Filsuf George Santayana menulis,
mereka yang mengabaikan masa lalu akan dikutuk mengulanginya. Presiden Amerika
Serikat George Walker Bush mengabaikan hal ini. Ia tidak percaya sejarah
Afganistan ditentukan oleh kelompok-kelompok suku bersenjata, yang lebih 80
persen buta huruf. Sebagian dari kelompok bersorban ini bersembunyi di goa-goa
yang tersebar di pegunungan Kundush, seperti halnya di zaman batu.
Sejarah menunjukkan, tahun 330
sebelum Masehi, atau jauh sebelum masuknya agama Islam, Iskandar yang Agung
memutuskan mundur bersama pasukannya dari Afganistan akibat gawatnya perlawanan
suku Pashtun. Ia sendiri dua kali mengalami cedera dalam pertempuran.
Sejak itu pasukan asing silih
berganti menduduki Afganistan, termasuk tentara Mongol pimpinan Jenghis Khan.
Namun, pendudukan itu tidak bertahan lama. Afganistan kemudian disebut sebagai
”kuburan tentara pendudukan”.
Kerajaan Inggris mengabaikan
sejarah dengan menginvasi Afganistan tahun 1839. Lagi-lagi akibat gawatnya
perlawanan, sekitar 16.500 pasukan Inggris dan warga sipil mundur dari kota
tersebut menuju Jalalabad, yang jaraknya 140 kilometer, 6 Januari 1842.
Kelompok-kelompok suku Pashtun
ternyata mengikutinya dan menyerang sepanjang perjalanan. Akhirnya, yang
berhasil mencapai Jalalabad hanya Dr William Boyd. Selebihnya tewas dibantai
ataupun ditawan sebagai budak.
Belum jera atas kekalahan tragis
tersebut, Inggris tetap berusaha menguasai Afganistan melalui dua perang,
1878-1880 dan 1919. Keduanya berakhir dalam kegagalan.
Uni Soviet mengalami nasib yang
sama ketika mengirim puluhan ribu Tentara Merah ke Afganistan, Desember 1979.
Tujuannya adalah membendung rembesan revolusi Iran dan mengamankan rezim kiri
pro-Moskwa saat itu.
Di luar perkiraan, kehadiran
pasukan asing ternyata mengundang maraknya perlawanan bersenjata. Setelah
sekitar 15.000 prajuritnya tewas dan puluhan ribu lainnya cedera, Moskwa
menarik 114.000 pasukannya dari Afganistan, 1989. Peristiwa ini menimbulkan
disintegrasi Uni Soviet. Negara Tirai Besi ini tamat tahun 1991.
Invasi militer
Presiden AS George Walker Bush
tidak melihat peristiwa di atas sebagai hal penting. Ia lebih percaya pada
keunggulan ilmu pengetahuan dan superioritas teknologi militer sebagai kekuatan
yang menentukan sejarah dan peradaban.
Maka ketika terjadi serangan 11
September 2001, ia tidak ragu mengultimatum Mullah Muhammad Omar, pemimpin
tertinggi Taliban, agar menyerahkan Osama bin Laden dan 13 orang kaki
tangannya. Selain itu semua kamp teroris di Afganistan harus ditutup. Bush
menuding Osama bin Laden dalang serangan 11 September.
Mullah Omar menolaknya karena
tidak percaya pemimpin Al-Qaeda tersebut mampu merencanakan serangan sehebat 11
September, yang jaraknya ribuan kilometer dari Afganistan. Selain itu
Washington sendiri tidak menunjukkan bukti-bukti keterlibatan Osama bin Laden.
Subuh 7 Oktober 2001,
pesawat-pesawat pengebom berat AS dan Inggris melancarkan serangan udara di
Afganistan. Perang melawan teror telah dimulai. Bush menyebutnya sebagai
Operasi Kebebasan Abadi.
Afganistan, salah satu negara
termiskin di dunia, porak poranda akibat hujan bom yang dijatuhkan dari langit.
Setelah lebih sebulan serangan udara berlangsung, Taliban mundur dari Kabul, 12
November 2001. Besoknya, pasukan Aliansi Utara yang beroposisi, mengambil alih
kota tersebut.
Kandahar, benteng terakhir
Taliban, direbut awal Desember tahun yang sama. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Taliban dan berkuasanya Aliansi Utara dukungan AS.
