Kamis, 06 Desember 2012

KOPASKHAS TNI AU



Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (disingkat KorpaskhasauPaskhas atau sebutan lainnya Baret Jingga), merupakan pasukan (khusus) yang dimiliki TNI-AU. Paskhas merupakan satuan tempur darat berkemampuan tiga matra, yaitu udara, laut, darat. Setiap prajurit Paskhas diharuskan minimal memiliki kualifikasi para-komando (parako) untuk dapat melaksanakan tugas secara profesional, kemudian ditambahkan kemampuan khusus kematraudaraan sesuai dengan spesialisasinya. Tugas dan tanggung jawab Korpaskhas sama dengan pasukan tempur lainnya yaitu sebagai satuan tempur negara, yang membedakan yaitu dari semua fungsi paskhas sebagai pasukan pemukul NKRI yang siap diterjunkan disegala medan baik hutan, kota, rawa, sungai, laut untuk menumpas semua musuh yang melawan NKRI, Paskhas mempunyai Ciri Khas tugas tambahan yang tidak dimiliki oleh pasukan lain yaitu Operasi Pembentukan dan Pengoperasian Pangkalan Udara Depan (OP3UD) yaitu merebut dan mempertahankan pangkalan dan untuk selanjutnya menyiapkan pendaratan pesawat dan penerjunan pasukan kawan. Korpaskhas terbagi dalam beberapa Spesialisasi yaitu :
1.     Anti Teror (Den Bravo '90),
2.     Pengendali Tempur (Den Dalpur) dalam operasinya, tugas dan tanggungjawabnya infiltrasi didaerah musuh melaksanakan intelijen untuk selanjutnya menyiapkan bagi pendaratan pesawat kawan dan droping zone penerjunan,
3.     Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) Paskhas yang tergabung dalam Batalyon Tim Pertempuran (BTP) merupakan pasukan infantri udara ditujukan untuk merebut dan mempertahankan pangkalan udara dari serangan musuh, melaksanakan serbuan ke daerah musuh yang menguasai wilayah NKRI yang kemudian melaksanakan penghancuran kekuatan musuh.
4.     Pasukan Pertahanan Udara (Arhanud) Paskhas bertugas untuk melaksanakan pertahanan udara di pangkalan-pangkalan TNI AU dan obyek vital negara lainnya. Terdiri dari Batalyon Arhanud Mobile Paskhas dan Detasemen-detasemen Hanud (Den Hanud) Paskhas di setiap Pangkalan Udara Utama TNI AU serta Satuan Rudal (Sat Rudal) Paskhas jarak menengah di setiap Kosek Hanudnas.[1]
5.     Kompi Matra, terdiri dari Tim Pengendali Pangkalan (Dallan) dan TIM SAR. Tim Dallan dalam operasinya melaksanakan tugas pengendalian pangkalan udara yang telah berhasil dikuasai kembali oleh Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) Paskhas yang tergabung dalam BTP (Batalyon Tim Pertempuran) dan Pasukan Arhanud Paskhas. Tugas Tim Dallan adalah mengaktifkan kembali Pangkalan Udara yang telah hancur akibat pertempuran yaitu antara lain kegiatan dukungan penerbangan meliputi :PLLU, Meteo, Banmin dan Zeni Lapangan untuk memperbaiki sarana prasarana Pangkalan Udara yang telah hancur.
Warna baret jingga Paskhas terinspirasi dari cahaya jingga saat fajar di daerah Margahayu, Bandung, yaitu tempat pasukan komando ini dilatih.

Penerjunan pasukan pertama kali
Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor mengajukan permintaan kepada AURI agar mengirimkan pasukan payung keKalimantan untuk tugas membentuk dan menyusun gerilyawan, membantu perjuangan rakyat di Kalimantan, membuka stasiun radio induk untuk memungkinkan hubungan antara Yogyakarta dan Kalimantan, dan mengusahakan serta menyempurnakan daerah penerjunan (dropping zone) untuk penerjunan selanjutnya. Atas inisiatif Komodor (U) Suryadi Suryadarma kemudian dipilih 12 orang putra asli Kalimantan dan 2 orang PHB AURI untuk melakukan penerjunan.

Tanggal 17 Oktober 1947, tiga belas orang anggota berhasil diterjunkan di Sambi, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Mereka adalah Heri Hadi Sumantri (montir radio AURI asal Semarang), FM Suyoto (juru radio AURI asal Ponorogo), Iskandar (pimpinan pasukan), Ahmad Kosasih, Bachri, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, JH. Darius, dan Marawi. Semuanya belum pernah mendapat pendidikan secara sempurna kecuali mendapatkan pelajaran teori dan latihan di darat (ground training). Seorang lagi yaitu Jamhani batal terjun karena takut.

Mereka diterjunkan dari pesawat C-47 Dakota RI-002 yang diterbangkan oleh Bob Freeberg yang berkebangsaan Amerika sekaligus sebagai pemilik pesawat, ko-pilot Opsir (U) III Suhodo, danjump master Opsir Muda (U) III Amir Hamzah. Bertindak sebagai penunjuk daerah penerjunan adalah Mayor (U) Cilik Riwut yang putra asli Kalimantan. Ini adalah operasi lintas udara pertama dalam sejarah Indonesia.

Pasukan ini awalnya akan diterjunkan di Sepanbiha, Kalimantan Selatan namun akibat cuaca yang buruk dan kontur daerah Kalimantan yang berhutan lebat mengakibatkan Mayor (U) Cilik Riwutkebingungan saat memprediksi tempat penerjunan. Setelah bergerilya di dalam hutan pada tanggal 23 November 1947, pasukan ini disergap tentara Belanda akibat pengkhianatan seorang kepala desa setempat, yang mengakibatkan gugurnya Heri Hadi Sumantri, Iskandar, dan Ahmad Kosasih. Sedangkan yang lainnya berhasil lolos namun akhirnya setelah beberapa bulan mereka berhasil juga ditangkap Belanda.

Dalam pengadilan, Belanda tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah pasukan payung dan akhirnya mereka dihukum sebagai seorang kriminal biasa. Mereka dibebaskan setelah menjalani hukuman 1 tahun dan langsung diangkat menjadi anggota AURI oleh Komodor (U) Suryadi Suryadarma.

Peristiwa Penerjunan yang dilakukan oleh ke tiga belas prajurit AURI tersebut merupakan peristiwa yang menandai lahirnya satuan tempur pasukan khas TNI Angkatan Udara. Tanggal 17 Oktober1947 kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) yang sekarang dikenal dengan Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Korpaskhas).

Pasukan Pertahanan Pangkalan
Pada masa awal kemerdekaan, dalam konsolidasi organisasi Badan Keamanan Rakyat Oedara (BKRO) membentuk Organisasi Darat yaitu Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP). PPP dibutuhkan untuk melindungi pangkalan-pangkalan udara yang telah direbut dari tentara Jepang terhadap serangan Belanda yang pada waktu itu ingin kembali menduduki wilayah Republik Indonesia. Pimpinan BKR saat itu baik Letjen Soedirman maupun Komodor (U) Suryadi Suryadarma berpendapat bahwa Belanda pasti akan menyerang ibukota RI di Yogyakarta lewat udara. PPP saat itu masih bersifat lokal, yang dibentuk di pangkalan-pangkalan udara seperti di Pangkalan Udara Bugis (Malang), Maospati (Madiun), Mojoagung (Surabaya), Panasan (Solo), Maguwo (Yogyakarta), Cibeureum (Tasikmalaya), Kalijati (Subang), Pamengpeuk (Garut), Andir dan Margahayu (Bandung), Cililitan dan Kemayoran (Jakarta) dan pangkalan-pangkalan udara diluar pulau Jawa seperti Talang Batutu (Palembang), Tabing (Padang) dll.

Agresi Militer 1 dan 2
PPP sangat berperan saat terjadi Agresi Militer I dan Agresi Militer II, ketika hampir seluruh pangkalan udara mendapat serangan dari tentara Belanda, baik dari darat maupun dari udara. Serangan besar-besaran dilancarkan oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 terhadap Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta. Belanda mengerahkan pesawat P-51 Mustang, P-40 Kitty Hawk dan pembom B-25/B-26. Selain itu diterjunkan dari pesawat C-47 Dakota sekitar 600 pasukan payung gabungan dari trup tempur Para-1 pimpinan Kapten Eekhout. Pasukan payung ini merupakan bagian dari Tijger Brigade/Divisi B (termasuk di dalamnya satuan "Andjing NICA" yang terkenal ganas serta brutal) pimpinan Kolonel Van Langen yang diperintahkan untuk menguasai Yogyakarta. Brigade ini masih ditambah satuan elit gabungan pasukan darat dan udara grup tempur M. Di Maguwo grup tempur M menerjunkan 2 kompi pasukan para komando Korps Speciale Troepen (KST) yang merupakan penggabungan dari baret merah dan hijau Belanda pada November 1948.[7]
Pada saat itu PPP bersama kekuatan udara lainnya berusaha mempertahankan pangkalan. Maguwo dipertahankan oleh 150 pasukan PPP dan 34 teknisi AURI pimpinan Kadet Kasmiran. Dalam pertempuran tidak seimbang ini, gugur 71 personel AURI termasuk Kadet Kasmiran dan 25 orang lainnya yang tidak dikenal.

Penerjunan pertama di indonesia
PPP inilah yang merupakan cikal bakal dari Pasukan Payung (pasukan berparasut) setelah pada tanggal 12 Februari 1946 melakukan percobaan latihan penerjunan yang pertama kali di Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta dengan menggunakan payung (parasut) dan pesawat terbang peninggalan Jepang.
Penerjunan pertama yang semuanya dilaksanakan oleh 3 orang Indonesia baik penerbangnya maupun penerjunnya, berlangsung menggunakan tiga buah pesawat Churen. Penerbang Adisucipto menerjunkan Amir Hamzah, penerbang Iswahyudi menerjunkan Legino dan penerbang M. Suhodo menerjunkan Pungut. Penerjunan pertama di alam Indonesia merdeka yang berlangsung di Pangkalan Udara Maguwo tersebut disaksikan oleh Kepala Staf BKRO Komodor (U) Suryadi Suryadarma dan Panglima Besar Letjen Sudirman serta petinggi BKR lainnya. Penerjunan yang dilaksanakan pada ketinggian 700 meter, sebagai pengawas kesehatannya adalah Dr. Esnawan.

Penerjunan kedua diadakan di Pangkalan Udara Maguwo tanggal 8 Maret 1947 pada saat wing day yang merupakan terjun bebas (free fall) pertama di Indonesia dilakukan oleh Opsir Udara I Soedjono dan Opsir Muda Udara I Soekotjo dengan penerbang Gunadi dan Adisucipto. Penerjunan ini disaksikan oleh Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, para petinggi BKR serta masyarakat luas.

Pada tanggal 24 Maret 1947, kembali dilaksanakan penerjunan oleh Soedjono dan Soekotjo dalam rangka peresmian Pangkalan Udara Gadut di Bukittinggi.

Air Base Defence Troop (ABDT)
Selanjutnya sejak tahun 1950, Pasukan Payung yang saat itu masih bernama PPP berpusat di Jakarta dan mendapat sebutan Air Base Defence Troop (ABDT). Pasukan membawahi 8 kompi dan dipimpin oleh Kapten (U) RHA Wiriadinata dengan wakilnya Letnan I (U) R Soeprantijo. Kemudian pada pertengahan tahun 1950, dibentuk Inspektorat Pasukan Pertahanan Pangkalan (IPP) yang bermarkas di jalan Sabang, Jakarta, yang pada bulan April 1952 dipindahkan ke Pangkalan Udara Cililitan, Jakarta Timur.

Pada tahun 1950 juga diadakan Sekolah Terjun Payung (Sekolah Para) yang diikuti oleh para prajurit, dalam rangka pembentukan Pasukan Para AURI. Sekolah Para ini dibuka di Pangkalan Udara Andir Bandung, sebagai kelanjutan dari embrio Sekolah Para di Maguwo. Hasil didik dari Sekolah Para inilah yang kemudian disusun dalam Kompi-Kompi Pasukan Gerak Tjepat (PGT) yang dibentuk pada bulan Februari 1952, dengan Kapten (U) RHA Wiriadinata sebagai komandannya yang saat itu juga merangkap sebagai Komandan Pangkalan Udara Andir di Bandung.

Pada tahun 1950-an, Pasukan AURI terdiri dari PPP, PGT dan PSU (Penangkis Serangan Udara) yang kekuatannya terdiri dari 11 Kompi Berdiri Sendiri (BS), 8 Pleton BS dan 1 Battery PSU.

Kekuatan pasukan

Paskhas saat ini berkekuatan 7.300-an personel. Dalam beberapa waktu kedepan direncanakan Paskhas TNI-AU akan mendapatkan 40 buah panser buatan Pindad sebagai cikal bakal Batalyon Kavaleri Paskhas. Rencana ini tengah mengalami negoisasi ulang untuk diadakan penambahan jumlahnya dikarenakan ranpur sejenis Panser dinilai sangat cocok untuk mendukung tugas sebagai bantuan tempur dari Batalyon-batalyon tempur Para Komando dengan karakteristiknya sebagai pasukan pemukul reaksi cepat paskhas TNI AU selain juga panser sangat diperlukan untuk pasukan pertahanan pangkalan. Sebelumnya konsep tugas Paskhas adalah sebagai pasukan pertahanan pangkalan (Defensif) maka sekarang konsep akan dirubah menjadi pasukan pemukul (ofensif) dan pasukan pertahanan (defensif). Begitu juga untuk Dalam konsep penggelaran pasukan berintensitas tinggi, TNI mengenal istilah PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi cepat) yang mana paskhas sebagai satuan TNI berkualifikasi Para Komando merupakan nyawa atau inti dari pasukan PPRC TNI dan sebagai pendukungnya adalah batalyon-batalyon linud kostrad. PPRC adalah pasukan pemukul TNI untuk menghadapi kondisi kondisi darurat di wilayah NKRI. Dalam Pelaksanaan tugasnya Paskhas mengemban tugas sebagai:
1.     Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI (Yon Parako 461 s/d 468)(Rencana Yon Parako 469 di Medan)
2.     Pasukan Penagkis serangan Udara (akan dibentuk Yon Arhanud dan Den Rudal Hanud)
3.     Pasukan Pertahanan Pangkalan (Kompi-kompi BS di setiap Lanud Induk dan Lanud Type B))
Paskhas juga berniat mendatangkan lagi kendaraan taktis serbu sejenis Dirgantara Military Vehicle (DMV) buatan PT DI yang terbukti handal dan kini telah dipakai oleh pasukan elit Paskhas Detasemen Bravo-90.
Korps baret jingga ini telah diperkuat dengan kedatangan 200 rudal panggul permukaan ke udara QW (QianWei)-3. Rudal Manpad QW-3 perorangan (diharapkan penambahan sekitar 300 unit lagi untuk Pam Sat Radar) Rudal QW-3 dilengkapi penjejak semi-active laser guidance, cocok untuk menggasak pesawat tempur maupun rudal lain dalam ketinggian rendah sampai dengan jarak 8 km. Memiliki bobot 13 kg dan kecepatan maksimum 750 km/jam. Senjata ini dipergunakan untuk menggantikan Triple gun buatan Hispano Suiza (Switzerland) tahun 1950-an dan DSHK 12,7 mm. Juga beberapa saat yang lalu diujicobakan PT Pindad senjata meriam pesawat direhab untuk dijadikan senjata berat darat untuk Korpaskhas.

Paskhas juga tengah berupaya mendatangkan 4 baterai PSU jarak pendek berupa Oerlikon kaliber 35 mm untuk hanud titik model komposit yang sudah terintegrasi antara rudal, meriam, radar dan pos komando taktis. Senjata ini sudah menggunakan teknologi tercanggih dan telah digunakan oleh banyak negara Eropa. Menurut rencana, senjata PSU ini akan ditempatkan di 3 Lanud Utama TNI-AU. Salah satu kelebihan utama lainnya untuk PSU Oerlikon kaliber 35 mm ini adalah kemampuannya untuk dapat dimobilisasi dengan pesawat Hercules. TNI AU juga berencana untuk pembelian Rudal Jarak Sedang/JSe pengganti Rudal S-75/SA-2 guidelines. Kedepan dengan rencana kedatangan bateray-bateray meriam oerlicon contraves 35 mm, penambahan jumlah rudal manpad QW-3 dan beberapa unit meriam triple gun yang masih bagus serta rencana Kohanudnas untuk menghidupkan kembali Satuan Rudal Jarak Menengah maka diharapkan dapat dibentuk beberapa batalyon artileri meriam hanud dan beberapa detasemen bateray rudal baru untuk di tempatkan di tiap-tiap wing paskhas.
Kedepan untuk pengembangan Korpaskhas dengan Alut Sista PSU saat ini yang telah dipunyai, yaitu :
1.     Artileri Hanud Meriam tripple Gun thn 1950 (dari 55 unit tinggal 16 unit yang layak pakai)
2.     Rudal Manpad QW-3 perorangan (sekitar 200 unit)
Rencana Pengadaan Alut Sista PSU baru berupa:
1.     Artileri Hanud Meriam Oerlicon Contraves 35 mm (diharapkan 55 unit pengganti Tripple Gun 1950)
2.     Rudal Manpad QW-3 perorangan (diharapkan penambahan sekitar 300 unit lagi untuk Pam Sat Radar)
3.     Rudal Jarak Sedang/JSe pengganti Rudal S-75/SA-2 guidelines (diharapkan 7 bateray)
Diharapkan Kompi-kompi BS Pertahanan Pangkalan (Hanlan) sebagian dapat dikembangkan menjadi Batalyon-batalyon PSU (Arhanud dan Detasemen-detasemen Rudal Jarak Sedang/JSe). Untuk meningkatkan kinerja Korpaskhas yang salah satunya adalah bertugas menangkal segala ancaman dari udara wilayah Udara NKRI maka sebaiknya di bentuk Resimen Penangkis Serangan Udara (PSU)yang khusus bertugas melindungi kedaulatan NKRI dari segala bentuk ancaman yang berasal dari udara.

Paskhas kini mengupayakan untuk mengganti senjata perorangan SS – 1 yang kabarnya akan digantikan SiG-552 ataupun SS-2. Terutama untuk menyiapkan Batalyon-batalyon tempur 461 sampai dengan 469 sebagai Pasukan Pemukul Para Komando Pprc paskhas maka dalam tiap regu di tiap batalyon para komando paskhas akan dilengkapi dengan senjata SS2-V1 WITH PINDAD 40mm GRENADE LAUNCHER dan Squad Automatic Weapon senapan mesin ringan seperti FN Minimi(Senjata Otomatis Regu). Sedangkan di dalam kompi bantuan akan dilengkapi dengan SMB (Senapan Mesin Berat) DShk-38 dirancang sebagai senjata pemukul untuk sasaran darat dan udara jarak pendek. SMB ini biasa digunakan oleh unit kavaleri dan infantri. Pada unit kavaleri, DShK sudah menjadi standar ditempatkan pada turret beragam MBT (Main Battle Tank), bahkan tank ringan, panser dan rantis pick up.dalam infantri, wajar bila DShK dioperasikan dengan case khusus beroda dua, mirip dengan model meriam/kanon. Dengan demikian SMB ini mudah digerakkan, dibawa atau dipindahkan dengan bantuan pengait pada jip atau truk.

 

DETASEMEN BRAVO '90

Detasemen Bravo 90 (disingkat Den Bravo-90) terbilang pasukan khusus Indonesia yang paling muda pembentukannya. Baru dibentuk secara terbatas di lingkungan Korps Pasukan Khas TNI-AU pada 1990, Bravo berarti yang terbaik. Konsep pembentukannya merujuk kepada pemikiran Jenderal Guilio Douchet: Lebih mudah dan lebih efektif menghancurkan kekuatan udara lawan dengan cara menghancurkan pangkalan/instalasi serta alutsista-nya di darat daripada harus bertempur di udara. Motto: Catya Wihikan Awacyama Kapala artinya Setia, Terampil, Berhasil

 

Pengukuhan Detasemen Bravo-90

Dikukuhkan pada tanggal 16 September 1999 oleh KSAU Marsekal Hanafie Asnan. Dalam melaksanakan operasinya, Bravo dapat juga bergerak tanpa identitas. Bisa mencair di satuan-satuan Paskhas, atau seorang diri. Layaknya dunia intelijen Bukan main-main, Bravo-90 juga melengkapi personelnya dengan beragam kualifikasi khusus tempur lanjut, mulai dari combat free fall, scuba diving, pendaki serbu, teknik terjun HALO (High Altitude Low Opening) atau HAHO (High Altitude High Opening), para lanjut olahraga dan para lanjut tempur (PLT), dalpur trimedia (darat, laut, udara), selam, tembak kelas 1, komando lanjut serta mampu menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dengan sarana multimedia. Pasukan elit ini juga kebagian jatah untuk berlatih menembak dengan menggunakan peluru tajam tiga kali lipat lebih banyak dari pasukan reguler lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk melatih ketepatan dan kecepatan mereka untuk bertindak dalam waktu sepersekian detik.
Den Bravo '90 mempunyai 3 tim yang disebut Alfa, yaitu :
1.     Tim Alfa 1 mempunyai spesialisasi intelijen.
2.     Tim Alfa 2 berkualifikasi spesialisasi perang kota/hutan dan
3.     Tim Alfa 3 spesialisasi Counter Terrorism.
Disamping itu ada Tim Bantuan Mekanik untuk pemeliharaan senjata dan peralatan serta tim khusus plus tim pelatih. Tapi sebenarnya 3 tim itu mempunyai keahlian yang merata di bidang counter terrorism. Pasukan “inti” baret jingga ini juga kerap berlatih dengan Gultor Kopassus, Kopaska TNI-AL dan Den Jaka Marinir. Saat ini ada peningkatan standart pasukan sehingga mencapai 1 detasemen secara utuh dengan jumlah ideal mengikuti tabel organisasi personel (TOP) yaitu 265 personel dibawah pimpinan seorang Letnan Kolonel. Bravo saat ini sudah memiliki fasilitas pertempuran jarak dekat (CQB). Bahkan untuk latihan pembebasan sandera di pesawat, Bravo langsung melaksanakannya didalam pesawat baik milik TNI-AU maupun PT. DI. Bravo juga menjadi pasukan khusus pertama di Indonesia yang mampu menguasai ilmu bela diri Systema yang merupakan ciri khas dari pasukan elit Rusia.

 

Tahap Pendidikan Den Bravo-90

Pendidikan Bravo sekitar 6 bulan. Dilaksanakan di Wing III/Diklat Paskhas Satdik 02 Lanjut dan Satdik 03 Khusus. Anggotanya diseleksi dari siswa terbaik peringkat 1-40 lulusan sekolah komando Paskhas dan personel aktif di Wing/Resimen/Batalyon/Detasemen. Semua diseleksi ketat mulai dari IQ, kesemaptaan, keahlian spesialisasi militer yang dibutuhkan serta kesehatan. Semua dengan asistensi lembaga TNI-AU yang berkompeten dengan bidang masing – masing. Nampaknya para pelatih Detasemen Penanggulangan Teror “ala” Pasukan khusus TNI-AU ini tak main – main. Peluru tajam digunakan dalam latihan tahap akhir. Alhasil para calon Bravo juga penuh perhitungan, cermat, cepat sekaligus tepat dalam bertindak. Bertempur total dan habis – habisan. Itulah kesimpulan akhir pendidikan Bravo. Mereka tercetak menjadi prajurit elit Paskhas yang siap diterjunkan di mana saja baik di Luar Negeri maupun di seluruh Indonesia. Setelah lulus, para personel Bravo muda ini berhak atas brevet bravo, lambang, Call Sign dan perlengkapan tempur standard Bravo lainnya. Mereka juga dibagi ke dalam 3 tim Alfa dan Tim Ban Nik. Bagi para personel Bravo yang telah dianggap senior, bisa dipindahkan ke Tim khusus yang tak lain “berisi” prajurit Bravo berkemampuan di luar matra udara yaitu Frogmens yang mampu melakukan infiltrasi lewat laut, Selam Tempur, UDT, EOD, Zeni Demolisi, Penerbangan, elektronika dll.

 

Rentang Penugasan Den Bravo-90

Dimulai sejak 1992 dalam pengamanan KTT di Jakarta, Misi pemulangan TKI Cina, dan misi Geser Tim – Tim sebagai buntut lepasnya Tim – tim dari NKRI. Bravo ditugasi mengendalikan Bandara Komoro dalam satgas ITFET (Indonesian Task Force in East Timor), namun pengamanan pusat kota juga dipercayakan kepada komando Bravo. Mereka bertugas sampai detik-detik akhir turunnya merah-putih dari bumi Lorosae Setelah itu dalam konflik Ambon, Bravo mengalami berbagai peperangan frontal dari darat ke darat dalam menyekat 2 kubu yang bertikai. Bravo tergabung dalam Yon Gab 1 bersama Kopassus dan Taifib Marinir. Dalam konflik Aceh, Bravo ditugasi untuk mengamankan bandara dan lanud di seluruh wilayah NAD. Juga dalam operasi bertaraf Internasional diantaranya meliputi : Tim Khusus pasukan perdamaian PBB dan Operasi penyelamatan evakuasi WNI di Luar Negeri.

 

Inventaris Senjata Den Bravo-90

Pistol Scorpion sudah tinggal kenangan. Kini Bravo memiliki senjata jagonya CQB yaitu MP 5. Sebagian adalah hibah dari Korea. Namun begitu masih bagus. Pistol pun pakai SiG Sauer. Anggota Bravo dilengkapi uniform full gears dengan peralatan terbaru. Mulai dari rompi anti peluru, NVG, GPS, pelindung kaki dan lutut, sepatu khusus, pelindung mata, pisau lempar sampai alat komunikasi point to point. Bahkan dalam situasi khusus, Bravo bisa memboyong pesawat – pesawat TNI-AU dari pesawat angkut sampai pesawat tempur untuk menyokong misi operasinya. Bravo juga kini telah memiliki senjata SAR-21 (Singapore Air Rifle). Kabarnya Bravo mendapat 50 buah senjata jenis ini dari Mabes TNI. Kedepan Den Bravo ’90 sebagai pasukan khusus andalan TNI akan dilengkapi dengan berbagai peralatan persenjataan termodern dan high teknologi untuk menyongsong perang masa depan yang lebih Global dan Moden. Dan Mendatang akan lebih lengkap, modern dan profesional menuju pasukan elite kelas dunia untuk menjadi pagar dan benteng NKRI.

 

Kendaraan Taktis Den Bravo-90

Detasemen Bravo-90 Paskhas TNI-AU saat ini setidaknya mengoperasikan beberapa jenis kendaraan taktis antara lain:
1.     Land Rover Defender MRCV (multi role combat vehicle)
2.     Dirgantara Military Vehicle (DMV-30T)
3.     Beberapa Rantis Lainnya (amfibi,dll)
Land Rover Defender MRCV (multi role combat vehicle) Kendaraan taktis (rantis) Bravo-90 Land Rover Defender MRCV (multi role combat vehicle)yang satu ini memang khusus. Termasuk Land Rover jenis defender heavy duty antipeluru yang dilengkapi tangga lipat serta penyangga mobil. Tangga ini lazim digunakan dalam penyerbuan gedung (building assault). Agar mobil berdiri stabil, penyangga diturunkan secara hidraulik untuk menahan goyangan. Melihat tongkrongannya, rantis Bravo-90 ini adalah jenis Defender Td5 dengan basis station wagon sasis panjang. Mobil yang dari pabrikannya dilego seharga 20.495 poundsterling (standar) ini ditenagai mesin disel berkapasitas 2500cc. Bila disimak lebih jauh, tentu saja ada fasilitas khusus yang ditambahkan. Sebut saja plat pijakan kaki yang menempel disekeliling bodi mobil. Tentu saja bukan tanpa tujuan fasilitas tadi dibuat. Plat berfungsi sebagai pijakan pasukan yang berdiri disekeliling mobil. Dengan demikian maka pasukan bisa di drop dengan cepat.

Dirgantara Military Vehicle (DMV-30T) Kendaraan sejenis “Humvee” dan bertampang “sangar” ini adalah produk pertama dan asli rakitan PTDI. Kendaraan ini mendapat nomor register di lingkungan TNI-AU yakni 4020-10. DMV menggunakan mesin disel 3000 cc Ford Ranger dan teknologi Mazda Tampilannya semakin perkasa dengan senjata utama senapan mesin GRMG yang disimpan di bagian atap kendaraan, serta senjata FN Minimi kaliber 5,56 mm yang menyembul keluar dari kabin depan yang tidak dipasangi kaca. Gerakan mobil anyar itu dipastikan tetap lincah, baik di jalan raya maupun di medan yang terjal sekalipun. Empat buah ban ukuran besar melekat di dua as dengan ketinggian jarak lantai kabin ke tanah sekitar 90 centimeter. Apabila tertembak, bagian ban masih akan tetap berdiri dan berfungsi maksimal karena dilengkapi dengan lapisan besi yang dipasang melingkar pada bagian ban. Kendaraan tempur ini didesain untuk kapasitas empat orang prajurit dengan jok yang terbuat dari fibre glass yang dicat khas warna loreng TNI. DMV mempunyai ketahanan perjalanan hingga 600 kilometer. Berbeda dengan kendaraan biasanya, sasis DMV dibangun dengan besi-besi pipa berkualitas sesuai dengan standard dan spesifikasi kendaraan versi militer Ranpur DMP-30T produksi PT DI, yang diawaki prajurit Paskhasau dari satuan Denbravo dengan dilengkapi persenjataannya

 

Markas Komando Bravo-90

Pada tahun 2009, Detasemen Bravo-90 telah menempati markas barunya seluas beberapa hektar di daerah Rumpin, Bogor. Daerah ini dinilai sangat strategis karena dekat dengan dua lanud utama TNI-AU yaitu Lanud Atang Sanjaya, Bogor dan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta sehingga mudah untuk menggerakkan pasukan keseluruh wilayah Indonesia. Daerah ini juga memiliki akses yang cepat ke pusat pemerintahan (khususnya Istana Negara Jakarta dan Istana Bogor, Gedung MPR-DPR serta Mabes TNI di Cilangkap) maupun dengan pintu gerbang negara di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Selain itu Den Bravo-90 juga direncanakan untuk dapat melindungi Pusat Pengembangan dan Pengkajian Iptek (Puspiptek) milik BPPT dan fasilitas LAPAN di daerah Serpong, Tangerang

 

Komandan

Komandan Korpaskhas Pertama TNI Angkatan Udara yang kala itu bernama Pasukan Gerak Tjepat adalah Komodor Udara (U) PGT RHA Wiriadinata, sedangkan saat ini Komandan Korpaskhas (Dankorpaskhas) adalah Marsekal Muda TNI Amarullah, menggantikan Marsekal Pertama TNI Harry Budiono yang menjadi staf ahli KSAU. Sebelumnya, Amarullah menjabat sebagai Wakil Komandan Paspampres. Dan sebagai Wakil Komandan Korpaskhas adalah Marsekal Pertama TNI Manurung.

Penumpasan RMS, DI/TII dan PRRI/PERMESTA
Ketika terjadi beberapa pemberontakan di bumi Pertiwi ini, PPP ditugaskan pula untuk menumpas pemberontakan DI/TII di wilayah Jawa Barat. Personil PPP melakukan pengejaran di wilayah Tangkuban Perahu, Pegunungan Galunggung, Pegunungan Guntur dan Pegunungan Tampomas. Selain itu PPP juga ikut melaksanakan penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan dengan melakukan operasi yang dipimpin langsung oleh Letkol (U) RHA Wiriadinata. Saat penumpasan RMS tahun 1952, PPP mengerahkan 1 kompi pasukannya di Kendari dan Pulau Buru, Maluku.

Pada peristiwa PRRI di Sumatera, dua kompi PGT pimpinan LU I Sugiri Sukani dan LU I Rachman bersama 1 kompi RPKAD melakukan penerjunan untuk pertama kali pada 12 Maret 1958 saat Operasi Tegas di Pangkalan Udara Simpang Tiga, Pekanbaru. Empat hari berselang pada operasi Sapta Marga 16 Maret 1958, pasukan yang sama dari PGT bersama RPKAD kembali melakukan penerjunan di Medan.

Ketika operasi 17 Agustus di Sumatera Barat, PGT mendapat tugas untuk merebut Lanud Tabing di Padang. Untuk mengawali operasi ini, delapan personel PGT dipimpin Letkol (U) RHA Wiriadinata ditugaskan melakukan operasi khusus. Tim kecil PGT ini mendapat tugas menentukan titik penerjunan yang paling aman bagi pasukan TNI. Pendaratan open sea ini, terbilang berbahaya. Ombak besar menyulitkan pendaratan. Akibatnya, saat regu PGT mendarat dengan motor-tempel kecil di pantai, perahunya pecah. Sampai di pantai, mereka bergerak cepat, menyusup, menentukan koordinat, dan membuat kode-kode rahasia pada DZ. Tentu tidak gampang menentukan lokasi DZ, mengingat pasukan PRRI tersebar di mana-mana.

Pada 17 April 1958 tepat pukul 06.40 satu batalyon PGT dan satu kompi RPKAD diterjunkan dan langsung mendapat perlawanan dari pasukan PRRI, akibatnya satu personel PGT gugur. Selain itu Lanud Tabing juga sudah dipenuhi oleh ranjau paku dan bambu-bambu runcing yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Pada 20 Mei 1958, satu kompi PGT dipimpin Kapten (U) R Suprantijo kembali diterjunkan di Morotai saat operasi Merdeka untuk menumpas Permesta di Sulawesi Utara dan Maluku. Beberapa waktu kemudian satu kompi PGT dipimpin LU I Heru Achjar berhasil merebut bandara Mapanget di Manado. Begitu gencarnya pertempuran di darat maupun dari udara, hingga sempat memancing pesawat Lockheed U-2 Dragon Lady milik AU Amerika (USAF). Pesawat ini pernah dimanfaatkan mengintai pulau Natuna yang disiapkan untuk menggempur Jakarta

Operasi Trikora
PGT AURI dalam operasi Trikora mengambil porsi terbesar jumlah pasukan yang diinfiltrasi ke Irian Barat dengan total 532 orang.
Jumlah personel dari TNI, Polri dan relawan yang diinfiltrasikan selama Trikora adalah 1.154 personel dengan jumlah korban jiwa 216 gugur/hilang dan 296 tertangkap.
Pada tanggal 25 April 1962, saat operasi Banteng Ketaton sebanyak 40 orang pasukan PGT dibawah pimpinan Sersan Mayor (U) J. Picaulima diterjunkan untuk pertama kali di Irian Barat yaitu di daerah Fak-Fak begitu juga penerjunan yang dilakukan 39 personel PGT di Kaimana tanggal 26 April 1962 berhasil dengan baik.
Pada 11 Mei 1962, pasukan PGT dibawah pimpinan Letan Satu (U) Manuhua melaksanakan penerjunan di Sorong saat Operasi Serigala.

