Sasak adalah
nama suku yang mendiami pulau Lombok, pulau yang ketika zaman Belanda bernama
Sunda Kecil. Suku ini mempunyai tradisi kebudayaan berupa kesenian gendang
beleq. Tentang kesenian ini masyarakat Lombok ada yang menyebut musik gendang
beleq dan ada yang menyebut tari gendang beleq, hal ini dikarenakan sang
penabuh menari sambil membunyikan gendang beleq. Kedua pandangan di atas ada
benarnya, karena musik dan tari terekspresi melalui bunyi dan gerak dalam
pertunjukan gedang beleq. Akan tetapi pada beberapa grup gendang beleq saat
ini, penari dan penabuh gendang beleq dimainkan oleh orang yang berbeda.
Gendang
beleq merupakan sebuah alat musik tabuh berbentuk bulat panjang, terbuat dari
pohon meranti yang dilubangi tengahnya, dengan kedua sisinya berlapis kulit
kambing, sapi atau kerbau, dan jika dipukul (tabuh) akan berbunyi dang..
dang atau dung.. dung. Bunyi dang.. dang itulah
nampaknya yang diabadikan untuk menamainya. Adapun awalan gen hanyalah
pelengkap untuk memudahkan penyebutan. Kata beleq dalam bahasa Sasak berarti
besar. Dengan demikian gendang beleq berarti gendang besar, lebih besar
ukurannya dari gendang yang dipakai di Lombok dan daerah lain umumnya. Menurut
Mamiq Hidayat, salah satu pemerhati kesenian Sasak, dinamai gendang beleq
karena ;
“Selain
bentuknya yang besar, serta suara yang paling keras, gendang dalam
pertunjukannya menempati posisi paling depan sendiri, bahkan zaman dulu yang
berdiri hanya gendang dan beberapa penari saja, alat musik yang lain dimainkan
sambil duduk”(Wawancara, Maret 2009).
Musik
gendang beleq dilengkapi juga dengan gong, terumpang, pencek, oncer, dan
seruling. Saat dimainkan sekilas akan terdengar tidak teratur bunyinya, dan
ramai. Kesan pertama kali mendengar, irama, ritme dan suara serulingnya nampak
seperti pada musik Bali. Sejarah mencatat bahwa Lombok pernah dikuasai oleh
Kerajaan Bali yaitu Klungkung (abad 17) dan Karangasem (abad 18) dalam rentang
waktu sangat lama (Suhartono, 1970).
Pada Abad
17, Lombok menjadi perebutan antar Raja Bali Karangasem dan Makasar dari
Sumbawa. Pada permulaan abad 17, orang Bali dari Karangasem menyeberang Selat
Lombok dan mendirikan beberapa perkampungan serta membangun kontrol politik
diwilayah Lombok Barat . pada saat yang sama, orang-orang Makasar dari Sumbawa
menyeberang Selat Alas dan membangun kontrol politik di wilayah Lombok Timur
(Kraan, 1980 : 2). Latar belakang sejarah kolonialisasi Bali yang cukup
panjang, tampaknya juga berbekas pada musik gendang beleq ini. Setyaningsih
(2009) dalam tesisnya menulis bahwa tradisi sasak seperti merariq, gedang
beleq, dan perisean merupakan pengaruh dari Kerajaan Bali.
Musik
gendang beleq konon pada zaman dahulu digunakan sebagai musik perang, yaitu
untuk mengiringi dan memberi semangat para ksatria dan prajurit kerajaan Lombok
yang pergi atau pulang dari medan perang. Musik gendang beleq difungsikan juga
sebagai pengiring upacara adat seperti merarik (pernikahan), ngurisang (potong
rambut bayi), ngitanang atau potong loloq (khitanan), juga begawe beleq
(upacara besar). Gendang beleq dipertunjukkan juga untuk hiburan semata seperti
festival, acara ulang tahun kota, dan ulang tahun provinsi. Para penonton
biasanya akan berdiri menunggu di pinggir jalan, ikut-ikutan menari, atau hanya
sekedar bersorak gembira.
Musik
gendang beleq dimainkan oleh dua orang pemain yang disebut sekaha. Pada zaman
dahulu sekaha berasal dari masyarakat yang dipilih oleh sekaha senior. Saat ini
sekaha direkrut dengan cara mengundang siapa saja yang ingin berlatih menjadi
sekaha (biasanya di rumah pemimpin sekaha yang sudah ada), dari mulai anak muda
sampai orangtua. Para sekaha ini kebanyakan adalah keturunan, artinya mereka
saat ini menjadi sekaha karena dahulunya bapak atau kakeknya adalah sekaha
juga.
Satu
hal yang menjadi keluhan para pelestari gendang beleq saat ini adalah sulitnya
mencari sekaha, bukan memainkannya. Anak-anak muda Lombok sekarang, lebih
banyak suka naik motor kebut-kebutan, nongkrong di jalan atau gang,
menghabiskan waktunya di depan televisi menonton sinetron atau acara musik
populer yang memang menjamur saat ini, bergaya pakai handphone atau mode baju
atau kaos daripada diajak belajar musik gendang beleq.
Musik
gendang beleq dikelola sendiri oleh masyarakat secara mandiri, biasanya mereka
mendirikan komunitas-komunitas budaya di beberapa kampung Lombok. Masyarakat
membiayai aktifitas mereka dari hasil manggung seperti untuk festival budaya,
ulang tahun kota, penggembira kampanye salah satu partai tertentu, dan yang
paling sering untuk mengiringi upacara adat merarik. Ini berbeda dengan zaman
dahulu dimana gendang beleq masih banyak terdapat di kampung-kampung Lombok.
Musik
gedang beleq sejak dahulu dipertunjukan dengan cara tradisional. Semua sekaha
dalam pertunjukan gendang beleq harus memakai pakaian adat Sasak lengkap dengan
atributnya. Namun sekarang karena pengaruh zaman modern, baju dan celana sekaha
berbeda-beda warna antar kelompok gendang beleq, bahkan sesuai dengan pesanan
sponsor. Namun demikian, yang tidak boleh ditingalkan dan harus dipakai serta
bercorak batik adalah sapo‘ (ikat kepala), dodot (ikat pinggang), dan bebet
(kain yang melapisi pinggang seperti pada pakaian Melayu Minangkabau). Kedua
atribut ini diangggap penting, karena dianggap satu-satunya identitas yang membedakan
dengan musik modern.
Beberapa
kelompok gendang beleq saat ini membuat seragam sendiri, dengan bordir atau
sablon tulisan nama kelompok di belakang seragam. Melihat kondisi ini,
masyarakat tertentu (baca : orangtua Sasak) memandang perilaku ini negatif.
Mereka menganggap kelompok gendang beleq seperti ini tidak melestarikan budaya
dengan utuh, karena tidak memakai seragam adat. Cemoohan juga sering ditujukan
pada sekaha yang berusia muda, dimana ketika pertunjukan gendang beleq mereka
memakai sapo‘, dodot, bebet sembarangan, memakai anting-anting atau hanya
sekedar memakai kaos.
Berikut
mengenal alat-alat yang terdapat dalam musik gendang beleq :
1. Gendang beleq, terbuat dari pohon meranti
besar gelondongan yang dipotong, berbentuk silinder dengan lubang yang besar
ditengahnya berdiameter kurang lebih 50 centimeter dan panjang 1,5 meter,
lubang kayu ditutup dengan kulit sapi atau kambing yang telah disamak. Di ujung
kanan kiri gendang dipasang pengait untuk memasang tali atau selendang agar dapat
diselampirkan (digantungkan) di leher atau bahu. Bentuknya yang besar, panjang
dan berat, terlihat tidak menyulitkan pemain untuk memukulnya.
2. Terumpang,
alat ini berbentuk seperti wajan besar yang tengahnya terdapat bundaran kecil
yang berupa benjolan. Terumpang terbuat dari kuningan, dalam gendang beleq
terdapat dua buah terumpang.
3. Gong,
hampir sama dengan terumpang hanya ukurannya lebih besar, terbuat dari kuningan
atau tembaga, jika dipukul akan menghasilkan suara yang mendengung.
4. Kenceng
(dibaca seperti kata kelereng), terbuat dari kuningan juga, berbentuk seperti
piring dengan tengah luarnya diberi tonjolan dan tali untuk pegangan. Kenceng
ini terdiri dari dua pasang, masing-masing orang memegang sepasang. Bunyi dan
irama kenceng inilah yang membuat musik gendang beleq terdengar sama dengan
musik Bali.
5. Suling
atau seruling, dibuat dari bambu dengan lubang-lubang kecil di tubuh bambu
untuk menghasilkan bunyi merdu. Terdapat dua model seruling yang di pakai dalam
gendang beleq, yang panjangya kurang lebih 50 centimeter dan 30 centimeter.
6. Oncer
atau petuk, berbentuk seperti gong tetapi ukurannya lebih kecil dari terumpang,
terbuat dari kuningan atau tembaga.
7. Pencek,
berbentuk seperti kenceng tetapi bentuknya kecil-kecil dan diletakkan pada
sebuah papan kayu yang digantung di leher.
8. Alat
penabuh dan pemukul, alat tabuh gendang berupa kayu pohon kelapa sepanjang 50
centimeter dengan ujungnya dibalut kain, dirajut benang dan dilapisi lem agar
kuat (bentuk mondol). Alat pemukul sama dengan penabuh hanya balutan kain agak
kecil dan tipis.
Pemain
gendang beleq dalam bahasa Sasaknya disebut Sekaha. Jenis kelamin semua sekaha
adalah laki-laki, dari mulai anak kecil umur 7 tahun sampai orangtua umur 60
tahun. Menurut keterangan beberapa sekaha, sejak dulu pemain gendang beleq
pasti laki-laki, karena berat menggendongnya. Biasanya perempuan hanya sebagai
penari tambahan saja.
Dalam
satu rombongan musik gendang beleq terdapat kurang lebih 17 sekaha, terkadang
20 atau lebih, dengan sekaha cadangan untuk penabuh gendang atau peniup
seruling. Ada juga rombongan gendang beleq yang dilengkapi dengan kelompok
penari khusus, sehingga terlihat banyak sekali personelnya. Lebih jelas
uraiannya di bawah ini :
Empat
sekaha penabuh gendang beleq, biasanya
dipilih sekaha yang berbadan besar karena dianggap kuat, namun tidak sedikit
ditemukan penabuh gendang yang berbadan kurus. Enam sekaha pemukul kenceng,
setiap sekaha memainkan sepasang kenceng. Kenceng dimainkan dengan cara
ditepuk, seperti menangkupkan dua piring secara bersamaan. Satu sekaha untuk
peniup suling atau seruling dengan satu peniup cadangan. Dua sekahan pemukul
oncer atau petuk, dengan cadangan satu sekaha. Dari semua alat musik petuk
mudah untuk dipukul, karena iramanya monoton.
Saat
pertama kali menyaksikan pertunjukan gendang beleq, cara memainkan musik ini
terlihat begitu rumit dan harus hati-hati. Jika dicermati, secara umum
memainkan musik gendang beleq terbagi dalam tiga proses, yaitu :
Proses
ini dimulai dengan menyiapkan mengecek alat dan sekaha, apakah sudah lengkap
atau belum. Jika belum lengkap alatnya harus dicari, dan jika sekaha nya tidak
hadir akan dicari penggantinya. Jika sudah lengkap semua, akan diteruskan pada
proses selanjutnya.
Proses
latihan merupakan proses yang paling vital sebelum memulai permainan, karena
proses ini bertujuan untuk melihat apakah para sekaha sudah siap semua,
konsentrasi dan semangat, juga untuk mengecek apakah alat-alatnya bisa
dipergunakan dengan baik, jika belum maka akan diperbaiki terlebih dulu.
Apabila dalam proses latihan ini tidak bagus, maka umumnya itu akan berdampak
pada pertunjukannya. Namun karena para sekaha itu sudah terbiasa memainkan,
maka kesalahan itu dapat teratasi dengan cepat, yang sulit adalah jika sekaha
yang mahir berhalangan dan diganti dengan sekaha baru, proses latihan ini akan
mensiasitanya. Jika sudah dirasa memadai beranjak pada proses selanjutnya.
Alat
yang pertama dibunyikan adalah gendang beleq. Biasanya sekaha akan menabuh dua
kali kanan dan satu kali kiri dengan pukulan berirama. Itu sebagai tanda untuk
alat selanjutnya siap menyambut, dan akan disambut oleh kenceng dengan tepukan
berirama langsung menghentak. Seterusnya diikuti oleh petuk, seruling dan
lainya, semenjak itu seruling tidak pernah berhenti berbunyi.
Jika
dilihat dari alunan musiknya yang ramai, cara memainkan gendang beleq cukup
perlu konsentrasi yang tinggi.
Musik
gendang beleq dimulai berdasar komando dari penabuh gendangnya, ibarat sebuah
orchestra, penabuh gendang adalah konduktornya. Walaupun dalam permainannya
didominasi oleh suara terumpang, seruling dan kenceng, namun karena bunyinya
paling keras, musik ini tetap dikomando oleh suara gendang. Umumnya irama musik
yang dimainkan adalah lagu-lagu Sasak, namun sekarang sering terdengar irama
dangdut dan Melayu ikut mewarnai.
Nilai
adalah imajinasi orang atau komunitas terhadap perilaku atau lingkungan yang
dialaminya (Anderson, 2002). Gendang beleq dalam bayangan manusia Sasak
memiliki makna yang luhur. Musik gendang beleq memiliki beberapa makna, antara
lain :
Nilai
filosofis. Melestarikan gendang beleq dimaknai manusia Sasak sebagai menata dan
memelihara diri sendiri, karena di dalam musik gendang beleq terkandung
keindahan, ketelitian, ketekunan, kesabaran, kebijakan dan kepahlawanan.
Berdasar penilaian ini, musik gendang beleq bagi orang Sasak dianggap sakral.
Musik ini tidak mungkin ada tanpa nilai-nilai filosofis tersebut difahami
terlebih dahulu oleh nenek moyang Sasak. Mereka mentradisikannya agar difahami
oleh keturunan mereka dan dipelajari muatannya.
Nilai
psikologis. Keterikatan akan satu imajinasi yang sama, yaitu sama-sama manusia
Sasak yang memiliki berbagai kesamaan, seperti nenek moyang, geografis, budaya
bahkan mungkin agama. Orang Lombok yang lama kuliah di Jogjakarta selalu
membicarakan gendang beleq dan berbagai budaya mereka jika bertemu, bahkan
sambil makan plecing (sayur khas Lombok). Di asrama mahasiswa Lombok di Condong
Catur, Jogjakarta, juga terdapat alat-alat gendang beleq. Realitas ini tentu
saja bertujuan untuk terus menyambung imajinasi Sasak sebagai manusia yang
terikat secara psikologis dengan tanah leluhurnya.
Nilai
sosiologis. Seni musik gendang beleq dapat menjadi ajang untuk interaksi sosial
yang terbuka tanpa sekat status sosial, pendidikan, atau keturunan. Mengenal dan mencari jodoh bagi muda-mudi,
tidak sedikit mereka akhirnya menikah setelah berkenalan ketika bersama
menonton gendang beleq. Pertemanan dan kekerabatan baru, sering terjadi jika
ada pertunjukan gendang beleq. Bagi masyarakat yang apabila dalam perkawinan
anaknya dimeriahkan oleh gendang beleq, pertunjukan ini akan menaikkan status
sosial mereka di masyarakat (semakin naik statusnya jika pengiring kelompok
gendang beleq lebih dari satu). Bagi golongan bangsawan Sasak (Lalu, Baiq,
Raden atau Dende), gendang Beleq menjadi penanda (baca; identitas) penting
dirinya dimata orang Sasak yang lain (kecuali bangsawan yang beragama Islam dan
menganggap gendang beleq negatif).
Nilai
ekonomis. Gendang beleq dapat menjadi profesi yang menghasilkan, walaupun
hasilnya tidak banyak, namun ketika sulit mendapatkan pekerjaan serta banyak
pengangguran, ikut rombongan gendang beleq dapat menjadi alternatif untuk dapat
uang walaupun hanya sekedar untuk rokok dan makan.
Musik
gendang beleq masih sering dipertunjukkan di Lombok hingga saat ini, bahkan
tahun 2008 lalu atas sponsor rokok, di Lombok telah diselenggarakan festival
gendang beleq sepulau Lombok. Peristiwa seperti ini tentulah sangat
menggembirakan dan perlu terus digalakkan, agar keberadaan musik tradisional
gedang beleq dapat terus terjaga. Pemerintah, pihak swasta dan pelaku budaya
Sasak diharapkan dapat bergandengan tangan untuk terus mentradisikan musik ini,
agar tetap diminati oleh masyarakat Lombok dan tidak kalah dengan musik modern.
Dan semoga tidak hanya sekedar mementaskan saja, tetapi tentu saja dengan tetap
berusaha menjaga kesakralannya, dari pada hanya sekedar hiburan semata.
Sumber
: http://info.tnial.mil.id/