Hari sudah tengah malam. 10
Agustus 1995. Larut malam begitu, sudah banyak orang terlelap. Tapi laki-laki
ini baru bergegas. Dia menyalakan mobil di garasi. Lalu menginjak pedal gas.
Sendirian dari Bandung melaju ke Jakarta. Meliuk melewati bukit dan lembah.
Saat itu Padalarang belum bersambung.
Rakhendi Priyatna, begitu nama
pria ini, harus cepat sampai di Jakarta. Subuh hari, dia harus menyambut 40
wartawan di Halim Perdanakusumah. Dan banyak wartawan dari manca negara.
Hari itu, kawasan Halim memang membetot mata Indonesia, bahkan Asia.
Dan itu karena Gatotkaca. Sebuah
pesawat N250 buatan Indonesia yang namanya dicuplik dari tokoh pewayangan yang
dicintai banyak orang itu. Hari itu, si Gatotkaca ini terbang perdana. Dan
acara ini lebih dari sekedar menerbangkan pesawat, tapi juga tanda kedigdayaan
ekonomi Indonesia. Di udara kita jaya.
Rakhendi berkisah. Pukul 8 pagi,
menjelang lepas landas, semua orang gelisah. Terutama mereka yang bekerja keras
di balik layar Gatotkaca. Para insinyur PT Industri Pesawat Terbang Nusantara
(IPTN), yang menciptakan pesawat ini. Jika gagal seribu malu dipikul bangsa.
"Rasanya bercampur aduk.
Panas dingin. Semua orang khawatir pesawat itu gagal terbang atau trouble
di udara,” kisah Rakhendi kepada VIVAnews. Apalagi Presiden Soeharto
dan para petinggi bangsa sudah berdiri gagah di panggung kehormatan. Kamera
para wartawan asing sudah membidik.
Tepuk tangan bergemuruh.
Erwin Danuwinata, pilot penguji N250 Gatotkaca berkapasitas 70 penumpang itu
sukses mendaratkan pesawat dengan mulus. Semua bersorak-sorai. Gembira campur
rasa haru. Indonesia terselamatkan. Industri dirgantara Indonesia sontak menjadi
sorotan dunia.
Hari gembira itu tinggal
kenangan. Pernah dikagumi negeri tetangga, pabrik pesawat itu lama mati suri.
Ada dua pesawat tersisa. N250 dan N250-100. Diparkir di halaman kantor
IPTN, yang kini berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Bandung
Jawa Barat.
Lama mati suri, perusahaan itu
kini bernafas lagi. Dua tahun belakangan dia berbenah. Revitalisasi.
Restukturisasi. Meremajakan mesin. Merekrut insinyur. Kini perusahaan itu
sedang mempersiapkan sebuah pesawat baru: N219.
N219. Inilah nyawa baru PT DI.
Prototipe pesawat multi guna ini berkapasitas 19 penumpang. Mengelaborasi
teknologi sistem pesawat paling modern. Dibangun dengan konstruksi logam
pesawat. Kokoh.
Memang tidak secanggih N250.
Bersahaja. Bahkan boleh dibilang sangat sederhana. Direktur utama
perusahaan itu, Budi Santoso, kepada VIVAnews menyebutkan, "Ini
adalah yang termurah. Tapi, ada segmen pasarnya.”
Selain untuk bisnis, pesawat ini
adalah wahana belajar para insinyur baru. Agar mereka tahu
bagaimana membuat pesawat dalam satu siklus. Dari nol sampai terbang.
Kendati sederhana, menurut
Direktur Aerostruktur perusahaan itu, Andi Alisyahbana, pesawat
N219 asli 100 persen karya anak bangsa. "Ini penting karena sampai
saat ini jarang sekali ada produk industri dan rekayasa yang benar-benar
dirancang oleh anak bangsa," tuturnya kepada VIVAnews.
Pesawat ini, lanjutnya, bisa
memaksa generasi yang hampir hilang. Generasi N250. Agar segera menurunkan
ilmunya kepada generasi baru.
Inilah N219 Itu
N dalam nama itu adalah
Nusantara. Menunjukkan bahwa desain, produksi, dan perhitungannya dikerjakan di
Indonesia. Meski baru prototipe, pesawat ini akan segera disertifikasi CSAR (Certified
Specialist in Asset Recovery) 23. Artinya, sudah teruji sebagai produk
mekanik berdasarkan standar Amerikat Serikat dan Kanada.
Rancangan pesawat ini telah
lulus uji aerodinamika. Ketika itu, PTDI menggandeng Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai penguji. Jika sudah siap, pesawat ini akan
diterbangkan ke daerah terpencil. Menjadi perintis.
Pesawat N219 merupakan
pengembangan dari pesawat CASA C-212 Aviocar. Termasuk desain dan semua
konstruksi logam. Volume kabin terbesar di kelasnya. Lengkap dengan sistem
pintu fleksibel. Bisa memuat penumpang secara lebih efisien. Bisa menjadi alat
transportasi kargo.
Bobot bersih pesawat ini 4,7
ton. Telah memenuhi unsur pesawat kecil menurut standar FAR 23. Bisa
menjangkau jarak maksimal 1.111 kilometer. Kurang lebih sama dengan jarak terbang
Jakarta ke Balikpapan.
Meski mungil, daya tampung
pesawat ini terbilang besar. Hingga tujuh ton. Sayap sepanjang 19,5 meter mampu
membuat logam sepanjang 16,5 meter dan tinggi 6,1 meter ini melayang-layang di
ketinggian maksimal 10.000 kaki dari permukaan laut.
Berbeda dengan pesawat populer
PTDI, CN235, yang dirancang untuk kebutuhan militer dan sipil, pesawat N219
sengaja didesain hanya untuk kebutuhan sipil. Jika CN235 bisa menampung 42
penumpang, N219 hanya 19 penumpang. Dengan begitu dia bisa dioperasikan pada
daerah dengan kondisi alam ekstrim dan tingkat kesulitan yang tinggi. Seperti
landasan tak beraspal di wilayah pegunungan. Di wilayah kepulauan.
Sejumlah teknologi unik telah
diadopsi. Konstruksi badan dan sayap dari aluminium. Mesin off the shelf
yang banyak digunakan dalam dunia penerbangan. Sistem teknologi di dalamnya
sudah modern. Reliable, dan mudah dalam perawatan.
"Teknologi Avionic N219
adalah teknologi termodern sekarang ini. Menggunakan Glass Cockpit
dengan fitur synthetic vision untuk membantu pilot mendapatkan
informasi navigasi yang akurat meskipun cuaca buruk,” kata Andi Alisjahbana.
Sangat membantu ketika ingin terbang ke daerah terpencil.
N219 ini diharapkan bisa
menggantikan pesawat Twin Otter. Sempat populer di era '70-'80an, pesawat jenis
ini telah usang. Tidak diproduksi lagi, meski beberapa kerap ditemui di
Indonesia.
Satu-satunya kelemahan pesawat
ini, kata Andi, adalah urusan psikologis. PTDI bukan lagi IPTN. Dia dan
tim merasa perlu mempopulerkan nama dan reputasi PTDI di kalangan masyarakat
luas.
Cerah atau Suram?
Sejatinya, rancangan pesawat ini
sudah jauh. Sudah melewati Preliminary Design. Beberapa uji wind
tunnel sudah dilakukan. Kini urusannya tinggal dana. Perusahaan itu memang
tengah mengumpulkan uang untuk megaproyek ini.
Mestinya tak sulit. Sebab pasar
terbuka lebar. Untuk 20 tahun ke depan kebutuhan pasar pesawat kelas 9-20 kursi
di dunia diproyeksi mencapai 5.350 unit. Dari jumlah itu, kebutuhan di Asia
Pasifik 549 unit. Itu sebabnya diperlukan komitmen jangka panjang. Jangan
berpikir bikin hari ini, besok untung.
Program membangun pesawat
bukanlah program tiga tahun. “Tetapi 20 tahun lebih hingga pesawat itu
diproduksi,” kata Andi. Di negara mana pun, program pesawat terbang adalah
usaha yang besar. Perlu dukungan pemerintah. Juga masyarakat.
Mewujudkan mimpi besar ini, PT
DI tak bisa sendirian. Instansi lain perlu terlibat. Seperti Kementerian
Riset dan Teknologi untuk pengembangan. Kementerian Perindustrian untuk
persiapan industri nasional pendukung. Serta Kementerian Perhubungan untuk
sertifikasi dan operasi.
“Integrasi semua instansi
menjadi harga mati. Jika tidak, industri dirgantara akan tetap tertidur lelap,”
kata Andi. Dari segi teknis proyek ini sudah siap. Tinggal menunggu dana
dari konsorsium kementerian.
Dana yang diperlukan sekitar
Rp600 miliar. PTDI sendiri telah membenam uang Rp100 miliar untuk
mendesain dan menyiapkan banyak hal. Perusahaan ini juga telah menyiapkan dana
Rp100 miliar agar proyek terus menyala.
Tapi para petinggi perusahaan
itu masih hati-hati. Terutama dalam soal uang. Jika dana sudah dikucurkan, dan
ternyata Konsorsium Kementerian tidak mendukung, maka tamatlah proyek ini.
“Gagal seperti N-250," kata Budi Santoso.
Sumber :
http://sorot.news.viva.co.id/news/read/406635-agar-di-langit-kita-jaya
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon