Kedudukan
legenda dan mitos dalam tradisi masyarakat Sasak, memang cukup diperhitungkan.
Banyak terdapat legenda di kalangan ini. Tapi yang paling hidup di
tengah-tengah masyarakat adalah, legenda Putri Mandalika, Cupak Gerantang, Dewi
Anjani dan legenda Perjalanan Penyamaran Datu Pejanggik.
Sedikit
dikisahkan, mitos atau legenda Putri Mandalika, berkisah tentang tragedi cinta
segi tiga antara seorang putri yang diminati oleh tiga orang pangeran yang
sama-sama mempertahankan nyawa untuk memperolehnya. Karena bimbang yang
berkepanjangan dialami oleh kalangan istana dalam menetapkan pilihan,
menyebabkan Sang Putri memilih bunuh diri dengan cara menceburkan diri ke laut
Selatan, kemudian pada saat yang diinginkan, berjanji akan menjelma menjadi
Nyale, biota laut yang mirip ’indomie’, beramai-ramai ditangkap penduduk di
akhir bulan Februari tiap tahun.
Selanjutnya
ada legenda/cerita Cupak – Gerantang, merupakan legenda yang cukup berkembang
dan diminati masyarakat Sasak. Dikisahkan, Cupak dan Gerantang adalah dua
saudara yang memiliki perbedaan karakter dan perilaku. Cupak sang kakak,
memiliki karakter dan perilaku yang kurang terpuji, rakus, pembohong, ingin
selalu menang dan selalu menguasai. Dengan karakter yang dimiliki oleh Cupak
ini, masyarakat Sasak biasanya enggan bila dikatakan memiliki karakter seperti
Cupak ini. Semisal, “Pengelorande maraq Cupak” (Anda makan seperti Cupak). Bila
ada orang Sasak yang menuduh demikian, maka tertuduh segera membuat perhitungan
yang akhirnya Penuduh pun siap-siap mengklarifikasi tuduhannya.
Selain
itu, ada legenda Putri Dewi Anjani, jelmaan ratu jin sakti yang menetap di
Gunung Rinjani. Ratu Jin atau Putri Dewi Anjani inilah yang berupaya meratakan
bagian bumi Lombok dengan mesin keruknya berupa burung ‘Beberi’. Setelah bumi
Lombok dianggap layak untuk dihuni, maka sang ratu jin berubah rupa menjadi
Perwangsa manusia.
Yang
terakhir adalah, legenda Penyamaran datu Pejanggik sambil menyusuri pantai
selatan. Karena tak dikenal sebagai raja, sepanjang perjalanannya menemukan
ujian-ujian kesabaran ketika berhadapan dengan beberapa orang penduduk desa
yang tak mempedulikannya. Ini mungkin menyakitkan bagi dirinya bila
keinginannya tidak dikabulkan. Maka sang raja mengucapkan ‘kutuk’ dan berlaku
hingga sekarang.
Dalam
kisahnya, disebuah dusun bernama Serenting desa Kuta kecamatan Pujut, di dusun
itu hingga kini tumbuh pohon Kelor yang tidak bisa berbuah. Kutukan ini terjadi
ketika sang raja beristirahat dan ingin menyantap sayur buah kelor, tapi oleh
empunya pohon kelor dibongongi dengan mengatakan, pohon kelornya sedang tidak
berbuah. Faktanya, pohon kelor di Serenting, hingga kini tidak bisa berbuah.
Sang
Datu melanjutkan perjalanan menuju dusun Tarung-arung dan beristirahat sejenak,
untuk sekedar santap siang. Sebagai orang Sasak yang suka makan sambal cabai,
sang datu tergiur juga untuk dibuatkan sambal cabai segar yang ada disekitar
tempat istirahat. Tapi apa kata pemilik kebun cabai? “Cabai saya belum matang
untuk dibuat sambal” padahal di situ tanmpak jelas buah cabai yang memerah.
Sang Datu jadi kesal, tapi yang bisa dilakukan sebatas mengucap ’kutuk’, yaitu
pohon cabai yang ditanam di dusun itu supaya tak pernah bisa berbuah merah. Hal
ini sebagai balas atas kebohongan pemilik kebun cabai yang enggan berbagi
beberapa buah cabai untuk orang lain.
Aneh
memang, sampai kini di dusun Tarung-arung, buah cabai tidak akan berbuah merah.
Meski buahnya telah cukup matang dan sudah terasa pedas, tapi tetap tidak bisa
menjadi cabai merah.
Perjalanan
spiritual sang Datu, agaknya berlangsung pada bulan Pituq, bulan ke tujuh dalam
kalender Sasak. Serupa dengan kedua kutuk di atas, terjadi juga di Pantai Kute,
sebuah desa nelayan dan pariwisata. Di pingghir pantai sang Datu mendirikan
kemah. Ketika ingin sarapan pagi, sang datu ingin sekali makan ikan. Kebetulan
saat itu nelayan yang baru turun melaut dengan hasil tangkapan yang cukup. Sang
datu meminta seekor ikan kepada nelayan yang tangkapannya cukup banyak. Si
nelayan memberikan dua ekor namun dengan nada agak ketus, ngedumel dan
membalikkan badan. Pemberian itu sebagai tanda tak ikhlas. Melihat situasi yang
tak mengenakkan itu, tentu sang datu menjadi kesal, kecewa dan sakit hati.
“Kalau begitu, ikan ini jangan sampai dimakan, biar kukembalikan kehabitatnya
ke laut luas”, demikian kata sang datu. Tapi sebelum ikan itu dilempar ke laut,
lagi-lagi sang Datu sempat mengucap kutuk. Biarlah ikan ini menjadi ikan
beracun yang tak dapat dimakan manusia.
Apa
yang terjadi kemudian? Disetiap bulan Pituq, selalu terdapat korban penduduk di
desa itu yang keracunan karena makan jenis ikan Tamban. Penduduk setempat
menyebutnya ikan Tamban Bulan Pituq.
Seringkali
mitos-mitos dihubungkan pula dengan akibat yang menyeramkan, sehingga banyak
anggota penganut suatu budaya yang tidak mau mengambil resiko, memilih menurut
saja pada mitos yang berlaku. Selain itu, ada pula mitos yang terkait dengan
basis etik dan tata nilai supranatural yang tidak boleh dilanggar atau
dilakukan. Beberapa mitos ini (kendati tidak terkait dengan sejarah tertentu),
namun dianggap memiliki efek mistik seperti kualat, mamaliq dan lainnya yang
cukup kuat bila dilanggar. Maka masyarakat Sasak senantiasa menghindarinya.
Ada
sejumlah mitos dan legenda yang berkembang di kalangan masyarakat Sasak.
Semisal “Lewat di penjemuran”. Di tengah orang Sasak, tempat menjemur pakaian,
diatur pada ruang tersendiri di bagian pojok yang tidak sebagai jalur lalu
lintas orang. Pengaturan ini dilakukan berkaitan dengan fungsi penjemuran yang
digunakan untuk menjemur pakaian dari jenis apa saja, bahkan hingga pakaian
gombal atau celana dalam.
Fungsinya
terlalu umum, menyebabkan orang Sasak berpantang lewat di penjemuran, karena
dipercaya dapat menghilangkan ilmu kedigdayaan yang dimiliki. Orang Sasak
menyebutnya ‘campah’.
Ada
lagi mitos seperti “Transaksi Malam Hari”. Sampai kini mitos seperti ini, tidak
ada yang berusaha menyingkap alasan tidak dibolehkannya transaksi mengeluarkan
uang pada malam hari. Mitos ini banyak di anut di desa-desa, tapi sudah tidak
lagi dianut oleh masyarakat kota. Begitu juga dengan jual beli dan pinjam
meminjam peralatan yang terbuat dari bahan besi, banyak yang tidak melakukannya
di malam hari.
Salah
satu alasan yang masuk akal, mungkin berkaitan dengan keraguan, kalau-kalau
terjadi salah hitung (untuk uang) atau dapat melukai kalau-kalau melakukan
transaksi yang berhubungan dengan bahan besi.
Selain
kedua mitos di atas, ada juga mitos lain seperti “Ketika Sandikale”. Sandikale
adalah waktu antara matahari akan tenggelam, tapi belum tiba waktu magrib.
Waktu ini, langit memancarkan sinar kemerahan saat pergantian dari siang menuju
malam. Menurut orang Sasak, pada saat seperti ini, segala bentuk permainan
kesenangan dilarang terus berlanjut. Alasan yang dikemukakan untuk mendukung
mitos ini, bermain pada saat itu dapat mendatangkan penyakit. Padahal secara
alami, saat itu memang cuaca dalam gelap, waktu sholat magrib akan tiba,
kemudian akan dilanjutkan dengan waktu makan malam.
Sumber
: http://lombokbaratkab.go.id/legenda-dan-mitos-tradisi-masyarakat-sasak.html/