Lantas, apakah AS dan sekutunya
berhasil mencapai tujuan perang tersebut?
Makin gawat
Perang Afganistan, yang kini
memasuki tahun kesepuluh atau 109 bulan, adalah perang terlama dalam sejarah
militer AS. Jauh lebih lama dibanding Perang Dunia II. Bahkan, melampaui rekor
Perang Vietnam yang berlangsung 103 bulan (Agustus 1964–Maret 1973).
Perang masih berkecamuk dan
makin gawat dari tahun ke tahun. Pada tahun pertama, AS hanya menempatkan
sekitar 19.500 personel militer di Afganistan. Kini jumlahnya menggelembung
menjadi 98.000 orang.
Pasukan Koalisi
Internasional—termasuk NATO—menambah kekuatannya dari 20.000 menjadi sekitar
50.000 personel militer. Hal ini belum termasuk 120.000 personel angkatan darat
Afganistan yang direkrut pasukan koalisi internasional dan AS.
Seiring dengan meningkatnya
perlawanan Taliban, jumlah pasukan AS yang tewas juga meningkat drastis. Tahun
2008, tercatat 155 prajurit AS tewas. Tahun lalu jumlahnya 327 orang, atau naik
lebih 100 persen. Hingga Oktober tahun ini sekitar 250 prajurit AS tewas.
Jumlah keseluruhan tentara AS yang tewas di Afganistan lebih kurang 1.350 orang.
Ribuan orang lagi cedera. Sebagian dari mereka harus diamputasi.
Inggris, yang pasukannya relatif
kecil, kehilangan sekitar 340 prajuritnya. Angka tersebut melampaui jumlah
pasukan Inggris yang tewas dalam menghadapi gerilya komunis di Malaysia ataupun
perang Malvinas melawan Argentina.
Washington yang tadinya
memperkirakan anggaran perang Afganistan sekitar 50 miliar dollar AS, kini
telah menghabiskan lebih 361 miliar dollar AS. Hal ini belum termasuk dana
pasukan koalisi internasional.
Ironisnya, tujuan perang itu
sendiri belum tercapai, yakni membekuk Osama bin Laden, Mullah Omar, Dr Ayman
al-Zawahiri, dan pentolan teroris lainnya. Lebih celaka lagi, lebih dari 60
persen wilayah Afganistan kini di bawah kendali Taliban.
Baru-baru ini mantan pemimpin
Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, mengingatkan NATO bahwa mereka tidak akan
menang.
Di atas angin
Seperti biasa, tidak ingin
dianggap gagal, AS mulai mencari kambing hitam. Media dan pejabat AS menuding
badan intelijen Pakistan (Inter-Services Intelligence) sebagai biang kerok.
Mereka diam-diam memasok informasi dan logistik kepada Taliban. Selain itu
pemerintahan Presiden Karzai yang korup juga dituding sebagai penyebab
meluasnya dukungan terhadap Taliban.
Presiden Obama mencoba mengubah
strategi dengan menambah 30.000 prajurit AS. Tujuannya melakukan ofensif
besar-besaran untuk memaksa Taliban ke meja perundingan. Hasilnya, pertemuan
informal antara pemimpin Taliban dan pejabat pemerintahan Presiden Karzai
berlangsung beberapa kali.
Kalangan pengamat pesimistis
pertemuan tersebut akan meningkat ke perundingan resmi. Terutama karena Taliban
kini berada di atas angin dan tahu bahwa Washington mulai menarik pasukannya
Juli 2011. Dengan kata lain, Taliban hanya tinggal menunggu waktu untuk
berkuasa kembali.
Jika hal itu terjadi, George
Santayana benar bahwa mereka yang tidak belajar dari masa lalu akan dikutuk
mengulanginya. Presiden AS George Walker Bush mengabaikan hal itu.
Kini AS bersama 46 negara yang
mengirim pasukannya bertempur di Afganistan, mengulangi kekalahan tentara
pendudukan di negara para mullah tersebut.
Dalam hal ini, prediksi Osama
bin Laden tidak meleset. Jauh sebelum peristiwa 11 September, ia mengatakan,
satu-satunya jalan mengalahkan AS adalah memprovokasinya menginvasi Afganistan.
Kini AS terperangkap dalam
dilema. Mundur atau bertahan di Afganistan adalah bencana.
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon