DALAM bahasa Arab, hati disebut “al-qalbu”, artinya
berbolak-balik, tidak menetap pada satu keadaan. Demikianlah kenyataan hati
manusia. Ia bisa menjadi sangat lembut dan mudah diarahkan, tetapi bisa juga
menjadi lebih keras dari batu. Sejenak trenyuh dan berduka, kemudian melonjak
kegirangan. Pada dua keadaan ini, sebenarnya hati punya kebutuhan yang sama,
yaitu nasihat. Dengannya maka berbolak-baliknya hati senantiasa terarah kepada
kebaikan, tidak liar dan menyeretnya ke jurang kebinasaan.
Oleh karenanya, di dalam khazanah literatur Islam
berkembang satu jenis kitab yang disebut raqa’iq atau riqaq. Istilah ini dapat
dimaknai sebagai cerita ringan, atau kisah pelembut hati. Karya seperti ini
umumnya pendek, dan di dalamnya banyak disitir kisah-kisah singkat yang
menarik, juga nasihat-nasihat ringkas yang penuh makna. Wejangan dan wasiat
para ulama besar dapat kita jumpai dengan mudah dalam karya-karya seperti ini,
apalagi dalam karya-karya yang lebih detil dan panjang.
Mengapa nasihat ulama itu penting?
Sebab – menurut Syeikh ‘Abdul Qadir al-Jilani – ia
merupakan saripati pengalaman dan interaksi mereka dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Selain itu, sepanjang hidupnya mereka hanya mengabdikan diri kepada Allah,
bukan kepada materi dan kenikmatan duniawi.
Tentu saja, mata air hikmah akan mengalir deras dari
hati dan lisan mereka. Adapun kata-kata orang yang tidak beriman kepada Allah,
apalagi yang memusuhi-Nya, jelas tidak akan steril dari polusi keyakinan
mereka. Bukankah keyakinan yang mewarnai setiap hati pasti terefleksikan
melalui kata-kata dan tindakan pemiliknya? Maka, kita harus hati-hati memilih
nasihat, sebelum teracuni tanpa sadar.
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya para ulama adalah
pewaris Nabi-nabi. Sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar maupun
dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang
mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang banyak.” (Riwayat Abu Dawud,
at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Darda’).
Pertanyaannya adalah: jika kita ingin mendengar nasihat
ulama, maka siapakah mereka? Sebab, di zaman ini, kita sering dibuat kecewa
oleh perilaku tokoh-tokoh yang dikenal sebagai ulama. Di media massa sebagian
dari mereka tampil sangat menawan dan sempurna. Namun, tiba-tiba hati kita
menjadi miris manakala mengetahui fakta sebagian dari mereka yang sesungguhnya.
Maka, ada baiknya kita mendahulukan untuk merujuk pada ulama generasi awal kaum
Muslimin, yakni Salafus Shalih, sebelum ulama dari generasi lebih akhir. Mereka
adalah generasi yang telah menyelesaikan misi serta perannya di dunia ini, dan
kita pun telah melihat prestasi mereka. Sampainya dakwah dan ajaran Islam ke
negeri dan zaman kita secara utuh merupakan salah satu bukti amal mereka.
Selain itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sendiri telah
menyatakan mereka sebagai generasi terbaik (khairun qurun).
‘Imran bin Hushain bercerita: bahwa Nabi bersabda, “Yang
terbaik Di antara kalian adalah generasiku, kemudian yang datang setelah
mereka, kemudian yang datang setelah mereka.” – ‘Imran berkata, “Aku tidak
tahu, apakah Nabi menyebut setelah generasi beliau dua generasi lagi ataukah
tiga.” – Nabi bersabda, “Sesungguhnya setelah kalian akan ada kaum yang suka
berkhianat dan tidak bisa dipercaya, suka memberikan persaksian padahal tidak
diminta bersaksi, suka bernadzar namun tidak dipenuhi, dan kegemukan merajalela
di tengah-tengah mereka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menyatakan tiga lapisan generasi terbaik
tersebut, yaitu Sahabat, Tabi’in, dan Atba’ Tabi’in. Kepada merekalah
semestinya kita merujuk dan mencari nasihat, supaya hati kita senantiasa
terbimbing. Masalah pilihan sumber ini penting. Sebab, di zaman sekarang,
ketika media massa dan buku-buku beredar sangat bebas di masyarakat, tentu
tidak sulit untuk mengakses nasihat dari sumber mana pun. Apalagi bagi pengguna
piranti-piranti telekomunikasi yang telah dimuati fitur-fitur untuk sharing
(berbagi), semisal SMS, MMS, chatting, email, BBM, twitter, Facebook,
Skype, Youtube, Wikipedia, dsb.
Di saat bersamaan, buku-buku digital juga semakin lazim
dipergunakan, termasuk audiobook (buku bersuara). Maka, yang sangat dibutuhkan
adalah filter diri yang mantap, juga kecerdasan untuk memilih.
Sayangnya, kita menyaksikan banyak orang rela merogoh
koceknya dalam-dalam hanya untuk membeli novel dan komik, bahkan mengoleksi
serial lengkapnya dari awal sampai akhir.
Padahal isinya belum tentu penting dan hanya khayalan.
Tidak sedikit pula orang yang berulangkali menonton film tertentu, padahal
seluruhnya hanya ilusi. Sebagian orang juga sangat sibuk menghibur diri dari
waktu ke waktu, bersenang-senang, dan berusaha melupakan masalah-masalah.
Padahal, di depan kita semua ada masalah sangat besar yang pasti datang, tanpa
seorang pun bisa menghindar, yakni kehidupan akhirat. Sebenarnya, kita lebih
perlu memikirkan masalah akhirat ini, dan justru jangan sampai melupakannya;
bukannya menghabiskan waktu untuk mengikuti imajinasi orang lain yang tidak
jelas keterkaitannya dengan akhirat, bahkan justru memalingkan kita darinya.
Mengapa kita tidak mengalokasikan sebagian dana untuk
mengakses nasihat dan kisah para ulama yang nyata, pasti bermanfaat, dan
dijiwai nilai-nilai Islam?
Maka, mari bertekad dan menata amal, dengan
mendengarkan kisah dan nasihat para ulama. Semoga dengan meneladani mereka,
kita terpacu untuk beramal seperti amal mereka, dan akhirnya dikumpulkan oleh
Allah Subhanahu Wata’alabersama mereka di akhirat kelak. Amin.*/Alimin
Mukhtar
Sumber :
http://www.hidayatullah.com/read/28051/08/04/2013/bertekad-mengakses-nasihat-dan-kisah-para-ulama.html
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon