Akan tetapi, laki-laki yang
digugat mendesak agar dirinyalah yang memilih hakim. Akhirnya dia memilih
Syuraih, seorang hakim yang terkenal adil. Sedangkan Umar radhiyallahu
‘anhu duduk pada posisi tersangka. Dan keputusan hukum mengalahkan Umar radhiyallahu
‘anhu sesuai dengan undang-undang keadilan seraya mengatakan kepada Umar radhiyallahu
‘anhu, “Ambillah apa yang telah engkau beli atau kembalikanlah sebagaimana
engkau menerimanya.” Dengan perasaan bahagia Umar radhiyallahu ‘anhu
melihat Syuraih seraya berkata, “Apakah ada putusan selain ini?” Beliau tidak
memerintahkan untuk memenjarakan hakim, atau menuduh para pegawai-pegawainya
membuat gejolak stabilitas negara. Beliau justru menunjuknya sebagai hakim di
Kufah sebagai imbalan untuknya.
Ketika kain-kain Yaman telah
sampai dan dibagikan kepada kaum muslimin secara adil dan sama rata, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu memakai pakaian yang lebih besar dari jatahnya (karena postur beliau
tinggi). Kaum muslimin menyentuh kain itu, karena semuanya dibagikan secara
terang-terangan. Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu naik ke atas mimbar
untuk berkhutbah dan memberi semangat kepada orang-orang untuk berjihad dengan
mengenakan pakaian tersebut dan berkata kepada mereka, “Dengarkanlah dan
taatlah kalian!” Tidak ada sambutan berkata kepada mereka, “Dengarkanlah dan
taatlah kalian!” Tidak ada sambutan gema suasana yang hangat. Yang ada justru
suara keras mengarah kepadanya, “Tidak perlu didengar dan tidak perlu ditaati.”
Pada situasi ini puluhan prajurit bersenjatakan pedang tidak terprovokasi,
apalagi melancarkan pukulan. Akan tetapi, kondisi menjadi tenang dengan
sendirinya.
Umar radhiyallahu ‘anhu
bertanya kepada orang yang bersuara tersebut ketika kondisi tenang, “Mengapa?
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu.” Lantas lelaki tersebut
berkata dengan sangat berani, “Engkau telah mengambil kain sebagaimana kain
yang kami ambil. Akan tetapi, bagaimana caranya engkau memotong kain tersebut
padahal engkau lebih tinggi dari kami? Pastilah ada sesuatu yang diistimewakan
untuk kamu.” Umar radhiyallahu ‘anhu pun membela diri. Kemudian dia
memanggil anaknya, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengumumkan
bahwa dia memberikan kain baigannya kepada ayahnya sehingga memungkinkan bagi
Umar radhiyallahu ‘anhu membuat gamis yang sempurna dan dapat
dijadikan untuk menutupi aurat dan berkumpul dengan orang-orang. Lantas
laki-laki tersebut duduk dengan tenang seraya berkata, “Sekarang kami mendengar
dan menaati.”
Umar radhiyallahu ‘anhu
hidup seperti semua orang pada umumnya. Beliau menyalakan lampu di malam hari.
Beliau berbincang-bincang dengan menggunakan lampu tersebut untuk urusan
kenegaraan. Apabila orang yang berbincang-bincang dengannya membicarakannya
hal-hal di luar urusan kaum muslimin, maka beliau memadamkan lampu. “Lampu ini
milik Negara. Oleh karena itu, tidak benar jika digunakan untuk keperluan
pribadi.”
Pada hari Jumat orang-orang
telah berkumpul menanti Khathib, yaitu Umar radhiyallahu ‘anhu. Umar radhiyallahu
‘anhu datang terlambat sehingga mereka lama menunggu. Kemudian Umar radhiyallahu
‘anhu keluar menemui mereka, lalu dia naik ke atas mimbar. Dia
menyampaikan alasan keterlambatannya kepada kaum muslimin. Ketika mereka
bertanya mengenai sebab keterlambatannya, maka menjadi jelas bahwa Amirul
Mukminin tadi sedang mencuci gamisnya. Dia tidak memiliki selain gamis
tersebut. Kemudian beliau menunggu sampai gamisnya kering dan dia baru
memakainya, lalu datang ke masjid untuk berkhutbah.
Umar keluar untuk melakukan
patroli malam dalam rangka mencari informasi di masyarakat. Sampailah beliau di
perkampungan Ali setelah menempuh lima mil dari Madinah. Beliau melihat-lihat,
ternyata di dalamnya ada sebuah kemah yang apinya menyala. Ketika beliau
mendekat, beliau melihat seorang perempuan yang di sekelilingnya terdapat anak-anak
kecil sedang menangis. Umar radhiyallahu ‘anhu pun bertanya tentang
kondisi mereka, lalu perempuan tersebut menjawab, “Kami dihantam kedinginan dan
kerasnya malam.’ Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Mengapa anak-anak
itu menangis?” Perempuan tersebut menjawab, “Mereka menangis lantaran
kelaparan.” Umar bertanya lagi, “Apa yang ada di dalam periuk?” Dia menjawab,
“Air yang saya gunakan untuk mendiamkan mereka sampai mereka tidur.” Kemudian
perempuan tersebut berkata, “Allah di antara kami dan Umar.” Perempuan tersebut
tidak mengetahui bahwa orang yang diajak bicara adalah Umar radhiyallahu
‘anhu. Lalu umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu. Apakah Umar radhiyallahu
‘anhu tidak mengetahui kondisi kalian?” Perempuan tersebut menjawab,
“Mahasuci Allah, apakah dia mengurusi urusan kami, buktinya dia melupakan
kami.” Lantas Umar radhiyallahu ‘anhu berjalan dengan cepat menuju ke
Baitul Mal. Dia kembali lagi dengan memikul sendiri makanan di atas pundaknya.
Dia membawakan tepung yang bagus dan minyak untuk perempuan tersebut dengan
dipikul di atas punggungnya sendiri. Dia menolak seorang pun yang hendak
menggantikannya memikulkan barang tersebut seraya mengatakan bahwa sesungguhnya
siapa pun tidak akan dapat menggantikan untuk memikul dosa-dosanya di hari
kiamat. Umar radhiyallahu ‘anhu memasakkan makanan untuk anak-anak
tersebut sedangkan si perempuan kagum dengan tindakan Umar radhiyallahu
‘anhu ini. Dia berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu, “Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasmu dengan kebaikan. Demi Allah, Anda
lebih berhak memegang kekuasaan dari pada Umar radhiyallahu ‘anhu,
Sang Amirul Mukminin.”
Pada suatu hari Abu Musa
al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menghukum seorang tentara dari kelompok
pasukan Irak, lalu dia mencukur rambut tentara tersebut. Si tentara menganggap
bahwa hukuman ini tidak adil. Lantas dia mengumpulkan potongan rambutnya di
tempat duduk Umar radhiyallahu ‘anhu dan berkata, “Seperti inilah anak
buahmu memperlakukan kami.” Lalu wajah Umar radhiyallahu ‘anhu
bersinar cerah, dia berkata, “Sungguh, saya lebih menyukai jika semua orang
mempunyai keberanian seperti laki-laki daripada semua daerah yang berhasil saya
bebaskan. Mereka itu adalah umat kami dan hal tersebut adalah warisan kami.
Tidak ada kemuliaan bagimu hai tuan kami.”
Suatu ketika Umar radhiyallahu
‘anhu sedang berjalan di malam hari. Tiba-tiba ada seorang perempuan yang
memanggil-manggil nama Nashr bin Hajjaj. Dia ingin minum arak dan bertemu
Nashr. Dia berkata,
Apakah ada jalan menuju arak
agar saya dapat meminumnya
Atau apakah ada jalan menuju
Nashr bin Hajjaj
Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu
mengirim surat kepadanya. Ternyata Nashr bin Hajjaj ialah orang yang paling
pintar membuat syair dan paling tampan, kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu
memerinahkan agar rambutnya dipendekkan. Dia pun memendekkan rambutnya. Maka,
dia semakin tampan. Lantas Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan agar
dia memakai surban. Di pun memakai surban. Maka, surban tersebut menambah
ketampanananya dan hiasannya. Lalu umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Tidak akan tenang bersamaku seorang laki-laki yang dipanggil-panggil oleh
perempuan.” Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu memberinya harta yang
banyak dan dia mengutusnya ke Bashrah agar dia melakukan perdagangan yang dapat
menyibukkan dirinya dari memikirkan perempuan dan menyibukkan perempuan dari
dirinya.
Amr bin Al-Ash radhiyallahu
‘anhu ialah seorang gubernur Mesir. Putranya melatih kuda untuk persiapan
balapan. Suatu ketika sebagian penduduk Mesir menantangnya balapan kuda. Lantas
terdapat perselisihan di antara keduanya tentang milik siapakah kuda yang
menang balapan. Putra gubernur marah, lalu dia memukul orang Mesir tersebut
seraya berkata, “Apakah kamu berani melangkahi putra orang-orang terhormat?” Maka,
orang Mesir itu pun tidak terima, lantas dia mengajukan gugatan kepada Amirul
Mukminin, Umar radhiyallahu ‘anhu. Selanjutnya Umar radhiyallahu
‘anhu memanggil gubernur Mesir (Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu)
beserta putranya. Beliau juga memanggil orang Mesir tersebut, mengumpulkan
orang-orang dan memerintahkan orang Mesir tersebut agar memukul pihak lawannya
dengan mengucapkan, “Pukullah anak-anak orang-orang terhormat.” Kemudian Umar radhiyallahu
‘anhu juga memerintahkan kepadanya agar memukul gubernur, karena putranya
tidak akan berani memukul orang kecuali karena kekuasaannya. Beliau membentak
Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu dengan berkata kepadanya, “Sejak
kapan kalian memperbudak manusia padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka
dalam keadaan merdeka.”
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu adalah orang yang selalu menangis lantaran takut kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala hingga engkau melihat pada wajah dua garis hitam saking
banyaknya air mata yang menets. Beliau adalah orang yang sangat takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di samping itu beliau berkata, “Seandainya
aja ibuku tidak pernah melahirkanku. Seandainya saja saya adalah sehelai rambut
pada jasad Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.” Dia pernah mengatakan,
“Seandainya ada yang mengumandangkan bahwa semua manusia masuk surga kecuali
satu orang, pastilah saya khawatir kalau satu orang tersebut adalah diriku.”
Sumber :
http://kisahmuslim.com/kepemimpinan-umar-bin-khaththab-radhiyallahu-anhu/
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon