadap para nabi.
Selama Allah SWT
menyampaikan shalawat kepada rasul sebagai bentuk penghormatan dan
memerintahkan mereka untuk menyampaikan shalawat kepadanya, dan selama
Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka hendaklah mereka juga bershalawat
kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun pada bentuk shalawat itu sendiri.
Sementara itu, bayi
yang mungil itu yang lahir di Mekah bergerak setelah tahun gajah.
Kemudian berita
tersebar di sana sini dan Sampailah ke telinga kakeknya bahwa cucunya telah
dilahirkan.
Abdul Muthalib segera
menuju ke tempat itu dan membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling dengannya
di Ka'bah sambil memikirkan namanya.
Abdul Muthalib tidak
merasa terpukau dengan nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak
bingung menentukan nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya
itu berlanjut sampai enam hari, sehingga sang Nabi disunat.
Ketika malam telah
menyelimuti kawasan Mekah, datanglah kepadanya suara yang sama yang dulu pernah
dilihatnya dan didengarnya yang memerintahkannya untuk menggali zamzam. Di
tengah-tengah tidurnya, suara itu membisikkan kepadanya bahwa nama cucunya
berasal dari al-Ham, yang berarti Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang Quraisy
bertanya kepada Abdul Muthalib: "Nama apa yang engkau berikan kepada
cucumu?"
Abdul Muthalib menjawab
sambil mengingat bisikan suara yang didengarnya saat mimpi,
"Muhammad."
Nama tersebut
sebenarnya tidak umum di kalangan orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya,
"Mengapa Abdul Muthalib tidak memakai nama-nama kakek-kakeknya dan
nama-nama yang biasa dipakai di kalangan mereka."
Abdul Muthalib
menjawab: "Aku ingin Allah SWT memujinya di langit dan manusia memujinya
di bumi."
Kami tidak mengetahui
dorongan apa yang mendikte Abdul Muthalib untuk menyatakan kalimat tersebut.
Apakah kalimat itu bersumber dari realitas kebanggaan orang-orang Arab yang
populer atau berasal dari realitas kebanggaan tradisional? Atau, apakah
berangkat dari realitas kegembiraan yang dalam dengan kelahiran si cucu,
ataukah kalimat itu bersumber dari suasana ruhani yang jernih dan bisikan alam
gaib? Tentu kami tidak bisa menjawab.
Yang dapat kami ketahui
adalah bahwa seseorang tidak akan layak menyandang predikat manusia yang dipuji
di bumi dan dipuji oleh Allah SWT di langit seperti predikat yang disandang
oleh Muhammad bin Abdillah.
Nabi Muhammad SAW
muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya saat
beliau masih janin di dalam perut ibunya.
Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia
mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha:
6)
Allah SWT
melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahwa sebab-sebab kemanusiaan
seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib dan bagaimana ia mengasuhnya dan
melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah yang tidak begitu penting,
sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah kita berada di hadapan manusia
yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya sejak masih kecil.
Allah SWT mendidiknya
saat beliau masih kecil, dan mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih
janin serta mengujinya dengan kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa dengan
kematian si ibu, saat beliau masih kecil dengan keterasingan di tengah-tengah
keramaian, dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan
demi penderitaan.
Allah SWT telah
menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya, ibunya
seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa banyak dari
wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan untuk mengasuhnya.
Adalah sudah menjadi
tradisi yang berkembang di Mekah di mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim
anaknya ke kawasan dusun agar anak tersebut menyerap dan menghirup udara segar
serta memperoleh mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui
anak-anak lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang kaya.
Namun ketika pemimpin
manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa menyusui tidak
berminat kepadanya.
Marilah kita telusuri
bagaimana Halimah binti Abi Duaib menceritakan kisahnya bersama anak kecil yang
disusuinya:
"Saat itu terjadi
musim tandus dan kami tidak memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku mengalami
kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan keluar ke Mekah dan menemani
wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua mencari anak-anak yang masih menyusu
agar orang tua mereka dapat membantu kami untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku
tunggangi sangat lemah dan sangat kurus yang itu semua disebabkan oleh
kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia berhenti di tengah
perjalanan dan mati. Dan kami tidak tidur semalaman karena melihat kondisi anak
kecil yang bersama kami. Ia menangis karena tidak menemukan makanan yang dapat
dimakannya. Ia menangis karena kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari
air susuku maupun air susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak
dapat memuaskan dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputus-asaan.
Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang
demikian.
Akhirnya, kami sampai
di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang ingin mencari anak-anak yang dapat
mereka susui telah mendahului kami. Mereka mengambil anak-anak kecil yang
mereka sukai, kecuali satu anak, yaitu Muhammad di mana ayahnya telah meninggal
dan ia berasal dari keluarga yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya
sangat mulia di antara tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu, wanita-wanita
enggan untuk mengasuhnya.
Namun aku dan suamiku
tidak sepaham dengan mereka karena aku tidak peduli dengan keyatiman dan
kefakirannya. Kemudian aku malu untuk kembali dan tidak mengambil bayi yang
dapat aku susui kemudian.
Di samping itu, aku
malu jika mendapat cercaan dari wanita-wanita itu. Lalu aku merasakan adanya
kasih sayang yang memenuhi hatiku terhadap anak kecil yang tampan itu yang akan
diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah tersebut
mengatakan bahwa saat anak-anak kecil mendapatkan wanita-wanita yang
menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang tidur dalam keadaan lapar di
ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh siapa pun.
Suatu hikmah yang
tinggi berkehendak agar bayi yang masih menyusui itu menghadapi dunia dalam
keadaan yatim dan dalam keadaan kelaparan agar ia dapat merasakan penderitaan
anak-anak yatim dan orang-orang yang lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah mengatakan
bahwa ia meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan keinginan yang kuat untuk
mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya menyetujuinya.
Halimah tidak
mengetahui rahasia keinginannya yang samar agar ia kembali untuk mengambil anak
yatim yang masih menyusu ini.
Ia tidak mengetahui
bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak kecil itu dalam hatinya
seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa pada hati isteri Fir'aun.
Jika Musa menolak
wanita-wanita lain untuk menyusuinya kecuali ibunya setelah Allah SWT
mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain agar ibunya merasa bahagia dan tidak
bersedih, maka Muhammad bin Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan
mulia -justru ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri
tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah kembali
kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya.
Nabi Muhammad SAW
adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di dadanya, sehingga
anak kecil itu tertawa.
Halimah mencium di
antara kedua matanya. la meletakkannya di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa
kedua air susunya telah kering, namun tiba-tiba air susunya memancar dengan
keras sebagai bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran dari Allah SWT.
Kini Halimah pun dapat
menyusuinya.
Apakah itu merupakan
hikmah yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang
sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk zuhud dan
qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang pengorbanan dan
kesatriaan?
Halimah kembali ke
gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin Abdillah.
Belum lama ia
menyaksikan tanahnya yang tandus sehingga tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan
mekar di hadapanya, di mana bumi dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah
mengalami masa tandus. Pohon-pohon berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri
setelah sebelumnya layu, bahkan susu-susu binatang pun mulai tampak banyak.
Allah SWT memberikan
berkah-Nya kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui bahwa kebaikan ini telah
datang bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi, sehingga cintanya kepada
anak itu semakin bertambah. Bahkan suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain
kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada suatu hari ia
berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai Halimah bahwa
engkau telah mengambil seorang anak yang mulia?"
Halimah berkata:
"Anak kecil itu tidak menangis dan tidak berteriak kecuali ketika ia
telanjang."
Ketika anak kecil itu
gelisah di tengah malam dan tidak tidur, maka Halimah membawanya keluar dari
kemah dan ia berhenti bersamanya di bawah sinar bintang.
Saat itu anak itu
tampak bergembira ketika menyaksikan langit. Setelah kedua matanya terpuaskan
oleh pandangan ke arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika anak itu
mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih, sehingga ibunya ingin
mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk menahan perpisahan ini.
Halimah menjatuhkan
dirinya di hadapan kedua kaki sang ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta
agar membiarkannya bersama anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat dan dapat
kembali menghirup udara segar gurun.
Akhirnya, Rasulullah
saw tinggal di tempat Bani Sa'ad sampai lima tahun. Dan pada masa lima tahun
ini terjadi peristiwa penting yang terkenal dengan peristiwa pembelahan dada.
Kehendak Ilahi telah
menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad bin Abdillah
dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci hatinya dengan rahmat
dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan bagian dunia darinya.
Seperti biasanya
Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara susuannya dengan
menunggangi sekawanan domba menuju tempat penggembalaan.
Di tengah hari,
saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan menangis sambil berteriak bahwa
Muhammad telah terbunuh. Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai
baju yang putih lalu kedua orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu,
Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil berlari mencari
Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti petunjuk anak kecil dari
saudara Muhammad.
Akhirnya, mereka
menemukan Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak pucat dan
kedua matanya menyala.
Halimah dan suaminya
mencium dengan lembut dan mulai menampakkan kasih sayangnya.
Kemudian mereka
bertanya, "apa yang terjadi?"
Muhammad menjawab:
"Ketika aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku dikagetkan
dengan kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih. Mula-mula aku
menyangka bahwa mereka adalah burung yang besar, namun ternyata aku salah.
Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang memakai pakaian warna putih.
Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya dengan menunjuk ke arahku,
"Apakah ini anaknya?" Yang lain menjawab, "benar." Aku
merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka mengambilku dan menidurkan aku
serta membelah dadaku dan mereka mengambil sesuatu darinya hingga mereka
mendapatinya dan membuangnya jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana
bayangan."
Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad.
Para mufasir berbeda
pendapat tentang simbolisme yang dalam ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan
peristiwa tersebut.
Pakar-pakar klasik,
seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan oleh firman-Nya:
"Bukankah Kami
telah melapangkan untukmu dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan tokoh-tokoh
hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti Nabi Muhammad
SAW tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin terkena
waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia biasa.
Jika suatu kejahatan
menjadi suatu gelombang yang memenuhi cakrawala, maka di sana terdapat hati
yang segera memungutnya dan terpengaruh dengannya, namun hati para nabi dengan
adanya bimbingan Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus
kejahatan tersebut.
Dengan demikian, usaha
para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan atau ketinggian, bukan memerangi
kerendahan.
Diriwayatkan oleh
Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Tidak ada
seseorang di antara kalian kecuali ia diawasi oleh temannya dari kalangan jin
dan temannya dan dari kalangan malaikat."
Para sahabat berkata:
"Apakah hal itu juga berlaku kepadamu wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab:
"Ya, tetapi Allah SWT membantuku, sehingga ia berserah diri dan tidak
memerintahkan kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap
orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa pembelahan
dada.
Kami kira bahwa
kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk
melalui Isra' dan Mi'raj.
Ia merupakan perjalanan
di mana Rasulullah saw akan menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit.
Kemudian beliau akan melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha
yang di sana terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut
kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa pembelahan dada
berulang lebih dari sekali saat Rasul saw mencapai usia lima puluh tahun. Dan
peristiwa pembelahan dada terjadi kedua kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari meriwayatkan
dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan kepada mereka
peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda:
"Ketika aku berada
di Hathim —atau beliau berkata di Hijr— saat aku dalam keadaan antara tidur dan
bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu
antara kerongkongan dan perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan
hatiku dan membawa mangkok dari emas yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci
hatiku. Kemudian diulanginya."
Kami kira bahwa
pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan kesucian Rasul saw
dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui Isra' dan Mi'raj.
Itu merupakan
pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang
belum pernah dicapai oleh manusia dan tidak akan dicapai manusia sesudahnya.
Setelah peritiwa
pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian besar
waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri.
Dari roman wajahnya
tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah hari demi
hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah di dusun
Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan keadaan di
sana.
Diriwayatkan bahwa
beliau pernah mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya.
Beliau menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap mereka yang baik.
Beliau berkata:
"Aku termasuk dari
Bani Sa'ad, tanpa bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau
menyaksikan salah seorang mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di
antara mereka."
Kemudian Muhammad bin
Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun.
Beliau hidup beberapa
hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan kesedihan yang dalam atas
kepergian ayahnya.
Sesuai janji untuk
mengingat ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi
kuburannya di Yatsrib.
Jarak antara Mekah dan
Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari
tanda-tanda kehidupan.
Anak itu menempuh
peijalanan yang berat. Setelah perjalanan yang berat ini, Muhammad bin Abdillah
tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di Madinah selama satu bulan.
Muhammad melihat rumah
yang di situ ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama
ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya.
Mula-mula pikirannya
terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai memperhatikan linangan air mata
ibunya yang diam.
Selesailah masa satu
bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya menemaninya untuk
kembali ke Mekah.
Kedua anak manusia itu
sampai di pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia
kepucatan wajah ibunya.
Lalu malaikatul maut
turun di suatu tempat yang yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab
telah bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu meninggal dan
meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang pembantu.
Pembantu itu
menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil yang kehilangan ayahnya saat
masih janin dan kehilangan ibunya saat berusia enam tahun.
Muhammad bin Abdillah
kini menjadi sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan
setelah ia melewati kesedihan kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak
yatim.
Rasulullah saw pernah
ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?"
Beliau menjawab:
"Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku. Cinta adalah
pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah temanku."
Allah SWT telah
menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat memberikan
kepada manusia buah dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak kecil itu kembali
ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak terpaku.
Lalu Abdul Muthalib,
kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa dan penghormatan padanya. Setelah
dua tahun ketika Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah
salah satu benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib.
Kemudian anak kecil itu kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa.
Ia tampak tegar seperti
layaknya orang dewasa.
Kita tidak mengetahui
mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT mencegah Nabi yang terakhir
untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, dan
bimbingan seorang kakek?
Apakah Allah SWT ingin
memberi Nabi yang terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang semata-mata
bersumber dari sisi-Nya?
Apakah Allah SWT ingin
mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh dengan
penderitaan?
Apakah Allah SWT ingin
membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya?
Dahulu Allah SWT
berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah
memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT
memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Nabi Isa
Asmemberi kabar gembira di dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi setelahnya
yang bernama Ahmad.
Dan Nabi Musa meminta
kepada Tuhannya agar memberinya dan memberi umatnya puncak keutamaan, lalu
Allah SWT menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang
terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah SWT telah memilih
Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya untuk mendapatkan
kasih sayang seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah keluarganya.
Namun Dia berkehendak
untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih sayang
seorang manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya
mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman
menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia
mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap
anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang
yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat
Tuhanmu maha hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS.
ad-Dhuha: 6-11)
Makna ayat tersebut
secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah SWT
melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya
petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT memampukannya.
Allah SWT melindunginya
dengan mengasuhnya, membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan
yang tidak pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah kematian
kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya.
Allah SWT telah
meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya mengutamakanNabi
Muhammad SAW daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta menghormatinya,
bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang biasa dibentangkannya di
hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun yang duduk selainnya.
Muhammad bin Abdillah
hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki kesadaran yang
tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang mabuk-mabukan dan para
penyembah berhala serta para pedagang minuman keras dan para syair dan
orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin Abdillah
seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka ia bertambah
banyak diam.
Beliau tidak berbicara
kecuali jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan
hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau sering
menyendiri dan membuka matanya di hamparan pasir-pasir.
Mulutnya terdiam dan
akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa kecilnya bagaimana kaumnya
bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal
mau bersujud kepada batu-batu yang tidak memberikan mudharat dan manfaat dan
tidak berbicara serta tidak dapat melakukan apa-apa.
Beliau mewarisi dari
kakeknya, Nabi Ibrahim As kebencian yang fitri terhadap dunia berhala dan
patung.
Di dalam dirinya
terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan dari batu ini, suatu
penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya terhadap patung
tersebut.
Namun hatinya yang
besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan kakeknya
Ibrahim.
Beliau sedih karena
akal manusia menyembah batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa;
beliau mendengar apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan
dan keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak pertentangan dan
perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan oleh masalah-masalah yang
sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah dan sudah barang tentu
kesedihannya pun semakin dalam.
Tidakkah manusia
mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan kakeknya?
Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka mendapatkan lebih
banyak kejahatan?
Ketika usianya semakin
bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan sepak terjangnya
terus bersinar memenuhi penjuru Mekah.
Beliau tidak sama
dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu.
Meskipun kami kira
bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau tidak
mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun.
Beliau belum bertujuan
untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahwa
pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera menemukan
jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban atau jalan
keluar.
Inilah yang dimaksud
dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS.
adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud ad-Dhalal
(kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam menafsirkan kejahatan dan
usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia.
Semua itu justru
menambah sikap diam anak kecil itu dan menjauhkannya dari dunia yang akan
mencemari akal, sehingga akalnya selamat dari segala noda dan tetap di bawah
naungan kejernihannya.
Anak kecil itu tetap
jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa kecenderungan untuk
menyembah berhala dan cinta kekuasaan dan kebanggaan.
Ia selalu mendekat dan
lebih mendekat kepada hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain
dengan jiwanya yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada
manusia, bahkan kepada binatang dan burung.
Ketika ia duduk akan
makan lalu ada burung merpati berkeliling di seputar makanannya maka ia
meninggalkan makanannya untuk burung itu.
Pada saat orang-orang
memukul anjing yang mendekat kepada makanan mereka, maka ia justru mencabut
suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak
kecil, dan orang-orang fakir.
Bahkan seringkali di
waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke
orang lain.
Nabi Muhammad SAW
adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka beliau bekerja
sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi yang
lain yang diutus oleh Allah SWT.
Kemudian beliau
melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam saat
beliau berusia tiga belas tahun.
Beliau menyaksikan
keadaan umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa
jahiliyah ini.
Ketika beliau
menyaksikan orang-orang tersesat, maka kesedihannya semakin bertambah dan
hatinya semakin tersentuh dan pikirannya semakin dalam.
Pada saat perjalanan
menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap anak kecil itu. Kemungkinan
besar itu justru menambah kebingungannya.
Seorang pendeta yang
bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di
Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan suatu awan putih —tidak seperti biasanya—
yang menghiasai langit yang biru.
Saat itu udara sangat
terang, sehingga munculnya awan tersebut sangat mengherankan. Kemudian
pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini tertuju ke bumi di mana ia
mendapati awan itu menyerupai burung yang putih yang menaungi kafilah kecil
yang menuju ke arah utara.
Buhaira memperhatikan
bahwa awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung Buhaira
berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku peninggalan kaum
Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia setelah Isa.
Sifat dan kabar nabi
tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno.
Buhaira segera
meninggalkan tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk menyiapkan makanan
yang besar.
Kemudian ia mengutus
seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan mengundang mereka untuk jamuan
makan.
Salah seorang mereka
berkata dengan nada bercanda kepada Buhaira:
"Demi Lata dan
'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan
demikian kepada kami, padahal kami telah melewati dan singgah di tempat ini
lebih dari sekali. Ada peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira menjawab:
"Hari ini kalian adalah tamu-tamuku."
Pertanyaan orang
tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan
tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini.
Buhaira memberi makan
mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka adanya seseorang yang memiliki
tanda-tanda yang dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul
yang ditunggu.
Namun ia tidak
menemukannya, hingga ia bertanya kepada mereka:
"Wahai kaum
Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?"
Mereka menjawab:
"Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama kami. Kami meninggalkannya
karena ia masih kecil."
Buhaira berkata:
"Sungguh aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir
bersama kami dan memakan makanan ini."
Salah seorang lelaki
dari kaum Quraisy berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami
untuk meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta maaf
karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan
menghadirkannya.
Belum lama Buhaira
memandangi kejernihan dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa ia telah
mendekati tujuannya.
Buhairah terpaku ketika
memandangi Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka
berpisah.
Muhammad bin Abdillah
duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata:
"Wahai anak kecil,
demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu aku terhadap
apa yang aku tanyakan kepadamu?"
Buhaira ingin
mengetahui sikap anak ini terhadap berhala kaumnya.
Anak kecil itu
menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi
Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada keduanya."
Buhaira berkata:
"Dengan izin Allah aku ingin bertanya kepadamu."
Anak kecil itu
menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira bertanya kepada
anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di tengah-tengah kaumnya,
mimpinya dan pendapat-pendapatnya.
Dialog tersebut terjadi
jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan diam ketika mendengar bahwa
Muhammad membenci berhala-berhala mereka.
Kemudian Muhammad
menjawab pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin, hingga membuat Buhaira
mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang Nabi yang kabar berita
gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh nabi-nabi
dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa.
Setelah itu, ia bangkit
meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia bertanya tentang
kedudukan anak kecil itu di sisinya.
Abu Thalib menjawab:
"Ia adalah anakku."
Buhaira berkata:
"Tidak mungkin ayahnya masih hidup."
Abu Thalib berkata:
"Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan ibunya telah meninggal."
Buhaira berkata:
"Engakau benar, kembalilah kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum
Yahudi."
Abu Thalib bertanya
tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu.
Pendeta itu mulai
mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia
berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu."
Buhaira tidak
menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu berlalulah
peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa menggugah
kesadaran di antara mereka.
Kisah tersebut tidak
membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah
menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan
memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata
basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu memuji
kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang akan
memuji akhlak para pemuda mereka.
Alhasil, peristiwa
tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat
yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak mengetahui rahasia perkataan
pendeta dan mereka tidak menyebarkan pembicaraan yang mereka dengar darinya.
Peristiwa itu
tersembunyi meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa gerangan yang
terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta perlu
mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan diembannya
seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua ini dengan
kesedihan-kesedihannya yang dalam serta kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut sedikit demi sedikit berputar di benaknya.
Kemudian seperti
biasanya kafilah tersebut kembali ke Mekah. Muhammad kembali menuju
keterasingannya. Ia memperhatikan keadaan alam di sekitarnya.
Kemudian ia melihat
kembali penderitaannya; ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi
kepada manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari demi hari berlalu.
Nabi Muhammad SAW tampil dengan pakaian ketulusan kasih sayang, dan amanah
serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga kejujurannya
terkenal di tengah-tengah kaumnya.
Bahkan kejujuran dan
amanatnya tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari penduduk Mekah.
Dan ketika beliau
datang dengan membawa risalahnya dan beliau ditentang mayoritas masyarakatnya,
namun tak seorang pun yang berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh
bahwa ia terkena sihir atau kesadarannya telah hilang.
Pada tahun ketiga belas
dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat untuk membunuhnya dan
mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan mereka mengepung rumahnya, maka
di saat situasi yang sulit ini beliau menetapkan untuk berhijrah.
Tetapi sebelumnya
beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal
di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan oleh semua
musuhnya dan para sahabatnya.
Ini beliau maksudkan
agar Ali dapat menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi kepada para
pemiliknya.
Anda dapat melihat
betapa para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga oleh Nabi
Muhammad SAW.
Hari demi hari berlalu
dan tahun demi tahun pun lewat.
Sementara itu, kesucian
dan kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah lautan keheningan
yang mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah menyebarkan layar perahunya yang
putih, maka ia harus menemui hakikat azali yang bertemu dengan-nya semua nabi
dan rasul.
Muhammad bin Abdillah
mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur dan Pencipta;
Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Nabi Muhammad SAW
dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para
pemuda seusianya.
Dan ketika pemuda Mekah
berbangga-bangga dengan banyaknya minuman keras yang mereka minum dan banyaknya
bait-bait syair yang mereka katakan tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah
telah menemukan jati dirinya di suatu gua yang tenang di gunung yang besar.
Beliau memilih untuk
menghabiskan waktunya di dalam keheningan gua tersebut.
Ia merenung dengan
hatinya tentang keadaan alam; ia memikirkan keagungan rahasia-rahasianya dan
rahmat Penciptanya serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua
puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang pertama, yaitu
Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat puluh tahun.
Khadijah adalah wanita
yang mulia dan mempunyai cukup harta. Ia berdagang dan suaminya telah
meninggal.Banyak orang yang mendekatinya dengan alasan untuk mendapatkan
kekayaannya.
Khadijah mencari
seseorang laki-laki yang dapat membawa harta dagangannya menuju Syam, lalu
Khadijah mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran dan
amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah.
Akhirnya, Khadijah
mengutus Nabi Muhammad SAW untuk membawa barang dagangannya.
Nabi Muhammad SAW pergi
dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau berusia dua puluh lima
tahun. Allah SWT memberkati perjalannya di mana beliau kembali dengan membawa
keuntungan yang berlipat ganda yang diserahkannya kepada Khadijah.
Muhammad saw tidak
peduli dengan harta Khadijah dan tidak peduli kepada kecantikannya; Muhammad
saw hanya memandang kemuliaan yang dipegangnya.
Kemudian Khadijah
merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya, ia mengutarakan
keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun setuju.
Paman Muhammad saw, Abu
Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah pada saat perayaan perkawinannya:
Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan seorang pun dari kaum Quraisy
karena ia adalah seorang yang mulia, baik dari sisi akal maupun ruhani.
Meskipun ia seorang yang fakir namun harta adalah naungan yang akan hilang dan
benda yang bersifat sementara.
Setelah menikah,
Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk merenung dan
menyendiri serta beribadah.
Kemudian kehidupan yang
dijalaninya justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di
sana sini.
Beliau tidak pernah
terlibat dalam pergulatan yang keras untuk memperebutkan materi-materi dunia.
Beliau selalu
menggunakan akal sehatnya daripada terlibat dalam kesesatan mereka dan
kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada saat itu.
Kemudian usianya kini
mendekati empat puluh tahun.
Setelah merasakan
kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih untuk menjauh dari
mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah SWT membimbingnya untuk
menyendiri di gua Hira.
Akhirnya, beliau dapat
keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai mendaki
dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu semakin luas. Udara
tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan semakin terbentang.
Kemudian beliau
memasuki gua. Keheningan menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan
tidak ada sesuatu yang dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam.
Dalam suasana kesunyian
terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang kemudian menyebarkan
sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di atas angkasa gua lalu tersebar
menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak ada sesuatu pun yang membatasinya atau
mengekang kebebasannya.
Kita tidak mengetahui
pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia termulia dan terbesar di atas
bumi itu saat beliau duduk di gua Hira beberapa bulan.
Apa yang beliau
pikirkan dan apa gerangan yang beliau risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya
dan perasaan-perasaan apa yang lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu
yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya
menyahuti tasbihnya yang diam, seperti atom-atom batu yang bersahut-sahutan
bersama Daud saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami tidak mengetahui
secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam diri beliau.
Yang kita ketahui
adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang kenabian dan beliau tidak berpikir
untuk memberikan petunjuk kepada manusia; beliau tidak melakukan
praktek-praktek sufisme karena beliau sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus
di tengah-tengah manusia.
Kemudian Allah SWT
memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan uzlahnya dan turun ke medan
serta membawa senjata. Beliau mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu
dengan Tuhannya. Mula-mula lahirlah tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di
jalan Allah SWT. Tasawuf bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh
manusia sekarang, tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada
akhirnya yang bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk
membela manusia dan kehormatannya.
Pada suatu hari beliau
duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan dengan kedatangan Jibril yang
berdiri di depan pintu gua.
Malaikat tersebut
memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca sambil berkata:
"Bacalah!"
Muhammad bin Abdillah
menjawab: "Aku tidak mampu membaca."
Beliau ingin mengatakan
bahwa beliau tidak mengenal bacaan dan tulisan. Kalau begitu, apa yang harus
beliau baca?
Malaikat kembali
memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia meninggal.
Kemudian malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk membaca.
Beliau kembali
menjawab: "Aku tidak bisa membaca."
Malaikat yang mulia
kembali memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca.
Dan lagi-lagi
Rasulullah saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku baca?"
Kemudian Jibril membaca
permulaan ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah peristiwa itu,
Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul secara tiba-tiba.
Rasulullah saw
merasakan dalam dirinya kejadian yang luar biasa yang pernah dirasakan oleh
Nabi Musa saat beliau mendengar panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa.
Sebagaimana Nabi Musa
lari ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun segera menuju ke rumahnya dalam
keadaan ketakutan.
Ia turun ke gunung dan
kembali ke rumahnya dan kembali ke isterinya.
Tubuhnya yang mulia
bergetar dengan keras dan beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah beliau kali ini
berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah beliau telah mengigau
sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah yang belum pernah
dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya karena beliau sangat benci
kepada perdukunan.
Beliau memasuki
rumahnya dengan keadaan gemetar.
Beliau berkata kepada
isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah aku!"
Kemudian isterinya
segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat yang berada di
keningnya.
Isterinya dikagetkan
dengan kepucatan wajah beliau yang mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya
kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?"
Kemudian Muhammad saw
menceritakan secara detail apa yang dialaminya.
Kemudian ia berkata:
"Sungguh aku khawatir terhadap diriku."
Khadijah mengetahui
bahwa ia sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira
yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang seharusnya tidak
dihadapi Nabi Muhammad SAW dengan kekhawatirkan dan kegelisahan.
Khadijah berkata dengan
maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi Allah, Allah SWT
tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah seorang yang
baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang berbicara dengan jujur, dan yang
menghormati tamu."
Meskipun
kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi
kegelisahan Rasul saw juga belum hilang.
Kemudian Khadijah pergi
bersama beliau ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah.
Waraqah adalah seorang
Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia cukup mengetahui
kitab-kitab Taurat dan Injil di mana matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah berkata
kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak saudaramu."
Waraqah berkata:
"Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?"
Rasulullah saw
menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna.
Waraqah berkata sambil
mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu adalah Namus (Jibril)
yang Allah SWT turunkan kepada Musa."
Sebagai seorang yang
mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di hadapan seorang Nabi
yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah keheningan
sesaat, Waraqah berkata:
"Seandainya aku
masih hidup ketika kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu."
Rasulullah saw
bertanya: "Mengapa aku harus diusir oleh mereka?'
Waraqah menjawab:
"Benar, tidak ada seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali
engkau akan mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat
itu niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya
Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah
memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim yang pertama.
Barangkali pembaca akan
bertanya: Apa hakikat dari Islam?
Apabila Muhammad saw
sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi dan kita
mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat
dikatakan mendahului mereka dalam keislaman dan menjadi orang Muslim yang
pertama?
Islam yang dibawa oleh
Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan Islam yang dibawa oleh Nabi
Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang lain, tetapi yang berbeda adalah
bentuknya, sedangkan esensinya tetap seperti semula, yakni berdasarkan tauhid.
Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan ajaran
yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi.
Islam tidak terbatas
atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua golongan.
Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk kabilah tertentu atau bangsa tertentu
atau bumi tertentu atau lingkungan tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia
untuk semua manusia.
Atau dengan kata lain,
ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia di mana saja mereka berada
tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran
Islam tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap
risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh karena
itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang bersifat temporal seringkali
mendukung risalah-risalah yang dahulu.
Ketika Islam datang
sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal manusia secara bebas, maka di
sana tidak ada alasan untuk membawa mukjizat yang mengagum-kan.
Hanya ada satu kata
yang dapat dijadikan pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu
kata "iqra"' (bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama
Allah SWT. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari
segumpal darah.
Coba Anda renungkan
permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian. Di sini tersembunyi mukjizat yang
hakiki jika Anda berusaha mencari mukjizat yang hakiki.
Bacalah, dan Tuhanmu
Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan rezeki serta rahmat dan
kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang tidak
diketahuinya.
Demikianlah esensi dari
Islam, yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan
ilmu.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu
(ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut kepada Allah SWT
tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan dengan bentuk
apa pun akan melahirkan rasa takut.
Oleh karena itu, dalam
pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya
perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka
berhasil menguasai bumi ketika mereka memahami Islam secara benar, tetapi
ketika pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang
paling buruk, bahkan lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi, ilmu dalam Islam
merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan alam wujud.
Kisah Nabi Adam dan
Hawa, sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an adalah bukan semata-mata kisah
kesalahan memakan pohon terlarang, tetapi ia juga kisah yang memiliki
dimensi-dimensi yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam.
Ketika Anda menyelami
kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari makna-makna
yang lebih penting.
Dialog internal yang
dialami oleh para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam untuk
memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta pengajaran yang
diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan bagaimana beliau
mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, serta ketidaktahuan
mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka
tentang apa yang diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahasia
pemilihan Nabi Adam dan para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini
menjadikan tujuan dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah
secara umum.
Pandangan tersebut
dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS.
adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana kita
memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama dari kaum Muslim dan
dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya dan para tentaranya
memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan pemahamam yang sederhana.
Kita mengetahui bahwa
kalimat "untuk menyembah-Ku " berarti ritualitas dalam beribadah dan
aspek-aspek lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat, salat, puasa,
haji, zakat dan lain-lain.
Sehingga orang-orang
yang salat diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di
rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di bawah pemikiran orang-orang Barat
dan membeli produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan ilmu dan
kecanggihan tehnologi orang-orang Barat.
Namun mereka sendiri
tidak menghasilkan apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada
kehidupan; mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak.
Sedangkan pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai
berikut:
"Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS.
adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas membacanya:
"Illa liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui).
Perhatikanlah bagaimana
pentingnya perbedaan antara praktek-praktek ibadah dengan bentuk-bentuknya dan
kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah
SWT.
Orang Muslim yang
pertama meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT
atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang pertama
sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia semuanya: satu tangan
berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain memegang pedang untuk
menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret manusia kepada kesesatan.
Kemudian jatuhlah dari
Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat memimpin kehidupan dan
mereka justru men-dapatkan kehinaan.
Allah SWT berfirman:
"Allah menyatakan
bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para
malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak
ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah kesaksian
kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah secara langsung
kesaksian kepada orang-orang yang berilmu.
Maka, adakah
penghormatan terhadap ilmu yang lebih besar daripada penghormatan ini?
Ilmu dalam Islam
berbeda dengan ilmu dalam peradaban Barat.
Memang benar bahwa
Islam yang bertanggung jawab terhadap tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode
eksperimental di mana berdasarkan metode ini tegaklah peradaban Barat yang
kemudian melahirkan berbagai produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode
eksperimental adalah metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang mengikuti
bagian-bagian terkecil (parsial) melalui jalan eksperimen yang dapat tunduk
terhadap eksperimen dan melalui jalan memperhatikan hal-hal yang tidak dapat
tunduk terhadap suatu eksperimen, atau melalui jalan matematis murni yang
membutuhkan kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk menyingkap
hukum-hukum yang menguasai benda.
Sistem ini bidangnya
adalah alam dan alatnya adalah panca indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan
oleh seorang Eropa yang bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat
berhutang kepada kaum Muslim dan peradaban Islam.
Seorang guru yang
bernama Bruicll dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan tentang
dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata:
"Roger Bikun
mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada
guru-gurunya yang berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan Fenessis
Bikun tidak dapat menisbatan keutamaan yang mereka peroleh dalam menciptakan
sistem eksperimental kepada diri mereka sendiri. Roger Bikun hanya seorang duta
dari duta-duta ilmu. Oleh karena itu, ia tidak malu ketika menyatakan bahwa
mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab adalah jalan satu-satunya untuk
mengetahui kebenaran."
Demikianlah pernyataan
pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa dijadikan sanggahan
terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar mereka mengetahui bahwa mereka
sebenarnya mengambil senjata yang sebenarnya berasal dari Islam.
Dan jika dikatakan
bahwa rahasia kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya atas Timur kembali
kepada pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental, yaitu metode
Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan kebingungannya serta kegelisahannya
adalah karena mereka tidak menghubungkan metode tersebut dengan kebesaran Allah
SWT sebagaimana semestinya.
Metode eksperimental
—sebagaimana diambil orang-orang Barat— dimulai dari alam dan berakhir
kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup pembahasan mereka adalah
berkisar kepada materi, dan alat-alat pembahasan adalah eksperimen dan
pengamatan serta istiqra.
Tiada setelah alam
kecuali kematian dan kematian adalah rahasia yang misterius dan melawannya
adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi setelah
kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun tentang ruh. Tidak ada hubungan
antara ilmu dan akhlak; tidak ada jawaban dari ilmu tentang tujuan kehidupan
ini.
Kita hanya mempelajari
aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya saja.
Demikianlah pandangan
Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar alat dan sarana untuk mengatur alam
dan berusaha menguasainya. Sedangkan metode ilmiah dalam Islam menyatakan bahwa
gerakan atom dengan gerakan sistem tata surya di bawah kendali Zat Yang Maha
Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta.
Ilmu dalam Islam justru
membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya
kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu justru
mengantarkan manusia untuk mencapai rasa takut kepada Allah SWT sebagaimana
membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu
(ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam datang dan
mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan takut kepada Allah SWT serta
hanya beribadah kepadanya.
Jika ilmu merupakan
sayap pertama di dalam Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan.
Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan ini
mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, baik tuhan
yang berupa kepentingan-kepentingan pribadi, kekayaan, raja, penguasa,
pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan para kakek dan nenek,
berhala-berhala yang terbuat dari batu dan kayu, maupun berbagai macam tuhan
lain yang bohong.
Adalah salah jika
seseorang membayangkan bahwa kalimat "tiada Tuhan selain Allah" hanya
sekadar hiasan mulut seorang Muslim di mana segala sesuatu yang ada di
sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak membenarkan apa yang dikatakannya.
Kalimat tersebut dalam
Islam merupakan per-gulatan besar bersama kegelapan yang ada pada diri manusia,
suatu pergulatan yang berakhir pada penyerahan diri; pergulatan yang akan
berpindah pada kehidupan yang lebih berat, sehingga kehidupan akan berserah
diri.
Dan mustahil pergulatan
itu akan terjadi kecuali jika terpenuhi suatu kebebasan: kebebasan akal untuk
meragukan dan menolak dan kebebasan yang berakhir kepada pencapaian
batas-batasnya dan kemampuannya serta kebebasan yang meninggi untuk mencapai
keimanan yang dalam dan kokoh.
Itu adalah tanggung
jawab yang berarti bahwa ia harus memikul senjata untuk membebaskan orang lain
sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri.
Demikianlah esensi dari
Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh
dari kebebasan, dan buah terakhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya yang
jauh.
Jika tauhid dipahami
secara benar, maka manusia akan terbebas dari penyembahan selain Allah SWT.
Mmanusia akan bebas
terhadap rasa takut dari kematian, kekhawatiran atas rezeki, manusia akan
terbebas dari sikap bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad bin Abdillah
datang untuk menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah dan bahwa
semua manusia adalah hamba-hamba-Nya.
Dengan membebaskan
manusia dari menyembah sesama mereka, maka kebebasan yang hakiki telah dimulai.
Rasulullah saw
memberitahu bahwa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah yang
lain. Ia bukan akhiran yang misteri dari kehidupan yang tidak dapat dipahami,
tetapi ia hanya sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan
menyelamatkan dari kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan
memanjangkan ajal.
Pada setiap ajal ada ketentuannya.
Maka keberanian merupakan unsur dari unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam
dan bagian dari bagian-bagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga
menyatakan bahwa rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada
suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.
" (QS. Hud: 6)
Jibril mewahyukan
kepada Rasul saw bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya sehingga
rezekinya disempurnakan.
Jika demikian halnya,
maka tidak ada alasan bagi manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan
gelisah terhadap hari esok.
Semua ini terjadi dalam
ruang lingkup mengambil atau melalui jalan-jalan menuju sebab. Yakni berusaha
untuk mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang Muslim dan percaya
terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu kewajiban bagi orang
Muslim untuk mempercayainya.
Allah SWT berfirman:
"Dan di langit
terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan
kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah SWT telah
menjamin rezeki di dunia dan memerintahkan manusia untuk berusaha mencapai
rezeki di akhirat.
Rezeki di dunia adalah
sesuatu yang sudah dijamin, sehingga manusia tidak perlu melakukan usaha yang terlalu
sengit untuk mencapainya.
Cukup baginya untuk
berusaha secara benar dan seimbang.
Sedangkan berkenaan
dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerintahkan manusia untuk berusaha
mencapainya karena ia adalah rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya kecuali
jika manusia berhasil melampaui dua jihad : jihad yang besar dan jihad yang
kecil.
Jihad besar adalah
jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad melawan musuh di medan
perang.
Dengan terbebasnya
seorang Muslim dari kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa takut, maka Islam
memberi seorang Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia memerintahkannya
untuk mulai memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di muka bumi.
Allah SWT berfirman
tentang umat Islam:
"Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran:
110)
Perhatikanlah,
bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum keimanan
kepada Allah SWT.
Ini dimaksudkan agar
akal manusia tergugah akan pentingnya jihad di jalan Allah SWT.
Amal makruf dan nahi
mungkar tidak terwujud semata-mata dengan memegang tongkat dan mencambukannya
kepada punggung orang-orang Islam yang tidak salat; ia juga tidak berupa usaha
untuk menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah itu lebih penting
dan lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah,
sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah tidak diperhatikan.
Ayat tersebut berarti,
hendaklah seorang Muslim membawa senjata dan berdakwah di jalan Allah SWT serta
memerangi orang-orang lalim di muka bumi.
Abu Bakar berkata:
"Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut ini:"
"Hai orang-orang
yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk," (QS. al-Maidah:
105)
Dan aku mendengar
Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya
ketika masyarakat melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya,
maka Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran Abu Bakar
terhadap ayat tersebut sangat jelas artinya. Yakni bahwa pelaksanaan ayat
tersebut dapat diwujudkan dengan adanya jihad di jalan Allah SWT dengan
mengangkat senjata sebagai usaha untuk menghentikan orang-orang yang lalim.
Setelah itu, seorang
Muslim dapat mengatakan: "Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan
berdampak kepadaku orang yang sesat setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah pemahaman
orang-orang Islam yang pertama.
Maka bandingkanlah
pemahaman tersebut dengan pemahaman kita saat ini di mana kita telah kehilangan
keberanian, dan rasa takut telah menghinggapi tubuh orang-orang Islam. Kaum
Muslim lebih mengutamakan keselamatan diri mereka daripada memerangi
orang-orang yang lalim.
Muhammad bin Abdillah
datang dengan membawa risalah Islam yang di dalamnya terdapat perintah Ilahi
untuk memerangi orang-orang yang lalim dan mempertahankan kehormatan
orang-orang yang tertindas di muka bumi.
Allah SWT berfirman:
"Karena itu,
hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat
berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur
atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang
besar. Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang
yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa:
'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.
" (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin Abdillah
membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan dengan makna
kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah?, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah ayat tersebut
dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. Betapa tidak, Dia
membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka, padahal jiwa tersebut dan
harta tersebut pada hakikatnya adalah milik-Nya sendiri.
Lihatlah bagaimana
kemuliaan Allah SWT di mana Dia membeli harta milik-Nya yang khusus dengan
surga dan bagaimana Allah SWT menganjurkan orang-orang Islam untuk berperang,
dan Dia memberitahu mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim dan
orang-orang yang tersesat bukanlah hal yang baru atas orang-orang Islam.
Allah SWT telah
memerintahkan hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa diutus
dengan pedang, seperti yang disebutkan dalam lembaran-lembaran atau buku-buku
orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan membawa pedang.
Dan ketika Bani Israil
berkata kepada Nabi Musa, "pergilah engkau bersama Tuhanmu dan
berperanglah, dan kami hanya di sini duduk-duduk saja,", maka kehendak
Ilahi menetapkan agar mereka mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun
sebagai akibat dari perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan hina itu
hancur yang mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka
membiarkan Nabi Musa bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu
merupakan tanggung jawab mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban sebagai
pengikut Nabi Musa.
Demikianlah esensi dari
ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin Abdillah. Yakni ajakan
untuk membaca dan menggali ilmu serta mendapatkan kebebasan dan yang terpenting
adalah usaha melawan kekuatan-kekuatan lalim.
Suatu ajakan yang
universal yang tidak dikhususkan untuk kalangan tertentu atau untuk warna kulit
tertentu atau untuk kaum tertentu atau untuk tempat tertentu; suatu ajakan
kemanusiaan yang komprehensif yang universal yang ingin mengikat ilmu dan
kebebasan dan jihad dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu mencapai tauhid
kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta keimanan terhadap hari kemudian dan
kebangkitan manusia semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah salah jika ada
orang yang menganggap bahwa Islam hanya memperhatikan aspek akhirat dan
melupakan aspek duniawi.
Menurut Islam dunia
adalah lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi di hari akhir. Ia adalah ujian
dan tempat percobaan bagi manusia agar manusia mengetahui apakah ia layak untuk
mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT yang telah diberikan kepada Adam.
Atau apakah ia justru
layak untuk jadi bagian dari tanah neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman
Allah SWT:
"Yang bahan
bakarnya manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah
menjelaskan hikmah dari penciptaan manusia, penciptaan kehidupan dan kematian
ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan
mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia adalah rumah
pergulatan. Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian agar manusia
menyadari siapa di antara mereka yang terbaik amalnya.
Tentu pengetahuan ini
tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu justru dibutuhkan oleh
manusia.
Allah SWT menciptakan
manusia agar menusia mengetahui, dan pengetahuan yang paling penting adalah
pengetahuan atau pengenalan terhadap diri.
Dan pada hari kiamat
manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan mengenal balasan yang
akan diterimanya secara sempurna.
Dan barangkali
mukadimah yang kami sarikan dari hari akhir ini mengharuskan kehidupan di atas
bumi dipenuhi dengan kesucian dan kebersihan, yaitu diliputi dengan kemanusiaan
yang sempurna yang di dalamnya manusia layak untuk hidup.
Demikianlah Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Inilah asasnya dan
hakikatnya. Itu adalah pondasi dan hakikat yang tidak diciptakan oleh Nabi
Muhammad SAW dan tak didahului oleh rasul-rasul sebelumnya.
Hakikat risalah-risalah
yang dulu semuanya adalah tauhid dan mempertahankan kebenaran serta keimanan
terhadap hari akhir dan menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah
SWT.
Yang baru dalam Islam
adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta warna keadilan yang
sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan bahwa karakter dari Islam
adalah keadilan. Barangkali bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun agama-agama samawi
pada esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya lebih dari agama
dan lebih dari satu nabi.
Kehendak tersebut
menuntut agar pada setiap agama terdapat karakter yang khusus yang
menggambarkan bentuk yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan utama yang di
situ agama itu diturunkan dan sesuai dengan waktu saat itu.
Orang-orang Yahudi
misalnya, mereka hidup di tengah-tengah suasana penyembahan berhala dikalangan
orang-orang Mesir kuno. Yahudisme diturunkan pada Bani Israil yang suka
membangkang dan karena itu, karakter utamanya adalah ketegasan (as-Sharamah)
agar mereka tidak terpengaruh dengan fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka
terkena pengaruh dari tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah
agama Yahudi selamat dan dapat menjadi risalah penyelamatan dan pembebasan.
Namun Bani Israil yang
memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras pada saat yang sama mereka
keluar dari Fir'aun untuk masuk ke cengkraman orang-orang Romawi di mana
orang-orang Romawi justru lebih lalim dan lebih kuat dari orang-orang Mesir.
Oleh karena itu,
orang-orang Masehi bertanggung jawab untuk melakukan pembebasan baru tetapi
dengan cara yang berbeda sesuai dengan perubahan keadaan.
Cara tersebut adalah
menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata karena kekuatan orang-orang Romawi
mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai bumi secara keseluruhan.
Maka kemenangan yang
mungkin dapat diperoleh adalah dengan cara menghindari tindak kekerasan dan
lebih mengutamakan pendekatan cinta. Dan pada kali yang lain orang-orang Masehi
memperoleh kemenangan melalui cara kedamaian dan cinta yang disebarkannya atas
imperialisme Romawi dengan segala senjatanya dan kekuasaannya.
Adapun Islam datang
sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh yang layak untuk diterapkan di muka
bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya
kepada orang-orang yang berhak mewarisinya.
Oleh karena itu, agama
yang terakhir ini harus mempunyai karakter khusus dan karakter itu adalah
karakter keadilan.
Ketegasan hanya cocok
untuk zaman tertentu dan kelompok tertentu dan keadaan tertentu, sedangkan
cinta adalah contoh yang tertinggi, tetapi ia tidak dapat menjadi sesuatu tolok
ukur untuk dibandingkan dengan tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan
alat untuk melakukan sesuatu.
Dan jika ia menjadi
tolok ukur bagi orang-orang yang memiliki perasaan yang tinggi atau budaya yang
tinggi, maka ia tidak dijadikan tolok ukur umum dan universal.
Adapun keadilan, maka
ia menjadi karakter Islam yang berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan
dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Ini adalah tolok ukur
yang menyeluruh dan barometer yang akhir.
Dan barangkali
kebesaran keadilan dan pengaruhnya dalam pengaturan alam bersandarkan kepada
firman Allah SWT:
"Allah menyatakan
bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para
malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian
itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila Allah SWT dalam
Islam merupakan cermin yang tertinggi, maka keadilan yang disaksikan oleh Allah
SWT terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi karakter Islam dan kaum Muslim.
Keadilan dalam Islam bukan hanya keadilan ekonomi atau keadilan hukum atau
keadilan dalam balasan, tetapi ia mencakup semuanya. Sebelum semua ini dan
sesudahnya, keadilan dalam Islam merupakan suatu sistem dalam kehidupan dan
metode utama dalam Islam.
Ketika Anda memalingkan
pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan menemukan keadilan menghiasi seluruh
wajah Islam. Di sana terdapat keadilan antara agama-agama yang dulu, keadilan
antara individu dan masyarakat, keadilan antara dunia dan agama, keadilan
antara pria dan wanita, keadilan untuk orang-orang yang fakir dan orang-orang
yang kaya, keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan dengan keadilan itu
sendiri bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut diri-Nya sebagai
al-'Adl (Yang Maha Adil).
Selanjutnya, Islam
adalah agama yang sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi.
Nabi Nuh as berkata
dalam surah Yunus:
"Jika kamu
berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun darimu.
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku disuruh supaya aku
termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepadanya)." (QS. Yunus:
72)
Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail as berkata dalam surah al-Baqarah saat keduanya membangun Ka'bah:
"Ya Tuhan kami,
terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk
patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat
ibadat haji hami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Menerima taubat lagi Maha Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi Ibrahim tidak lupa
untuk berwasiat kepada keturunannya dan di antara mereka adalah Yakub agar
mereka mati dalam keadaan Islam.
Allah SWT berfirman:
"Dan Ibrahim telah
mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya, Demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata):
'Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.'" (QS. al-Baqarah:
132)
Ketika kematian
mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan bertanya
kepada mereka:
"Apa yang kamu
sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan
nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami
hanya tunduk patuh kepadanya.'" (QS. al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu
kita dalam surah Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai kaumku, jika
kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu
benar-benar orang yang berserah diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara itu, Nabi
Sulaiman adalah seorang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat yang menceritakan
tentang kisahnya bersama Ratu Saba' ketika Ratu tersebut berkata:
"Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (QS. an-Naml: 44)
Demikian juga Nabi
Yusuf, beliau berdoa kepada Allah SWT dan meminta kepadanya agar mematikannya
sebagai orang Muslim dan memasukannya dalam kelompok orang-orang yang saleh.
Allah SWT berfirman dan
bercerita tentang Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya Tuhanku,
sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagaian kerajaan dan telah
mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan
bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam
keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh."
(QS.Yusuf: 101)
Sementara itu dalam
surah al-Maidah, Allah SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin agar mereka beriman
kepadanya dan kepada rasul-Nya lalu mereka berkata:
"Kami telah
beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi, Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa,Nabi Harun, Nabi Sulaiman, Nabi
Yusuf, Nabi Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat
tersebut.
Maka seluruh nabi
adalah orang-orang Muslim, lalu bagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang
terakhir dikatakan sebagai orang Muslim yang pertama?
Allah SWT berfirman
dalam surah al-An'am yang ditujukan kepada Nabi yang terakhir:
"Katakanlah:
'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Maka, bagaimana beliau
menjadi orang Muslim yang pertama, padahal penamaan umat beliau dengan sebutan
al-Muslimin adalah penamaan yang sebenarnya sudah dahulu dikenal di kalangan
nabi-nabi yang terdahulu dan kedatangannya ke alam wujud dan penamaan agamanya
dengan sebutan al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya yang jauh, yaitu
Nabi Ibrahim.
Allah SWT berfirman
dalam surah al-Hajj:
"Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian
orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak ada pertentangan
dalam pendahuluan para nabi dengan sebutan al-Muslimin daripada Rasulullah saw
dan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang pertama.
Tentu kata al-Awwal
(yang pertama) di sini tidak dipahami dari sisi waktu atau masa kemunculan,
tetapi yang dimaksud dengan orang Muslim di sini adalah akmalul muslimin (orang
yang paling sempurna di antara orang-orang Muslim).
Suatu kali Aisyah
pernah ditanya tentang akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan
kalimatnya yang singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an."
Kita mengetahui bahwa
Al-Qur'an al-Karim menetapkan akhlak yang mulia meskipun dalam batasannya yang
sederhana dan rendah, dan menyebutkan keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang
tinggi. Oleh karena itu, akhlak seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw:
apakah beliau memiliki akhlak yang sifatnya tengah-tengah, atau apakah beliau
mendahului dalam kebaikan, atau apakah beliau termasuk ashabul yamin
(orang-orang yang berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau termasuk
al-Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak
hanya memiliki semua karakter tersebut dan atribut tersebut, bahkan kedudukan
beliau lebih dari itu semua.
Beliau berada di puncak
dari segala puncak keutamaan akhlak, sehingga beliau berhak untuk mendapatkan
sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada
dirimu terdapat budi pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para Mufasir berbeda
pendapat tentang makna dari al-Huluqul 'adzim (budi pekerti yang agung).
Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur'an. Sebagian yang
lain mengatakan itu adalah Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau tidak
memiliki sesuatu kecuali keinginan untuk menuju jalan Allah SWT.
Dalam Al-Qur'an
al-Karim terdapat penjelasan tentang derajat beliau yang tinggi dalam dua ayat
yang mulia.
Ayat yang pertama
adalah firman-Nya:
"Katakanlah:
'Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Beliau adalah orang
yang paling utama di antara manusia semuanya; beliau memiliki keutamaan yang
melebihi semua manusia; beliau memiliki rahmat dan kemuliaan yang tidak dapat
ditandingi oleh seseorang pun.
Meskipun beliau datang
sebagai Nabi yang terakhir namun justru karena posisi beliau sebagai Nabi yang
terakhir, maka beliau menjadi bata yang terakhir dalam pembangunan rumah
kenabian yang tinggi, sehingga bata yang terakhir itu harus menjadi puncak
pembangunan manusia.
Sedangkan ayat yang
kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak
mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta." (QS. al-Anbiya':
107)
Beliau bukan hanya
menjadi rahmat bagi orang-orang Arab saja; beliau bukan hanya menjadi rahmat
bagi orang-orang Quraisy dan beliau bukan menjadi rahmat bagi zamannya saja,
begitu juga beliau tidak menjadi rahmat bagi jazirah Arab saja, tetapi beliau
menjadi rahmat bagi alam semesta; beliau senantiasa menjadi rahmat bagi alam
semesta: dimulai dari diturunkannya wahyu kepadanya dengan kalimat iqra hingga
Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang
yang berhak mewarisinya sampai hari kiamat.
Alhasil, beliau adalah
rahmat yang dihadiahkan kepada manusia; beliau adalah rahmat yang tidak
menonjolkan mukjizat yang mengagumkan, tetapi beliau adalah rahmat yang memulai
dakwah dengan mengutamakan fungsi akal atau pembacaan dua kitab: pertama,
pembacaan kitab alam atau Al-Qur'an yang diciptakan atau kalimat-kalimat Allah
SWT yang terdiri dari jutaan bentuk dan kedua pembacaan Al-Qur'an yang
diturunkan melalui malaikat Jibril di mana ia merupakan kalamullah yang abadi.
Dan kitab alam dibaca
dengan ribuan cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah:
'Berjalanlah kamu di muka bumi dan amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau dibaca melalui
usaha menyingkap misteri dan penggunaan akal:
"Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru
dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu
adalah benar. " (QS. Fushilat: 53)
Atau dibaca melalui
ilmu dan pengamatan:
"Atau siapakah
yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang telah menjadikan
sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk
(mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di
samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka
tidak mengetahui." (QS. an-Naml: 61)
Jika di sana terdapat
ribuan jalan atau cara untuk membaca kalimat-kalimat Allah SWT dan kitab alam,
maka di sana terdapat satu jalan untuk membaca kalamullah yang abadi, yaitu
hendaklah Al-Qur'an dibaca dengan mata hati dan kecermelangan basirah, sehingga
Al-Qur'an menjadi bagian akhlak dari yang membaca sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum turunnya
Al-Qur'an, dunia diliputi dengan kekurangan, baik secara materi, ruhani,
undang-undang maupun dari dimensi kehidupan yang biasa melekat pada manusia
saat itu. Dan sebelum diutusnya Rasul saw yang beliau adalah manusia yang
sempurna dan paling utama, alam belum mencapai puncak dari penyerahan diri
kepada Allah SWT atau puncak dari keutamaan akhlak.
Ketika Rasulullah saw
diutus, maka manusia mengalami kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat
kesempurnaannya.
Dengan Kitab yang mulia
ini dan Nabi yang pengasih, Allah SWT yang menyempurnakan agama bagi manusia
dan menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini
telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. " (QS.
al-Maidah: 3)
Namun semua itu tidak
terwujud begitu saja, Nabi yang mulia harus berjuang secara serius dan
sungguh-sungguh, sehingga beliau menjadi manusia yang paling layak untuk
mendapatkan pujian pendduduk bumi dan penduduk langit. Dan Rasulullah saw telah
melakukan semua itu.
Kita tidak mengenal
seorang nabi yang perasaannya dihina dan dicaci maki lebih dari apa diterima
oleh Muhammad bin Abdillah; kita tidak mengenal seorang nabi yang memikul
berbagai penderitaan, dan memiliki kesabaran yang mengagumkan di jalan Allah
SWT sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi kita.
Kemudian, seorang yang
diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta tidak akan mengajak
manusia menuju kebenaran kecuali jika manusia tersebut dari kalangan
orang-orang yang kafir dan membangkang.
Beliau berdakwah bagi
orang yang berhak mendapatkan dakwah; beliau siap memikul tanggung jawab dakwah
dengan berbagai tantangan dan cobaannya; beliau menunjukkan kesabaran yang luar
biasa.
Setelah itu, beliau
datang kepada Allah SWT dengan hati yang puas dan air mata yang bercucuran dan
dengan suara berbisik berkata: "Ya Allah, jika tidak ada kemurkaan pada
diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan manusia." Segala sesuatu akan
menjadi mudah jika di sana terdapat ridha Allah SWT.
Setelah turunnya wahyu
kepada Rasul saw, beliau memulai tahapan dakwah dan mengajak manusia untuk
menyembah Allah SWT. Dimulailah dakwah secara rahasia yang berlangsung selama
tiga tahun dalam persembunyian.
Mula-mula Ummul
Mu'minin, Khadijah binti Khuwailid beriman kepadanya, lalu beriman juga sahabatnya,
Abu Bakar sebagaimana beriman kepadanya anak pamannya, Ali bin Abi Thalib yang
saat itu masih kecil dan hidup di bawah asuhan Muhammad, dan juga beriman
kepadanya Zaid bin Tsabit, seorang pembantunya.
Kemudian Abu Bakar juga
ikut berdakwah, sehingga ia memasukkan dalam dakwah teman-temannya, seperti
Usman bin Affan, Thalha bin Ubaidilah, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Juga beriman
seorang Masehi, yaitu Waraqah bin Nofel dan Rasulullah saw melihatnya setelah
kematiannya tanda kesenangan yang itu menunjukkan ketinggian derajatnya di sisi
Allah SWT.
Setelah itu, Abu Dzar
al-Ghifari juga masuk Islam, lalu disusul oleh Zubair bin Awam dan Umar bin
'Anbasah serta Sa'id bin 'Ash.
Jadi, Islam mulai
mengepakkan sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian berita
tersebarnya akidah yang baru ini sampai kepada pembesar-pembesar Quraisy,
tetapi mereka tidak begitu peduli.
Barangkali mereka
membayangkan bahwa Muhammad telah menjadi —karena uzlah yang dilakukannya di
gua Hira— salah seorang juru bicara tentang ketuhanan sebagaimana pernah
dilakukan oleh Umayah bin Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah dakwah
secara rahasia berhasil mengembangkan misinya dan dapat melindungi akidah yang
baru. Dan selama perjalanan tiga tahun yang dibutuhkan tahapan dakwah secara
rahasia keimanan telah tertanam dalam hati kaum Muslim yang pertama.
Rasulullah saw telah
mendidik mereka dan telah menanamkan kepada diri mereka sifat-sifat kemuliaan
dan telah menciptakan mereka sebagai benih pertama dari pasukan Islam.
Pada suatu hari Jibril
turun dengan membawa firman Allah SWT:
"Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. asy-Syu'ara':
214)
Demikianlah, datanglah
perintah Ilahi agar Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan.
Lalu berkumpullah di
sekeliling Nabi sekelompok tentara yang besar dan datanglah perintah Ilahi agar
beliau menyampaikan dakwah secara terang-terangan dan mengingatkan keluarga
dekatnya.
Ketika Nabi melakukan
hal tersebut, maka dakwah memasuki tahapan yang kedua. Dan tahapan dakwah yang
baru ini berakibat pada timbulnya penekanan terhadap para dai di mana mereka
mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan oleh masyarakat serta diboikot.
Orang-orang Quraisy
mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW berbahaya bagi mereka.
Beliau bukan hanya
berbicara tentang ketuhanan, tetapi beliau mengajak manusia untuk mengikuti
agama baru, yaitu agama yang mencoba untuk menyingkirkan berhala-berhala dan
patung-patung mereka serta tuhan-tuhan mereka yang mereka yakini; agama yang
mencoba menyingkirkan kedudukan sosial mereka dan kepentingan-kepentingan
ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahwa tiada tuhan lain selain Allah SWT,
dan tiada hukum lain selain hukum-Nya, serta tiada penguasa lain selain Dia.
Kedatangan agama
tersebut menyebabkan penduduk kota Mekah membencinya dan orang-orang yang
memegang kekuasaan di dalamnya merasa gelisah.
Setelah pengumuman
dakwah secara terang-terangan, dimulailah dan ditabuhlah gendrang peperangan.
Kemudian peperangan
yang dahsyat terjadi antara para pembesar Quraisy dan para pengikut Rasulullah
saw.
Orang yang pertama kali
menyerang Islam adalah seorang tokoh Mekah yang bernama Abu Lahab.
Bukhari meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw menaiki bukit Shafa dan beliau mulai memanggil-manggil
tokoh Quraisy dan para kabilah Mekah.
Dan ketika semua
berkumpul, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah kalian percaya jika aku
memberitahu kalian bahwa seekor kuda akan datang menyerang kalian?"
Mereka menjawab:
"Tentu, kami belum pernah melihatmu berbohong."
Beliau berkata:
"Aku seorang yang diutus sebagai pemberi peringatan terhadap kalian. Di
hadapanku terdapat siksaan yang berat jika kalian menentang."
Abu Lahab berkata:
"Sungguh celaka engkau, apakah karena ini engkau mengumpulkan kami."
Dengan penghinaan
inilah, peperangan terhadap Islam dimulai. Ketika kaum Muslim tidak mampu
mempertahankan diri mereka, maka mula-mula Allah SWT membantu mereka dan
menolong mereka dengan menurunkan surah yang pendek yang mengecam tindakan Abu
Lahab:
"Binasalah kedua
tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah bermanfaat
kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahahan. Kelak dia akan masuk ke
dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar.
Yang di lehernya ada tali dari sabut. " (QS. Allahab: 1-5)
Dengan ayat-ayat yang
pendek dan tepat tersebut, Abu Lahab memasuki kancah sejarah dari pintunya yang
paling pendek.
Gambaran tentang
kejahatan Abu Lahab tertulis selama-lamanya. Abu Lahab adalah seorang yang
menentang dakwah kebenaran karena ia mengkhawatirkan kedudukannya dan
kekayaannya, padahal harta yang dipertahankannya dan dijaganya tidak memiliki
arti sama sekali di sisi Allah SWT karena ia sekarang berada dan dijebloskan di
tengah-tengah neraka yang menyala-nyala, sedangkan isterinya membawa kayu
bakar, sehingga menambah nyala api itu sendiri. Dan di lehernya terdapat suatu
belenggu sebagai simbol keterikatannya dengan dunia binatang yang tidak
berakal.
Sebagian besar
orang-orang yang menentang dakwah adalah orang-orang yang berhubungan dengan
dunia binatang yang tidak sadar.
Allah SWT berfirman:
"Atau apakah kamu
mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak
lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya
(dari binatang ternak itu). " (QS. al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini
kita merenungkan reaksi orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, maka kita
akan terheran-heran.
Allah SWT berfirman:
"Dan mereka heran
karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan
mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah seorang ahli sihir yang
banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja?
Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan'." (QS.
Shad: 4-5)
Coba perhatikan
bagaimana kebodohan kaum itu di mana mereka menganggap bahwa pada hakikatnya
terdapat multi tuhan dan mereka jutru merasa heran ketika terdapat hanya satu
tuhan atau tuhan yang esa. Mereka justru merasa heran ketika berhadapan dengan
masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila
mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan
(dengan mengatakan): 'Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai rasul?
Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita,
seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya. " (QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah betapa
nekatnya kaum itu di mana mereka mulai menghina dan mengejek Rasulullah saw,
padahal beliau telah datang di tengah-tengah mereka untuk menyelamatkan mereka
dari api neraka, dan coba perhatikan bagaimana pandangan mereka terhadap
tuhan-tuhan mereka. Mereka membayangkan bahwa mereka nyaris tersesat jika
mereka tidak bersabar dalam membela tuhan-tuhan tersebut.
Demikianlah kesesatan
mengejek kebenaran dan kebodohan menghina ilmu.
Mereka justru merasa
heran terhadap kepandaiannya yang dapat menyelamatkannya dari meninggalkan
tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu dan kayu, bahkan terkadang mereka membuat
tuhan dari adonan roti di mana mereka menyembahnya kemudian memakannya. Mereka
mengatakan bahwa tuhan-tuhan kami menyelamatkan kami dari rasa lapar atau
mereka mengatakan bahwa kami menyembah mereka agar mereka dapat mendekatkan
kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun demikian,
dakwah Nabi terus berlanjut dan tertanam di muka bumi. Mereka orang-orang
musyrik menuduh Nabi sebagai seorang dukun; mereka menuduhnya juga sebagai
seorang gila, bahkan mereka menuduhnya sebagai seorang penyihir; mereka menuduh
bahwa beliau berbohong atas nama kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum yang
lain; mereka mengatakan ini adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Mereka meminta kepada
beliau untuk mendatangkan mukjizat dengan bentuk tertentu; mereka memberitahu
bahwa mereka tidak akan beriman kepadanya, sehingga terdapat suatu mata air
yang memancar dari bumi atau terwujud di depan mereka suatu taman dari pohon
kurma dan anggur yang memancar di tengah-tengahnya sungai, atau langit akan runtuh
sebagaimana yang beliau sampaikan kepada mereka sebagai bentuk azab atau beliau
datang dengan Allah SWT dan para malaikat dan mereka semua menjamin kebenaran
dakwah yang diserukannya, atau beliau memiliki rumah dari emas atau beliau
mampu mendaki langit dan mereka masih belum beriman terhadap pendakian itu
meskipun ia mendaki di hadapan mata mereka dan kembali dengan selamat, kecuali
jika ia menghadirkan kitab kepada mereka yang dapat mereka baca dari langit.
Nabi tidak peduli
dengan usaha mereka untuk menyakiti hati beliau; Nabi tetap memberitahu mereka
dengan penuh kelembutan bahwa apa saja yang mereka minta itu tidak sesuai
dengan Islam.
Sebab, Islam hanya
menyeru akal dan berusaha menciptakan kebebasan. Beliau menyampaikan kepada
mereka bahwa beliau hanya sekadar manusia yang diutus oleh Tuhan; beliau datang
kepada mereka untuk mengingatkan mereka akan suatu hari di mana seorang tua
tidak akan menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat di dalamnya harta dan
anak-anak, dan mereka tidak akan selamat di dalamnya dari siksaan.
Orang-orang yang
mempunyai kedudukan atau para tokoh mereka adalah para tiran-tiran di muka bumi
di mana semua itu tidak akan bermanfaat bagi mereka pada hari kiamat. Siksaan
yang bakal mereka terima tidak dapat mereka hindari dan mereka pun tidak dapat
meringankannya.
Demikianlah Islam
—sebagaimana agama-agama sebelumnya— mengumpulkan di sekelilingnya orang-orang
yang berakal dan orang-orang yang fakir serta orang-orang yang menderita di
muka bumi.
Berimanlah sekelompok
orang-orang fakir di mana mereka menjadi kelompok sosial yang tertindas dan
tersingkirkan di Mekah. Mereka menjadi makanan empuk kelompok-kelompok yang
lalim.
Islam bukan hanya
memberikan solusi ekonomi terhadap tragedi kehidupan atau masyarakat, tetapi
Islam memberikan solusi Ilahi terhadap keberadaan manusia secara umum; Islam
meyakini bahwa manusia bukan hanya sekadar perut yang harus dikenyangkan dan
naluri seksual yang harus dipuaskan, manusia bukan hanya dilihat dan dinilai dari
sisi ini, namun Islam justru meletakkan manusia pada tempatnya yang hakiki,
tanpa membesar-besarkan atau mengecilkannya.
Dalam pandangan Islam,
manusia terdiri dari bangunan fisik dan ruhani, terdiri dari akal dan ambisi
dan terdiri dari celupan dari Allah SWT dalam ruhnya.
Islam tidak
mementingkan fisik saja dan meninggalkan ruhani, begitu juga sebaliknya.
Terkadang fisik boleh jadi mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan, tetapi
ruhani justru mengalami penderitaan yang luar biasa.
Karena itu, pemuasan
salah satu dimensi dari dimensi manusia tidak akan membawa manusia kepada
kesempurnaan atau kebahagiaan. Maka, Islam datang untuk membawa suatu solusi
yang dapat menyelamatkan manusia dari dalam dirinya sendiri dan Islam
membebankan tugas ini, yakni tugas perubahan ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an menjadi
cermin dalam kehidupan di mana ayat-ayatnya diturunkan kepada Rasul saw, lalu
beliau mengajarkannya kepada kaum Muslim. Kemudian Al-Qur'an berubah menjadi
orang-orang yang berjalan di pasar-pasar dan mengancam singgasana kebencian
yang menguasai Mekah, sehingga orang-orang musyrik justru meningkatkan usaha
pengejekan dan penghinaan terhadap Rasul saw.
Oleh karena itu, beliau
semakin sedih lalu Allah SWT menghiburnya.
Allah SWT memberitahu
beliau bahwa mereka tidak mendustakannya, tetapi mereka justru melalimi diri
mereka sendiri. Mereka mulai menentang Nabi dan ayat-ayat Allah SWT, padahal
Nabi adalah salah satu dari ayat Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami
mengetahui bahwasannya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu,
(janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang lalim itu mengingkari ayat-ayat Allah."
(QS. al-An'am: 33)
Kemudian kaum musyrik
meningkatkan penindasan kepada Rasul saw dan para pengikutnya.
Peperangan dimulai:
dari peperangan urat saraf sampai peperangan fisik. Mereka mulai menyiksa para
pengikut Rasul saw, bahkan membunuhnya.
Pada saat itu,
musuh-musuh Islam membayangkan bahwa dengan cara menindas kaum Muslim dan
menekan mereka maka dakwah Islam akan berhenti dan kaum Muslin akan enggan
untuk berdakwah. Mereka menganggap bahwa kaum Muslim justru memilih untuk
menyelamatkan diri mereka.
Namun para tokoh-tokoh
Quraisy dan para tokoh-tokoh Mekah dikagetkan ketika melihat penekanan yang
mereka lakukan justru semakin membakar semangat kaum Muslim untuk berdakwah.
Saat itu kaum Muslim
merasa yakin bahwa benih yang telah ditanam Rasulullah saw dalam diri mereka
menjadikan mereka tetap bersemangat untuk menyebarkan risalah Allah SWT di muka
bumi, yaitu suatu risalah yang mengembalikan bumi menuju kematangan
(kesempurnaan) yang telah hilang darinya dan kemanusiaan yang telah
disia-siakan serta kehormatan yang telah ditumpahkan dan kebebasan yang telah
hilang.
Kaum Muslim yakin bahwa
mereka bukan hanya membangun suatu negeri yang kecil di Mekah, dan mereka bukan
hanya memperbaiki masyarakat yang rusak, yaitu masyarakat jazirah Arab, tetapi
mereka mengetahui bahwa mereka akan membangun suatu manusia yang baru. Mereka
akan menciptakan manusia seutuhnya; mereka akan menghadirkan dunia dalam bentuk
yang baru dan dalam gambar yang baru yang merupakan cermin dari gambar
kebesaran sang Pencipta.
Sebelum kedatangan
Islam, orang-orang Arab tidak dikenal. Dibandingkan dengan peradaban yang
dahulu dan modern, orang-orang Arab tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak
memberikan kontribusi kepada dunia dalam bentuk ilmu, seni, atau peninggalan
apa pun yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan.
Namun ketika Islam
turun kepada mereka, mereka menjadi cermin kejayaan manusia di mana mereka
dapat memberikan sumbangan nyata pada umat manusia.
Bahkan orang-orang
Barat banyak berhutang kepada mereka dalam kemajuan yang mereka capai saat ini.
Sebaliknya, ketika
mereka berpaling dari Islam di mana Islam hanya menjadi lembaran cerita-cerita
dan kertas-kertas yang tidak berguna, maka saat itulah orang-orang Barat dapat
menguasai kaum Muslim karena mereka justru mendapatkan ilmu dari Kaum Muslim
itu sendiri. Mereka justru mencapai kemajuan ketika kaum Muslim meninggalkan
agama mereka.
Jadi, ketika kaum
Muslim memahami Islam secara benar dan berusaha untuk memnghidupkan
ajaran-ajarannya niscaya mereka akan mencapai puncak keilmuan.
Pada awal-awal masa
tersebarnya Islam, kaum Muslim menyadari bahwa mereka menghadapi peperangan
yang tidak akan berhenti. Selama kehidupan ada, maka pertentangan pun tetap
ada.
Oleh karena itu, ketika
mereka mendapatkan penganiayaan dan siksaan, maka keimanan mereka justru
semakin meningkat, dan setiap penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Quraisy,
maka mereka tetap bertahan untuk mempertahankan kebenaran.
Sebagai contoh, Amar
bin Yasir mengalami penderitaan dan penganiayaan.
Ia adalah salah seorang
budak yang menjadi korban dari sistem ekonomi yang berlaku saat itu, yaitu
ekonomi yang berdasarkan kepada sistem perbudakan. Seorang yang beriman
tersebut disiksa di Mekah di mana ia tidak memperoleh kebebasannya yang hakiki
kecuali setelah ia memeluk Islam.
Mereka mengeluarkannya
ke gurun dan menyiksanya beserta ibunya. Bahkan siksaan semakin meningkat atas
ibunya agar ia kembali menjadi musyrik.
Ketika ia tetap
mempertahankan keimanannya dan dengan tegas menolak ajakan untuk menentang
Islam, maka Abu Jahal menikamnya dengan belati yang ada di dua tangannya. Ia
pun meninggal. Dan Islam mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia itu
bernama Sumayah, ibu dari Amar bin Yasir.
Banyak kalangan
orang-orang bodoh mengatakan tentang persetujuan Islam terhadap sistem
perbudakan, atau Islam mendiamkan sistem perbudakan.
Mereka lupa bahwa Islam
dibangun berdasarkan suatu prinsip yang ingin membebaskan perbudakan dengan
segala bentuknya; Islam ingin mengeluarkan manusia dari kepemilikan sesama
manusia menuju kepemilikan kepada Allah SWT.
Jika Islam tidak turun
dengan nas-nas yang terperinci yang mengharamkan sistem perbudakan, maka
dasar-dasarnya secara umum dan prinsip-prinsip utamanya menghentikan—baik dalam
tindakan maupun ucapan—sumber-sumber sistem ini.
Allah SWT sebagai
pemilik syariat mengetahui bahwa sistem perbudakan adalah sistem ekonomi yang
sementara yang akan berubah dengan perubahan waktu, dan karena Islam tidak
turun pada waktu yang terdapat perbudakan saja, tetapi ia turun secara umum dan
menyeluruh untuk setiap zaman, maka Islam sengaja melewati bentuk-bentuk yang
temporal ini dari bentuk-bentuk eksploitasi menuju unsur yang pertama atau
dasar pertama yang menimbulkan bentuk-bentuk eksploitasi tersebut, sehingga
Islam mengharamkannya.
Dengan cara demikian,
Islam mengharamkan sistem perbudakan secara bertahap, seperti proses
pengharaman khamer.
Jadi, keseriusan Islam
sangat menonjol dalam usaha menghapus dan mengharamkan perbudakan.
Jika dikatakan kepada
kita bahwa Islam membolehkan para tentaranya untuk memperbudak para tawanan
perang, maka kita akan mengatakan bahwa Islam menerapkan sistem ini sebagai
bentuk pembalasan terhadap perlakuan yang sama di mana musuh-musuh Islam
menjadikan kaum Muslim sebagai budak-budak mereka ketika mereka menawannya.
Oleh karena itu, secara
alami orang-orang Islam pun menawan mereka sebagai budak-budak. Jika Islam
tidak melakukan yang demikian, maka boleh jadi Islam akan dimain-mainkan dan
ada kesempatan besar bagi orang-orang musyrik untuk memperdaya Islam.
Demikianlah bahwa
dakwah Islam mengalami berbagai macam hambatan dan penindasan.
Dan ketika orang-orang
yang tersiksa mengadu kepada Rasulullah saw atas penindasan yang mereka terima,
maka Rasulullah saw memberitahu mereka dengan pembicaraan yang jelas bahwa para
dai di jalan Allah SWT harus mengorbankan kesenangan mereka, kedamaian mereka,
dan darah mereka sebagai harga yang pantas untuk tersebarnya dakwah Islam.
Kebebasan bukan diperoleh dengan cuma-cuma.
Sejarah kehidupan
menceritakan kepada kita bahwa ia dipenuhi dengan gumpalan darah yang harus
dibayar oleh masyarakat untuk memerangi musuh-musuhnya dari luar dan dari
dalam. Jika ini dialami setiap orang yang menuntut kebebasan pada zaman dan
tempat tertentu, maka bagaimana dengan orang-orang yang menuntut kebebasan
manusia secara keseluruhan.
Seorang Muslim
hendaklah sadar bahwa dengan mengumumkan dakwahnya, maka ia pasti akan menerima
pengusiran, penindasan, penjara, pengepungan dan pembunuhan. Ini adalah harga
yang pantas yang harus dibayar ketika berdakwah di jalan Allah SWT; inilah
harga kebebasan. Bahkan terkadang kaum yang batil pun membayarnya dengan senang
hati, maka bagaimana mungkin orang-orang yang bersama kebenaran ragu untuk
melakukannya.
Pada hakikatnya,
manusia cinta kepada keabadian. Secara naluri manusia merasa takut pada azab
dan kematian. Dan barangkali yang membedakan orang-orang Islam yang hakiki
dengan yang lainnya adalah bahwa mereka terbebas dari rasa ketakutan dan cinta
keabadian. Ini adalah tolok ukur yang pasti untuk membedakan antara seorang
Muslim yang hakiki dan seorang Muslim yang hanya namanya atau Muslim warisan
atau hanya klaim semata.
Seorang Muslim yang
hakiki menyadari bahwa ajal di tangan Allah SWT, rezeki ada juga di tangan-Nya,
begitu juga keamanan semua ada di tangan-Nya. Dengan keimanan seperti ini, ia
memulai pergulatannya untuk menyebarkan dakwah. Ia siap untuk menerima
penyiksaan dan penderitaan di jalan Allah SWT; ia pun siap meneteskan darahnya
sebagai harga yang pantas yang diberikannya dalam rangka memperoleh kebebasan.
Ini semua dilakukanya
dengan begitu sederhana dan tidak ada rasa takut karena Islam membebaskannya
dari rasa ketakutan. Dahulu para pembangkang menggergaji orang-orang yang
menyeru di jalan Allah SWT dengan menggergaji saat mereka dalam keadaan
hidup-hidup.
Khabab bin Irit pergi
menemui Rasulullah saw dan meminta tolong kepada beliau dari penyiksaan
orang-orang Quraisy, sambil berkata: "Tidakkah engkau menolong kami, wahai
Rasulullah? Tidakkah engkau berdoa kepada kami, ya Rasulullah?"
Rasulullah saw
menjawab: "Sungguh sebelum kalian terdapat orang-orang yang berdakwah di
jalan Allah SWT lalu mereka dimasukkan dalam suatu galian tanah lalu mereka
digergaji di mana tubuh mereka dipisah menjadi dua, namun mereka tetap
mempertahankan agamanya. Demi Allah, sungguh Allah SWT akan menolong masalah
ini tetapi kalian terlalu tergesa-gesa."
Dengan kalimat-kalimat
yang penuh kesabaran dan keberanian ini, Rasulullah saw ingin memahamkan kepada
orang tersebut bahwa termasuk dari kesempurnaan iman adalah membayar harga
kebebasan.
Jelas sekali bahwa
Islam tidak memberikan keuntungan bagi orang yang memeluknya. Orang-orang Islam
yang pertama tidak bertanya dan mengatakan: "Apa yang kita peroleh dari
agama ini?" Sebaliknya, mereka bertanya: "Apa yang kita bayar untuk Islam?"
Jawabannya adalah:
"Segala sesuatu dimulai dari suapan-suapan roti sampai darah yang
tertumpah."
Jadi, kaum Muslim yang
pertama telah membayar ongkos kebebasan.
Mereka merasakan
kedamaian yang luar biasa untuk mempertahankan agama Allah SWT; mereka
mendapatkan kepercayaan yang tinggi tentang kemenangan kebenaran yang datang
kepada mereka; mereka justru memberitahu orang-orang musyrik bahwa mereka akan
dapat mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar. Dengan dakwah yang mereka
lakukan, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin di muka bumi.
Kaum musyrik justru
memanfaatkan kepercayaan ini untuk mengejek mereka dan menertawakan mereka.
Ketika Aswad Ibnu
Matlab dan orang-orang yang bersamanya melihat sahabat-sahabat Nabi, maka
mereka mengejek dan mengatakan: "Telah datang kepada kalian
pemimpin-pemimpin bumi yang esok akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar,
kemudian mereka bersiul dan bertepuk tangan."
Namun kaum mukmin tidak
peduli dengan ejekan tersebut. Demikianlah bahwa ejekan demi ejekan terus
menyertai dakwah kaum Muslim. Kemudian kaum Quraisy mengadakan pertemuan yang
bersejarah untuk menyatukan pandangan dalam rangka menyerang Rasulullah saw.
Kaum musyrik menuduhnya
bahwa beliau adalah seorang ahli sihir, dan pada kali yang lain mereka
menuduhnya bahwa beliau adalah dukun, dan pada kali yang lain lagi mereka
menuduhnya bahwa beliau adalah penyair, bahkan pada kali yang lain mereka
menuduhnya bahwa beliau adalah seorang yang gila. Kemudian mereka semua sepakat
untuk menuduh bahwa beliau adalah seorang penyihir.
Walid bin Mughirah yang
terkenal sebagai orang yang terpandang di kalangan mereka menuduh Rasulullah
saw sebagai penyihir yang dapat memisahkan antara sesama saudara dan antara
seseorang dengan isterinya.
Kemudian mereka
membikin kelompok-kelompok yang mengingatkan para pendatang di Mekah bahwa
Muhammad adalah seorang penyihir.
Meskipun demikian,
dakwah Islam tetap berlangsung. Ia tetap tersebar dengan pelan namun pasti dan
kalimat-kalimat yang diutarakan Nabi justru mengingatkan perjanjian yang pernah
dilakukan oleh manusia, yaitu perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya ketika
mereka masih di alam atom di punggung Adam:
"Bukankah aku
Tuhan kalian? Mereka menjawab: 'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah jumlah
kaum Muslim hingga kaum Quraisy merasakan ketakutan.
Mereka mulai melihat
bahwa penggunaan cara-cara kekerasan tidak selalu berhasil.
Kemudian mereka memilih
untuk menggunakan cara baru, yaitu bagaimana seandainya mereka menggunakan
perdamaian dan perundingan.
Orang-orang Quraisy
mengutus 'Utbah bin Rabi'ah, seorang lelaki yang terkenal dengan kecerdasan dan
kebijaksanaan sebagai juru runding.
'Utbah berkata kepada
Rasul saw: "Wahai anak saudaraku, kami mengetahui kedudukanmu di sisi kami
dari sisi nasab. Engkau datang kepada kaummu dengan suatu hal yang besar di
mana engkau memisahkan kelompok-kelompok mereka. Maka dengarkanlah aku karena
aku ingin berbicara tentang beberapa hal. Barangkali engkau akan menerima
sebagiannya."
Rasul saw berkata:
"Silakan berbicara wahai 'Utbah."
'Utbah berkata:
"Jika engkau menginginkan harta niscaya kami akan mengumpulkan harta
bagimu, sehingga engkau akan menjadi orang yang paling kaya di antara kami, dan
jika engkau menginginkan kehormatan, maka kami akan memberi kehormatan itu
bagimu dan jika engkau menginginkan kekuasaan, maka kami akan menyerahkan
kekuasaan padamu dan jika engkau terkena penyakit yang engkau tidak mampu
menolaknya dari dirimu, maka kami akan mencarikan tabib bagimu dan kami akan
mengeluarkan harta kami sehingga engkau sembuh."
Demikianlah 'Utbah
mengakhiri pembicarannya. Kemudian ia menunggu reaksi Nabi.
Lalu Rasulullah saw
bersabda:
"Dengan nama Allah
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan dari Tuhan Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyanyang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni
bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita
gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling
(darinya);, maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata: 'Hati kami
berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di
telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah
kamu; Sesungguhnya kami bekerja (pula).' Katakanlah: 'Bahwasannya aku hanyalah seorang
manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan
Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadanya dan
mohonlah ampun kepadanya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orangyang tidak menunaikan zakat dan
mereka kafir akan adanya (hehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka mendapat pahala yang tiada
putus-putusnya.' Katakanlah: 'Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang
menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang
bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam. Dan dia menciptakan di bumi itu
gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan
padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu
sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju kepada
penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata
kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan
suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab: 'Kami datang dengan suka hati.'
Maha Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah ketentuan Yang Maha Perhasa lagi Maha Mengetahui. Jika mereka
berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir,
seperti petir yang menimpa kaum 'Ad dan kaum Tsamud." (QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah saw telah
menjawab tawaran 'Utbah di mana beliau memilih untuk menghadapi tawaran dan
iming-iming tersebut dengan membaca sebagian dari surah Fhusilat yang merupakan
salah satu surah Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat
Jibril.
'Utbah bangkit dari
tempatnya ketika Rasulullah saw sampai pada firman-Nya:
"Jika mereka
berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir,
seperti petir yang menimpa kaum "Ad dan kaum Tsamud. " (QS. Fushilat:
13)
'Utbah berdiri dalam
keadaan takut dan segera menuju kaum Quraisy.
Bayang-bayang azab
dunia terngiang di telinganya.
Dan ketika ia sampai ke
orang Quraisy, ia mengusulkan agar orang-orang Quraisy membiarkan apa saja yang
dilakukan Muhammad.
Gagallah perundingan
dengan seorang Muslim yang pertama, yaitu Rasulullah saw.
Gagalnya perundingan
tersebut sebagai bentuk pemberitahuan tentang kembalinya tindak kekerasan dan
penyiksaan terhadap sahabat-sahabat Rasul saw.
Kemudian kaum musyrik
semakin meningkatkan penindasan terhadap kaum Muslim. Rasulullah saw sangat
menderita melihat hal yang dirasakan para sahabatnya. Ketika kaum Muslim
membayar harga yang paling mahal sebagai konsekuensi dari akidah yang mereka
anut dan mereka dengan sabar memikul penderitaan di jalan Allah SWT, maka
Rasulullah saw mengisyaratkan mereka untuk berhijrah. Beliau memberikan izin
untuk berhijrah bagi orang yang ingin hijrah.
Kemudian Dimulailah
gelombang hijrah.
Itu terjadi pada lima
tahun dari turunnya wahyu setelah dua tahun diumumkannya dakwah.
Maka berhijrahlah ke
Habasyah enam belas orang Muslim. Mereka keluar secara rahasia dan mereka
menuju ke laut.
Mereka berlayar
meskipun orang-orang yang tinggal di gurun sebenarnya tidak ingin berlayar
karena mereka takut akan laut dan mereka yakin bahwa manusia yang berlayar di
laut akan menjadi ulat di atas kayu-kayu yang berenang.
Selanjutnya, gelombang
hijrah yang kedua pun dimulai.
Kali ini diikuti oleh
delapan puluh tiga orang laki-laki dan sembilan belas perempuan.
Kemudian orang-orang
Quraisy berusaha untuk mengirim beberapa orang dan tetap berusaha menyiksa dan
menyakiti orang-orang yang berhijrah.
Mereka mengutus ke
Najasyi, Raja Habasyah, orang-orang yang dapat mempengaruhinya untuk menentang
orang-orang yang berhijrah.
Mereka menuduh kaum
Muslim meninggalkan agama nenek moyang mereka di Mekah dan mereka juga tidak
menganut agama Najasyi, yaitu agama Kristen.
Kemudian orang-orang
Quraisy tidak lupa mengirim hadiah kepada Najasyi sebagai bentuk suapan
kepadanya.
Tampaknya Najasyi
seorang yang berakal lalu ia mengutus seseorang kepada kaum muhajirin dan
bertanya kepada mereka tentang agama baru yang mereka anut. Kemudian kaum
muhajirin menceritakan kepadanya tentang Islam.
Najasyi bertanya
tentang Isa lalu mereka menjawab: "Ia adalah hamba Allah SWT dan rasul-Nya
dan ruh-Nya serta kalimat-Nya yang diletakkan kepada Maryam, wanita yang
perawan yang suci."
Kemudian Najasyi
mengambil satu kayu kecil dari bumi dan mengatakan: "Penjelasan tentang
Isa yang kalian katakan tidak lebih dari kayu kecil ini. Pergilah kalian dan
kalian akan aman."
Najasyi mengembalikan
hadiah kaum Quraisy dan mengatakan: "Allah tidak mengambil suap dariku
sehingga aku tidak mungkin mengambilnya dari kalian."
Demikianlah kaum
muhajirin tinggal di negeri yang damai, yaitu Habasyah negeri yang dipimpin
oleh seorang laki-laki yang diberi kematangan berpikir di mana ia cenderung
mengimani karakter al-Masih sebagai seorang manusia. Dan salah satu keajaiban kekuasaan
Ilahi adalah bahwa masyarakat Islam yang berhijrah tersebut tidak mengalami
kelemahan dalam akidahnya, namun mereka justru merasakan kekuatan.
Allah SWT memperkuat
dakwah Islam dengan masuknya dua lelaki besar dalam Islam, yaitu Hamzah, paman
Nabi dan Umar bin Khatab.
Kedua orang itu
mempunyai kepribadian yang tangguh di Mekah di mana masing-masing dari mereka
terkenal di tengah-tengah kaumnya.
Allah SWT berkehendak
untuk memberi Islam dua orang lelaki yang tangguh di Mekah dan Allah SWT telah
meletakkan rahmat yang terpancar dalam hati mereka.
Hamzah masuk Islam
karena dorongan emosi, fanatisme, dan rahmat terhadap orang-orang yang tidak
memberikan pembelaan kepada Nabi Muhammad SAW.
Salah seorang perempuan
berkata kepada Hamzah:
"Seandainya engkau
melihat apa yang diperoleh oleh anak dari saudaramu, Muhammad dari Abil Hakam
bin Hisyam (Abu Jahal). Sungguh Abu Jahal telah mencelanya dan menyakitinya,
sedangkan Muhammad hanya terdiam dan tidak mengatakan apa-apa."
Mendengar pengaduan
itu, darah mendidih berkobar dalam urat-urat Hamzah. Dengan kemarahan yang
sangat, Hamzah mencari-cari Abu Jahal lalu ia melihatnya sedang duduk-duduk di
tengah-tengah kaumnya.
Hamzah mengangkat
tangannya lalu memukulkannya ke kepala Abu Jahal sambil berteriak: "Apakah
engkau akan mengejek Muhammad, padahal aku berada di atas agamanya."
Demikianlah permulaan
keislaman Hamzah.
Hamzah adalah seorang
yang mulia di mana perasaannya berkobar ketika ia melihat anak saudaranya
disiksa dan dianiaya dan dia tidak mendapati seorang pun yang membelanya.
Beginilah sebab-sebab
pertama dari keislaman Hamzah, namun sebab yang paling dalam dan yang paling
menentukan adalah rahmat Allah SWT yang telah dianugerahkan kepadanya, meskipun
Hamzah tidak mengetahuinya, yaitu rahmat hidayah yang mendorongnya untuk tidak
membiarkan seseorang pun menyakiti lelaki yang berdakwah di jalan Allah SWT
hanya karena ia seorang yang lemah dan tidak mempunyai penolong. Jadi, Hamzah
adalah penolongnya.
Sedangkan Umar bin
Khatab terkenal dengan ketangguhan sikap dan kekerasan perilaku.
Seringkali kaum Muslim
mendapat siksaan darinya ketika ia masih menganut jahiliah. Dan salah seorang
yang mendapatkan siksaan darinya adalah Amir bin Rabi'ah dan isterinya.
Amir beserta istrinya
menetapkan untuk berhijrah ke Habasyah. Umar bin Khatab menemuinya lalu ia
mendapati isteri Amir dan tidak menemukan suaminya.
Umar melihat wanita itu
sedang bersiap-siap untuk berhijrah lalu Umar berkata (saat itu sumber rahmat telah
memancar pada dirinya): "Apakah engkau akan pergi wahai Ummu
Abdillah?"
Dengan nada jengkel,
wanita itu berkata: "Benar, demi Allah kami akan keluar dan menuju tanah
Allah SWT. Engkau telah menyiksa kami dan telah memaksa kami untuk berhijrah.
Kami akan pergi sehingga Allah SWT akan memberikan kelapangan kepada
kami."
Umar berkata:
"Mudah-mudahan Allah SWT menemanimu."
Wanita itu melihat
tanda-tanda kelembutan dan kesedihan pada wajah Umar. Dan ketika suaminya
kembali, ia menceritakan kepadanya bahwa ia sangat berharap kepada keislaman
Umar.
Lalu suaminya menjawab:
"Ia tidak mungkin masuk Islam sampai keledai Umar masuk Islam."
Ia mengatakan demikian
karena ia melihat betapa bengis dan kejamnya Umar.
Namun perasaan lembut
wanita itu lebih kuat daripada pandangan pikiran lelaki itu dan penilaiannya
yang terlalu cepat kepada Umar.
Belum lama mereka
berhijrah sehingga Umar masuk Islam.
Orang-orang muhajirin
mengeluarkan penutup sumur rahmat dalam dirinya.
Dan barangkali Umar
merasa kebingungan lalu ia menetapkan untuk membunuh Rasul saw.
Dengan menghunuskan
pedangnya, ia pergi menuju Rasul saw.
Kemudian ia bertemu
dengan orang-orang yang memergokinya dalam keadaan kebingungan, lalu mereka
bertanya kepadanya, hendak kemana ia akan pergi?
Umar menjawab:
"Aku hendak ke Muhammad,aku akan membunuhnya sehingga orang-orang Arab
merasa tenteram."
Dengan nada mengejek,
seseorang berkata: "Tidakkah engkau memulai dari keluargamu sebelum engkau
membunuh Muhammad."
Dengan nada jengkel,
Umar berkata: "Apa yang terjadi pada keluargaku?"
Lelaki itu menjawab:
"Saudara perempuanmu dan suaminya telah masuk Islam, sedangkan engkau
tidak mengetahuinya."
Umar segera mencari
saudara perempuannya dan suaminya di mana saat itu keduanya sedang membaca
Al-Qur'an.
Ketika melihat Umar,
mereka menyembunyikan Al-Qur'an. Umar bertanya: "Sepertinya aku mendengar
suara bisikan dari luar."
Tetapi saudara
perempuannya mengatakan: "Tidak."
Kemudian suaminya ikut
campur dan Umar pun tampak marah kepadanya.
Wanita itu bangkit
untuk membela suaminya lalu Umar memukulnya sehingga darah segar mengucur
darinya.
Darah itu justru
membangkitkan sumber rahmat dari diri Umar.
Akhirnya, Umar
mengambil air wudhu agar mereka mengizinkan untuk membaca Al-Qur'an. Umar pun
membacanya. Belum lama Umar membacanya sehingga ia pergi menemui Rasul saw.
Tanpa ragu, Umar
memilih untuk masuk Islam. Dan pedang yang dibawanya itu menjadi pedang yang
paling kuat yang dengannya ia mempertahankan agama Muhammad saw.
Kemudian ia mengetuk
pintu untuk menemui Rasul saw di mana saat itu beliau bersama sahabatnya.
Dari celah-celah pintu,
sahabat Nabi melihat Umar bin Khatab sedang menghunuskan pedang.
Kemudian sahabat itu
kembali kepada Nabi dengan membawa berita yang sangat mengejutkan ini. Ia
menduga bahwa Umar datang dengan maksud jahat.
Rasulullah saw bangkit
dan memerintahkan para sahabatnya agar membiarkan Umar.
Rasulullah saw
membukakan pintu Kemudian ia menyambut Umar bin Khatab dan bertanya kepadanya
apa yang diinginkannya.
Umar menjawab bahwa ia
datang untuk mengucapkan dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya.
Orang-orang Quraisy
mulai merasa bahaya akan mereka temui setelah keislaman Umar dan Hamzah.
Para tokoh-tokoh Mekah
dan orang-orang yang dihormati telah masuk Islam.
Sebelum Umar masuk
Islam, kaum Muslim bertawaf di Ka'bah secara rahasia dan dengan malu-malu,
namun ketika Umar masuk Islam ia menampakkan keislamannya dan ia menantang
orang yang mencegahnya untuk bertawaf, bahkan banyak orang-orang memberikan
jalan padanya saat tawaf.
Mekah mengetahui bahwa
ia menghadapi suatu dakwah yang akan dapat mengubah jazirah Arab.
Rasa ketakutan mulai
menghantui para pemuka Quraisy dan mereka menetapkan metode baru untuk
menghadapi kaum Muslim. Mereka yang sebelumnya menggunakan metode penghinaan
dan pengejekan kini mulai mencoba untuk memblokade kaum Muslim secara ekonomi
dan kemanusiaan.
Kaum musyrik mengadakan
perkumpulan dan pertemuan untuk memboikot kaum Muslim. Mereka mengadakan
pertemuan itu di Ka'bah, sebagai penghormatan kepadanya.
Orang-orang musyrik
menghormati Ka'bah meskipun mereka memenuhinya dengan berbagai macam patung
yang mereka sembah dalam rangka mendekatkan mereka kepada Allah.
Pasal kesepakatan itu
menetapkan, hendaklah penduduk Mekah tidak menjual barang apapun kepada kaum
Muslim dan hendaklah mereka tidak menikah dengan kaum Muslim.
Dengan ketetapan yang
kejam tersebut, mereka ingin menghancurkan kaum Muslim dan membunuh
perekonomian mereka.
Rasulullah saw dan
orang-orang yang beriman kepadanya terpaksa berlindung di dusun Bani Hasyim.
Mereka dilindungi oleh keturunan Bani Muthalib, baik mereka orang-orang kafir
maupun orang-orang beriman kecuali musuh Allah SWT, Abu Jahal dimana ia bersama
orang-orang Quraisy menentang kaummnya.
Kemudian Dimulailah
blokade ekonomi terhadap kaum Muslim di mana tidak ada makanan dan minuman yang
datang kepada mereka, sehingga penderitaan yang sulit kini dialami oleh
sahabat-sahabat Nabi.
Ketika kafilah
perdagangan datang ke Mekah dan salah seorang dari sahabat Nabi menemui mereka
di pasar untuk membeli makanan untuk keluarganya, maka Abu Lahab berdiri dan
berkata kepada para penjual, wahai para pedagang, mahalkanlah dagangan kalian
terhadap sahabat-sahabat Muhammad, sehingga mereka tidak mampu membelinya dan
aku menjamin kerugian yang kalian alami, bahkan aku akan membeli apa saja yang
ingin mereka beli dari kalian.
Mendengar hal tersebut,
para pedagang pun menjual barang dagangannya dengan harga yang tidak wajar,
sehingga seorang Muslim kembali ke rumah keluarganya tanpa membawa sedikit pun
makanan.
Kemudian padagang itu
pergi ke Abu Lahab dan meminta kepadanya agar membeli barang yang ingin dibeli
orang Muslim.
Demikianlah peperangan
tersebut terus terjadi sehingga kaum Muslim merasakan penderitaan yang sangat
luar biasa di mana mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan pakaian yang
layak.
Peperangan ekonomi ini
terjadi selama tiga tahun penuh.
Saking menderitanya
para sahabat sampai-sampai Sa'ad bin Abi Waqas pernah keluar pada suatu hari untuk
memenuhi hajatnya, lalu ia mendengar suara gemerincing di bawah air kencing.
Tiba-tiba ia menemukan sepotong kulit unta yang kering lalu ia mengambilnya dan
membasuhnya. Kemudian ia membakarnya dan mencucinya dengan air sampai bersih
lalu ia menjadikannya makanan selama tiga hari.
Selama tiga tahun
tersebut wahyu tetap turun kepada Rasul saw dan seakan-akan ia melupakan
bencana yang keras ini.
Allah SWT ingin
mendidik para pengikut agama-Nya agar mereka mampu memikul segala penderitaan.
Meskipun kaum Muslim
mendapatkan berbagai ujian selama tiga tahun tersebut, tetapi aktifitas dakwah
Islam tidak pernah padam dan tidak pernah surut. Kaum Muslim bertemu
orang-orang selain mereka pada musim haji lalu mereka berbicara kepada
orang-orang tersebut tentang keberadaan Allah SWT dan mereka meminta kepada
para pengujung itu untuk mencari rahmat Allah SWT dan ampunan-Nya.
Keteguhan kaum Muslim
dan keberanian mereka telah memikat banyak orang sehingga mereka masuk Islam.
Bahkan orang-orang musyrik mulai bertanya kepada diri mereka dan mempertanyakan
kebenaran apa tindakan mereka. Lalu kecemburuan kepada kebenaran mulai
menyerang hati.
Kemudian Selesailah
peperangan ekonomi terhadap kaum Muslim di mana kaum musyrik melihat itu tidak
berdampak terlalu besar bagi kaum Muslim.
Meskipun kaum Muslim
menerima penderitaan dan kerugian namun jumlah mereka tetap bertambah dan
keimanan mereka semakin kuat serta kepercaayaan kepada Allah SWT pun semakin
meningkat.
Lalu datanglah tahun
kesedihan kepada Nabi.
Belum lama Rasulullah
saw merasakan dan menghirup udara segar setelah tiga tahun masa blokade dan
beliau ingin memulai kehidupan barunya dan dakwahnya, sehingga beliau
dikagetkan dengan kematian isteri tercintanya Ummul Mukminin Khadijah dan
kematian pamannya yang tercita Abu Thalib.
Abu Thalib adalah
seorang yang besar yang memiliki kewibawaan di tengah-tengah kaum Quraisy,
sehingga usaha kaum Quraisy untuk menyakiti Nabi menjadi terbatas ketika mereka
berhadapan dengan "tembok perlindungan" Abu Thalib kepada
kemenakannya.
Sedangkan Khadijah
merupakan tempat perlindungan dan kedamaian bagi Nabi. Ia adalah hati yang
sangat penyayang yang banyak menghibur Nabi saat beliau berdakwah. Khadijah
adalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik isteri. Begitu juga, bagi Khadijah
Rasulullah saw adalah sebaik-baik teman, sebaik-baik suami, sebaik-baik
pembantu, dan sebaik-baik sahabat.
Rasulullah saw sangat
sedih ketika kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya
itu, bahkan para sejarawan menamakan tahun tersebut dengan tahun kesedihan.
Sebaliknya, orang-orang
musyrik justru bergembira dengan kesedihan Rasul saw itu.
Mereka menganggap bahwa
Rasul saw tidak lagi memiliki seorang tua yang mampu melindunginya dan tidak
lagi memiliki seorang isteri yang dapat meringankan beban penderitaannya.
Setelah kematian dua
orang tcrscbut, penindasan dan penganiayaan kaum Quraisy kepada Nabi semakin
meningkat.
Suatu saat,orang-orang
musyrik memilih waktu yang tepat untuk menyembelih binatang di Mekah lalu
mereka membawa usus-usus atau jeroan dari unta dan mereka melemparkannya dan
meletakkannya di atas punggung Nabi saat beliau sujud.
Kemudian berita
memilukan itu sampai kepada putri tercintanya, Fatimah az-Zahrah, sehingga ia
segera datang dan berusaha membela ayahnya dan membersihkan kotoran yang ada di
pundak ayahnya itu.
Demikianlah kemuliaan
Siti Fatimah az-Zahra yang senantiasa melindungi ayahnya.
Betapa sedihnya Nabi
saw ketika beliau melihat bahwa keadaan beliau sampai pada batas di mana anak
perempuan beliau pun turut membelanya. Namun beliau tetap bersabar dalam
berdakwah di jalan Allah SWT.
Pada suatu hari beliau
berpikir untuk pergi ke Tha'if di mana di sana dihuni oleh kaum Tha'if.
Barangkali beliau
berkata dalam dirinya: jika di sini aku mendapati hati-hati yang telah membeku
dan telah berhubungan mesra dengan kebatilan lalu mengapa aku tidak pergi ke
Tha`if. Barangkali Allah SWT akan membukakan pintu dakwah di sana. Mungkin di
sana masih terdapat hati yang akan terbuka guna menerima kebenaran.
Saat itu kaum musyrik
memberlakukan blokade umum atas dakwah yang dipimpin oleh Rasulullah saw
sehingga tekanan kepada beliau semakin meningkat sampai pada batas di mana
pergerakan dakwah tidak dapat bergerak satu langkah pun.
Keadaan demikian ini
sangat menggelisahkan Nabi. Beliau ingin untuk melepaskan belenggu yang
mengikatnya. Lalu beliau memutuskan untuk pergi ke Tha'if. Jarak antara Mekah
dan Tha'if lebih dari tujuh puluh kilo meter. Nabi menempuh perjalanan itu
dengan jalan kaki, pergi dan pulang.
Kita tidak mengetahui
pemikiran-pemikiran apa yang terlintas dalam benak Rasulullah saw saat beliau
pergi dan menemui kabilah yang kafir kepada Allah SWT ini.
Yang kita ketahui
adalah bahwa beliau pergi ke sana dengan membawa rahmat dunia dan akhirat.
Tetapi mereka justru
membalas sikap baik Rasulullah saw itu dengan tindakan jahiliyah. Mereka
bersikap buruk kepada beliau dan mendustakannya.
Rasulullah saw tinggal
di sana selama sepuluh hari. Beliau mondar-mandir dari satu rumah ke rumah yang
lain dan dari pasar ke pasar yang lain dan dari satu jalan ke jalan yang lain.
Tak seorang pun yang
mendengar kedatangan beliau di sana; tak seorang pun yang mau mendengar dakwah
beliau dan tak seorang pun yang mau beriman kepada ajakannya. Bahkan masyarakat
di situ semakin menjadi-jadi dalam menyerang Rasulullah saw dan mengejeknya.
Pada hari yang terakhir
yang mana beliau telah menetapkan untuk kembali ke Mekah. Rasulullah saw
berdiri di Tha'if dan mengharap kepada masyarakat di sana agar merahasiakan
kunjungannya kepada mereka sehingga pencelaan yang beliau terima di Mekah
terhadap agama yang dibawanya tidak semakin menjadi-jadi.
Tetapi penduduk Tha'if
menolak permohonan yang terakhir ini. Mereka tidak cukup melakukan hal itu
tetapi mereka melakukan perbuatan terburuk yang dilakukan manusia terhadap
sesama manusia.
Mereka menahan keluarga
orang-orang yang bodoh dan orang-orang biasa untuk membentuk dua barisan dan
memerintahkan mereka untuk melempari Rasulullah saw dengan batu dan
mengejeknya.
Nabi keluar dari Tha'if
dan beliau mendapatkan lemparan bertubi-tubi dari keluarga Tha'if bahkan beliau
merasakan kepedihan saat kakinya terkena lemparan batu itu sehingga darah suci
mengucur dari kaki beliau.
Kemudian Rasulullah saw
diusir sehingga beliau sampai di suatu kebun yang dimiliki oleh dua orang dari
orang-orang kaya Tha'if.
Disana beliau duduk di
bawah naungan pohon anggur.
Dua orang pemilik kebun
itu merasa kasihan melihat keadaan orang yang terusir dan terluka itu.
Mereka membawa
kepadanya setangkai anggur dengan seorang pembantu. Pembantu mereka adalah
seorang Nasrani yang bernama Adas.
Si pembantu meletakkan
setangkai anggur itu depan Rasul saw lalu beliau mengulurkan tangannya
kepadanya sambil berkata: "Bismillahirahmanirrahim (Dengan nama Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).
Adas berkata kepada
Nabi, perkataan ini tidak begitu dikenal oleh penduduk negeri ini.
Nabi berkata:
"Anda dari daerah mana?"
Adas menjawab:
"Aku adalah seorang Nasrani dari Nainawa."
Nabi berkata:
"Apakah engkau dari desa lelaki saleh Yunus bin Mata?"
"Bagaimana engkau
tahu tentang Yunus?, sambung lelaki itu.
Nabi berkata: "Itu
adalah saudaraku. Ia adalah seorang Nabi aku pun seorang Nabi."
Mendengar jawaban Rasul
saw, Adas segera merobohkan tubuhnya di depan kedua kaki Rasul saw lalu ia
menciuminya sambil menangis.
Akhirnya, pembantu
Nasrani itu masuk Islam sehingga ia menambah barisan kaum Muslim. Ia adalah
seorang yang menjadi Muslim ketika Rasulullah saw berhijrah ke Tha'if.
Inilah harga yang harus
dibayar Rasulullah saw selama dua minggu saat beliau berada di Tha'if, dan
kemudian beliau terkena cobaan dengan mengucurnya darah dari kaki beliau akibat
lemparan batu penghuni Tha'if.
Kemudian Rasulullah saw
kembali ke Mekah beliau kembali dalam keadaan ditolak oleh penduduk Tha'if dan
kini beliau kembali menerima penolakan itu di Mekah.
Meskipun demikian,
beliau merasakan kesedihan yang mendalam melihat sikap kaumnya.
Ketika kebencian
semakin deras mengalir kepada beliau, hati beliau justru semakin bersemangat
dan semakin dipenuhi dengan rahmat.Kemudian datanglah kepada Nabi Muhammad SAW
masa di mana tampak di dalamnya Islam asing, dan tampak di dalamnya Nabi
seorang diri, tanpa penolong.
Pada saat demikian ini
ketika manusia mulai meninggalkan Rasulullah saw lalu langit turut campur dan
terjadilah peristiwa besar dan mukjizat terbesar pada diri Nabi, yaitu Isra'
dan Mi'raj.
Ia adalah mukjizat yang
tidak berhubungan dengan dakwah Islam; ia tidak datang untuk memperkuat dakwah
ini atau menetapkannya tetapi ia datang semata-mata untuk memperkuat keteguhan
Nabi dan sebagai penghormatan kepadanya.
Seakan-akan Allah SWT
ingin berkata kepada Nabi, jika saja penduduk bumi tidak memujimu, maka
penduduk langit mengenal kedudukanmu dan memberikan pujian yang layak kepadamu
dan jika manusia menolak dakwahmu dan menolak keberadaanmu, maka sesungguhnya
Allah SWT memilihmu dan memuliakanmu.
Untuk melihat
tanda-tanda kebesaran-Nya, munculnya mukjizat Isra' dan Mi'raj dalam sejarah
para nabi sebagai mukjizat satu-satunya yang tiada tandingannya dibandingkan
dengan kisah nabi yang lain.
Kita mengetahui bahwa
di deretan para nabi,ada nabi-nabi yang dinamakan oleh Allah SWT sebagai para
kekasih-Nya dan sebagai para pendamping-Nya, seperti Nabi Ibrahim.
Kita juga melihat bahwa
di antara para nabi ada seseorang yang diajak bicara oleh Allah SWT tanpa
perantara, seperti Nabi Musa.
Kita juga melihat di
antara para nabi ada yang didukung oleh Allah SWT dengan ruhul kudus, seperti
Nabi Isa.
Tetapi untuk pertama
kalinya kita berada di hadapan seorang nabi yang diajak dan dipanggil oleh
Allah SWT untuk menuju ke sisi-Nya.
Beliau naik bersama
Jibril dengan jasad dan ruhaninya,sementara Jibril berdiri di suatu tempat dan
Nabi maju sendirian.
Itu adalah tingkat dari
tingkat kehormatan di mana pena terasa keluh untuk mengungkapkannya dan
sejarawan tidak dapat menulis apa yang terjadi saat itu.
Kita telah melihat
dalam kisah para nabi,seorang nabi yang meminta kepada Tuhannya agar
memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan orang-orang yang mati.
Allah SWT bertanya kepadanya, apakah ia belum beriman akan hal itu? Ibrahim
menjawab: Bahwa ia beriman tetapi ia ingin menenangkan hatinya.
Kita juga melihat dalam
kisah para nabi seorang nabi yang cintanya kepada Allah SWT memancar dalam
kalbunya sehingga ia meminta:
"Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau".
(QS. al-A'raf: 143)
Namun Allah SWT
menjawab kepada Musa tentang kemustahilan melihat Allah SWT atas manusia.
Nabi Musa memahami
bahwa makhluk manapun tidak akan mampu menahan beban penampakan dari Zat sang
Pencipta.
Adapun Muhammad bin
Abdillah ia tidak bertanya kepada Tuhannya dan meminta kepadanya untuk diberi
mukjizat atau kejadian yang luar biasa; ia tidak meminta kepada Tuhannya agar
dapat melihat Zat-Nya dan ia tidak berusaha mencari ketenangan dalam hatinya.
Cintanya kepada Allah
SWT termasuk bentuk cinta yang sulit untuk dipahami atau diselami kedalamannya
oleh para tokoh pecinta dan cintanya tersebut bukan termasuk bentuk yang
menimbulkan berbagai pertanyaan.
Cinta beliau melampaui
tingkat permintaan menuju ketingkat penyerahan dan kepuasan atau ridha. Segala
sesuatu yang menggelisahkan Nabi adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah saw berkata
saat beliau dalam keadaan ditolak dan diusir dan terluka akibat perbuatan kaum
Tha'if:
"Jika Engkau tidak
murka kepadaku, maka aku tidak peduli dengan mereka."
Lihatlah tingkat cinta
yang tinggi itu: bagaimana tingkat tersebut menyebabkan beliau merasa rendah
diri sehingga beliau berkata,
"jika Engkau tidak
murka kepadaku ..."
Seakan-akan beliau
tidak menginginkan selain ridha Allah SWT dan yang beliau khawatirkan adalah
kemarahan Allah SWT.
Sungguh adab yang
diterapkan Rasulullah saw kepada Tuhannya adalah adab yang paling layak dan
paling tinggi yang sesuai dengan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang
paling sempurna.
Demikianlah mukjizat
Isra' dan Mi'raj.
Mukjizat yang tujuannya
adalah menghormati kepribadian Rasulullah saw; mukjizat yang membangkitkan
peranan akal dan hati secara bersama.
Para nabi tanpa
terkecuali didukung oleh berbagai macam mukjizat yang terjadi di muka bumi
bahkan para nabi yang diangkat ke langit seperti Nabi Idris dan Nabi Isa, maka
pengangkatan mereka sebagai bentuk menyelamatkan mereka dari usaha pembunuhan
atau penyaliban. Mukjizat mereka saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk
akhir dari aktifitas mereka di muka bumi.
Ini adalah kali pertama
ketika kita mendapati suatu mukjizat yang tempat utamanya di langit; suatu
mukjizat yang terwujud bersama seorang Nabi yang diangkat ke langit dengan
jasadnya dan ruhaninya saat beliau masih hidup.
Di sana Allah SWT
memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Kemudian beliau kembali
ke bumi di mana beliau akan mendapatkan berbagai macam tantangan dan cobaan
yang biasa diterima oleh penduduk bumi.
Muhammad bin Abdillah
adalah manusia yang pertama melewati planet bumi dan beliau menembus bulan dan
matahari dan bintang-bintang.
Kita menyaksikan di
zaman kita manusia pertama atau astronot pertama yang mampu menembus ruang
angkasa. Ruang angkasa itu baru dapat ditembus oleh manusia setelah empat belas
abad dari turunnya risalah Muhammad saw, namun sejak empat belas abad yang lalu
Nabi Islam telah dapat menembus ruang angkasa itu, bahkan beliau mencapai
Sidratul Muntaha dan puncak al-Muntaha.
Beliau sampai pada
batas yang di situlah alam makhluk diakhiri dan beliau menembus alam gaib.
Bukankah surga bagian
dari alam gaib?
Beliau sampai di surga.
Allah SWT menamakannya dengan Jannatul Ma'wah. Beliau sampai pada batas
terputusnya ilmu manusia dan tiada yang mengetahui hakikat ilmu tersebut
kecuali Allah SWT.
Mukjizat Isra' bukanlah
mukjizat Mi'raj, meskipun kedua-duanya terjadi di satu malam.
Peristiwa Isra' dan
Mi'raj dikutip oleh dua surah yang berbeda dalam Al-Qur'an al-Karim.
Allah SWT berfirman
tentang mukjizat Isra':
"Maha Suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Isra': 1)
Sedangkan berkaitan
dengan mukjizat Mi'raj, Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya
Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang
lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal.
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu
dan tidak (pula) melampauiya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (QS. an-Najm: 13-18)
Pada malam Isra' dan
Mi'raj, Nabi Muhammad berkeliling di sekitar Ka'bah dan berdoa kepada Allah
SWT.
Beliau dalam keadaan
pucat wajahnya dan kedua air matanya mengucur; beliau tidak bertawaf bersama
seseorang pun; beliau tawaf sendirian lalu orang-orang kafir dan orang-orang
musyrik memandang beliau dengan pandangan kebencian saat beliau bertawaf dan
berdoa.
Allah SWT melihat
hamba-Nya yang khusuk itu lalu Allah SWT menurunkan perintah-Nya kepada Ruhul
Amin yaitu malaikat Jibril agar menemani hamba-Nya dari Masjidil Haram menuju
Masjidil Aqsha Kemudian membawanya naik ke langit agar dia dapat melihat
tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Di suatu rumah yang
mulia dan sederhana dari rumah-rumah yang ada di Mekah, Nabi saw sedang tidur
dan datanglah waktu pertengahan malam.
Jibril turun dan
memasuki rumah sang Rasul saw. Jibril as berdiri di sisi kepala sang Nabi dan
ia melihat kepadanya dengan pandangan cinta.
Pandangan Jibril itu
membangunkan Rasul saw kemudian beliau membuka kedua matanya dan bangkit dari
tempat tidurnya.
Jibril berkata kepada
Nabi saw, salam kepadamu wahai Nabi yang mulia. Allah SWT ingin agar engkau
melihat sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya di alam.
Kemudian Jibril
berjalan bersama Nabi saw.
Mereka keluar dari
rumah dan beliau menyaksikan Buraq yaitu makhluk yang menyerupai burung dan
mempunyai sayap seperti burung garuda; makhluk yang terbuat dari kilat. Karena
itu, ia dinamakan dengan Buraq.
Sementara itu, Buraq
menundukkan badannya kepada Nabi saw kemudian Nabi saw menungganginya bersama
Jibril dan Buraq pergi bagaikan anak panah dari cahaya di atas gunung Mekah dan
pasir-pasir menuju ke utara.
Jibril mengisyaratkan
agar menuju arah gunung Saina' lalu Buraq itu berhenti. Jibril berkata di tempat
yang diberkati ini, Allah SWT berdialog dengan Musa as.
Kemudian Buraq kembali
pergi ke Baitul Maqdis, Nabi saw turun dari pesawat ini yang berjalan lebih
cepat dari cahaya dan jutaan kali lebih cepat darinya dan ia tidak berubah dari
cahaya.
Nabi berjalan bersama
Jibril dan memasuki Baitul Maqdis. Beliau memasuki masjid dan beliau mendapati
semua nabi sedang menunggunya di sana.
Allah SWT membangkitkan
gambar para nabi-Nya dari kematian dan mengumpulkan mereka di Mesjid Aqsha.
Para malaikat memberinya suatu bejana yang di dalamnya terdapat susu dan bejana
yang lain yang di dalamnya terdapat khamer. Lalu beliau memilih susu dan
meminumnya.
Dikatakan pada beliau,
sesungguhnya engkau telah memilih fltrah dan umatmu akan memilih fitrah.
Para nabi mengitari
Rasul saw dan datanglah waktu salat. Para nabi bertanya di antara sesama
mereka, siapa di antara mereka yang menjadi imam salat, apakah itu Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa atau Isa?
Jibril berkata kepada
Muhammad saw, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk salat bersama para
nabi.
Rasulullah saw berdiri
dan salat bersama para nabi. Mereka semua adalah orang-orang Muslim dan beliau
adalah orang-orang Muslim yang pertama. Secara logis bahwa beliau layak menjadi
imam dari para nabi sebagaimana kitabnya dijadikan kitab yang terbaik daripada
kitab-kitab yang mendahuluinya.
Beliau membacakan
Al-Qur'an kepada mereka dan beliau menangis saat membacanya. Kekhusukan beliau
saat membacanya membuat para nabi pun menangis. Dan ketika para nabi sujud di
belakang imam mereka, pohon-pohon dan bintang-bintang pun turut bersujud.
Selesailah waktu salat
dan para nabi membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke langit yang mereka
tinggal di dalamnya.
Nabi keluar dari masjid
bersama Jibril dan mereka kembali menunggang Buraq seperti panah dari cahaya.
Buraq semakin meninggi dan ia melewati langit pertama lalu beliau menyaksikan
Nabi Adam.
Kemudian ada panggilan
dari Allah SWT: "Hendaklah hamba-Ku semakin meninggi dan menjauh."
Kemudian hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah semakin terbang menjauh ia
melampaui langit demi langit.
Beliau melampaui tempat
materi dan mulai menjangkau tempat ruhani dan melewatinya. Beliau bersiap
berdiri di haribaan Ilahi; beliau semakin tinggi dan jauh di tingkat dan
dipuncak ruhani dalam kecepatan yang tak terbayangkan.
Beliau melampaui
kedudukan Nabi Adam di langit pertama dan melampaui kedudukan Nabi Yahyadan
Nabi Isa di langit kedua. Lalu Tuhan pemilik kemuliaan memanggil,
"hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Kemudian hamba Allah SWT dan
Nabi-Nya yang mulia mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi.
Beliau melampaui langit
yang ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh. Beliau melampaui alam materi
semuanya dan melampaui alam ruhani. Akhirnya, beliau sampai ke Sidratul
Muntaha.
Beliau sampai di tempat
yang suci yang Allah SWT menamakannya dengan sebutan Sidratul Muntaha dan di
sana Nabi melihat dan menyaksikan Jannatul Ma'wa.
Beliau menyaksikan yang
kita tidak mampu mengetahuinya dan memahaminya bahkan membayangkannya:
"(Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 16-17)
Sungguh terjadilah pada
tempat itu apa yang terjadi dengannya. Dengan kebesaran yang misteri ini, Allah
SWT memberitahu kita bahwa terjadilah hal penting di sana meskipun hakikat hal
tersebut tersembunyi dari kita. Sesuatu yang Allah SWT sembunyikan dari kita
tersebut disaksikan oleh Rasul saw. Itu adalah mukjizat yang khusus baginya;
itu adalah tingkat cinta yang tidak tersingkap tabirnya karena ketinggiannya
yang tidak mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia biasa.
Kemudian Tuhan pemilik
surga dan neraka memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi."
Hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat yang tinggi. Kali ini
beliau melihat Jibril yang berada di belakangnya lalu beliau mendapatinya dalam
keadaan bertasbih kepada Allah SWT.
Jibril tidak berada
dalam wujud manusia seperti yang Nabi saksikan ketika berada di dunia. Jibril
as kembali ke dalam wujud malaikatnya.
Nabi melihat Jibril dan
ia merupakan tanda kebesaran Allah SWT yang Allah SWT janjikan untuk
diperlihatkan kepadanya:
"..Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Pemandangan itu terjadi
dengan hati dan mata serta panca indera yang dikenal dan yang tidak dikenal.
Pemandangan itu
benar-benar jelas. Di sana bukan mimpi, bukan khayalan, dan bukan gambaran.
Rasul saw melihat semua itu dengan jasadnya dan ruhaninya:
"Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Kemudian Rasulullah saw
menuju ke tempat yang tinggi dan lebih tinggi lagi. Beliau semakin naik ke
tingkat yang makin tinggi sampai beliau berdiri di hadapan Tuhan Pencipta
langit dan bumi dan Penebar kasih sayang di dunia dan di akhirat. Orang Muslim
yang paling sempurna itu bersujud di hadapan Tuhan Sang Pencipta sambil
berkata: "Sungguh penghormatan dan keberkatan serta shalawat yang baik
tertuju hanya kepada Allah SWT."
Allah SWT membalasnya:
"Salam kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah SWT serta berkat-Nya juga
tercurah kepadamu."
Para malaikat pun
ketika mendengar ucapan itu bertasbih dan mengatakan: "Salam kepada kita
dan kepada hamba-hamba Allah SWT yang saleh."
Ungkapan-ungkapan
tersebut merupakan permulaan tahiyat (penghormatan) yang diucapkan orang-orang
Muslim saat mereka melaksanakan salat pada setiap hari.
Salat telah diwajibkan
atas kaum Muslim pada kesempatan yang besar ini.
Hal populer di kalangan
umumnya kaum Muslim adalah, bahwa Allah SWT mewajibkan atas Nabi mula-mula lima
puluh salat sehari.
Kemudian Nabi turun
dari langit lalu beliau menemui Nabi Musa. Selanjutnya Nabi Musa bertanya
kepadanya tentang jumlah salat yang diwajibkan Allah SWT kepada umatnya.
Nabi menceritakan bahwa
Allah SWT telah menentukan lima puluh kali salat. Nabi Musa berkata sungguh
umatmu tidak akan kuat untuk melakukan salat itu, maka kembalilah kepada
Tuhanmu dan mohonlah kepadanya agar Dia meringankan bagi umatmu.
Lalu Nabi kembali
kepada Tuhan-Nya sehingga Allah SWT meringankan salat hingga sepuluh kali. Setelah
itu, Nabi kembali bertemu dengan Nabi Musa. Lagi-lagi Nabi Musa
memperingatkannya. Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah SWT sehingga sampai
diturunkan salat dari lima puluh kali menjadi lima kali sehari.
Namun salat yang lima
kali itu pahalanya sama dengan salat yang lima puluh kali.
Menurut hemat kami,
kisah tersebut tidak memiliki sandaran dalam kitab-kitab ulama yang benar-benar
teliti. Kami kira, kisah itu tersebut merupakan rekayasa orang-orang Yahudi di
mana mereka masuk Islam dan mereka memenuhi kitab-kitab dengan dongeng-dongeng
khurafat dan mereka menisbatkannya kepada Rasul.
Prasangka tersebut
didukung oleh pemilihan Musa sebagai seorang Nabi yang mengusulkan kepada Rasul
saw agar meminta keringanan atas umatnya sehingga terkesan Nabi Musa menjadi
seseorang yang lebih mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi
Muhammad.
Kami sendiri cenderung
untuk menolak kisah tersebut dengan keyakinan bahwa pertemuan Nabi dengan Allah
SWT menimbulkan rasa kebesaran dan kewibawaan yang luar biasa sehingga ketika
Nabi telah pergi, maka sangat berat baginya untuk kembali lagi.
Nabi menyaksikan dan
melihat hal-hal yang tidak mampu diungkap oleh lisan dan tidak mampu ditulis
dengan pena. Beliau berada di suatu keadaan yang tidak dapat dipahami oleh manusia
biasa. Al-Qur'an al-Karim sengaja tidak menyebutkan apa saja yang dilihat oleh
Nabi karena itu merupakan rahasia antara Nabi dan Tuhannya dan mukjizat yang
khusus yang diperuntukkan baginya sebagai bentuk penghormatan kepadanya.
Jadi Al-Qur'an sengaja
tidak menyebutkan itu semua untuk menegaskan bahwa beliau melihat tanda dari
tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Kami tidak mengetahui
apa yang dilihat oleh Nabi. Hal yang dapat kami bayangkan adalah, bahwa Nabi
bersujud dengan khusuk di hadapan Tuhannya dan beliau menangis karena gembira.
Kesedihan hatinya telah hilang selamanya. Setelah Nabi melihat rahasia dan setelah
penghormatan yang besar ini, beliau kembali menemani Buraq dan pergi bersama
Jibril untuk kembali ke bumi.
Beliau kembali dan
mendapati tempat tidurnya masih hangat. Bagaimana beliau pergi dan kembali
sementara tempat tidurnya belum dingin?
Berapa lama waktu yang
diperlukannya saat melakukan perjalanan tersebut? Hanya Allah SWT semata yang
mengetahui.
Yang kita ketahui
adalah, bahwa Rasulullah saw kembali ke tempat tidurnya setelah Isra' dan
Mi'raj dan hatinya dipenuhi dengan kegembiraan serta dadanya dipenuhi dengan
ketenangan dan kepuasan serta kefanaan dalam cinta kepada Allah SWT.
Kemudian datanglah
waktu pagi. Nabi menceritakan perjalanan dan pengalaman tersebut kepada
sahabat-sahabatnya dan orang-orang Musyrik sehingga berimanlah orang-orang yang
beriman padanya dan mendustakan kepadanya orang-orang yang mendustakannya.
Namun beliau tidak peduli dengan semua itu. Nabi terus melangsungkan
perjuangannya dengan penuh kesabaran.
Akhirnya, datanglah
suatu masa di mana Nabi saw mengetahui bahwa dakwah Islam di Mekah telah
mengalami penekanan yang luar biasa sehingga keadaan sangat tidak mendukung
bagi kaum Muslim.
Rasulullah saw bergerak
dengan dakwahnya. Lalu Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia berhijrah.
Kemudian mulailah Nabi berhijrah di jalan Allah SWT setelah tiga belas tahun
beliau di Mekah. Islam ingin membangun negaranya dan ingin menghilangkan
pengepungan dan serangan kaum musyrik. Mula-mula terjadilah perubahan sedikit
dalam keadaan kaum Muslim.
Rasulullah saw keluar
dalam musim haji untuk menunjukkan dirinya pada kabilah-kabilah Arab
sebagaimana yang beliau lakukan pada setiap musim.
Beliau berada di tempat
yang bernama 'Aqabah, lalu beliau bertemu dengan jamaah dari Khazraj.
Rasulullah saw berkata kepada mereka, "siapa kalian?"
Mereka menjawab:
"Kami berasal dari kelompok Khazraj."
Beliau berkata.
"apakah kalian termasuk pembantu kaum Yahudi?"
Mereka menjawab,
"benar."
Beliau berkata,
"maukah kalian duduk bersama aku karena aku ingin sedikit berbicara dengan
kalian."
Mereka menjawab:
"Boleh."
Kemudian mereka duduk
bersama Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk mengikuti agama Allah SWT.
Rasulullah saw sedikit
menceritakan Islam kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an. Enam orang
mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi saw. Setelah beliau selesai dari
pembicaraannya, mereka membenarkannya dan beriman kepadanya.
Kemudian mereka
menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka meninggalkan kaumnya karena kaum
mereka terlibat peperangan dan kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan
mereka dengan kedatangan Nabi saw yang mulia ini. Mereka memberitahu Nabi saw
bahwa mereka akan menceritakan kepada kaumnya apa yang mereka dengar dari Nabi
saw dan akan mengajak mereka untuk memenuhi dakwah Nabi.
Keenam lelaki itu
kembali ke kota Madinah yang berubah namanya menjadi Madinah Munawarah yang
sebelumnya ia bernama Yatsrib di zaman jahiliah.
Allah SWT berkehendak
untuk meneranginya dengan Islam. Para lelaki itu kembali ke Madinah dan mereka
membawa Islam di hati mereka sehingga banyak orang yang masuk Islam.
Kemudian datanglah
musim haji dan keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki dari orang-orang
yang beriman yang di antara mereka terdapat enam orang yang Rasulullah saw
telah berdakwah kepada mereka pada musim yang dulu dan Nabi saw menemui mereka
di 'Aqabah.
Kemudian Nabi melakukan
baiat pada mereka agar mereka mempertahankan keimanan dan membela dakwah
kebenaran serta kemanusiaan.
Kaum lelaki itu kembali
ke Madinah disertai salah seorang yang terpercaya dari tokoh Islam yaitu Mus'ab
bin Umair di mana ia menjadi utusan Rasulullah saw di Madinah dan ia mengajari
manusia tentang agama mereka dan membacakan kepada mereka Al-Qur'an dan
menyerukan kebenaran kepada manusia sehingga tersebarlah Islam di Madinah.
Penduduk Madinah mulai
bertanya-tanya, mengapa saudara-saudara kita kaum Muslim Mekah ditindas?
Mengapa Rasul saw keluar untuk berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi beliau
justru mendapatkan angin kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan
Rasulullah saw teraniaya dan terusir di Mekah?
Demikianlah, pergilah
tujuh puluh orang ke Mekah, tujuh puluh orang dari penduduk Madinah Munawarah.
Mereka pergi ke 'Aqabah
dalam keadaan sendirian dan berkelompok-kelompok.
Islam telah
menghasilkan buah pertamanya dalam hati mereka sehingga hati mereka dipenuhi
cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta kaum Muslim. Penderitaan yang
dialami kaum Muslim mempengaruhi jiwa mereka dan mencegah mereka dari
mendapatkan kenikmatan tidur dan nikmatnya memakan dan nikmatnya kehidupan.
Orang-orang yang baik
itu datang dan berbaiat kepada Rasul saw untuk membela beliau menolongnya dan
melindunginya serta siap untuk mati di jalannya. Mereka datang setelah hati
mereka diliputi oleh Islam dan mereka memberikan segala sesuatu untuk dakwah
yang baru; mereka datang sebagai pecinta-pecinta kebenaran.
Kitab-kitab hadis yang
suci meriwayatkan apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah al-Kubra.
Dalam kitab tersebut
dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib datang bersama Nabi dan saat itu ia
masih berada dalam agama kaumnya. Ia ingin menyelesaikan urusan anak pamannya.
Ketika ia duduk dan berbicara, ia mengatakan suatu pernyataan yang
mengisyaratkan bahwa Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari kaumnya dan
kekuatan di negerinya tetapi ia enggan dan memilih untuk bergabung bersama
kalian wahai penduduk Madinah. Jika kalian memenuhi janjinya dan melindunginya,
maka ambillah ia, namun jika kalian khawatir jika suatu saat nanti akan
mengkhianatinya, maka mulai dari sekarang biarkanlah ia di negerinya.
Kata-kata Abbas
tersebut berasal dari fanatisme kesukuan dan ikatan darah keluarga namun
penduduk Madinah tidak begitu peduli dengan kalimat Abbas itu karena ia bukan
termasuk dari agama mereka dan ia tidak mengetahui tingkat cinta kepada Rasul
saw yang mereka capai.
Abbas bin Abdul
Muthalib menunggu jawaban dari penduduk Madinah. Lalu mereka berkata kepadanya,
"Kami telah mendengar apa yang engkau katakan, maka berbicaralah ya
Rasulullah, ambilah untuk dirimu dan Tuhanmu apa saja yang engkau sukai."
Kita ingin mengamati
jawaban sekelompok orang yang mukmin dari penduduk Madinah ini sehingga
Rasulullah saw berbicara. Jawaban yang dicari oleh Abbas bin Abu Muthalib
tersembunyi dalam pernyataan Nabi.
Demikianlah setelah
Rasulullah saw mengucapkan kalimatnya, maka tidak keluar pernyataan apa pun.
Cukup hanya Nabi yang berbicara dan mereka hanya menaatinya. Mereka meminta
kepada beliau agar mengambil pada dirinya dan Tuhannya apa saja yang beliau
sukai; mereka merasa tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki keputusan.
Nabi berbicara lalu
beliau membaca Al-Qur'an dan mengajak ke jalan Allah SWT. Kemudian beliau
bebicara tentang Islam dan beliau membaiat mereka agar membantu beliau sehingga
mereka pun membaiat kepadanya. Demikianlah terjadinya baiat 'Aqabah al-Kubra.
Orang-orang yang
terpilih oleh Allah SWT itu mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan diajak
untuk mengangkat senjata: mereka diajak untuk mendapatkan kematian di bawah
naungan pedang. Mereka menenangkan Rasulullah saw bahwa beliau akan mendapati
orang-orang yang sudah terlatih dalam peperangan karena mereka mewarisi dari
kakek-kakek mereka.
Salah seorang dari
tujuh puluh orang itu menyebutkan masalah yang penting.
Abul Haitsyam berkata:
"sesungguhnya di antara orang-orang Madinah dan Yahudi terdapat suatu tali
ikatan, maka mereka boleh jadi akan memutuskannya lalu, apakah sikap yang harus
kita ambil jika mereka lakukan hal itu dan memusuhi orang-orang Yahudi,"
kemudian Allah SWT
menolong Nabi dan memenangkan atas kaumnya, lalu ia kembali kepada mereka dan
meninggalkan mereka di bawah kasih sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah bahwa
pertanyaan tersebut berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan keinginan agar Nabi
tetap bersama mereka selama perjalanan hari dan bulan.
Masalah yang dituntut
oleh Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas adalah masalah perlindungan mereka
kepada Nabi, di mana hal tersebut tidak lagi diperdebatkan oleh orang-orang
yang terpilih dari penduduk Madinah. Namun masalah yang mereka inginkan adalah
masalah perlindungan Nabi dan keberadaan Nabi bersama mereka di Madinah.
Nabi tersenyum dan
beliau mengatakan kalimat-kalimat yang justru menekankan bahwa ikatan akidah
lebih kuat daripada ikatan darah.
Beliau berkata:
"Tetapi darah adalah darah dan kehancuran adalah kehancuran. Aku dari
kalian dan kalian dariku aku akan memerangi orang-orang yang kalian perangi dan
aku akan berdamai dengan orang-orang yang kalian berdamai dengan mereka."
Akhirnya, penduduk
Madinah pergi dan kembali ke negeri mereka. Kemudian berita tentang baiat ini
sampai ketelinga orang-orang Mekah dan para tokoh musyrik, lalu mereka justru
menambah penekanan kepada Rasulullah saw dan kaum Muslim.
Para preman Mekah
berkumpul di Darul Nadwah.
Mereka menetapkan akan
mengambil sesuatu keputusan penting berkaitan dengan Nabi. Salah seorang dari
mereka mengusulkan agar beliau dibelenggu dengan besi lalu dibuang di penjara
sehingga beliau mati kelaparan.
Sebagian lagi
mengusulkan agar beliau dibuang dari Mekah dan diusir. Abu Jahal mengusulkan
agar mereka mengambil dari setiap keluarga dari keluarga-keluarga Quraisy
seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari mereka diberi pedang yang
terhunus dan hendaklah mereka memukulkan pedang itu ke tubuh Nabi. Jika mereka
berhasil membunuhnya niscaya semua kabilah bertanggung jawab terhadap darah
sang Nabi dan Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut dan memerangi orang Arab
semuanya dan mereka akan menerima diyat sebagai tebusan dari pembunuhan itu.
Demikianlah
persekongkolan itu digelar dan mereka sepakat untuk melaksanakan hal itu.
Namun Al-Qur'an
al-Karim menyingkap persekongkolan yang dilakukan orang-orang kafir itu dalam
firman-Nya:
"Dan (ingatlah),
ketika orang-orang kafir memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan
memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya
itu. Dan Allah sebaik-baih Pembalas tipu daya." (QS. al-Anfal: 30)
Allah SWT mewahyukan
kepada Nabi-Nya agar ia berhijrah.
Lalu Nabi mulai
menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau menyembunyikan urusan tersebut
bahkan beliau tidak memberitahu sahabat yang akan menemaninya.
Rasulullah saw menyewa
seorang penunjuk jalan yang pengalaman yang mengenal padang gurun seperti
mengenal garis-garis tangannya. Yang mengherankan penunjuk jalan itu adalah
seorang musyrik. Demikianlah Nabi meminta bantuan kepada orang yang ahli tanpa
memperhatikan keyakinannya.
Kemudian datanglah
malam pelaksanaan kejahatan itu. Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi
Thalib untuk tidur di tempat tidurnya di malam tersebut.
Datanglah pertengahan
malam dan Rasulullah saw pun keluar dari rumahnya. Para pemuda Mekah mengepung
rumah. Mereka menghunuskan pedangnya. Nabi menggenggam tanah lalu beliau
melemparkannya ke arah kaum sehingga mereka pun merasa kantuk sehingga Nabi saw
dapat menembus kepungan mereka. Beliau keluar dari Mekah dan berhijrah.
Dengan langkah yang
diberkati ini, kaum Muslim menanggali tahun-tahun mereka. Tahun dalam Islam
adalah tahun Hijiriah, sedangkan kaum Masehi menanggali tahun mereka dengan
kelahiran Isa dan ini disebut dengan tahun Masehi.
Adapun tahun-tahun
Islam, maka ia ditanggali pertama kalinya saat Rasulullah saw keluar berhijrah
di jalan Allah SWT.
Hijrah Rasul bukan
hanya lari dari penindasan tetapi lari dari kebekuan; hijrah tersebut bukan
keluar dari keamanan tetapi keluar dari bahaya.
Islam di Mekah hanya
dapat mempertahankan dirinya tetapi ketika ia keluar ke Madinah ia
mempertahankan dirinya ketika menyerang.Dan selama beberapa tahun masa yang
dihabiskan di Mekah, tak seorang dari kaum Muslim yang mengangkat senjata.
Ketika mereka keluar ke Madinah, mereka mulai membawa senjata dan mulai
menyalakan obor peperangan.
Islam mulai membawa
senjata sebagaimana luka akan sembuh dengan syarat jika diobati. Nabi saw
mengetahui bahwa Islam tidak akan menghabiskan usianya hanya untuk melawan
serangan pada dirinya; Islam ingin tersebar; Islam ingin mendirikan negaranya
yang pertama yaitu suatu negara yang belum pernah dikenal di muka bumi negara
seperti itu. Negara yang mencapai keadilan, kasih sayang, dan idealisme yang
begitu luar biasa di mana hukum Allah SWT ditegakkan dan kehormatan manusia
benar-benar dijaga.
Inilah kedalaman hijrah
yang mengesankan yaitu pendirian negara Islam setelah sebelumnya membangun
individu masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw membangun masyarakat Muslim dan
membangun masjid, maka beliau membangun suatu negara Islam. Selanjutnya, sayap-sayap
dakwah mengepak.
Kami kira pembaca tidak
akan bertanya, apa gunanya pembangunan masjid ditingkatkan sementara Islam
masih mengalami penindasan di muka bumi.
Kami kira pembaca lebih
pintar daripada orang yang tidak mengetahui bahwa masjid yang dibangun
Rasulullah saw di Madinah bukan tempat peristirahatan dari keletihan, tetapi
masjid merupakan pusat dari kepemimpinan pergerakan Islam dan kepemimpinan
menuju peperangan Islam.
Manusia mandi di masjid
dengan cahaya Allah SWT setelah itu mereka mandi di kancah peperangan dengan
darah mereka.
Pertanyaannya adalah,
siapakah di antara mereka yang akan terbunuh di jalan Allah SWT sebelum
saudaranya? Demikianlah perlombaan dalam perbaikan terjadi di antara mereka.
Dengan cara demikianlah Islam tersebar.
Sementara itu, Nabi
berlindung di suatu gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau masuk ke gua itu
bersama sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik pergi menyusul beliau
dengan membawa pedang mereka. Lalu mereka sampai ke gunung itu.
Abu Bakar berkata kepada
Rasul saw dengan keadaan gelisah, "seandainya salah seorang mereka melihat
di bawah kakinya niscaya mereka akan melihat kita."
Dengan tenang,
Rasulullah saw menepis kegelisahan Abu Bakar dan berkata: "Wahai Abu Bakar
apa yang kamu kira dengan dua orang yang ada di tempat yang sepi sementara
Allah SWT menjadi ketiga di antara mereka?"
Sebelum Rasulullah saw
mengakhiri kalimatnya, terdapat laba-laba yang selesai dari menenun rumahnya di
atas pintu gua.
Kitab-kitab sejarah
mengatakan bahwa kaum musyrik mengikuti jejak sang Nabi sehingga mereka sampai
di gunung Tsur lalu di situlah mereka mengalami kebingungan. Mereka mendaki
gunung dan mendaki gua itu. Lalu mereka melihat di atas pintu gua itu terdapat
tenunan laba-laba.
Mereka mengatakan,
seandainya seseorang masuk di dalamnya niscaya tidak akan terdapat tenunan
laba-laba di atas pintunya. Beliau tinggal di gua itu selama tiga malam.
Demikianlah keimanan
tenunan laba-laba yang lembut dimenangkan atas ketajaman pedang kaum musyrik
sehingga Nabi bersama sahabatnya pun selamat. Kini, kedua orang itu menuju
Madinah. Dan Madinah pun menyambut mereka.
Ketika Rasulullah saw
dan sahabatnya memasuki Madinah, mula-mula masyarakat tidak mengenal siapa di
antara mereka yang menjadi Rasul karena saking baiknya sikap Rasul terhadap
sahabatnya. Akhirnya, Nabi menerangi kota Madinah. Beliau membangun masjid dan
mendirikan negaranya serta memerangi musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan
Mekah pun ditaklukkan dan Baitul Haram disucikan.
Beliau menanamkan dalam
akal dan hati suatu cahaya yang tidak akan pernah padam. Kemudian
berlangsunglah sepuluh tahun yang dilewatinya di Madinah di mana beliau tidak
menggunakannya untuk berleha-leha.
Demikian juga selama
masa tiga belas tahun yang beliau lalui di Mekah, beliau pun tidak mendapatkan
istirahat yang cukup. Semua kehidupan beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya
untuk Islam.
Beban berat yang
dipikul oleh punggung beliau yang mulia lebih berat dari beban yang dipikul
oleh gunung. Meskipun beliau seorang diri, tetapi beliau mampu memikul amanat
yang pernah Allah SWT tawarkan kepada langit dan bumi serta gunung namun mereka
pun enggan untuk memikulnya. karena mereka menyadari bahwa mereka tidak akan
mampu memikulnya.
Lalu datanglah beliau
dan beliau pun mampu memikul amanat itu dan melaksanakannya secara sempurna.
Yaitu amanat untuk menyampaikan agama Allah SWT; amanat untuk menyucikan akal
manusia dari polusi khayalisme dan khurafatisme: amanat yang mewarnai kehidupan
dengan hanya sujud kepada Allah SWT.
Kemudian mengalirlah
dalam memori Nabi saw suatu arus dari gambar-gambar hidup: bagaimana saat
beliau memasuki Madinah. Lewatlah di hadapan akal beberapa memori dan
nostalgia: bagaimana wahyu yang turun kepadanya dengan membawa risalah di gua
Hira, kemudian berubahlah pandangan dan bertiuplah angin kebencian kepadanya,
bahkan angin itu membawa pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke wajah
suci beliau.
Beliau berdiri sambil
tersenyum dan hatinya dipenuhi dengan kesedihan di hadapan gelombang gurun dan
kesendirian serta badai kesengsaraan. "Wahai manusia, tiada Tuhan selain
Allah SWT. Demikianlah kalimat yang beliau katakan. Meskipun kalimat itu tampak
sederhana namun ia mampu membangkitkan dunia.
Dan bergeraklah
patung-patung yang begitu banyak yang memenuhi kehidupan dan mereka membekali
dirinya dengan kegelapan dan kebencian yang dialamatkan kepada sang Nabi.
Para pembesar. para
penguasa, uang, emas, serta kebencian dan kedengkian setan yang klasik dan
banyaknya orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh nyata sang Nabi pada
saat beliau mengatakan "tiada Tuhan selain Allah SWT."
Nabi mengingat kembali
Waraqah bin Nofel ketika menceritakan kepadanya apa yang terjadi dan apa yang
dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan
mengusirnya?
Hari-hari hijrah sangat
panjang dan berat. Matahari sangat dekat dengan kepala dan rasa panas sangat
mencekik tenggorokan dan rasa pusing-pusing pun semakin meningkat. Setelah
hijrah, Nabi memasuki Madinah. Beliau disambut oleh kaum Anshar dengan sambutan
luar biasa. Beliau datang sendirian lalu mereka menolongnya; beliau datang
dalam keadaan takut lalu mereka mengamankannya; beliau datang dalam keadaan
lapar lalu mereka memberinya makanan; beliau datang dalam keadaan terusir lalu
mereka memberikan perlindungan.
Bangunan Islam mulai
ditancapkan di Madinah. Beliau mulai membangun negaranya setelah beliau
membangun sumber daya manusia Islam yang tangguh. Yang pertama kali dibangunnya
adalah sumber daya Islam, setelah itu beliau baru membangun negara. Tidak ada
nilai yang berarti dari satu sistem yang hanya berdasarkan prinsip-prinsip
besar yang tidak lebih dari sekadar tinta di atas kertas. Penerapan
prinsip-prinsip adalah tolok ukur final dari nilai apa pun yang diberlakukan di
dunia.
Dan Islam telah
berhasil menerapkan pada masa-masa pertamanya suatu sistem yang belum pernah
dikenal dalam kehidupan manusia suatu sistem seperti itu. Yaitu sitem yang
menunjukkan keadilan, persaudaraan, dan kasih sayang yang mengagumkan.
Hal yang pertama kali
dilakukan Rasulullah saw adalah membangun masjid di mana di situlah unta yang
ditungganinya berhenti. Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari
pasir-pasir dan batu-batu. Tiangnya terbuat dari batang-batang kurma.
Barangkali ketika turun hujan, maka tanahnya akan menjadi lumpur karena
mendapat siraman air hujan. Mungkin ketika angin bertiup dengan kecang, maka ia
akan mencabut sebagian dari atapnya.
Di bangunan yang
sederhana ini, Rasulullah saw mendidik generasi Islam yang tangguh yang dapat
menghancurkan orang-orang yang lalim dan para penguasa yang bejat dan mereka
mampu mengembalikan kebenaran ke singgasananya yang terusir dan terampas.
Mereka mampu menyebarkan Islam di muka bumi.
Mesjid itu tampak kecil
dan sederhana sekali tetapi ia dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu tidak
menunjukkan kemewahan sama sekali. Di dalamnya Al-Qur'an dibaca lalu
orang-orang yang mendengarnya menganggap bahwa mereka benar dan mendapatkan perintah
harian untuk menerapkan dan melaksanakan apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an dibaca di
masjid bukan seperti nyanyian yang orang-orang duduk akan merasa terpengaruh
dengan keindahan nyanyian dan suara pembaca. Dan masjid di dalam Islam bukanlah
tempat satu-satunya untuk ibadah. Menurut kaum Muslim semua burni adalah masjid
namun masjid adalah simbol peradaban yang beriman kepada Allah SWT dan hari
akhir, sebagaimana ia menyuarakan ilmu, kebebasan dan persaudaraan.
Semua Nabi berbicara
tentang persaudaraan dan mengajak kepadanya dengan ribuan kata-kata. Sedangkan
Rasulullah saw telah mewujudkan persaudaraan itu secara praktis, yakni ketika
karakter masyarakat saat itu mencerminkan Al-Qur'an.
Nabi mulai
mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad bin
Rabi', seorang kaya dari Madinah dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin 'Auf,
seorang yang berhijrah dari Mekah.
Sa'ad berkata kepada
Abdul Rahman: "Sesungguhnya, tanpa bermaksud sombong, aku memang memiliki
harta yang banyak daripada kamu. Aku telah membagi hartaku menjadi dua bagian
dan sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita,
maka lihatlah siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku
menceraikannya lalu engkau dapat menikahinya."
Abdul Rahman bin 'Auf
menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan hartamu.
Di manakah pasar yang engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul Rahman bin 'Auf
keluar menuju ke pasar untuk berkerja. Ia kembali dan membawa sesuatu yang
dapat dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap baik Sa'ad dan
kedermawanannya. Ia bersandar pada keimanan kepada Allah SWT dan lebih memilih
untuk bekerja dan membanting tulang. Tidak berlalu hari demi hari kecuali ia
tetap bekerja sehingga ia mampu untuk membekali dirinya dan melaksanakan
pernikahan.
Demikianlah masyarakat
Islam terbentuk dan menampakkan identitasnya berdasarkan cinta, kebebasan,
musyawarah, dan jihad. Pekerjaan menurut Islam bukan suatu penderitaan untuk
mendapatkan roti atau potongan daging sebagaimana dikatakan peradaban kita masa
kini, tetapi pekerjaan dalam Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan menuju
puncak yang lebih tinggi:
"Dan katakanlah:
'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu. " (QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran bahwa apa
yang kita kerjakan akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan perkerjaan itu
mendapat cita rasa yang lain. Yaitu suatu rasa yang melampaui nikmatnya memakan
roti dan daging. Setelah bekerja, datanglah cinta.
Cinta dalam Islam bukan
hanya perasaan yang menetap dalam hati dan tidak diwujudkan oleh suatu
perbuatan; cinta dalam Islam merupakan langkah harian yang akan mengubah bentuk
kehidupan di sekitar manusia menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang Muslim
mencintai Tuhannya Pencipta alam semesta dan mencintai Rasulullah saw dan
mencintai kaum Muslim dan orang-orang yang berdamai dengan orang-orang Muslim,
meskipun keyakinan mereka berbeda dengannya. Bahkan seorang Muslim mencintai
makhluk secara keseluruhan: ia mencintai anak-anak, hewan, bunga, pasir dan
gunung bahkan benda-benda mati pun mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang
Muslim jika dia benar-benar seorang Muslim akan merasakan dnta yang dialami
oleh Nabi Daud terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini adalah perasaan
sufi yang tinggi. Seorang Muslim akan mewarisi cinta yang sebenarnya seperti
yang diwarisi Nabi Isa terhadap lingkungan yang baik yang ada di sekitarnya di
mana ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing yang mati, maka Nabi Isa tidak
melihat selain keputihan giginya.
Demikianlah cinta yang
tersebar dalam kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun tertuju kepada
binatang dan benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak akan terwujud dengan
suatu keputusan dan tidak ditetapkan dengan suatu undang-undang, tetapi cinta
itu datang biasanya akibat dari kepuasaan akal dan hati dengan adanya
kepemimpinan besar yang hati cenderung kepadanya dan akal mengambil darinya.
Dan yang dimaksud dengan kepemimpinan besar tersebut adalah keberadaan sang
Nabi. Beliau adalah cermin terbesar dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau
adalah seorang yang paling banyak berbuat demi Islam dan paling banyak sedikit
mengharapkan balasan darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin namun beliau
hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang paling sederhana.
Tempat tidurnya bersih tetapi kasar, dan rumahnya tidak menampakkan kesibukan
yang di dalamnya memasak berbagai macam hidangan. Beliau justru menyiapkan
hidangan yang sangat sederhana. Makanan utama beliau adalah roti kering yang
dicampur dengan minyak. Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum Muslim menyadari
bahwa kesempurnaan Islam tidak akan terwujud kecuali ketika cinta Allah SWT dan
Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta diri sendiri, cinta kepada wanita,
cinta kepada anak, kepentingan, kekuasaan, kehidupan, dan apa saja yang tidak
ada hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah kaum Muslim sangat
mencintai pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi mereka. Di samping
pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan Islam yang berdasarkan
kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah dan jihad.
Kebebasan dalam Islam
bukan sekadar perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam tetapi ia merupakan
tenunan dari sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah membebaskan kaum Muslim
dari penyembahan selain dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua belenggu
yang hinggap di atas akal, hati, dan masyarakat. Seorang Muslim memiliki—dalam
Islam—suatu kebebasan yang diberikan kepadanya agar ia melihat sesuatu dengan
akalnya dan mendebat segala sesuatu dengan akalnya. Dan hendaklah ia merasa
puas dengan sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam
bukan kebebasan mutlak yang menjurus kepada anarkisme dan diskriminasi tetapi
kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam ruang lingkup
nas-nas yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur'an atau sunah tidak ada kebebasan
di hadapan orang Muslim selain kebebasan untuk berlomba-lomba untuk menerapkan
apa yang mereka pahami. Selain itu, seorang bebas sampai tidak terbatas, dan
pintu ijtihad tetap terbuka sampai tidak ada batasnya, karena pintu ijtihad
adalah akal dan menutup pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu berarti akan
membawa kematian baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang mati akalnya
atau menga-lami kemunduran; Islam pada hakikatnya memperlakukan manusia dari
sisi akal dan hati.
"Adalah untukmu,
sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang
untukmu, dan Allah meng-hendaki untuk membenarkan yang benar dengan
ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang Islam
karena kekafiran mereka dan kebutuhan mereka serta situasi ekonomi yang
memburuk, mereka ingin bertemu dengan pasukan yang tidak bersenjata; mereka
ingin bertemu dengan kafilah yang kaya, bukan pasukan yang bersenjata; mereka
membutuhkan harta untuk menyebarkan dakwah. Namun Allah SWT menginginkan mereka
dengan keadaan seperti itu agar mereka berhadapan dengan pasukan kafir dan agar
mereka mampu memutus tali kekuatan orang-orang kafir sehingga kebenaran akan
menang.
Keluarlah orang-orang
Muslim dalam peperangan Badar dengan membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan
keuntungan dan kesenangan dengan banyak mengambil ganimah. Namun Allah SWT
menginginkan terjadinya peperangan yang berat, di mana itu berakibat pada
jatuhnya tokoh-tokoh kaum kafir Mekah sebagai korban darinya dan agar Madinah
dapat menahan penderitaan dan kefakiran yang dialaminya. Seharusnya pengikut
Islam tidak membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia justru harus
memberi kepadanya.
Nabi mengetahui sebagai
pemimpin pasukan ia harus mengingatkan pasukannya bahwa mereka akan menemui
kesulitan dan penderitaan, dan bukan masalah sepele seperti yang mereka
bayangkan.
Nabi bermusyawarah
dengan sahabat-sahabat. Beliau berbincang-bincang dengan Abu Bakar Shidiq, Umar
bin Khattab, dan Miqdad bin Amr. Lalu mereka semua sepakat untuk terus
melakukan peperangan apa pun hasilnya dan apa pun pengorbanan yang harus
dilakukan.
Kemudian Rasulullah saw
berkata: "Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri kalian." Rasulullah
saw mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw khawatir jika mereka
memahami bahwa baiat yang terjadi di antara mereka yang berisi agar mereka
melindungi beliau jika beliau diserang di Madinah saja, dan memang pasal-pasal
dari baiat itu mendukung hal itu. Tidakkah mereka mengatakan kepada beliau:
"Ya Rasulullah, kami tidak akan bertanggung jawab kepadamu sehingga engkau
sampai di negeri kami. Jika engkau sampai di negeri kami, maka kami akan
bertanggung jawab untuk melindungimu."
Mayoritas pasukan
terdiri dari orang-prang Anshar, maka Rasulullah saw ingin mengetahui keputusan
mayoritas tentara sebelum dimulainya peperangan. Kaum Anshar mengetahui bahwa
Rasul saw ingin mengetahui pendapat kaum Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad bin
'Auf berkata: "Demi Allah, seakan-akan engkau menginginkan kami ya
Rasulullah." Nabi menjawab, "benar." Kemudian kaum Anshar
menyatakan apa yang mereka rasakan.
Mendengar pernyataan
kaum Anshar itu hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi, bahkan beliau
bergembira dan wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah mendidik mereka
berdasarkan Islam dan Islam tidak mengenal pasal-pasal perjanjian namun ia
justru tenggelam dalam esensinya dan kedalamannya yang jauh. Kaum Anshar
meyakinkan Nabi bahwa mereka benar-benar beriman kepadanya, mencintainya dan
akan mendengarkan apa saja yang beliau katakan serta akan benar-benar menaati
beliau.
Sa'ad bin Mu'ad
berkata:
"Ya Rasulullah,
lakukanlah apa yang engkau inginkan dan kami akan bersamamu. Demi Zat yang
mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau membelah lautan lalu engkau
menyelam di dalamnya niscaya kami akan menyelam bersamamu dan tidak ada
seseorang pun di antara kami yang akan meninggalkanmu."
Demikianlah keteguhan
kaum Anshar. Kalimat tersebut menetapkan peperangan paling penting dan paling
berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan kaum Anshar
dan Muhajirin dalam pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan perasaan Nabi Musa
ketika mereka mengatakan kepadanya, "pergilah engkau wahai Musa bersama
Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami di sini hanya duduk-duduk saja."
Namun kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya Rasul saw memerintahkan mereka
untuk melalui lautan dengan berjalan kaki di atas ombaknya niscaya mereka akan
melakukan hal itu walaupun berakibat pada tenggelamnya mereka dan kematian
mereka dan tak seorang pun yang akan menentang perintah Rasul saw tersebut.
Akhirnya, kaum Muslim
bersiap-siap untuk memasuki kancah peperangan lalu mereka membuat kemah-kemah
yang di situ ditentukan tempat peristirahatan dan pergerakan tentara Islam.
Tempat itu ditentukan oleh Rasul saw.
Allah SWT membiarkan
Rasul-Nya melakukan kesalahan dalam memilih tempat sehingga itu akan dapat
menjadi pelajaran bagi kaum Muslim dalam kaidah umum dari kaidah-kaidah
peperangan yaitu sikap pemimpin pasukan untuk mengambil suatu kebijakan yang
penting yang berdasarkan pengalaman.
Kemudian datanglah
Habab bin Mundzir kepada Rasulullah saw dan bertanya kepadanya, "apakah
tempat yang kita jadikan sebagai pusat pergerakan tentara kita merupakan
pilihan dari Allah SWT dan Rasul-Nya hingga kita tidak dapat mendahuluinya dan
mengakhirinya yakni kita tidak dapat memberikan pendapat kita ataukah itu hanya
masalah yang bersifat tehnik yakni itu terserah pada pendapat kita dan sesuai
kebijakan saat perang dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah saw berkata:
"Tetapi itu adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu daya."
Habab berkata: "Ya
Rasulullah ini adalah tempat yang tidak tepat."
Sahabat yang sarat
pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan Madinah dapat minum darinya sedangkan
pasukan Mekah tidak dapat mengambil darinya. Kemudian berpindahlah pasukan
Muslim menuju tempat yang telah ditentukan oleh pengalaman militer.
Sampailah pasukan Mekah
di mana jumlah mereka mendekati seribu tentara dan mereka akan berhadapan
dengan tiga ratus tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan Quraisy berada di tempat
yang jauh dari lembah.
Pasukan kafir terdiri
dalam perang Badar dari pemuka-pemuka Quraisy dan pahlawan-pahlawan mereka,
sedangkan pasukan Muslim terdiri dari keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga
dekat dari pasukan kafir.
Allah SWT telah
menentukan agar seorang anak bertemu dengan ayahnya, saudara bertemu dengan
sesama saudara dan sesama ipar bertemu di medan peperangan. Mereka semua
dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka ditentukan oleh pedang.
Akhirnya, peperangan
Badar pun terjadi dan kaidah utama adalah kaidah persaudaraan sesama Muslim.
Dan ketika pasukan Muslim berpegang teguh di atas dasar Islam, maka pasukan
kafir mulai terpecah belah namun keadaan tersebut mereka sembunyikan.
Lalu 'Utbah bin Rabi'ah
berbicara di tengah-tengah pasukan Mekah dan mengajak mereka untuk menarik
kembali dari peperangan. 'Utbah memberikan pernyataan sesuai dengan tuntutan
akal sehat,
"wahai orang-orang
Quraisy demi Allah, jika kalian harus memerangi Muhammad, maka kalian akan
menyesal karena kita berhadapan dengan saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi
kita akan membunuh anak paman kita, atau salah seorang dari kerabat kita.
Mengapa kalian tidak membiarkannya saja?"
Kalimat yang rasional
tersebut cukup menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian tentara merasa puas
dengan pernyataan tersebut karena mereka melihat bahwa tidak ada gunanya
peperangan itu. Namun kebohohan justru memadamkan kalimat yang rasional itu.
Abu Jahal menuduh bahwa
yang mengucapkan kata-kata adalah orang yang penakut. Kemudian Abu Jahal lebih
memilih pendapatnya untuk menetapkan terus memerangi kaum Muslim.
Pemimpin pasukan kafir
yaitu Abu Jahal mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah berbohong.
Kitab-kitab sejarah
menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif menyendiri dalam perang Badar bersama Abu
Jahal sebelum terjadinya peperangan tersebut dan bertanya kepadanya,
"wahai Abul Hakam,
tidakkah engkau melihat bahwa Muhammad pernah berbohong?"
Abul Hakam menjawab:
"Bagaimana mungkin ia berbohong atas Allah, sedangkan kami telah
menamainya al-Amin (orang yang dapat dipercaya)."
Peperangan tersebut
bukan sebagai usaha untuk mendustakan Rasul saw tetapi itu hanya semata-mata
untuk menjaga kepentingan-kepentingan sesaat dan keadaan ekonomi.
Demikianlah orang-orang
kafir mempertahankan nilai yang paling rendah yang ada di muka bumi yang juga
dipertahankan oleh binatang, sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai
yang paling tinggi di bumi dan di langit yang ikut serta di dalamnya para
malaikat.
Kemudian datanglah
waktu malam menyelimuti dua kubu.
Tiga ratus tentara yang
mukmin sudah bersiap-siap dan mendekati seribu tentara musyrik. Orang-orang
musyrik datang dengan menunggangi tunggangan mereka dan tampak mereka memiliki
persenjataan yang lengkap, sedangkan setiap orang Muslim datang di atas satu
kendaraan.
Pakaian yang dipakai
orang-orang musyrik tampak masih baru dan pedang-pedang mereka tampak mengkilat
serta baju besi yang mereka gunakan sangat unggul dan kuat.
Alhasil, mereka
memiliki persiapan yang sangat mengagumkan sedangkan pakaian yang dipakai
orang-orang Muslim tampak sudah usang dan pedang-pedang kuno pun mereka gunakan
dan baju besi yang mereka gunakan tampak tidak sempurna.
Nabi Muhammad SAW
melihat keadaan pasukannya lalu hati beliau tampak sedih melihat pasukan
tersebut.
Beliau berdoa kepada
Tuhannya:
"Ya Allah,
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah mereka.
Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tanpa alas kaki, maka
tolonglah mereka. Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak
berpakaian, maka berilah mereka pakaian."
Kemudian rasa kantuk
menghinggapi mata kedua pasukan lalu mereka beristirahat di tengah-tengah
malam. Jatuhlah hujan kecil yang membuat tempat itu basah sehingga kelembaban
mengitari kaum Muslim. Hujan tersebut membasuh tanah perjalanan dan
menghilangkan debu-debu kepayahan serta menyucikan hati dan membangkitkan
kepercayaan atas kemenangan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteram dari-Nya, dan
Allah menurunkan hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan
memperteguh dengannya telapak kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah waktu pagi di
Badar lalu kaum Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi memerintahkan pasukan Muslim
untuk bertahan.
Rasulullah saw
bersabda:
"Jika musuh
mengepung kalian, maka usirlah mereka dengan panah dan janganlah kalian
menyerang mereka sehingga kalian diperintahkan."
Demikianlah ketetapan
militer yang sangat jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim membentengi mereka
di tempat-tempat mereka agar orang-orang musyrik mendapatkan kerugian dari
serangan yang mereka lakukan.
Kita mengetahui dari
ilmu militer saat ini bahwa seorang yang menyerang memerlukan tiga atau tiga
kali lipat dari jumlah yang biasa dilakukan sehingga serangannya betul-betul
efektif; kita mengetahui bahwa jumlah pasukan musyrik tiga kali lipat
dibandingkan dengan tentara Muslim.
Kaum musyrik dilihat dari
segi jumlah sangat memadai untuk memenangkan peperangan, dan persenjataan
mereka lebih lengkap dari persenjataan kaum Muslim. Jumlah hewan yang mereka
miliki pun sama dengan jumlah mereka, sedangkan tiap tiga orang Muslim
berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan saat itu sangat
menguntungkan kaum musyrik. Tanda-tanda kemenangan tampak menyertai bendera
kaum musyrik, tetapi kemenangan peperangan bukan karena kebesaran jumlah
pasukan dan persenjataan yang lengkap. Terkadang peperangan justru dimenangkan
oleh unsur spiritual yang tidak kelihatan.
Spiritualitas tentara
dan keimanannya tentang persoalan yang dipertahankannya serta keinginannya
untuk mendapatkan dua kebaikan: kemenangan atau kematian dan hasratnya yang
tinggi untuk meneguk madu syahadah, semua itu dapat mengubah seorang tentara
menjadi makhluk yang tidak terkalahkan.
Boleh jadi ia akan
merasakan kematian tetapi jauh dari kekalahan. Demikianlah keadaan pasukan
Muslim.
Sementara itu debu-debu
berterbangan di atas kepala pasukan yang bertempur dan kaum Muslim mencurahkan
tenaga yang keras dalam peperangan itu. Ketika dua pasukan saling bertemu dan
bertempur, Nabi Muhammad SAW melihat mereka, lalu Nabi saw menyaksikan
pasukannya terjepit.
Pasukan yang berjumlah
sedikit dengan persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan oleh orang
kafir.
Dalam keadaan demikian,
Nabi saw meminta pertolongan kepada Tuhannya: 'Ya Allah, kirimkanlah bantuan
dan pertolongan-Mu. Ya Allah, wujudkanlah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, jika
kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka
bumi."
Renungkanlah, bagaimana
kesedihan Nabi saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, kita dapat
memahami mengapa Nabi saw meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin pasukan
tertinggi Muhammad bin Abdillah keluar berperang di jalan Allah SWT dan saat
ini kematian sedang mengitari kaum Muslim, lalu apa yang dipikirkan oleh Nabi
saw pada keadaan yang sulit tersebut? Pemikiran Nabi saw melebihi hal yang
sekarang dan menuju pada hal yang akan datang, dan yang menjadi fokus Nabi
adalah penyembahan Allah SWT di muka bumi: "Ya Allah, jika kelompok ini
dihancurkan, maka Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi."
Nabi tidak terlalu
mengkhawatirkan kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru mengkhawatirkan
sesuatu yang lebih besar dari itu. Yang beliau khawatirkan adalah penyembahan
kepada Allah SWT akan berhenti di muka bumi.
Oleh karena itu, Nabi
meminta tolong kepada Tuhannya dan mengingatkan kembali kepada Tuhannya dan
Allah SWT lebih tahu dari hal itu.
Kemudian turunlah bala
tentara malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankankan-Nya
bagimu: 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan
seribu malaikat yang datang berturut-turut.' Dan Allah tidak menjadikannya
(mengirim bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi
tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah itu Nabi saw
menghampiri sahabat Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan berita gembira wahai
Abu Bakar, sesungguhnya telah datang kepadamu bantuan dari Allah SWT."
Turunnya para malaikat
merupakan cara untuk meneguhkan kaum Muslim dan berita gembira kepada mereka.
Mukjizat itu bukan terletak pada penyertaan para malaikat dalam peperangan,
namun melalui nas-nas ditegaskan bahwa peranan malaikat tidak lebih dari
sekadar membawa berita gembira dan memberikan dukungan moril serta memenuhi
hati dengan ketenangan. Kami kira bahwa Allah SWT ingin agar para malaikat
menyaksikan manusia-manusia malaikat yang mempertahankan akidah tauhid.
Demikianlah Allah SWT
mewahyukan kepada malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh karena itu, hendaklah
orang-orang yang beriman merasa tenang dan kebenaran akan tertancap pada hati
mereka sedangkan orang-orang kafir pasti akan merasakan ketakutan.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku bersama kamu,
maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.' Kelak akan Aku
jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala
mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian
itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), maka rasakanlah
hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab
neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu orang-orang kafir
pun mengalami kekalahan. Setelah peperangan itu, terbunuhlah tujuh puluh kafir
dan tujuh puluh tawanan dari mereka dan sebagian pasukan melarikan diri.
Runtuhlah tokoh-tokoh kebencian dan kelaliman di peperangan tersebut.
Hancurlahlah Abu Jahal,
pemimpin pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah kini terkapar.
Rasulullah saw berdiri
di depan bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: "Wahai Utbah bin
Rabi'ah, wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin Khalf, wahai Abu Jahal bin
Hisam, apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan oleh tuhan kalian kepada
kalian. Sungguh aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku."
Orang-orang Muslim
berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau memanggil kaum yang sudah
mati?"
Rasulullah berkata:
"Kalian tidak mengetahui apa yang aku katakan kepada mereka, tetapi mereka
tidak mampu menjawab perkataanku."
Rasulullah saw tinggal
tiga malam di Badar kemudian beliau kembali ke Madinah. Di depan beliau
terdapat tawanan-tawanan perang dan ganimah.
Kaum Muslim sangat
menanggung beban berat dengan banyaknya tawanan perang. Mula-mula Rasulullah
saw bermusyawarah dengan sahabat Abu Bakar dan Umar.
Abu Bakar berkata:
"Ya Rasulullah, mereka adalah keturunan dari saudara-saudara dan keluarga,
dan aku melihat lebih baik engkau mengambil fidyah (tebusan) dari mereka
sehingga apa yang engkau ambil tersebut merupakan kekuatan bagi kita terhadap
orang-orang kafir, dan mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka
sehingga mereka menjadi tulang punggung kita."
Kemudian Rasulullah saw
menoleh kepada Umar bin Khattab sambil berkata, "bagaimana pendapatmu
wahai Ibnul Khattab?"
Lelaki itu berkata:
"Demi Allah, aku tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Abu Bakar
tetapi aku berpendapat, seandainya aku mampu untuk bertemu dengan salah seorang
kerabatku, maka aku akan memukul lehernya, dan seandainya Ali mampu bertemu
dengan keluarganya, maka ia pun akan memukul lehernya begitu Hamzah sehingga
Allah SWT mengetahui bahwa tidak ada di hati kita kelembutan kepada kaum
musyrik."
Pasukan Madinah dan
pasukan Mekah terdiri dari keluarga-keluarga yang terikat hubungan kekerabatan,
namun kehendak Allah SWT menetapkan terjadinya peperangan sesama keluarga:
antara anak dan orang tuanya.
Umar menginginkan agar
keadaan demikian terus berlanjut sehingga orang-orang musyrik mengetahui bahwa
Islam tidak ingin berdamai. Kemudian Selesailah urusan itu dan terjadi
peperangan di jalan Allah SWT dan mengangkat senjata dan berperang adalah suatu
kewajiban yang tiada keraguan di dalamnya.
Nabi Muhammad SAW
menoleh kepada kaum Muslim dan mendapati sebagian besar mereka cenderung kepada
pendapat Abu Bakar. Nabi saw mengikuti pendapat mayoritas saat itu. Pendapat
mayoritas salah dan hanya Umar yang benar.
Ini adalah peperangan
pertama yang dilalui oleh Islam. Hendaklah kaum Muslim harus meninggalkan
dorongan kemanusiaan mereka, yakni orang-orang kafir harus dibunuh agar
musuh-musuh Allah SWT mengetahui bahwa Islam telah memilih darah. Allah SWT
telah mendukung Umar bin Khattab dalam Al-Qur'an sehingga Nabi saw dan Abu
Bakar menangis ketika keduanya menyadari kesalahan mereka pada hari berikutnya,
lalu Umar memergoki mereka dalam keadaan menangis dan ia bertanya,
"apa yang
menyebabkan Rasulullah saw dan temannya di gua menangis?"
Kemudian Rasulullah saw
membaca Al-Qur'an:
"Tidak patut bagi
seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka
bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya
tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa
siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil." (QS. al-Anfal: 67-68)
Kedua ayat itu
mengatakan bahwa ini bukan saatnya melindungi para tawanan dan berusaha untuk
menebus mereka. Waktu Demikian belum saatnya. Nabi tidak berhak memiliki
tawanan kecuali jika ia telah melakukan banyak peperangan dan banyak berjihad
dan telah banyak membunuh dan dakwahnya telah mapan.
Kedua ayat tersebut
menyingkap tujuan di balik penebusan tawanan:
"Kamu menghendaki
harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu)."
Demikianlah pemikiran
yang mempertimbangkan keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu adalah pemikiran
yang bersifat taktik sebagaimana yang kita ungkapkan dalam istilah modern dan
bukan pemikiran yang bersifat strategis.
Kemudian para tawanan
tersebut bukan tawanan biasa tetapi menurut istilah modern mereka adalah
penjahat-penjahat perang. Oleh karena itu, nyawa mereka harus ditumpahkan saat
mereka dapat ditangkap, meskipun mereka memiliki kekayaan yang banyak atau
kedudukan yang tinggi.
Islam tidak mengakui
kekayaan atau kedudukan, yang diakuinya adalah keimanan, sedangkan
pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya tidak dihiraukan oleh Islam.
Nas Al-Qur'an
memperingatkan orang-orang yang menang bahwa kesalahan mereka bisa berakibat
pada datangnya siksaan yang bakal mereka terima tetapi Allah SWT mengampuni
mereka dan menurunkan rahmat-Nya: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan
yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena
tebusan yang kamu ambil."
Siksaan tersebut memang
lebih dekat daripada pohon yang dekat ini, kemudian Allah SWT mengampuni mereka
dan Allah SWT mengampuni sahabat-sahabat yang terjun di perang Badar, baik dosa
yang lalu maupun dosa mereka yang akan datang.
Demikianlah Al-Qur'an
ingin mendidik kaum Muslim agar mereka tidak banyak mempertimbangkan urusan
manusiawi saat berperang. Jadi, Islam memulai peperangannya yaitu peperangan
yang hanya ditujukan kepada Allah SWT dan hendaklah peperangan tersebut
dihilangkan dari pertimbangan-pertimbangan yang sulit sehingga sahabat-sahabat
Nabi mengetahui bahwa kecenderungan kepada kesenangan duniawi akan berakibat
pada kekalahan mereka.
Dalam peperangan Uhud
jumlah kaum musyrik tiga ribu sedangkan jumlah kaum Muslim tiga ratus pasukan
setelah pemimpin orang-orang munafik Abdullah bin Saba' mengundurkan diri
pasukan.
Kaum Muslim diletakkan
di gunung dan Rasulullah saw membuat rencana yang jitu untuk memenangkan
pertempuran di mana beliau membagi pasukan pemanah di puncak gunung untuk
melindungi punggung kaum Muslim dan melindungi mereka dari serangan dari arah
belakang.
Rasulullah saw memberi
pengertian kepada pasukan panah itu agar mereka tetap di tempatnya baik kaum
Muslim menang maupun kalah. Yakni bahwa pasukan pemanah tidak boleh turun dari
gunung dan meski berusaha untuk melindungi kaum Muslim.
Rasulullah saw berkata
kepada mereka. "lindungilah punggung-punggung kami. Jika kalian melihat
kami sedang bertempur, maka kalian tidak usah turun darinya dan tidak usah
menolong kami, dan jika kalian melihat kami memperoleh kemenangan dan mengambil
ganimah, maka kalian tidak boleh ikut serta bersama kami."
Setelah membuat
keputusan tersebut, Rasulullah saw kembali ke pasukan yang lain, lalu beliau
membikin suatu rencana untuk menyerang.
Dan Dimulailah peperangan
kemudian pasukan Islam mendorong pasukan musyrik laksana angin yang kencang
yang memporak-porandakan ribuan kaum musyrik. Pada tahapan pertama pasukan
Islam tampak menguasai medan dan berhasil menyapu kaum musyrik sehingga pasukan
Mekah tampak berputus asa meskipun mereka unggul secara bilangan dan meskipun
mereka memiliki kuatan persenjataan yang lengkap, pasukan Mekah justru
dikagetkan dengan ketangguhan pasukan Muslim yang dapat memukul mundur mereka
hingga mereka membayangkan balwa mereka tidak dapat memenangkan peperangan atau
dapat bertahan di hadapan pasukan Muslim.
Debu-debu peperangan
mulai berterbangan yang menyertai tanda-tanda kekalahan pasukan Mekah.
Sementara itu, para pemanah yang diletakkan Rasulullah saw di suatu tempat yang
strategis berpikir untuk memperoleh ganimah.
Pasukan Mekah telah
kalah dan mereka telah melarikan diri dari pasukan Muslim, maka bagaimana
seandainya para pemanah turun dari tempat mereka untuk mengumpulkan harta
rampasan dan ganimah.
Rasulullah saw telah
mengingatkan mereka agar jangan meninggalkan tempat mereka, apa pun yang
terjadi tetapi pasukan pemanah itu justru berkhianat dan menentang perintah
Nabi saw setelah mereka membayangkan bahwa peperangan telah selesai dan
keuntungan akan diperoleh pasukan Madinah yang beriman.
Pasukan pemanah mengira
bahwa Allah SWT akan menutupi kesalahan mereka dan akan melindungi mereka
sehingga mereka berhasil mengambil harta rampasan dan ganimah. Sungguh
keikhlasan telah tercabut dari hati sebagian pasukan.
Belum lama hal tersebut
berlangsung sehingga terjadilah perubahan yang drastis pada peperangan.
Pemimpin pasukan
berkuda musyrik dalam peperangan Uhud yaitu Khalid bin Walid (yang kemudian ia
menjadi tokoh Muslim) adalah orang yang sangat jenius dalam peperangan.
Begitu ia melihat
pasukan pemanah lari dari tempat mereka, maka ia melihat celah yang terbuka di
tengah-tengah kaum Muslim, sehingga ia segera memutarkan kudanya dan disertai
pasukan yang mengikutinya. Kemudian ia menyerang kaum Muslim dari belakang. Serangan
yang dilakukan Khalid itu sangat cepat dan sangat mengejutkan. Orang-orang
musyrik mengambil kesempatan emas.
Mereka yang tadinya
lari, kini mereka menarik diri dan justru menyerang kembali.
Pasukan Muslim dikepung
dari dua arah oleh pasukan berkuda: satu dari belakang dan yang lain dari
depan. Kemudian berjatuhanlah korban-korban dari pasukan Muhammad bin Abdillah.
Banyak di antara mereka
yang mati sebagai syahid saat mempertahankan dan melindungi Rasulullah saw,
bahkan sang Nabi pun hidungnya terluka dan giginya pun runtuh dan kepala beliau
yang mulia terluka sehingga beliau mengucurkan darah.
Kemudian tersebarlah
isu bahwa Muhammad saw telah meninggal. Ketika mendengar itu, kaum Muslim
sangat terpukul dan sangat sedih sehingga kaum Muslim pun terpecah-pecah.
Sebagian mereka kembali ke Mekah dan sekelompok yang lain ke atas gunung dan
mereka tetap menjaga Nabi saw yang mulia.
Ketika mendengar
kematian Nabi, Anas bin Nadhir berkata kepada kaumnya: "Bangkitlah kalian
dan matilah seperti kematiannya. Apa yang kalian lakukan setelah kalian hidup
sesudahnya."
Pasukan Muslim tetap
bertahan dan melakukan peperangan, lalu tekanan kaum musyrik semakin berat
kepada Nabi saw dan para sahabatnya. Kemudian terjadilah kejadian yang paling
sulit dalam sejarah umat Islam.
Nabi saw berteriak saat
melihat kaum musyrik menekannya dan berusaha membunuhnya: "Barangsiapa
yang dapat mengusir mereka dariku, maka baginya surga."
Mendengar perkataan
itu, kaum Muslim segera mengitari Nabi saw dan melindungi beliau sehingga banyak
dari mereka berguguran sebagai syahid. Bahkan sahabat-sahabat Abu Juanah
melindungi Nabi saw sampai-sampai punggungnya dipenuhi dengan anak-anak panah.
Ia bagaikan baju besi yang dipakai kepada Nabi saw dan ia tetap kokoh
melindungi sang Nabi saw.
Kemudian berubahlah
keadaan karena keteguhan dan keberanian yang diperlihatkan oleh kaum Muslim.
Pasukan Mekah merasa puas dan mereka memilih untuk menarik diri. Saat itu
orang-orang Quraisy tidak lebih sedikit penderitaannya daripada orang-orang
Muslim.
Setelah peperangan yang
dahsyat itu, kaum musyrik menarik diri setelah mereka berhasil membunuh
beberapa orang Muslim, bahkan mereka berhasil melukai pemimpin pasukan yaitu
sang Nabi saw.
Semua itu terjadi
karena satu kesalahan yaitu kesalahan terletak pada penentangan dan
pembangkangan para pemanah terhadap perintah sang Rasul saw dan usaha mereka
untuk meninggalkan tempat mereka.
Ketika sebagian
kelompok dari sahabat kehilangan pengorbanan dan kehilangan sikap ikhlas dalam
hati mereka, maka kesalahan tersebut harus dibayar oleh tentara yang paling
berani dan mulia di antara mereka yaitu sang Nabi saw.
Langit tidak ikut
campur untuk menyelamatkan pasukan Islam itu.
Kesalahan kaum Muslim
itu harus dibayar oleh Rasul saw di mana wajah beliau pun terluka bahkan keluar
darah yang cukup deras dari luka beliau sehingga setiap kali dituangkan air di
atas luka itu, maka darah pun semakin deras mengucur.
Darah itu tidak berhenti
kecuali setelah dibakarkan potongan tembikar lalu dilekatkan di atasnya.
Luka beliau bukan hanya
bersifat materi tetapi luka spiritual beliau dan ruhani beliau pun semakin
bertambah.
Ini beliau rasakan
ketika mendengar bahwa pamannya Hamzah gugur sebagai syahid dan tidak cukup
dengan itu, bahkan istri Abu Sofyan yaitu Hindun membelah perutnya dan
mengeluarkan jantungnya serta mengunyahnya dengan mulutnya. Semua itu semakin
menambah kesedihan sang Nabi.
Kaum Quraisy menguasai
pasukan Muslim dan mereka memberlakukan dan menekan kaum Muslim secara aniaya.
Seandainya bukan karena
rahmat Allah SWT niscaya kaum Muslim akan mengalami kekalahan yang telak.
Kemudian turunlah dalam
Al-Qur'an al-Karim ayat-ayat yang mendidik kaum Muslim agar mereka benar-benar
ikhlas dan memahamkan mereka bahwa kekalahan mereka sebagai akibat dari adanya
pasukan di antara mereka yang menginginkan dunia meskipun di antara mereka ada
sebagian yang menginginkan akhirat.
Jika terjadi demikian,
maka tidak ada jalan untuk memperoleh kemenangan. Ini bukanlah hal yang
diinginkan oleh pasukan Muslim, yang diharapkan adalah hendaklah semua pasukan
tertuju untuk mencapai ridha Allah SWT dan hanya mengharapkan akhirat. Jika
demikian halnya, maka Allah SWT akan memberi mereka dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman dan
menceritakan peperangan Uhud dalam surah Ali 'Imran:
"Di antaramu ada
orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki
akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya
Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas
orang-orang yang beriman." (QS. Ali 'Imran:: 152)
Allah SWT memaafkan hal
itu. Orang-orang Muslim kini menghitung jumlah korban mereka dan mengobati
orang-orang yang terluka.
Rasulullah saw bertanya
tentang pamannya Hamzah, dan ketika beliau mendapatinya di tengah-tengah
sahabat yang gugur, dan orang-orang kafir telah merusak jasadnya, maka beliau
berkata dalam keadaan menangis:
"Tidak akan ada
orang yang akan tertimpa sepertimu selama-lamanya."
Kemudian Nabi saw
berdiri dan memuji Allah SWT lalu beliau memerintahkan untuk mengembalikan
orang-orang yang terbunuh dari kaum Muslim ke tempat asal mereka di mana mereka
terbunuh.
Saat itu keluarga
mereka telah membawanya ke kuburan kemudian Nabi saw mengumpulkan kedua orang
laki-laki dari pahlawan-pahlawan Uhud dalam satu pakaian dan beliau bertanya
siapa di antara keduanya yang paling banyak mengambil manfaat dari Al-Qur'an.
Jika diisyaratkan kepada salah satunya, maka beliau akan mendahulukannya untuk
dimasukan dalam liang lahad.
Rasulullah saw juga
memerintahkan agar mereka dikebumikan dengan darah mereka dan beliau pun tidak
mensalati mereka, serta tidak memandikan mereka.
Allah SWT ingin
memperlihatkan bagaimana mereka dibangkitkan pada hari kiamat lalu beliau
bersabda: "Tiada seorang pun yang terluka di jalan Allah SWT kecuali Allah
SWT membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan di mana lukanya akan mengucur
darah. Warna itu adalah warna darah dan baunya seperti minyak misik."
Bukanlah penderitaan
yang dalam yang merupakan pelajaran yang harus dimengerti kaum Muslim dari
peperangan Uhud sebagai akibat dari pembangkangan mereka dari perintah Rasul
saw dan ketidaktaatan mereka kepadanya, tetapi wahyu juga menurunkan berbagai
pelajaran yang lain yang dapat dimanfaatkan.
Pelajaran yang
terpenting setelah pelajaran kesetiaan adalah penjelasan tentang central utama
yang di situ kaum Muslim berkumpul.
Pribadi Rasulullah saw
bukanlah markas yang di situ kaum Muslim berkumpul yang ketika pribadi
Rasulullah saw yang mulia pergi karena satu dan lain hal, maka orang-orang
Muslim akan pergi dan meninggalkan beliau.
Tidak seharusnya
pribadi Rasul saw menjadi markas atau central tetapi yang menjadi central dari
semuanya adalah pemikiran beliau. Itulah yang paling penting.
Demikianlah bahwa
Al-Qur'an al-Karim mencela orang-orang yang meletakkan senjatanya ketika
tersebar isu terbunuhnya Nabi saw. Islam tidak akan mencapai puncaknya ketika
kaum Muslim berkumpul di sisi Rasulullah saw saat beliau masih hidup namun
ketika beliau terbunuh atau mati, maka mereka murtad di mana mereka membuang
senjatanya dan pergi mengurusi diri mereka sendiri.
Orang-orang Islam
adalah orang-orang yang mengikuti prinsip bukan mengikuti pribadi. Muhammad bin
Abdillah memang seorang pemimpin manusia dan Imam para rasul dan penutup para
nabi, dan sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia, namun ini semua tidak
membenarkan bahwa seorang Muslim diperbolehkan untuk meletakkan senjatanya
ketika Rasul saw wahfat atau terbunuh.
Hendaklah seorang
Muslim memanggul senjatanya dan tidak membuang dari tangannya kecuali dalam dua
keadaan: pertama ketika ia telah memperoleh kemenangan dan kedua ketika ia
telah mati.
Nas Al-Qur'an
menjelaskan secara gamblang hubungan kaum Muslim dengan akidah Islam, bukan
dengan pribadi sang Rasul saw.
Allah SWT berfirman:
"Muhammad itu
tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat
mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali 'Imran: 144)
Demikianlah bahwa
peperangan Uhud telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kaum Muslim,
utamanya terhadap Nabi saw.
Orang-orang yang
terbunuh di perang Uhud adalah sahabat-sahabat yang paling mulia dan paling
banyak imannya.
Mereka adalah pilihan
dari orang-orang Muslim yang pertama; mereka memikul beban dakwah di saat-saat
yang sulit bahkan mereka harus berhadapan dan memusuhi kerabat mereka dan
teman-teman mereka; mereka menjadi terasing saat menyatakan keislaman mereka sebelum
hijrah dan sesudahnya; mereka telah menginfakkan harta; mereka berjuang di
jalan Allah SWT; mereka telah bersabar dalam menanggung berbagai macam
penderitaan, dan ketika datang saat yang paling berbahaya dan pasukan Islam
telah terkepung di mana jiwa Rasul saw telah terancam, mereka justru
mencurahkan darah mereka bagaikan lautan yang menenggelamkan orang-orang kafir
dan mereka mampu melindungi sang Rasul saw dan mengubah jalan peperangan serta
menyelamatkan akidah tauhid.
Peperangan Uhud
bukanlah pengorbanan pertama yang dilakukan oleh kaum Muslim dan bukanlah
merupakan peperangan yang terakhir.
Ia adalah satu
peperangan di antara cukup banyak peperangan yang dilalui oleh Islam untuk
menyebarkan kalimat Allah SWT di muka bumi dan membimbing hamba-hamba-Nya.
Begitu juga pengorbanan Rasul saw, dan peperangan Uhud bukanlah pengorbanan
yang pertama terhadap Islam dan bukan juga yang terakhir.
Rasulullah saw telah
hidup setelah diutusnya kepada manusia di mana beliau telah memberikan semuanya
untuk kehidupan dan untuk dakwah; beliau tidak memiliki dirinya sendiri; beliau
tidak memboroskan waktunya dengan sia-sia bahkan beliau beristirahat sedikit
saja. Semua kehidupan beliau diberikan kepada dakwah dan untuk Islam.
Beliau menjalani
berbagai macam peperangan dan beliau memikul berbagai macam penderitaan dan
belum lama beliau lari dari suatu problem kecuali beliau berhadapan dengan
problem yang baru dan lain; belum lama beliau menyelesaikan suatu krisis
kecuali beliau menghadapi krisis yang lain.
Demikianlah kehidupan
sang Nabi saw di mana beliau selalu memberikan kontribusi dan sumbangannya demi
kepentingan agama Allah SWT.
Silakan Anda mengamati
kehidupan sang Rasul saw dari sudut manapun yang Anda inginkan niscaya Anda
tidak akan menemukan sudut dari sudut-suduut kehidupan beliau kecuali dimulai
dan dipenuhi dengan pergulatan yang hebat.
Rasulullah saw telah
melalui pergulatan militer dalam berbagai macam pertempuran yang silih berganti
yang beliau lakukan. Beliau memulai pergulatan politiknya yang terwujud dalam
perundingan-perundingan dan surat-surat yang beliau kirimkan kepada penguasa
dan para raja di berbagai negara agar mereka memeluk Islam, bahkan beliau
melakukan pergulatannya dalam masalah pribadi di rumah tangga.
Rumah tangga beliau pun
tidak kosong dari pergulatan. Beliau adalah pejuang sejati dalam setiap waktu.
Kalau kita mengenal Nabi Ibrahim sebagai seorang musafir di jalan Allah SWT,
maka Muhammad bin Abdillah adalah seorang pejuang di jalan Allah SWT.
Belum lama peperangan
Uhud berakhir sehingga pengaruh-pengaruh buruknya berbekas pada kaum Muslim.
Orang-orang Arab Badui mulai berani bersikap kurang ajar kepada mereka,
demikianjuga orang-orang Yahudi, apalagi orang-orang munafik dan tidak
ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai menyudutkan kaum Muslim.
Kemudian datanglah
utusan dari kabilah Arab kepada Rasul saw dan mereka mengatakan kepada beliau
bahwa mereka mendengar tentang Islam dan mereka ingin memeluknya, maka
hendaklah beliau mengutus kepada mereka beberapa dai dan mubalig untuk mengajari
mereka tentang dasar-dasar agama.
Nabi saw mengutus
bersama mereka sekelompok para dai yang dipimpin oleh 'Ashim bin Tsabit.
Ternyata orang-orang itu berkhianat atas para sahabat-sahabat yang berdakwah
itu dan mereka pun dibunuh. Bahkan tiga di antara mereka ditawan dan dijual di
Mekah.
Dijualnya mereka di
Mekah berarti mereka diserahkan pada kelompok orang-orang Quraisy yang telah
lama menunggu untuk menangkap kaum Muslim. Kaum Quraisy Mekah membunuh tiga
tawanan kaum Muslim itu.
Orang-orang Muslim
sangat sedih mendengar dai-dai Allah SWT itu terbunuh dengan cara yang begitu
tragis.
Ketika datang kepada
Nabi saw orang-orang yang minta pada beliau agar dikirim utusan dari kalangan
mubaligh untuk menyebarkan Islam untuk para kabilah kaum Najd, maka Nabi kali
ini betul-betul mempertimbangkan antara kepentingan menyebarkan Islam dan
perlindungan terhadap kehormatan manusia.
Lalu beliau memilih
untuk kepentingan dakwah Islam. Beliau menyadari bahwa beliau mengutus para
sahabatnya dalam bahaya; beliau memberitahu mereka bahwa mereka akan menghadapi
suatu keadaan yang misterius yang tiada mengetahuinya kecuali Allah SWT. Namun
bahaya tersebut sudah menjadi bagian dari cita rasa kehidupan yang selalu
meliputi dakwah Islam.
Ketika Nabi saw
mengutarakan kekhawatirannya terhadap para sahabatnya yang bakal diutusnya di
tengah kabilah itu, orang-orang yang meminta beliau untuk mengutus para
sahabatnya menyakinkan beliau bahwa mereka akan melindungi sahabat beliau.
Kemudian Nabi saw
memerintahkan tujuh puluh orang pilihan dari sahabatnya untuk pergi dan
berjihad di jalan Allah SWT serta mengajak manusia untuk mengikuti Islam.
Lalu pergilah para
sahabat yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Qurra' (yaitu orang-orang yang
pandai membaca Al-Qur'an dan menghapalnya).
Mereka adalah para dai
yang terbaik yang diutus Nabi di mana pada siang hari mereka memikul kayu bakar
dan pada malam hari mereka sibuk dalam keadaan salat.
Ketika datang perintah
Rasulullah saw kepada mereka untuk pergi dan berdakwah mereka pun pergi dalam
keadaan gembira karena mereka diajak untuk berjihad di jalan Allah SWT.
Mereka melangkahkan
kaki dengan mantap di tanah orang-orang munafik dan para penghianat sehingga
mereka sampai di suatu sumur yang bemama sumur Ma'unah. Kemudian mereka
mengutus salah seorang di antara mereka untuk menemui pemimpin orang-orang
kafir di negeri itu.
Mubalig dari sahabat
Rasulullah saw itu menyampaikan surat Nabi yang dibawanya di mana beliau
mengharapkan agar masyarakat di situ masuk Islam, tetapi ia dikagetkan dengan
adanya pisau yang menembus punggungnya.
Mubaligh itu berteriak
saat ia tersungkur: "sungguh aku beruntung demi Tuhan pemelihara
Ka'bah."
Kemudian pemimpin
orang-orang kafir itu mengangkat senjata dan mengumpulkan para kabilah untuk
memerangi para mubaligh di jalan Allah SWT itu sehingga sahabat-sahabat terbaik
yang berdakwah di jalan Allah SWT itu pun gugur di sumur Ma'unah.
Jasad-jasad mereka
menjadi makanan dari burung nasar dan burung-burung yang lain. Dari tujuh puluh
orang yang dikirim itu hanya seorang yang selamat yang kembali kepada Nabi saw.
Ia menceritakan apa
yang dialami oleh fuqaha-fuqaha Muslimin di mana mereka dikhianati. Ketika
mendengar berita tentang tragedi itu, Nabi sangat terpukul dan sedih.
Kemudian beliau
mengangkat kepalanya dan berkata kepada sahabat-sahabatnya: "Sungguh
sahabat-sahabat kalian telah terbunuh dan mereka telah meminta kepada Tuhan mereka.
Mereka mengatakan, Tuhan kami, berikanlah kami ujian sesuai dengan kehendak-Mu
dan ridha-Mu. Apa saja yang menjadi kepuasan-Mu kami pun akan merasakan
kepuasan."
Sungguh penderitaan
yang dialami oleh Islam sangat berat, terutama yang menimpa para sahabat yang
gugur sebagai syahid di sumur Ma'unah.
Nabi saw sangat sedih
mendengar sikap orang-orang Arab dan orang-orang kafir terhadap Islam. Mereka
telah mengejek dan merendahkan kaum mukmin sampai pada batas ini. Kemudian
beliau menetapkan akan kembali mengangkat kewibawaan Islam dengan tindak
kekerasan.
Dalam keadaan seperti
ini, bergeraklah orang-orang Yahudi untuk membunuh Rasulullah saw.
Pada suatu hari beliau
pergi ke Bani Nadhir untuk menyelesaikan suatu urusan. Kemudian mula-mula
mereka menampakkan persetujuan atas apa yang diucapkan beliau. Mereka
mendudukkan Nabi di bawah naungan benteng-benteng mereka, lalu mereka
bersekongkol untuk melenyapkan beliau; mereka menetapkan untuk melemparkan batu
yang berat dari atas benteng itu saat beliau duduk dan tidak membayangkan akan
terjadinya kejahatan yang direncanakan padanya.
Namun Allah SWT
mengilhami Rasul-Nya akan datangnya bahaya kepada beliau, lalu beliau bangun
sebelum pelaksanaan tipu daya itu. Lalu beliau segera pergi menuju rumahnya.
Beliau berpikir saat beliau kembali ke rumahnya dengan membawa penderitaan yang
baru.
Pembangkangan dan
pengkhianatan tersebut tidak akan dapat berhenti kecuali setelah Islam
menunjukkan taringnya. Islam ingin mengembalikan kewibawaannya dengan cara
mengangkat senjata.
Rasul saw mengutus
utusan ke Bani Nadhir dan memerintahkan mereka untuk keluar dari Madinah,
bahkan Rasul saw memberi waktu kepada mereka hanya sepuluh hari.
Kemudian orang-orang
munafik yang ada di Madinah bersatu bersama orang-orang Yahudi dan mereka
sepakat untuk memerangi Islam. Namun ketika berhadapan dengan Islam,
orang-orang Yahudi menelan kekalahan.
Kemudian turunlah surah
al-Hasyr yang menyebutkan pengusiran orang-orang Yahudi dan menyingkap kedok
orang-orang munafik. Setelah kemenangan yang meyakinkan ini, Rasul saw keluar
bersama sahabatnya untuk membalas kejadian yang menimpa sahabat-sahabatnya yang
dikenal dengan al-Qurra' itu.
Rasul saw ingin
mengembalikan kewibawaan Islam. Kemudian pasukan Rasul saw itu mampu membuat
para pengkhianat dari orang-orang Arab ketakutan. Hanya sekadar mendengar nama
pasukan Muslim, maka serigala-serigala gurun yang dulu bengis itu pun ketakutan
laksana tikus-tikus yang panik yang bersembunyi di bawah lobang-lobang gunung.
Orang-orang Quraisy
mendengar kegiatan pasukan Islam. Pasukan Quraisy menarik diri saat mereka
mendekati Dahran, sementara pasukan Muslim berada di Badar.
Mereka menunggu pertemuan
yang disepakati di Uhud. Orang-orang Muslim menyala-kan api selama delapan hari
sebagai bentuk tantangan dan menunggu kedatangan kaum kafir sehingga ketika
mereka (kaum kafir) telah pergi, maka citra kaum Muslim pun terangkat setelah
mereka menerima kepahitan dalam peperangan Uhud.
Kaum Muslim menoleh ke
arah utara jazirah Arab setelah menetapkan kewibawaan mereka di selatan.
Kabilah di sekitar Daumatul Jandal dekat dengan Syam merampok di tengah jalan
dan merampas kafilah yang berlalu di situ, bahkan kenekatan mereka sampai pada
batas di mana mereka berpikir untuk menyerbu Madinah.
Oleh karena itu,
Rasulullah saw keluar bersama seribu orang Muslim yang mereka bersembunyi di
waktu siang dan berjalan di waktu malam, sehingga setelah lima belas malam beliau
sampai ke tempat yang dekat dengan tempat tinggal musuh-musuh mereka lalu
mereka menggerebek tempat itu. Pasukan kafir itu dikagetkan dengan kedatangan
kaum Muslim yang begitu cepat.
Kita akan mengetahui
bahwa alat komunikasi yang dimiliki oleh Rasulullah saw sangat unggul
sebagaimana alat pertahanan beliau pun sangat unggul. Serangan mendadak yang
dilakukan oleh pasukan Rasulullah saw menunjukkan bahwa mereka memiliki
pertahanan yang luar biasa. Sistem pertahanan yang luar biasa sebagaimana
kedatangan pasukan yang secara tiba-tiba itu menunjukkan kemampuan pasukan
Islam untuk menyusup.
Demikianlah, terjadilah
hari-hari pertempuran militer. Belum lama Nabi saw meletakkan baju besinya, dan
beliau kembali membangun pribadi kaum Muslim sehingga beliau terpaksa kembali
memakai baju besinya dan kembali berperang.
Ketika musuh-musuh
Islam yang berada di sekelilingnya melihat bahwa kemampuan militer mereka tidak
dapat menandingi kemampuan kaum Muslim, maka mereka sengaja melakukan cara-cara
baru untuk memerangi Islam. Yaitu peperangan psikologis atau peperangan urat
syaraf dengan cara menyebarkan berbagai macam isu atau apa yang dinamakan
Al-Qur'an al-Karim dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan).
Setelah peperangan Bani
Musthaliq yaitu peperangan yang membawa kemenangan yang cepat bagi kaum Muslim,
terjadilah kesalahpahaman dan pertengkaran di antara sahabat-sahabat yang biasa
mengambil air di mana salah seorang mereka berteriak: "wahai kaum Muhajirin,"
dan yang lain berteriak: "Wahai kaum Anshar."
Peristiwa yang sangat
sepele itu dimanfaatkan oleh pemimpin kaum munafik yaitu Abdullah bin Ubai.
Abdullah bin Ubai
memprovokasi orang-orang Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ia ingin
membangkitkan luka-luka jahiliah yang lama yang telah dibuang dan telah dikubur
oleh Islam, Salah satu yang dikatakan oleh Ibnu Ubai adalah,
"sungguh mereka
telah menyaingi kita dan mengambil kebaikan dari dan seandainya kita telah
kembali ke Madinah niscaya orang-orang yang mulai akan dapat mengusir
orang-orang yang hina di dalamnya."
Zaid bin Arqam
menyampaikan kalimat si munafik itu kepada Nabi saw, di mana kalimat itu berisi
provokasi terhadap orang-orang Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ubai
menginginkan agar mereka berpecah belah dan agar kesatuan mereka runtuh.
Si Munafik itu segera
datang kepada Rasul saw dan menafikan apa yang dikatakannya. Orang-orang Muslim
secara lahiriah membenarkan perkataan si munafik itu dan mereka justru menuduh
Zaid bin Arqam salah mendengar.
Tetapi hakikat
peristiwa itu tidak tersembunyi dari Nabi saw sehingga peristiwa itu sangat
menyedihkan beliau. Lalu beliau mengeluarkan perintah agar para sahabat pergi
ke suatu tempat yang tidak biasanya mereka lalui. Kemudian beliau pergi bersama
sahabat di hari itu sampai waktu malam menyelimuti mereka. Dan kini, mereka
memasuki waktu pagi.
Kepergian yang singkat
dan tiba-tiba itu mampu menepis kebohongan yang dirancang oleh si Munafik,
Abdullah bin Ubai. Yaitu kebohongan yang bertujuan untuk membakar persatuan
kaum Muslim ketika ia berusaha untuk menyalakan api di tengah-tengah rumah sang
Nabi saw.
Ketika Nabi masih
memiliki kekuatan yang menakutkan bagi yang mencoba melawannya, maka mereka pun
melakukan berbagai penipuan dan, makar. Dan salah satu yang menjadi obyek tipu
daya itu adalah istri beliau, yaitu Aisyah.
Alkisah, Aisyah pada
suatu hari pergi untuk memenuhi hajatnya lalu dilehernya terdapat
anting-anting. Setelah ia memenuhi hajatnya, anting-anting itu terjatuh dari
lehernya dan ia tidak mengetahui.
Ketika Aisyah kembali
dari kafilah yang telah siap-siap untuk pergi, ia kembali mencari kalungnya
sampai ia menemukannya. Sementara itu orang-orang yang membawanya dalam tandu
(haudaj) mengira Aisyah sudah berada di dalamnya. Mereka tidak ragu dalam hal
itu karena memang berat badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan Nabi berjalan
dan membawa tandu, sedangkan Aisyah tidak ada di dalamnya. Aisyah kembali dan
tidak mendapati pasukan di mana mereka telah pergi. Aisyah merasa heran atas kepergian
pasukan yang begitu cepat.
Aisyah merasa takut
saat ia berdiri sendirian di padang gurun. Aisyah berusaha bersikap baik, ia
duduk di tempatnya di mana di situlah untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat
pakaiannya sambil berkata dalam dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa aku tidak
ada dan karena itu mereka akan kembali mencariku dan akan menemukan aku.
Sementara itu, Sofwan
bin Mu'athal juga tertinggal karena ia melakukan keperluannya. Ia berjalan dari
arah yang jauh lalu ia melihat bayangan orang yang tidak begitu jelas. Sofwan
mendekat dan tiba-tiba ia mengetahui bahwa ia sedang berdiri di hadapan Aisyah.
Ia melihat Aisyah sebelum diwajibkannya perintah memakai hijab (jilbab) atas
istri-istri Nabi.
Ketika melihatnya,
Sofwan berkata: "Sesungguhnya kita milik Allah SWT dan kepadanya kita akan
kembali,... istri Rasulullah Aisyah tidak menjawab.
Sofwan mundur dan
mendekatkan untanya kepadanya sambil berkata: "Silakan Anda
menaikinya."
Aisyah pun menaikinya.
Kemudian Sofwan membawanya pergi dan mencari pasukan yang telah
meninggalkannya. Sementara itu, pasukan Nabi sedang beristirahat. Para sahabat
mengira bahwa Aisyah masih berada dalam tandu. Tiba-tiba mereka terkejut ketika
Aisyah datang kepada mereka bersama Sofwan yang menuntun untanya.
Tokoh munafik Abdullah
bin Ubai segera memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia membuat kisah bohong yang
terkesan menuduh istri Nabi melakukan pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai
memilih beberapa sahabat yang dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah
percaya dan cenderung membenarkan hal-hal yang bersifat lahiriah, atau ia
mengetahui bahwa di antara mereka dan Aisyah terdapat kedengkian sehingga
mereka suka jika tersebar kebohongan yang berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah pemimpin
munafik itu berhasil menjerat beberapa sahabat dalam tali kebohongannya, di
antaranya Hasan bin Sabit. Musthah, dan seorang wanita yang dipanggil Hamnah
binti Jahasy. yaitu saudara perempuan Zainab binti Jahasy istri Rasulullah saw.
Ketiga orang itu
tertipu dengan kebohongan tersebut lalu mereka menyebarkannya sehingga
orang-orang yang terjerat dalam kebohongan itu mengatakan apa saja yang mereka
inginkan. Akhirnya. pasukan pun berguncang dengan isu itu. Sementara itu,
Aisvah tidak mengetahui sedikit pun tentang hal tersebut.
Isu tersebut bertujuan
untuk menjatuhkan Islam dan melukai perasaan RasuhiHah saw dan itu termasuk
peperangan menentang Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. Begitu juga ia
bertujuan menunjukkan bahwa kaum Muslim tidak konsekuen dengan akidah yang
mereka yakini dan secara tidak langsung ia juga menyerang kesucian rumah tangga
Aisyah.
Pasukan kembali ke
Mekah dan Aisyah jatuh sakit, namun ia tidak mengetahui isu-isu yang dikatakan
tentang dirinya.
Kemudian Rasulullah saw
mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan ibunya pun mendengarnya,
namun tak seorang pun di antara. mereka yang memberitahu Aisyah.
Begitu juga Rasul saw
tidak menceritakan peristiwa itu di hadapan Aisyah. Namun sikap beliau berubah
di mana beliau tidak lagi menunjukkan perhatiannya seperti biasanya saat Aisyah
sakit.
Ketika beliau menemui
Aisyah dan saat itu ibunya ada di situ, beliau berkata: "Bagaimana
keadaanmu?" Beliau tidak lebih dari mengucapkan kata-kata itu.
Ketika Aisyah melihat
perubahan sikap Rasul saw, ia mulai marah.
Pada suatu hari ia
berkata pada Nabi: "Seandainya engkau mengizinkan aku, niscaya aku akan
pindah ke tempat ibuku."
Beliau menjawab:
"Itu tidak ada masalah."
Aisyah pun pindah ke
tempat ibunya dan ia tidak mengetahui sama sekali apa yang sebenarnya terjadi
padanya. Setelah melalui lebih dari dua puluh malam, Aisyah sembuh dari
sakitnya dan ia pun belum mengetahui hal-hal yang dikatakan tentang dirinya.
Umul mu'minin Aisyah
menceritakan bagaimana ia mengetahui isu bohong tersebut dan bagaimana Allah
SWT membebaskannya dari isu itu, ia berkata:
"Kami adalah kaum
Arab di mana kami tidak mengambil di rumah kami tanggung jawab ini yang biasa
di ambil oleh orang-orang Ajam. Kami membencinya. Kami keluar untuk menikmati
keluasan kota. Sementara itu para wanita keluar pada setiap malam untuk
memenuhi hajat mereka. Pada suatu malam, aku keluar bersama Ummu Musthah untuk
memenuhi sebagian keperluanku. Lalu ia berkata: "Tidakkah kau sudah
mendengar suatu berita wahai putri Abu Bakar?" Aku bertanya, "berita
apa itu?" Lalu ia memberitahukan padaku apa-apa yang dikatakan oleh para
penyebar kebohongan. Aku berkata: "Apa ini memang benar?"
Ia menjawab: "Demi
Allah, ini benar-benar terjadi."
Aisyah berkata:
"Demi Allah, aku tidak mampu memenuhi hajatku." lalu aku pulang. Demi
Allah, aku tetap menangis sampai-sampai aku mengira bahwa tangisanku akan
merusak jantungku dan aku berkata kepada ibuku, mudah-mudahan Allah SWT mengampunimu,
banyak orang berbicara tentangku namun engkau tidak menceritakan sedikit pun
kepadaku. Ia berkata: "Wahai anakku, sabarlah demi Allah jarang sekali
wanita yang baik yang dicintai oleh seorang lelaki yang jika ia memiliki
istri-istri yang lain (madunya) kecuali wanita itu akan diterpa oleh berbagai
isu."
Aisyah berkata:
"Rasulullah saw berdiri dan menyampaikan pembicaraannya pada mereka dan
aku tidak mengetahui hal itu."
Beliau memuji Allah SWT
kemudian berkata: "Wahai manusia, bagaimana keadaan kaum lelaki yang
menyakiti aku melalui keluargaku dan mereka mengatakan sesuatu yang tidak
benar. Demi Allah, aku tidak mengenal mereka kecuali dalam kebaikan. Lalu
mereka mengatakan hal itu pada seorang lelaki yang aku tidak mengenalnya
kecuali dalam kebaikan di mana ia tidak memasuki suatu rumah dari rumah-rumahku
kecuali ia bersamaku."
Kemudian Rasulullah saw
memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid dan bermusyawarah dengan
keduanya.
Usamah hanya
melontarkan pujian dan berkata: "Ya Rasulullah aku tidak mengenal istrimu
kecuali dalam kebaikan dan berita ini hanya kebohongan dan kebatilan,"
sedangkan Ali berkata:
'Ya Rasulullah masih banyak wanita yang lain yang dapat kau percaya."
Kemudian Rasulullah saw
memanggil Burairah dan bertanya kepadanya, lalu Ali berdiri kepadanya dan
memukulnya dengan keras sambil berkata: "Jujurlah kepada Rasulullah
saw,"
lalu wanita itu
berkata: "Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali kebaikan. Aku tidak
pernah mencela Aisyah kecuali pada suatu waktu aku sedang membikin adonan roti
lalu aku memerintahkannya untuk menjaganya namun Aisyah tertidur dan datanglah
kambing lalu adonan itu dimakan olehnya."
Aisyah berkata:
"Kemudian datanglah kepadaku Rasulullah saw dan saat itu aku bersama kedua
orang tuaku dan seorang wanita dari kaum Anshar. Aku menangis dan wanita itu
pun turut menangis.
Rasulullah saw duduk
lalu memuji Allah SWT dan berkata:
"Wahai Aisyah,
sungguh kamu telah mendengar sendiri apa yang dikatakan orang-orang tentang
dirimu, maka bertakwalah kepada Allah SWT dan jika engkau telah melakukan
keburukan seperti yang diucapkan orang-orang itu, maka bertaubatlah kepada
Allah SWT karena sesungguhnya Allah SWT menerima taubat dari
hamba-hamba-Nya."
Aisyah berkata,
"demi Allah, itu tidak lain hanya kebohongan yang dialamatkan kepadaku
sehingga membuat air mataku kering. Aku sama sekali tidak seperti yang mereka
katakan," lalu aku menunggu kedua orang tuaku untuk mengatakan tentang
diriku namun mereka justru terdiam.
Aisyah berkata,
"demi Allah aku merasa sebagai seorang yang hina yang tidak layak
diturunkan Al-Qur'an dari Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku hanya
berharap agar Nabi saw melihat kebohongan yang dialamatkan kepadaku itu
sehingga ia memastikan terbebasnya aku darinya."
Aisyah berkata:
"Ketika aku tidak melihat kedua orang tuaku berbicara aku berkata kepada
mereka tidakkah kalian menjawab apa yang dikatakan Rasulullah saw?"
Mereka berkata:
"Demi Allah kami tidak mengetahui apa yang harus kami jawab." Aku
mengetahui bahwa aku bebas dari tuduhan itu. Tiba-tiba Rasulullah saw mengusap
keringat dari wajahnya sambil berkata: "Bergembiralah wahai Aisyah karena
sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan ayat yang membebaskan kamu dari tuduhan
itu,"
lalu aku berkata:
"Segala puji bagi Allah SWT."
Kemudian beliau keluar
menemui para sahabat dan membacakan kepada mereka ayat berikut ini:
"Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa
di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu, maka baginya azab yang besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril turun kepada
Nabi saw untuk menyampaikan terbebasnya Aisyah dari segala tuduhan yang
ditujukan kepadanya.
Dan gagallah peperangan
psikologis menentang kaum Muslim dan rumah tangga Rasulullah saw, dan
kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa mereka harus menggunakan cara baru lagi
untuk menentang Islam.
Kemudian Rasulullah saw
kembali memasuki pergulatan menentang peperangan fisik.
Peperangan Khandaq
termasuk contoh peperangan fisik yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan mereka kepada kaum musyrik, dan
Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah di antara tokoh-tokoh Yahudi dan
pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan pendeta-pendeta Yahudi berfatwa bahwa
agama Quraisy yang disimbolkan dengan penyembahan berhala lebih baik daripada
agama Muhammad yang penyembahan hanya layak ditujukan kepada Tuhan Yang Esa
sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik kaum Yahudi
berhasil menyatukan kelompok-kelompok orang kafir dan mengerahkannya untuk
menentang kaum Muslim. Kemudian mereka akan menyerang Madinah dengan jumlah
kekuatan sepuluh ribu tentara.
Akhirnya, berita itu
sampai ke Nabi saw. Beliau tidak heran ketika mendengar orang-orang Yahudi
bersatu (padahal mereka mempunyai azas agama yang menyeru kepada tauhid)
bersama kaum musyrik menentang agama tauhid.
Nabi saw mengetahui
bahwa perjanjian telah lama membelenggu orang-orang Yahudi sehingga hati mereka
menjadi keras dan hari telah menjauhkan antara mereka dan sumber yang jernih yang
dipancarkan oleh Musa. Akhirnya, mereka menjadi buah yang rusak yang kulitnya
bergambar tauhid namun isinya bergambar kepahitan syirik. Dan yang lebih
penting dari itu adalah kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan kaum musyrik.
Nabi saw menyadari
bahwa beliau sekarang menghadapi ancaman dan pasukan yang besar. Pertempuran
secara terbuka tidak memberi keuntungan bagi Muslimin.
Beliau mulai berpikir
bagaimana cara mempertahankan Madinah tanpa harus keluar darinya. Kali ini
taktik militernya berubah di mana sebelum itu beliau keluar dari Madinah dan
menjauhinya serta menyerang kelompok-kelompok yang berencana menyerbu Madinah.
Kali ini bentuk ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun berubah karena
mengikuti perbedaan ancaman itu.
Kemudian beliau
mengadakan pertemuan militer bersama para tentaranya. Beliau ingin mendengar
berbagai usulan tentang bagaimana cara mempertahankan Madinah.
Lalu Salman al-Farisi
mengusulkan agar Nabi menggali suatu parit yang dalam di sekeliling Madinah
yaitu parit yang seperti bendungan alami yang dapat menahan laju banjir yang
ingin maju, suatu parit yang pasukan berkuda tidak akan mampu melewatinya dan
kaum Muslim dapat mempertahankan diri dari belakangnya.
Mula-mula usulan itu
terkesan agak mustahil diwujudkan namun pada akhirnya Nabi menyetujui usulan
Salman itu. Melalui sensifitas militernya yang mengagumkan, beliau mengetahui
bahwa situasi cukup genting dan karenanya ia menuntut usaha keras untuk dapat
melaluinya.
Nabi saw memerintahkan
para sahabat untuk menggali parit di sekitar Madinah. Pekerjaan itu sangat
berat dan saat itu musim dingin di mana udara sangat dingin. Di samping itu,
kaum Muslim sedang mengalami krisis ekonomi yang mengancam Madinah, meskipun
demikian, penggalian parit tetap dilaksanakan, bahkan Rasulullah saw terjun
langsung untuk membuat galian dan memikul tanah.
Kaum Muslim dengan
semangat yang luar biasa dapat menyelesaikan penggalian parit itu meskipun
kehidupan sangat keras dan mereka merasakan kelaparan karena kekurangan harta.
Namun semangat pasukan Islam tetap meninggi. Mereka percaya akan datangnya
kemenangan dan pertolongan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan tatkala
orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka
berkata: 'lnilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.' Dan benarlah
Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka
kecuali iman dan ketundukan." (QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan Quraisy mulai
mendekati Madinah dan tiba-tiba Madinah berubah menjadi jazirah cinta di
tengah-tengah lautan kebencian, lautan itu mulai menghantam jazirah dan
berusaha menenggelamkannya dari dalam. Kemudian bertebaranlah panah-panah kaum
Muslim untuk menghalau pasukan kafir yang cukup banyak.
Pasukan kafir mulai
berputar-putar di sekeliling parit dalam keadaan bingung: apa gerangan yang
telah dilakukan pasukan Islam, bagaimana mereka dapat menggali parit ini?
Kuda-kuda musuh
berusaha melalui parit itu namun pasukan Muslim segera menyerangnya.
Demikianlah peperangan Ahzab terus berlangsung. Pada hakikatnya ia adalah
peperangan urat syaraf. Pasukan musuh mengepung Madinah selama tiga minggu di
mana serangan demi serangan terus dilakukan sepanjang siang dan mata mereka
tetap terjaga sepanjang malam. Bahkan saking dahsyatnya pertempuran itu
sehingga kaum Muslim tidak mengetahui apakah pasukan musuh berhasil menduduki
Madinah atau tidak, dan apakah para musuh berhasil menembus lubang yang mereka
bangun?
Allah SWT menggambarkan
keadaan peperangan Ahzab dalam firman-Nya:
"(Yaitu) ketika
mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi
penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu
menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam persangkaan. Di situlah diuji
orang-orang mukmin dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang
dahysat." (QS. al-Ahzab: 10-11)
Keadaan semakin buruk
di mana orang-orang Yahudi membatalkan perjanjian mereka dengan kaum Muslim dan
mereka bergabung dengan al-Ahzab. Demikianlah Bani Quraizhah membatalkan
perjanjiannya dan mereka lupa terhadap pengkhianatan bani Nadhir dan pembalasan
Nabi saw terhadap mereka. Setiap hari keadaan semakin buruk.
Kaum Muslim benar-benar
mengalami ujian yang berat di mana pikiran mereka benar-benar kacau. Ketika
keadaan mencapai puncaknya kaum Muslim bertanya kepada Rasul saw, "apa
yang harus mereka katakan?"
Rasulullah saw
memberitahu agar mereka mengatakan: "Ya Allah, kalahkanlah mereka dan
tolonglah kami untuk mengatasi mereka."
Doa tersebut keluar
dari mulut-mulut kaum yang telah melaksanakan kewajiban mereka dan telah
membuat mukjizat mereka dalam menghalau serangan.
Jadi, mereka tidak
memiliki apa-apa selain doa dan Allah SWT-lah Yang Maha Mendengar permintaan
hamba-Nya dan Dia yang mengabulkannya. Dia mengetahui orang yang melaksanakan
kewajibannya dan akan mengabulkan orang yang berdoa.
Akhirnya, kaum Muslim
benar-benar mendapatkan rahmat Allah SWT. Kemudian perjalanan pertempuran
bergerak dengan cara yang tidak bisa dipahami.
Para penyerang
menyadari bahwa mereka sebenarnya telah kalah di mana mereka telah menyerang
selama tiga pekan namun serangan tersebut tidak memberikan hasil apa pun.
Mereka telah mencurahkan berbagai upaya namun tanpa memberikan hasil yang
diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap begini selama tiga tahun.
Kemudian datanglah
suatu malam di mana kaum Muslim belum pernah melihat malam segelap itu dan
angin sekencang itu, bahkan saking kerasnya angin sampai-sampai suaranya
laksana halilintar.
Bahkan saking gelapnya
malam itu sehingga tak seorang pun di antara umat Islam yang mampu melihat
jari-jari tangannya atau berdiri dari tempatnya karena saking dinginnya cuaca.
Kemudian Nabi saw datang
menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau tidak mampu melihatnya meskipun beliau
berdiri di sebelahnya.
Nabi saw bertanya:
"Siapa ini?"
Hudaifah menjawab:
"Aku adalah Hudaifah."
Nabi saw berkata:
"Oh, kamu Hudaifah."
Hudaifah tetap tinggal
di tempatnya karena ia khawatir jika ia berdiri ia akan tidak mampu karena
saking dinginnya dan akan menabrak Rasul saw.
Rasul saw berkata
kepada Hudaifah, "Aku kehilangan berita penting tentang keadaan kaum yang
menyerang kita."
Hudaifah sebagai
mata-mata dari pasukan Islam merasakan ketakutan di mana ia tidak mampu menahan
cuaca yang begitu dingin, lalu bagaimana ia dapat berdiri dan keluar dari
Madinah menuju ke tempat pasukan musuh dan menyusup di tengah barisan mereka
lalu kembali kepada Nabi saw dengan membawa berita tentang mereka.
Hudaifah bangkit dari
tempatnya ketika Nabi saw selesai dari pembicaraannya.
Nabi saw memberikan doa
kebaikan kepadanya. Hudaifah pun pergi dan kehangatan keimanannya mengalahkan
kegelapan malam dan kedinginan cuaca.
Ia keluar dari Madinah
dan menyusup di tengah-tengah pasukan musuh. Nabi saw memerintahkannya untuk
tidak melakukan tindakan apa pun selain mendapatkan berita dan kembali. Inilah
tugas utamanya.
Hudaifah sampai di
tengah-tengah musuh. Mereka berusaha menyalakan api namun angin segera
mematikannya sebelum menyala dan di dekat api itu terdapat seorang lelaki yang
berdiri sambil mengulurkan tangannya ke arah api dengan maksud untuk
menghangatkannya.
Lelaki itu adalah
pemimpin kaum musyrik yaitu Abu Sofyan.
Melihat itu, Hudaifah
segera memasang anak panah pada busur yang dibawanya dan ia ingin memanahnya.
Seandainya ia berhasil membunuhnya, maka kaum Muslim dapat merasa tenang
dengannya, namun ia ingat pesan Rasulullah saw kepadanya agar ia tidak
melakukan tindakan apa pun.
Kemudian ia kembali
meletakkan anak panahnya dan menyembunyikannya.
Abu Sofyan berkata:
"Wahai orang-orang Quraisy situasi saat ini tidak menguntungkan bagi
kalian, maka pergilah kalian karena aku pun akan pergi."
Abu Sofyan melompat ke atas
untanya lalu mendudukinya dan memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah kembali
menemui Rasulullah saw dengan membawa berita mundurnya pasukan Ahzab dan
gagalnya serangan mereka.
Ketika mendengar
peristiwa penarikan mundur pasukan musuh, Rasulullah saw berkata:
"Sekarang kita akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang
kita."
Belum lama pasukan
Ahzab kembali ke negerinya dengan tangan hampa sehingga beliau keluar dari
Madinah bersama pasukannya menuju ke kaum Yahudi Bani Quraizhah.
Orang-orang Yahudi itu
telah mengkhianati perjanjian mereka bersama Nabi saw. Mereka menipu Islam di
saat-saat genting. Oleh karena itu, mereka harus membayar biaya pengkhianatan
mereka sekarang.
Nabi saw memerintahkan
agar para sahabat tidak melaksanakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.
Kaum Muslim memahami bahwa perintah tersebut berarti mereka akan menerobos
benteng kaum Yahudi sebelum matahari tenggelam.
Orang-orang Yahudi
menelan kekalahan pahit lalu mereka datang kepada Sa'ad bin Mu'ad agar ia memutuskan
perkara mereka.
Sa'ad adalah pemimpin
kaum Aus dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang Yahudi Quraizhah di masa
jahiliah.
Kaum Yahudi mengharap
bahwa mereka dapat memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini sebagaimana
kaum Aus membayangkan bahwa tokoh mereka akan memberikan keringanan terhadap
sekutu-sekutu mereka.
Sa'ad ketika itu
terluka dan ia sedang dirawat di kemahnya karena terkena panah kaum Ahzab.
Sebagian kaumnya membujuknya agar ia bersikap baik terhadap orang-orang Yahudi,
sekutu-sekutu mereka, dan orang-orang Yahudi membujuknya agar ia bersikap
lembut terhadap mereka.
Kemudian Sa'ad
mengatakan pernyataannya yang terkenal:
"Telah tiba
waktunya bagi Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa
peduli dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki
dibunuh dan keturunannya ditawan serta harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi
pun menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu.
Beliau berkata
kepadanya: "Sungguh engkau telah memutuskan kepada mereka dengan keputusan
Allah SWT dari tujuh langit."
Sa'ad mengetahui bahwa
perantaraan, permohonan, harapan, dan menjaga berbagai pertimbangan lazim
selayaknya berada di suatu genggaman, dan masa depan Islam berada di genggaman
yang lain. Yahudi Bani Quraizhah adalah penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab
dan sumpah mereka dan berbagai tipu daya mereka berusaha untuk memblokade Islam
dan menghancurkannya.
Oleh karena itu, kini
telah tiba saatnya untuk mencabut pohon-pohon beracun dari akarnya tanpa
memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah kaum Yahudi
dibersihkan dari Madinah.
Nabi saw kembali
melanjutkan pergulatannya. Puncak dari perjuangan politiknya adalah perjanjian
yang beliau lakukan bersama orang-orang Quraisy.
Nabi saw berjalan untuk
melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau keluar bersama seribu
empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul Haram guna
melaksanakan umrah.
Ketika mereka sampai di
Hudaibiyah pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan
ia tidak mau melangkah menuju Mekah.
Melihat itu para
sahabat berkata: "Oh unta itu malas."
Nabi saw berkata:
"Tidak Demikian namun ia ditahan oleh Zat yang menahan laju gajah menuju
Mekah. Sungguh jika hari ini orang Quraisy membuat suatu rencana dan mereka
meminta agar aku menyambung tali silaturahmi niscaya aku akan
menyetujuinya."
Nabi saw memerintahkan
para sahabat agar tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum Muslim beristirahat di sana
dengan harapan mereka dapat memasuki Mekah di waktu pagi.
Peristiwa itu
bertepatan dengan bulan Haram. Mekah telah menetapkan agar tak seorang pun dari
kaum Muslim dapat memasukinya.
Semua kaum Quraisy telah
keluar untuk memerangi kaum Muslim. Mereka mengutus utusan-utusan kepada Nabi
saw lalu beliau memberitahu mereka bahwa beliau tidak datang untuk berperang
namun beliau ingin melakukan umrah sebagai bentuk pujian dan syukur kepada
Allah SWT dan mengagumkan kemuliaan rumah-Nya yang suci.
Mekah menetapkan untuk
melakukan perjanjian bersama kaum Muslim di mana mereka menginginkan agar
jangan sampai kaum Muslim memasuki Baitul Haram pada tahun ini kecuali setelah
mereka kembali pada tahun depan.
Datanglah juru runding
kaum Quraisy lalu Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan ia menyampaikan
syarat-syarat perjanjian yang intinya pelaksanaan perdamaian dan penarikan
mundur pasukan Muslim.
Nabi saw menyetujui
semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak bahwa perjanjian tersebut tidak
menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap sebagai titik kemunduran politik
dan militer kaum Muslim, dan yang menambah kebingungan kaum Muslim adalah bahwa
Rasul saw tidak melibatkan seseorang pun dari kalangan sahabatnya untuk
bermusyawarah dalam hal ini.
Tidak biasanya beliau
bersikap demikian. Para sahabat menyaksikan beliau pergi menemui kaum musyrik
dan bersikap sangat lembut kepada mereka, dan beliau tidak kembali kecuali
membawa berita persetujuan dengan perjanjian yang di prakarsai orang-orang
musyrik, dan beliau pun membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para sahabat bergerak
untuk menentang Rasulullah saw.
Mereka bertanya kepada
beliau, "bukankah engkau utusan Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim?
Bukankah musuh-musuh kita kaum musyrik?"
Nabi saw hanya
mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Umar bin Khatab kembali
bertanya: "Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam agama kita?"
Kiranya Umar ingin
mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini, "mengapa kita harus
mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa kita menerima syarat-syarat
perjanjian yang justru menguntungkan kaum musyrik? Apakah kita takut terhadap
mereka?"
Mendengar berbagai
protes yang disampaikan para sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan jawaban
yang unik bagi mereka di mana beliau berkata:
"Aku adalah hamba
Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku tidak mungkin menentang perintah-Nya dan Dia
tidak mungkin akan menyia-nyiakan aku."
Makna dari kalimat
beliau adalah, "taatilah apa yang telah aku lakukan tanpa perlu
memperdebatkannya dan hendaklah kalian sedikit bersabar."
Perjalanan hari
menetapkan bahwa perjanjian yang menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah
sahabat itu justru membawa kemenangan politik paling gemilang yang pernah
dicapai oleh umat Islam.
Kemenangan tersebut
diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw yang mengalahkan
kelihaian politik kaum Quraisy.
Kaum Quraisy telah
memfokuskan semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat mereka tanpa
memasuki Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi saw justru mampu
mencapai pengelihatan yang tidak dapat dijangkau oleh kaum itu yang berkenaan
dengan masa depan. Jika saat ini perjanjian tersebut tampak membawa kekalahan
bagi kaum Muslim, maka setelah berlangsung beberapa bulan ia justru
mendatangkan kemenangan yang spektakuler.
Suhail bin Amr adalah
wakil dari delegasi kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib adalah juru tulis dalam
perjanjian itu dari pihak Nabi saw.
Rasulullah saw berkata
kepada Ali: "Tulislah dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang."
Utusan Quraisy berkata,
aku tidak mengenal ini. Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah.
Rasulullah saw berkata
kepada Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap keras kepala utusan
Quraisy itu tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan yang mencolok
antara dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang selain niat si pembicara.
Nabi saw berkata kepada
Ali: "Ini adalah perundingan antara Muhammad saw utusan Allah dan Suhail
bin Amr."
Mendengar itu dengan
nada menentang Suhail bin Amr berkata: "Seandainya aku bersaksi bahwa
engkau adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan memerangimu, tetapi tulislah
namamu dan nama ayahmu."
Nabi berkata kepada Ali
tulislah: "Inilah kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin
Amr."
Tampaknya itu adalah
kemunduran yang kedua dan dengan pandangan yang sekilas tampak menjatuhkan kaum
Muslim tetapi Nabi saw ingin mewujudkan suatu tujuan yang penting yaitu tujuan
yang belum terungkap saat itu.
Alhasil, semuanya
terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali kembali menulis bahwa Muhammad bin
Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama sepakat untuk menghentikan peperangan
selama sepuluh tahun di mana hendaklah masing-masing mereka memberikan keamanan
terhadap sesama mereka. Namun jika terdapat di antara orang-orang Quraisy
seseorang yang masuk Islam lalu ia datang kepada Muhammad saw tanpa izin
walinya hendaklah kaum Muslim mengembalikannya kepada kaum Quraisy.
Sebaliknya, jika ada
orang yang murtad dari sahabat Muhammad saw, maka tidak ada keharusan bagi
orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada Nabi.
Syarat tersebut sangat
menyakitkan kaum Muslim. Tampak bahwa orang-orang Quraisy memaksakan
kehendaknya dalam syarat-syarat perjanjian yang tidak adil itu.
Ali melanjutkan
tulisannya, hendaklah Nabi saw pulang dari Mekah pada tahun ini dan tidak
memasukinya dan jika pada tahun depan orang-orang Quraisy keluar darinya, maka
beliau dapat memasukinya untuk melaksanakan umrah selama tiga hari dan setelah
itu beliau harus meninggalkannya.
Persyaratan tersebut
sangat merugikan kaum Muslim dan terkesan membingungkan.
Di tengah-tengah
perjanjian tersebut terjadi suatu peristiwa yang menambah penderitaan dan
kebingungan Muslimin di mana anak dari juru runding Quraisy meminta
perlindungan kepada kaum Muslim.
Ia masuk Islam dan
ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail segera bangkit
menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada kaumnya.
Orang Mu`alaf itu
segera berteriak dan meminta pertolongan kepada kaum Muslim agar mereka
menyelamatkannya dari kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka tidak mengubah
agamanya.
Rasulullah saw
berbicara kepadanya dan meminta kepadanya untuk bersabar dan tegar dalam
menanggung penderitaan karena Allah SWT akan menjadikannya dan orang-orang yang
sepertinya suatu jalan keluar dan kelapangan.
Nabi Muhammad SAW
memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian dengan kaum
Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian mereka.
Akhirnya, anak Muslim
itu dikembalikan ke Mekah dalam keadaan tersiksa.
Kemudian Selesailah
penandatanganan perjanjian antara pihak kaum Muslim dan pihak kaum musyrik.
Setelah penandatanganan perjanjian itu, Rasulullah saw memerintahkan para
sahabatnya agar mereka memotong hewan kurban dan mencukur rambut mereka
(tahalul) dari umrah mereka dan kembali ke Madinah.
Namun tak seorang pun
bangkit menyambut perintah tersebut, lalu beliau mengulangi perintahnya ketiga
kali.
Di tengah-tengah kaum
Muslim yang tampak membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih
unta dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau tidak
berbicara dengan seorang pun.
Ketika para sahabat
mengetahui bahwa Nabi saw tampak marah dan telah mendahului mereka dengan
tahalul dari umrahnya, maka mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan
memotong rambut mereka.
Perjalanan hari
menunjukkan bahwa perundingan tersebut tidak seperti yang dibayangkan oleh kaum
Muslim. Ia justru membawa kemenangan dan bukan kekalahan.
Persatuan kaum kafir di
jazirah Arab mulai runtuh sejak mereka menandatangani perjanjian itu.
Kaum Quraisy di anggap
sebagai pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam,
maka ketika tersebar berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka
padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk mereka dan
bercerai-berailah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat aktivitas kaum
Quraisy terhenti, maka kaum Muslim mengalami peningkatan aktivitas di mana
mereka berhasil menarik orang-orang yang masih memiliki kemampuan untuk melihat
kebenaran.
Sejak dua tahun dari
masa penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut Islam semakin bertambah
lebih dari jumlah sebelumnya.
Bukti dari itu adalah,
bahwa saat Rasul saw keluar ke Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat
ratus Muslim namun ketika beliau keluar pada tahun penaklukan kota Mekah beliau
disertai dengan sepuluh ribu Muslim.
Penaklukan kota Mekah
terjadi setelah dua tahun dari perundingan tersebut. Penambahan jumlah kaum
Muslim yang luar biasa ini adalah dikarenakan hikmah sang Nabi saw dan kejauhan
pandangannya.
Nabi saw keluar sebagai
pemenang dalam pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang tadinya merugikan
kaum Muslim kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang merugikan kaum
Quraisy.
Barangsiapa murtad dari
kaum Muslim dan pergi ke kaum Quraisy, maka hendaklah mereka melindunginya
karena Allah SWT telah memampukan Islam darinya, dan barangsiapa yang masuk
Islam dari kaum kafir dan pergi ke kaum Muslim, maka hendaklah mereka
mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia tinggal di dalamnya sebagai mata-mata
dari pihak Islam atau ia dapat lari dari kaum Quraisy untuk menyatukan kelompok
yang bertikai dan ia dapat hidup laksana duri di tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum lama waktu
berjalan sehingga kaum Quraisy mengutus utusannya kepada Nabi saw dan mengharap
kepada beliau agar melindungi orang Quraisy yang masuk Islam daripada
membiarkan mereka sebagai panah yang terbang menuju kaum Quraisy.
Demikianlah kaum
Quraisy justru membatalkan syarat yang telah mereka diktekan dan Nabi saw pun
menerimanya dengan puas.
Perundingan itu justru
menguatkan barisan Nabi Muhammad SAW.
Demikianlah Nabi saw
terus menjalani mata rantai pergulatan yang tiada henti-hentinya di mana
kehidupan beliau yang pribadi sekali pun tidak sunyi dari penderitaan.
Nabi saw menikahi
sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut
merupakan keistimewaan pribadi yang hanya beliau miliki karena berhubungan
dengan sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para
pengikutnya untuk menikahi empat orang istri dengan syarat jika yang
bersangkutan mampu menciptakan keadilan di antara mereka, dan ia menganjurkan
untuk hanya puas dengan satu istri jika seorang Muslim khawatir tidak dapat
berbuat adil.
Kaum orentalis dan
musuh-musuh Islam mencoba untuk menghina Nabi dan memojokkannya, dan salah satu
cela yang mereka manfaatkan adalah perkawinan beliau dengan sembilan wanita.
Kita mengetahui bahwa
pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau
kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari
sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau menikah dengan Sayidah Khadijah saat
beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat puluh tahun.
Semasa hidup Khadijah
beliau tidak menikahi istri yang lain sampai Khadijah mencapai usia enam puluh
lima tahun.
Saat Khadijah
meninggal, Nabi berusia di atas lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah
sebelum beliau diutus untuk menyebarkan Islam. Beliau tetap setia bersama
Khadijah sampai ia meninggal dan beliau diangkat menjadi Nabi.
Namun beban kenabian
dan beratnya jihad, kasih sayangnya kepada manusia, pengorbanannya terhadap
Islam dan perintah Allah SWT semua itu memaksanya untuk menikah lebih dari satu
orang istri sampai mencapai sembilan orang istri.
Perkawinan beliau dengan
Aisyah yang saat itu masih belia merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan
Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan perkawinan beliau dengan Hafshah meskipun ia
sedikit kurang cantik merupakan usaha beliau untuk menjalin ikatan dengan Umar,
ayahnya.
Beliau juga menikah
dengan Ummu Salamah, janda dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan
Allah SWT dan wanita itu merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di
Habasyah dan hijrah ke Madinah.
Ketika suaminya
meninggal dan ia sendirian menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka Nabi
saw segera merangkulnya di rumah kenabian.
Perkawinan beliau
dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan terhadap keislaman wanita itu dan
kemuliannya dari kaum lelaki serta kesendiriannya dalam menjalani kehidupan.
Sementara itu,
pernikahan beliau dengan Zainab bin Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di
mana perintah pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu
tradisi yang terkenal di kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi.
Zainab termasuk kerabat
Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan
nasab yang dimilikinya yang karenanya ia menolak ketika ditawari untuk menikah
dengan Zaid bin Harisah, seorang budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan
nasabnya telah beliau nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya
sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad.
Namun Zainab akhirnya
menyetujui pendapat Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah dengan
Zaid:
"Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhahai
Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.
" (QS. al-Ahzab: 36)
Sejak semula tampak
jelas bahwa pernikahan tersebut akan segera berakhir.
Zainab tidak menyukai
Zaid,dan Zaid pun bukan tipe lelaki yang mampu menahan kehidupan bersama
seorang wanita yang hatinya jauh darinya.
Zaid datang kepada Nabi
saw guna mengadu kepada beliau dan meminta izin untuk menceraikan istrinya.
Allah SWT mewahyukan
kepada Rasul-Nya agar membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu hendaklah
beliau menikahinya.
Nabi saw merasakan
kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara kepada Zaid agar ia terus
melangsungkan kehidupannya dan bersabar.
Nabi saw membayangkan
apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi istri dari anaknya
tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru merupakan sesuatu yang ingin
dihapus oleh Allah SWT.
Zaid bukanlah anaknya
dan dalam Islam tidak ada sistem adopsi.
Oleh karena itu, Zaid
dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat menikahi Zainab untuk menetapkan apa
yang diinginkan oleh Islam.
Rasulullah saw mampu
bersabar dan menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan
oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang
beliau persembahkan untuk Islam.
Berkenaan dengan itu,
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah),
ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya
dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan
bertakwalah kepada Allah,' sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang
Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. " (QS. al-Ahzab:
37)
Pemikahan beliau
dipenuhi dengan unsur politik dan usaha untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat
serta penghormatan nilai-nilai yang tinggi dan menggabungkannya di rumah
kenabian.
Sementara itu, Ummu
Habibah binti Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam,
berhijrah bersama suaminya ke Habasyah.
Ia berhadapan dengan
keterasingan dan kekhawatiran dalam membela agama Allah SWT.
Kemudian suaminya mati
meninggalkannya sendirian dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi
menegakkan ajaran Islam dan hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang
menyebabkan Rasulullah saw tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada suatu hari, Abu
Sofyan menemuinya saat ia telah menjadi istri Rasulullah saw.
Abu Sofyan ingin duduk
di atas tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempat tidur
itu dari ayahnya.
Melihat sikap anaknya
itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah engkau mulai membenciku?"
Dengan penuh
keberaniaan ia menjawab: "Ini adalah tempat tidur Rasulullah saw dan
engkau adalah seorang musyrik, maka engkau tidak boleh menyentuhnya."
Adapun Shofiyah binti
Huyay adalah anak seorang raja Yahudi.
Sedangkan Juwairiyah
binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah Bani Musthaliq.
Bani Musthaliq menelan
kekalahan saat berhadapan dengan kaum muslim lalu kedua anak perempuan raja dan
pemimpin kabilah itu jatuh menjadi tawanan.
Pernikahan Nabi
Muhammad SAW dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh orang-orang yang
kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim memperlakukan mereka dengan baik.
Mula-mula kaum Muslim
menolak untuk bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan
kelembutan sikapnya ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan
beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka menunjukkan persaudaraan
sesama manusia.
Peperangan itu sendiri
bukan sebagai tujuan namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan aspek
tertinggi dari Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi Nabi saw menikahi
wanita-wanita dari orang-orang yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan
kemuliaan kembali kepada keluarga mereka dan mereka dapat masuk Islam secara
puas dan sukarela.
Kemudian beliau menikah
dengan Maryam al-Qibtiyah.
Muqauqis telah
memberikannya kepada Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol tali kasih
yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan sebagai bentuk
hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita
ahlul kitab.
Maryam memberikan anak
kepada Nabi saw yang bernama Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak para nabi.
Namun Ibrahim tidak hidup lama. Ia meninggal saat masih menyusu. Kematiannya
merupakan ujian bagi Nabi dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul
dari kaum pria adalah para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan
anak-anak dari sulbinya.
Salah jika ada orang
yang membayangkan bahwa Rasul saw mempunyai banyak waktu untuk mencari
kesenangan meskipun halal.
Kesenangan
diperbolehkan bagi orang lain namun beliau lebih memilih untuk merasakan
penderitaan berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran.
Salah jika ada orang
yang membayangkan bahwa Rasul saw hidup di rumahnya dengan keadaan ekonomi yang
lebih baik daripada orang yang termiskin dari kalangan Muslim di zamannya.
Kehidupan beliau di
rumahnya penuh dengan kezuhudan yang luar biasa sehingga sebagian istrinya
mengeluhkan keadaan tersebut.
Di antara mereka ada
yang berasal dari keluarga yang kaya seperti keluarga Abu Bakar atau keluarga Umar
bahkan sebagian istrinya bersatu untuk meminta kepada beliau agar beliau
menambah nafkah mereka sehingga Nabi meninggalkan istri-istrinya, lalu
tersebarlah isu yang menyatakan bahwa beliau telah menceraikan semua istrinya.
Kemudian turunlah ayat
Takhyir (yaitu ayat yang memberikan pilihan kepada istri-istri Nabi untuk tetap
menjadi istri beliau atau diceraikannya).
Turunlah Al-Qur'an
al-Karim memberikan pilihan pada istri-istri Nabi antara menjalani kehidupan di
rumah kenabian dengan penuh kesederhanaan atau menerima perceraian.
Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi,
katakanlah kepada istri-istrimu: 'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia
dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku
ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka
Sesungguhnya Allah menyediakan siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang
besar. " (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah fitnah.
Demikianlah pergulatan
di rumah Rasul saw.
Akhirnya, istri-istri
beliau memilih kehidupan zuhud dan bersabar serta akhirat daripada kehidupan
dunia.
Permintaan istri-istri
nabi tidak melebihi hal-hal yang bersifat mubah, namun Rasul saw merupakan
teladan bagi seluruh umat, karena itu beliau harus menjadi teladan bagi umat
sehingga beliau dapat menjadi cermin tertinggi yang layak diemban oleh seorang yang
memegang tampuk kepemimpinan Muslimin.
Allah SWT telah
membalas pengorbanan istri-istri Nabi saw dalam bentuk mengangkat kedudukan
mereka dan menjadikan mereka sebagai ibu dari kaum mukmin.
Allah SWT berfirman:
"Nabi itu
(hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan
istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan, sebagai penegasan
terhadap keibuan spiritual ini, Islam mewajibkan hijab yang teliti kepada
mereka, yaitu suatu hijab yang tidak diberlakukan seperti itu kepada
Muslimah-Muslimah lain.
Nabi saw melanjutkan
dakwahnya. Beliau mengirim surat ke raja-raja dan para penguasa di mana beliau
ingin menunjukkan universalitas ajaran Islam.
Nabi saw mengajak
Kaisar Romawi untuk mengikuti Islam, lalu beliau mengirim utusan ke Amir
Damaskus mengajaknya untuk memeluk Islam, dan beliau mengutus utusan ke Amir
Basrah bagian dari wilayah Romawi dan mengajaknya untuk mengikuti Islam, dan
beliau juga mengirim surat ke penguasa Qibti dan mengajaknya untuk masuk Islam,
dan beliau juga menulis surat ke Kisra, Raja Persia dan mengajaknya untuk
mengikuti Islam.
Beliau juga mengirim
utusan ke Amir Bahrain dan mengajaknya untuk mengikuti Islam.
Lalu berbagai reaksi
disampaikan berkenaan dengan surat-surat Nabi itu?
Di antara mereka ada
yang berusaha menyampaikan kepada pembawa surat bahwa ia masuk Islam dan
mengembalikannya dengan hadiah, dan di antara mereka ada yang merobek-robek
surat itu dan di antara mereka ada yang membalas surat itu dengan jawaban yang
baik, dan di antara mereka ada yang menerima kebenaran.
Demikianlah hari
berlalu dalam pergulatan yang tidak pernah padam, suatu pergulatan yang
dipimpin oleh Nabi sehingga beliau menaklukkan Mekah dan menyucikan jazirah
Arab.
Akhirnya, manusia masuk
dalam agama Allah SWT dalam keadaan berbondong-bodong, dan Allah SWT
menyempurnakan agama bagi kaum Muslim dan Nabi saw melaksanakan haji wada'
(haji yang terakhir) dan turunlah kepada beliau wahyu di Arafah sebagaimana
firman-Nya:
"Pada hari ini
telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS.
al-Maidah: 3)
Ayat tersebut dibacakan
kepada Abu Bakar sehingga ia menangis.
Allah SWT merasa bahwa
telah tiba waktunya untuk mengakhiri misi Rasul-Nya.
Aisyah berkata kepada
anak-anak yang berteriak dan bermain-main di luar rumah: "Diamlah kalian
karena Rasulullah saw sedang sakit."
Anak-anak itu pun
terdiam dan mereka merasakan ketakutan yang luar biasa.
Pada hari-hari
terakhir, Rasulullah saw tidak lagi bercanda dengan mereka sebagaimana yang
biasa beliau lakukan.
Mereka memperhatikan
bahwa kepucatan yang aneh menyelimuti Nabi Muhammad SAW yang biasanya wajah
beliau dipenuhi dengan senyuman hingga wajahnya laksana lempengan emas.
Nabi saw yang terakhir
masuk dalam rumahnya dan hampir saja beliau tidak kuat menahan langkah kedua
kakinya.
Beliau memasuki
rumahnya dan bersandar kepada tangan Fadl bin Abbas dan Ali bin Abu Thalib.
Beliau merasakan
keletihan dan kesakitan.
Kemudian Aisyah
menidurkan beliau di atas ranjangnya yang kasar dan Aisyah meletakkan tangannya
di atas kening beliau.
Kepala beliau tampak
panas karena saking hebatnya demam.
Aisyah berkata dalam
keadaan kedua matanya mengucurkan air mata, "demi ayah dan ibuku, ya
Rasulullah apakah engkau merasakan sakit?"
Nabi Muhammad SAW
tersenyum untuk menenangkan Aisyah lalu beliau tertidur.
Kemudian mengalirlah
dalam memori Nabi saw berbagai gambar hidup: Jibril turun kepada beliau dengan
membawa wahyu di gua Hira. Beliau telah melewati waktu yang diberkati selama
dua puluh tiga tahun, yang sekarang tampak seperti mimpi. Bahkan empat puluh
tahun yang mendahuluinya tampak seperti gambar yang hanya dilukis sesaat.
Segala sesuatu menjadi
mudah bagi Allah SWT dan Rasulullah saw telah berhasil melalui berbagai
penderitaan dengan penuh kesabaran, bahkan beliau tidak pernah mengeluh sekali
pun !!
Beliau mengajarkan
akidah kepada para pengikutnya dengan penuh kemantapan. Akhirnya, Islam menjadi
mulia dan benderanya semakin berkibar.
Kemudian beliau bangun
karena melihat tangisan yang tersembunyi dari Aisyah.
Beliau membuka kedua
matanya dan melihat wajah Aisyah sambil beliau sendiri berusaha melawan rasa
pusing, demam, dan sakit yang dirasakannya.
Beliau kembali
tersenyum untuk menenangkan Aisyah dan beliau kembali memejamkan matanya dan
tidak sadarkan diri.
Apa gerangan yang
menyebabkan Aisyah menangis? Tidakkah Allah SWT memahkotai jihad Nabi saw yang
berat dengan penaklukan Mekah dan penyucian Baitul Haram?
Berbagai gambar hidup
dan aktual melayang-layang dalam memori Nabi saw. Beliau mengingat bagaimana
tindakan orang Quraisy ketika membantalkan perjanjian Hudaibiyah dan mereka
memerangi Khaza'ah yang saat itu bersekutu dengan kaum Muslim dan akhirnya
mereka membunuh semua sekutu kaum Muslim di Baitul Haram.
Kemudian beliau
berjalan bersama pasukan yang berjumlah sepuluh ribu di mana semua pasukan
telah siap, dan tentara Muslim turun dari gunung Mekah laksana air bah yang
tidak berhenti sedikit pun. Telah lewatlah masa para pembawa tombak, panah, dan
pedang; telah lewatiah masa di mana Rasulullah saw memimpim pasukan yang di
dalamnya terdapat kaum Muhajirin dan Anshar.
Di tengah-tengah
pasukan besar tersebut yang berhasil menaklukkan Mekah, Nabi saw menunggangi
untanya dan beliau menundukkan kepalanya dengan penuh rendah diri di hadapan
Allah SWT sampai-sampai kepalanya hampir menyentuh punggung unta yang dinaiki.
Pintu Mekah terbuka untuk pasukan ini.
Para pemimpin Mekah dan
pengikut-pengikut mereka menyerahkan diri. Kalimat Allah SWT semakin meninggi
di dalamnya. Nabi Muhammad SAW memasuki Baitul Haram lalu beliau berkeliling di
sekitar Ka'bah.
Beliau menghancurkan
berbagai patung yang berbaris di sekitarnya, lalu beliau memukulnya dengan
kampaknya. Kemudian patung-patung itu berjatuhan dan hancur.
Setelah beliau
membersihkan masjid dari berbagai patung dan mengembalikannya sebagaimana yang diciptakan
oleh Allah SWT sebagai rumah tauhid yang mutlak, beliau menoleh kepada orang
Quraisy dan memaafkan mereka dan mengajak mereka untuk kembali ke jalan Allah
SWT.
Kemudian tibalah waktu
salat, lalu Bilal naik di atas punggung Ka'bah dan mengumandangkan Azan.
Penduduk Mekah
mendengarkan panggilan baru ini di mana gemanya berputar-putar di antara
gunung:
"Allah Maha Besar.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan
Allah. Marilah melaksanakan salat. Marilah menuju keberuntungan. Allah Maha
Besar. Tiada Tuhan selain Allah."
Akhirnya, rumah itu
dikembalikan kehormatannya dan kemuliannya. Kemudian lagi-lagi arus berbagai
gambar terlintas dalam memorinya: itulah peperangan Hunain dengan kekalahannya,
kemenangannya, dan ganimahnya; Itulah Nabi saw yang memberikan ganimah terhadap
orang-orang yang bergabung dengan Islam hanya dua hari dari penduduk Mekah, dan
mencegah untuk memberi ganimah Hunaian kepada kaum Anshar yang telah memberikan
segalanya untuk Islam.
Salah seorang di antara
mereka berkata: "Demi Allah, Rasulullah saw telah menemui kaumnya."
Sa'ad bin 'Ubadah
berjalan ke arah Rasulullah saw dan memberitahunya bahwa kaum Anshar sedang
marah.
Rasul saw bertanya:
"Mengapa marah?"
Sa'ad menjawab:
"Mereka protes saat engkau membagikan ganimah ini pada kaummu dan pada
seluruh orang Arab namun mereka tidak mendapatkan apa-apa."
Rasulullah saw bertanya
kepada Sa'ad bin Ubadah: "Kamu sendiri bagaimana pendapatmu wahai
Sa'ad?"
Sa'ad berkata:
"Aku tidak lain kecuali seseorang dari kaumku."
Rasulullah saw berkata:
"Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk masalah yang penting ini dan jika
kalian telah berkumpul, maka beritahulah aku."
Sa'ad mengumpulkan
seluruh kaum Anshar lalu ia memberitahu Rasul saw bahwa ia telah mengumpulkan
mereka.
Rasulullah saw keluar
menemui mereka dan berdiri di hadapan mereka sambil memuji Allah SWT dan
kemudian berkata:
"Wahai orang-orang
Anshar, tidakkah aku datang kepada kalian saat kalian dalam keadaan sesat lalu
Allah SWT memberikan petunjuk kepada kalian, dan kalian menjadi orang-orang
yang fakir lalu Allah SWT memampukan kalian, dan kalian dalam keadaan
bermusuhan lalu Allah SWT menyatukan hati kalian?"
Mereka menjawab:
"Benar."
Rasulullah saw berkata:
"Mengapa kalian tidak menjawab wahai kaum Anshar?"
Mereka berkata:
"Apa yang kita akan katakan wahai Rasulullah dan dengan apa kita akan
menjawabnya. Sungguh segala karunia hanya milik Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah saw berkata:
"Demi Allah, seandainya kalian mau niscaya kalian akan mengatakan dan
benar apa yang kalian katakan: Engkau datang kepada kami sebagai seorang yang
terusir, maka kami melingdungimu dan engkau datang dalam keadaan miskin lalu
kami menghiburmu dan engkau datang dalam keadaaan ketakutan lalu kami mengamankanmu
dan engkau datang dalam keadaan teraniaya lalu kami menolongmu."
Mereka berkata:
"Segala puji dan karunia bagi Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah saw berkata:
"Wahai kaum
Anshar, apakah kalian akan marah terhadap harta yang telah aku berikan kepada
suatu kaum dengan harapan agar keimanan meresap dalam hati mereka dan kalian
justru melupakan karunia yang telah Allah SWT berikan kepada kalian dalam
bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai kaum Anshar merasa puas ketika
manusia pergi untuk melakukan perjalanan di musim dingin sedangkan kalian pergi
dengan Rasulullah saw. Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya
manusia melalui suatu jalan dan kaum Anshar melalui jalan yang lain niscaya aku
akan melalui jalan kaum Anshar. Ya Allah, rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak
kaum Anshar dan cucu kaum Anshar."
Mendengar doa itu, kaum
tersebut menanggis sehingga jenggot mereka terbasahi dengan air mata dan mereka
berkata:
"Kami rela dengan
Allah SWT sebagai Tuhan dan sangat puas dengan pembagian Rasulullah saw."
Kemudian Nabi saw pun
meninggalkan mereka dan mereka pergi dalam keadaan puas.
Orang-orang Anshar
memahami bahwa Muslim yang hakiki di dunia adalah seorang yang datang di dunia
untuk memberi, bukan untuk mengambil.
Nabi saw terbangun dan
beliau mendapati dirinya sendirian di kamar. Suhu tubuh beliau meningkat karena
demam, lalu beliau memanggil Aisyah dan meminta kepadanya untuk membawa air
yang dapat digunakannya untuk mendinginkan tubuhnya.
Aisyah mulai menuangkan
air kepada Rasulullah saw sampai demam beliau berangsur-angsur sedikit menurun.
Tampak bahwa waktu berlalu cukup lambat dan berat. Sakit Rasulullah saw semakin
meningkat.
Beliau mulai merasa
bahwa tidak mampu lagi untuk salat bersama para sahabat, lalu beliau
memerintahkan Abu Bakar untuk salat bersama mereka.
Pada saat Nabi
mengalami antara keadaan terjaga dan tidur, beliau selalu berpikir apa gerangan
yang belum disampaikannya kepada manusia. Beliau telah menyampaikan segala
sesuatu dan telah mengajari mereka segala sesuatu serta telah meninggalkan
sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan dengannya ia tidak akan sesat.
Rasul saw mulai
mengantuk dan berbagai nostalgia terlintas di kepalanya. Beliau melihat dirinya
di haji Wada'. Selesailah perjanjian yang diberikan kepada kaum musyrik dan
mereka telah dilarang untuk memasuki Masjidil Haram dan sekarang Nabi saw
keluar sebagai pemimpin haji dan mengajari kaum Muslim cara manasiknya.
Rasulullah saw
memperhatikan ribuan orang-orang yang bertauhid saat mereka menuju Baitul Haram
dalam keadaan memenuhi panggilan Tuhan dan tunduk kepadanya. Mereka
menghidupkan memori kakek mereka, Ibrahim Khalilullah. Nabi saw berdiri dan
berpidato di tengah-tengah keramaian itu.
Nabi Muhammad SAW mulai
merasakan bahwa kehidupannya di dunia sebentar lagi akan berakhir.
Beliau mengetahui bahwa
kafilah ini akan pergi sendirian dalam menjalani kehidupan. Beliau kembali
menanamkan nilai-nilai Islam dan wasiat dakwah di jalan Allah SWT.
Setelah berjuang selama
dua puluh tiga tahun menegakkan agama Allah SWT, beliau bertanya kepada mereka:
"Apakah aku telah menyampaikan amanat Tuhan?"
Lalu manusia yang hadir
saat itu menyatakan bahwa beliau benar-benar telah menyampaikan dakwah.
Beliau memanggil Mu'ad
bin Jabal dan mengajarinya bagaimana berdakwah kepada manusia di jalan Allah
SWT dan bagaimana mengenalkan agama kepada mereka.
Kemudian beliau
berwasiat kepadaa Mu'ad saat ia menunggangi kendaraannya sedangkan Rasulullah
saw berjalan di sebelah untanya:
"Sesungguhnya
orang yang paling utama di sisiku adalah orang-orang yang bertakwa, siapa pun
mereka dan di mana pun mereka."
Nabi saw adalah rahmat
bagi semua manusia dan sebagal cermin yang tertinggi dari cermin persaudaraan
dan kepatuhan.
Beliau menegakkan
Al-Qur'an di tengah-tengah umat Islam namun beliau menolak segala bentuk
penampilan yang biasa melekat pada seorang penguasa atau raja atau pemimpin apa
pun.
Beliau berkata kepada
para sahabatnya: "Aku hanya seorang hamba Allah SWT dan Rasul-Nya."
Beliau keluar menemui
sekelompok sahabatnya lalu sebagai bentuk penghormatan kepada beliau mereka
berdiri. Kemudian beliau memerintahkan kepada mereka agar tidak berdiri.
Ketika beliau keluar
untuk menemui sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya, maka beliau duduk bersama
mereka di tempat terakhir yang ditemukannya.
Beliau sangat
bersahabat dan ramah dengan para sahabatnya, bahkan beliau bercanda dengan
anak-anak mereka dan mendudukkan mereka di ruangannya.
Beliau memenuhi
panggilan orang dewasa maupun anak-anak. Beliau membesuk orang-orang yang sakit
meskipun berada di tempat yang jauh. Beliau menerima alasan orang yang
mempunyai uzur.
Beliau mendahului orang
yang ditemuinya dengan salam bahkan beliau mendahului berjabat tangan dengan
para sahabatnya.
Ketika seseorang datang
untuk menemuinya saat beliau salat, maka beliau mempersingkat salatnya dan
menanyakan keperluan orang itu. Setelah menyelesaikan keperluan manusia, beliau
kembali menyelesaikan shalatnya.
Beliau selalu menebar
senyum kepada kawan dan lawan dan memiliki kepribadian yang paling baik.
Ketika beliau berada di
rumahnya, beliau melayani keluarganya. Beliau mencuci bajunya. Beliau
memperbaiki sandalnya dan memberi minum unta. Beliau makan bersama pembantu.
Beliau memenuhi kebutuhan orang yang lemah, orang yang sedih, dan orang yang
miskin.
Bahkan kebaikan beliau
dan kasih sayangnya sampai pada tingkat di mana beliau membiarkan cucunya
menaiki punggungnya saat beliau sedang shalat.
Kasih sayang beliau
tidak hanya terbatas kepada manusia bahkan juga tertuju pada binatang dan
pohon.
Beliau memberi makan
binatang dengan tangannya sendiri bahkan beliau pernah merawat anjing yang
sakit. Beliau memerintahkan pasukan Islam saat berperang demi menegakkan
keadilan Islam agar mereka tidak membunuh anak kecil, orang tua, kaum wanita
dan hendaklah mereka tidak mencabut pohon dan tidak pula merobohkan rumah.
Apa yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW bukan hanya suatu undang-undang yang mengatur hubungan antara
manusia dan manusia yang lain, dan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bukan
hanya berisi suatu sistem untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan
kemajuannya, ini semua adalah hal relatif namun beliau datang dengan membawa
peradaban yang abadi yang mengatur hubungan antara manusia dan alam, dan
mengembalikan keserasian di alam wujud sehingga semua berjalan secara seimbang
dan mencapai kesempurnaan menuju Allah SWT.
Meskipun pada titik
terakhir dari kehidupannya, beliau masih sibuk mengurusi masa depan dakwah dan
beliau sangat cemas terhadap masa depan agama dan sangat peduli dengan problema
kaum Muslim.
Beliau khawatir suatu
saat Islam hanya tinggal namanya namun hakikatnya telah lenyap. Namun sebelum
beliau meninggal, Allah SWT telah memperlihatkan kepada beliau sesuatu yang
membuat hati beliau menjadi tenang.
Dan di hari Senin dari
bulan Rabiul Awal yang mulia, beliau kembali kepada Tuhannya dalam keadaan
ridha dan diridhai.
Salam kepadamu ya
Rasulullah dan kepada keluarga serta sahabat yang setia bersamamu.
Sumber : http://sejukkan-iman.blogspot.com/2011/12/kisah-nabi-muhammad-saw.html