Salah satu kisah heroik dan bersejarah adalah peristiwa pengibaran Sang Saka Merah Putih untuk pertama kali dipancangkan di bumi Cendrawasih, Irian Barat, yang dilakukan oleh anggota PGT atas inisiatif Sersan (U) M.F. Mengko. Pada tanggal 19 Mei 1962, sebanyak 81 anggota PGT bertolak dari Pangkalan Udara Pattimura, Ambon, dengan pesawat Hercules yang dipiloti Mayor (U) T.Z Abidin menuju sasaran daerah penerjunan sekitar Kampung Wersar, Distrik Teminabuan. Pada dini hari mereka diterjunkan tepat di atas markas tentara Belanda. Pertempuran jarak dekat yang serba kacau segera terjadi. Tentara Belanda yang tengah tidur kaget karena ada pasukan PGT yang diterjunkan tepat dimarkasnya, sedangkan prajurit PGT juga tidak menyangka akan diterjunkan dimarkas tentara Belanda karena sebelumnya mereka dibriefing akan diterjunkan di perkebunan teh. Kisah heroik ini mengakibatkan tewasnya 53 anggota PGT AURI termasuk komandan tim Letnan Dua (U) Suhadi. Untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut di daerah Teminabuan, Sorong kini telah didirikan sebuah monumen yang diberi nama Tugu
Merah Putih.

Untuk memperkuat posisi tentara Indonesia di Irian Barat dilaksanakan operasi Jatayu pada 14 Agustus 1962 dengan rincian Kelompok Elang dibawah pimpinan Kapten (U) Radik Sudarsono diterjunkan di Sorong dan Kelompok Alap-alap di daerah Merauke dipimpin Letnan (U) Benyamin Matitaputty.

Suatu hal yang amat mengagumkan adalah kemampuan untuk bertahan hidup (survival)dari prajurit PGT. Meskipun dengan kondisi alam Irian Barat yang ganas dimana berhutan lebat dengan ketinggian pohon mencapai di atas 50 meter, langkanya binatang maupun tumbuhan yang dapat dimakan, ancaman penyakit malaria, kekurangan logistik dan obat-obatan ditambah serangan gencar dari pesawat tempur maupun tentara Belanda, namun mereka masih mampu bergerilya di dalam hutan sampai menjelang terjadinya gencatan senjata.

Penerjunan dilaksanakan dini hari menjelang subuh. Prajurit PGT dikepekatan malam yang amat dingin diterjunkan di atas hutan-hutan belantara di dekat kota-kota kecil Irian Barat. Para prajurit PGT cukup tangguh untuk berjuang melawan hutan belantara yang pepohonannya amat tinggi, sehingga sebelum mencapai tanah mereka harus bergelut dengan tali dan pisau komando agar bisa turun karena rata-rata tersangkut dipepohonan.
Secara total dilakukan 9 kali penerjunan yang dilakukan PGT selama operasi Trikora di daerah Kaimana, Fak-Fak, Sorong (Sausapor, Klamono dan Teminabuan) serta Merauke dengan mengakibatkan gugurnya 94 orang prajurit dan 73 orang terluka

Operasi Dwikora
Seperti halnya saat Trikora, pada saat operasi Dwikora PGT AURI juga menjadi pasukan yang pertama kali diterjunkan ke wilayah Malaysia.
Berbeda dengan Trikora maupun saat penumpasan PRRI/PERMESTA, kali ini PGT bertindak sebagai pelaku tunggal penerjunan (solo performer) tanpa didampingi kesatuan lain dari TNI-AD. Selain melalui udara, personel PGT juga melakukan infiltrasi lewat jalur darat dan laut.

Pada tanggal 31 Januari 1964, PGT melakukan penyebaran pamflet dengan pesawat Hercules C-130 di daerah perbatasan (Sabah, Tawau dan sekitar Pulau Sebatik)[11]
Sejak bulan April 1964, dua kompi PGT dibawah pimpinan LMU I Sutikno dan LMU I Sukimin dipersiapkan dalam rangka infiltrasi melalui laut. Pasukan ini kemudian diberangkatkan ke Tanjung Balai, Karimun dengan kapal motor.

Untuk pertama kalinya pada tanggal 16 Agustus 1964, satu peleton dipimpin SMU Sadikin berhasil menyusup lewat laut ke Pontian Kecil, Johor Baru. Keesokan harinya bertepatan dengan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1964 kembali satu peleton PGT pimpinan SMU Suparmin disusupkan ke wilayah Malaysia lewat jalur laut. Sebelumnya pada dini hari sebanyak 17 personel PGT berhasil melakukan penerjunan di selatanJohor.
Dalam penerjunan pada tanggal 1-2 September 1964 diterjunkan 3 peleton pasukan terdiri dari 1 peleton dari kompi LU I Suroso,Jakarta dan 2 peleton dari kompi LMU Sutikno,Bandung. Ironisnya, salah satu pesawat C-130 Hercules yang diterbangkan Mayor (U) Djalaloedin Tantu bersama 7 awak pesawat jatuh ke selat Malaka. Sebuah sumber menyatakan bahwa kecelakaan pesawat Hercules yang melakukan terbang malam tersebut akibat terbang terlalu rendah untuk menghindari deteksi radar lawan. Mayor (U) Sugiri Sukani, Komandan Resimen PGT dan LU I Suroso ada di dalam pesawat malang tersebut. Unsur yang ikut tewas dalam peristiwa tersebut adalah 47 orang personel PGT ( 40 orang dari Jakarta dan 7 orang dari Bandung) dan 10 orang Cina Melayu, diantaranya adalah dua gadis. Sedangkan 2 Hercules lainnya berhasil menerjunkan pasukan PGT di daerah sasaran. Sasaran penerjunan ini adalah daerah Taiping, Labis dan Ipoh.

Hanya dalam waktu dua hari, hampir semua personel PGT dapat ditangkap akibat pengkhianatan dari penunjuk jalan yang berasal dari etnis Melayu dan Cina. Mereka baru dibebaskan dari penjara Malaysia setelah 11 Maret 1966 dan dipulangkan ke Indonesia. Setiba di Jakarta, akibat efek dari peristiwa G-30S/PKI mereka kembali ditahan di Cijantung di asrama RPKAD dan diberi julukan ”Tentara Merah”. KU I Sukardi yang tertangkap dan divonis hukuman gantung oleh pemerintah Malaysia akhirnya dibebaskan pasca gencatan senjata RI – Malaysia.

Hampir seluruh personel PGT yang diinfiltrasikan ke Malaysia tertangkap akibat banyaknya operasi yang secara sengaja ”dibocorkan” oleh oknum-oknum di Indonesia. Sedangkan 4 personel PGT yang kembali dengan selamat dan tidak tertangkap mendapatkan anugerah Bintang Sakti dari Presiden RI bersama-sama dengan anggota yang gugur.
Jumlah personel PGT yang gugur/hilang selama operasi Dwikora berjumlah 83 orang sedangkan yang tertangkap/terluka berjumlah 117 orang[12]

Operasi Seroja
Dalam Operasi Seroja, Kopasgat tidak berfungsi sebagai pasukan pemukul seperti yang dilakukan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dalam penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta, perjuanganTrikora dan Dwikora. Kopasgat yang terdiri dari Pengendali Tempur (Dalpur), Pengendali Pangkalan (Dallan) dan Satuan Tempur (Satpur) bertugas membentuk pangkalan udara operasi dan pengamanannya.

Gelaran pertama Kopasgat terjadi tanggal 7 Desember 1975 saat 126 personel Detasemen-B Kopasgat yang dipimpin Kapten (Psk) Silaen diterjunkan dengan cara air landed di lapangan terbangDili, selang dua hari pada 9 Desember 1974 delapan Hercules C-130 menerjunkan pasukan dari Yonif Linud-328 Kostrad, Grup-1 Kopassus, Yonif 401/Banteng Raiders dan 156 personel Kopasgat pada pukul 07.25 WIT. Tugas Kopasgat adalah membebaskan lapangan terbang Baucau, atau lebih populer dengan Villa Salazar dalam bahasa Portugis. Detasemen-A Kopasgat dipimpin Kapten (Psk) Afendi. Operasi ini sekaligus membuktikan kemampuan Kopasgat melaksanakan Operasi Pembentukan dan Pengoperasian Pangkalan Udara Depan (OP3UD). Jumlah personel Kopasgat yang luka-luka saat penerjunan di Baucau adalah 19 orang terdiri dari 2 orang Satpur dan 17 orang Dallan.[13]
Jauh sebelum operasi Seroja dimulai, Kopasgat bersama satuan elit lainnya di TNI sudah terlebih dahulu masuk ke wilayah Timor-Timur untuk membentuk kantong-kantong gerilya serta mendukung para pejuang pro integrasi

Selama operasi Seroja, kehadiran Kopasgat amat disegani baik oleh rakyat maupun gerilyawan Fretilin karena sikapnya yang simpatik dan mampu merebut hati rakyat. Markas Kopasgat seringkali dijadikan tempat perlindungan oleh rakyat untuk menghindari konflik bersenjata yang terjadi. Warna baret jingga dan loreng komando khas Kopasgat kala itu amat populer di Timor-Timur. Hal ini berimplikasi pula pada sedikitnya jumlah personel Kopasgat yang gugur selama operasi Seroja bila dibandingkan dengan satuan lainnya di TNI.
Jumlah personel TNI yang gugur di Timor-Timur antara tahun 1974-1999 adalah 2.292 orang sedangkan dari pihak pejuang pro integrasi mencapai jumlah 1.527 orang.

Operasi Trisula dan Penumpasan PGRS/Paraku
Kopasgat turut serta dalam operasi Trisula Kodam V Brawijaya tahun 1967 di daerah Blitar Jawa Timur guna penumpasan sisa-sisa gerakan PKI didaerah tersebut. Dalam mendukung operasi ini Kopasgat mengerahkan satu kompi pasukannya dari Resimen III dibawah pimpinan LU II Wim Mustamu. Pada tahun 1967-1969 timbul pergolakan di Kalimantan Barat yang dikenal dengan nama Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) berasal dari warga keturunan Tionghoa simpatisan komunis diwilayah Kalimantan. Untuk menghadapi PGRS/Paraku, pemerintah memutuskan untuk menggelar operasi Saber Kilat. Kopasgat sendiri melakukan tugasnya secara berkala dan diadakan pergantian pasukan pada periode tertentu sampai dengan operasi selesai tahun 1969. Perwira Kopasgat yang bertugas dalam operasi ini antara lain Kolonel (U) Z. Rachiman, Letkol (U) Sudjito, LU I Samadikun, LU I Mashud, LU I Sudadyo, LU I Nasroel dan LU II Siswoto Soemali dan LU II Joenoes. Dalam operasi ini gugur 2 orang personel Kopasgat asal Resimen I dan 4 orang lainnya gugur saat peristiwa Lanud Singkawang II

Artikel Terkait