1. Hamzah
Al-Fansory
Nama Hamzah
fansuri di nusantara tidak asing lagi di kalangan ulama dan sarjana penyelidik
keislaman. beliau adalah pengembang aliran widhatul wujud ibnu arabi.3
Berdasarkan kata fansur yang melekat pada namanya sebagian peneliti beranggapan
bahwa ia berasal dari “fansur” sebutan kota Baru yang sekarang merupakan kota
kecil di pantai sumatra antara sibolga (SUMUT) dan singkil (ACEH).
Hamzah nur asalnya Fansuri mendapat wujud dari
syahru nawi beroleh khilafat yang 'ali
dari pada abdul qadir sayyid zailani.
Syair di atas yang menguatkan asal tempat kelahiran beliau yang tak di
ketahui oleh para peneliti sejarah. Mengenai tanggal kelahirannya di setiap
buku yang kami jadikan Referensi, tak menyebutkan tanggal tahun lahir beliau.
tetapi dari syair beliau menunjukkan beliau berasal dari fansuri. Dari sebuah
buku, beliau diperkirakan hidup sebelum tahun 1630. selama hidup dan
dalam pengembaraan intelektualnya, beliau pernah ke india, persia (iran),
mekkah dan madinah.
Dalam pengembaraanya itu ia sempat mempelajariilmu fiqih, tauhid, tasawuf,
sejarah dan sastra arab. Selesai menjalani pengembarannya beliau kembali ke
kampung halamannya untuk mengajarkan ilmunya di dayah (pesantren) oboh
Rundeng, Subulussalam (sekarang). Hamzah fansuri sangat giat
mengajarkan ilmu tasawuf sesuai paham yang di yakininya, ada riwayat yang
mengatatakan bahwa ia pernah sampai ke semenanjung melayu dan mengembangkan
tasawuf di negeri perak, perlis, kelantan, terengganu, dan lain-lain, dan
pengaruh beliau juga di dalam negeri sampai ke buton sulawesi tenggara,
lewat dua karyanya, Asrar al-arifin dan syarb al-asyiqin.
Orang banyak menentang Al-fansuri karena paham alir an widhatul wujud,
hulul dan ittihadnya, Salah satunya ialah nuruddin ar-raniry dalam buku ruba’i
hamzah fansury. menurut yang dituduhkannya bahwa manusia sama dengan allah,
Karenanya banyak orang mengecap beliau zindik, sesat, kafir dan sebagainya.
dalam bidang tasawuf ia mengikuti tarekat qadiriyah. Pemikiran al-fansuri tentang
tasawuf di pengaruhi oleh ibn Arabi dalam paham wahdatul wujudnya. Sebagai
seorang sufi ia mengajarkan tasawuf bahwa tuhan lebih dekat dari pada leher
manusia sendiri dan bahwa tuhan tidak bertempat sekalipun sering di katakan ia
dimana-mana.
Ajaran-ajaran hamzah fansuri sebagai berikut:
wujud, menurut beliau hanyalah satu walaupun kelihatannya banyak. Dan wujud
yang satu itu adalah yang berkulit dan berisi, Atau mazhar (kenyataan lahir).
Wujud mempunyai tujuh martabat namun hakikatnya satu. Semua benda yang ada
sebenarnya merupakan manifestasi dari yang hakiki, disebut al-haqq ta'ala. Ia
menggambarkan wujud tuhan bagaikan lautan yang tak bergerak,sedangkan wujud
alam semesta merupakan gelombang lautan wujud tuhan. Pengaliran dari dzat yang
mutlakini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, ombak, dan
awan yang kemudian menjadidunia gejala. Itulah yang di ebut ta'ayyun dari dzat
yang la ta'ayyun. Ittupulalah yang di sebut tanazul. Kemudian segala sesuatu
kembali lagi kepada tuhan (tarqqi), yang di gambarkan bagaikan uap, asap, awan,
lalu hujan dan sungai dan kembali lagi kehutan. Pengembaraan pernah yang
dilakukan beliau berupa zasad dan rohani diungkapkan dengan syair.
Hamzah fansuri di dalam mekah,
Mencari tuhan di baitul Kaabah
di Barus kekudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah
syair beliau yang lain adalah:
Hamzah gharib,
akan rumahnya Baitul Ma'mur,
Kursinya sekalian Kafuri
di negeri Fansur minal 'asyjari
Syair Al-fansuri di atas merupakan hanya sindiran terhadap yang pernah di
ucapkan Oleh abi yazid al-bisthami yang mengatakan tuhan dalam jubbahnya.
2. Syamsuddin
As – Sumatrani
Sejak lama
Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya
paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan
sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula
sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.
Syamsuddin
Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan
corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi
ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak
ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber
akurat yang dapat dirujuk.
Bahkan tidak
kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian
untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai
tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai
potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu
al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski
demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya
cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut
spektrum pemikirannya.
Mengenai
asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan
Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan
dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan
Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama,
yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin
Pasai.
Menurut para
sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai
mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah
orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri
dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka
kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama
bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.
Berbicara
tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri
Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak
Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni
sebelum akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara
beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru
berlangsung pada tahun 1524.
Peranan
dan Pengaruhnya
Pada masa
pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi
orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri
tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia
menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama
tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin
Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa
terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati
dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa
Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin
Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh
serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas
keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya.
Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani
(?-1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693).
Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama
lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya.
Mengenai
hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy
cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri.
Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin
Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri.
Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri
dan Syarah Syair Ikan Tongkol.
Adapun
hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti.
Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri
memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia
diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan
Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham
wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan
literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para
pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.
Pada kisaran
tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh
Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya,
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan
mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang
juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh
dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf
Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh
Darussalam.
Karya-karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
Jawhar
al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap
yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran
tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Risalah
Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman;
berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati
relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan
pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
Mir’at
al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran
tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya,
hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan
butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah (tepatnya
Asy'ariah-Sanusiah).
Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
Syarah
Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan
(syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad
dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.
Nur
al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis
yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang
rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
Thariq
al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan
tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil, wajib, mumkin,
mumtani’ dan sebagainya.
Mir’at
al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini
berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
Kitab
al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa
Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.
Ajaran
Tasawufnya
Syamsuddin
Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud
(keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah
wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri.
Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya
itu merupakan paham wahdatul wujud.
Dari hasil
penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang
pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak
menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi,
masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang
paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi
al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi
dan para pengikutnya.
Di antara
kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin
Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham
wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid
la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia
menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat
pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang
disembah) kecuali Allah.
Sementara
bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat
tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang
dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat
penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian
bahwa tidak ada wujud kecuali Allah.
Namun ia
mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud
dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan paham
wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi,
kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid
la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam
adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak
memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang
zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali
dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini, segenap wujud alam
adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud
maupun dari segi penampakannya).
Jadi para
penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka
menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara
martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin
Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang
benar.
Bagi
Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud
berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan.
Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena
diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya
dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari
segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada
(maujud).
Dengan
demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan
dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh
martabatnya. Tulisnya:
I’lam,
ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat;
pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah,
keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam
ajsam dan ketujuh martabat alam insan.
Maka
ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah
itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah
bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu
bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa,
maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat
(hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia.
Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka
alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat
al-makhluk.
Atas uraian
Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan:
terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah,
maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat
berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya
adalah wujud aktual makhluk.
Dengan
demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa
(kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang
dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga
martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari
semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga
martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat
berikutnya. Wallahu A’lam.
3. Nuruddin
Ar – Raniry
Nama
lengkapnya nur al-din muhammad ibn ali ibn hasanji ibn muhammad al-raniry.
Berasal dari gujarat India tahun kelahirannya sampi sekarang , belum dapat
diketahui. Ia adalah syekh tarekat rifa’iyyah yang didirikan oleh ahmad rifa’i.
Beliau juga di katakan penerus tasawuf sunni.6 (damanhuri basyr, ilmu taswuf,
hal 210). Ia merantau ke aceh 31 mei 1637/6 muharram 1047 H. Pada masa
kerajaansutan iskandar tsani, ia mengikuti jejak pamannya syekh muahammad
jailani yang juga merantau.pada saat itu ia berada di aceh utk kedua kalinya,
karena saat masa kerajaan sultan iskandar muda ia tak mendapatkan tempat
atau perhatian dari sultan yang berkuasa.
Pemikiran-pemikiran
nuruddin ar-raniry yang di tunjukkan kepada tokoh dan penganut wujudiyah,
maupun pemikirannya secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
·
Pertama, tentang Tuhan, masalah ketuhanan bersipatt
kompromis.7 (m. Solihin, melacak pemikiran tasawuf di nusantra, hal 57). Ia
berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi yang di wakii ibn
arabi. Ia berpendapat bahwa wujud allah dan alam esa berarti bahwa alam
merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu allah.namun ungkapan
itu pda hakikatnya bahwa alam tidak ada yang ada hanyalah wujud allah.
·
Kedua, tentang alam. Menurutnya alam ini diciptakan
allah melalui tajlli, ia menolakteori,faidh ( emanasi) al-farabi.
·
Ketiga, tentang manusia, merupakan makhluk yyang
paling sempurna di dunia ini. Sebab manusia merupakan khalifah allah dibumi
yang dijadikan sesai dengan citranya. Dan mazhur (tempat kenyataan asma dan
sifat allahpaling lengkap dan menyeluruh)
·
Keempat, tentang wujudiyyah. Inti ajaran
wujudiyyah Berpusat pada wahdat al-wujud yang salah diartikan,kaum
wujudiyyah, dengan arti kemanunggalan allah dengan alam. dapat membawa
kekafiran. Ia berpandangan bawa jika benar than dan makhluk hakikatnya satu,
maka jadilah makhluk itu addalah tuhan.
·
Kelima, tentang hubungn syarit dan hakikat. Pemisahan
antara keduanya merupakan sesuatu yang tidak benar.
Selain itu ia juga menekankan kepada umat islam agar
memahami secara benar akidah islamiyah.
4.
Abdul Rawf As – Singkil
Nama lengkap beliau adalah abdul rauf al-jwi alfansuri
al-singkil.tahun kelahirannya tidak di ketahi pasti ada yang menyebutkan tahun
kelahirannya 1024 H/1615 M.8 ( murodi, sejarah kebudayaan islam, hal 268). Ia
menerima bai’at tarekat syathariyyah. Abdurrauf adalah ulama yang berupaya
mendamaikanajaran martabat alam tujuh yang dikenal di aceh sebgai paham
wahdatul wujud/wujudiyyah (pantheisme) dengan paham sunnah.
Pemikiran tasawuf as-singkili dapat dilihat antara lain pada persoalan merekonsiliasi antara taswuf dan syariat. Ajaran tasawufnya mirif dengan tasawuf hamzah fansuri dengan ar-raniry yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki yakni allah. Sedangakan alam ciptaanya bukanwujud hakiki tetapi bayangan dari hakiki. Menurutnya jelaslah alam berbeda dengan allah. Beliau juga mempunyai pemikiran tentang zikir, zikir menurut pandngannya usaha melepaskn diri dari lalai dan lupa.
Pemikiran tasawuf as-singkili dapat dilihat antara lain pada persoalan merekonsiliasi antara taswuf dan syariat. Ajaran tasawufnya mirif dengan tasawuf hamzah fansuri dengan ar-raniry yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki yakni allah. Sedangakan alam ciptaanya bukanwujud hakiki tetapi bayangan dari hakiki. Menurutnya jelaslah alam berbeda dengan allah. Beliau juga mempunyai pemikiran tentang zikir, zikir menurut pandngannya usaha melepaskn diri dari lalai dan lupa.
Ajaran tasawuf as-singkili yang lainbertalian dengan
martabat perwujudan.menurutnya ada tiga martabat perwujudan. Pertama, ahadiyah
atau la ta’ayyun waktu itumasih merupakan hakikat yang ghaib. Kedua,martabat
wahdah atau ta’ayun awwal. Sudah tercifta hakikat muhammadiyyah sangat
potensial bagi terciptanya alam. Ketiga,martabat wahdiyyah atau ta’ayyun
tsanidisebut juga a’ayan al-tsabilah dan darisinilah alam tercipta.
5. Abdus
Samad Al – Palimbani
Syeikh Abdul
Samad Al-Falembani dilahirkan pada 1116 H/1704 M, di Palembang. Tentang nama
lengkap Syeikh Al-Falimbani, setakat yang tercatat dalam sejarah, ada tiga
versi nama. Yang pertama, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam,
beliau bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani. Versi kedua, merujuk pada
sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan:
1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi
Al-Falembani. Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu, bahawa
apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Falembani ialah
Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Daripada ketiga-tiga nama itu
yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi berpendapat bahawa nama
terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.
Percanggahan
pendapat mengenai nama ulama ini dapat difahami memandangkan sejarah panjangnya
sebagai pengembara, baik di dalam negeri mahupun luar negeri, dalam menuntut
ilmu. Apabila dilihat latar belakangnya, ketokohan Al-Falembani sebenarnya
tidak jauh berbeza daripada ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti Hamzah
Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdul rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari.
Dari segi
salasilah, nasab Syeikh Al-Falembani berketurunan Arab, iaitu dari sebelah ayah.
Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani, ayah
Al-Falembani, adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantikmenjadi Mufti
negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita
Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya
menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
Pendidikan
Syeikh Abdus
Shamad mendapat pendidikan asas dari ayahnya sendiri, Syeikh Abdul Jalil, di
Kedah. Kemudian Syeikh Abdul Jalil mengantar semua anaknya ke pondok di negeri
Patani. Zaman itu memang di Patani lah tempat menempa ilmu-ilmu keislaman
sistem pondok secara yang lebih mendalam lagi.
Mungkin
Abdus Shamad dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah
memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah Pondok Bendang Gucil di
Kerisik, atau Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala yang semuanya terletak di
Patani.
Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang diceritakan oleh beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu (1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang ada dalam simpanan penulis. Kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan pelajaran Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Walau bagaimana pun mengenai Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani belajar kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu belum pernah ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok sendiri.
Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang diceritakan oleh beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu (1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang ada dalam simpanan penulis. Kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan pelajaran Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Walau bagaimana pun mengenai Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani belajar kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu belum pernah ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok sendiri.
Sistem
pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan hafalan matan
ilmu-ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat Dua Belas’. Dalam bidang
syariat Islam dimulai dengan matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam Syafie. Di
bidang tauhid dimulai dengan menghafal matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut
faham Ahlus Sunah wal Jamaah yang bersumber dari Imam Syeikh Abul Hasan
al-Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al-Maturidi.
Beliau juga
mempelajari ilmu sufi daripada Syeikh Muhammad bin Samman, selain mendalami
kitab-kitab tasawuf daripada Syeikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin
Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Acheh. Oleh sebab dari sedari kecil beliau
lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam sejarah telah tercatat bahawa
beliau adalah ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam cabang ilmu
tersebut.
Setelah
Syeikh Abdus Shamad banyak hafal matan lalu dilanjutkan pula dengan penerapan
pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih di Patani lagi, Syeikh Abdus
Shamad telah dipandang alim, kerana beliau adalah sebagai kepala thalaah
(tutor), menurut istilah pengajian pondok. Namun ayahnya berusaha mengantar anak-anaknya
melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Memang merupakan satu tradisi pada zaman
itu walau bagaimana banyak ilmu pengetahuan seseorang belumlah di pandang
memadai, jika tak sempat mengambil barakah di Mekah dan Madinah kepada para
ulama yang dipandang Wali Allah di tempat pertama lahirnya agama Islam itu.
Belajar
Di Makkah
Orang tua
Al-Falembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab iaitu Makkah, dan Madinah.
Tidak jelas, bilakah beliau dihantar ke salah satu pusat ilmu Islam pada waktu
itu. Setakat yang terakam dalam sejarah, beliau dikatakan menganjak dewasa
ketika ´berhijrah´ ke tanah Arab. Di negeri barunya ini, beliau terlibat dalam
masyarakat Jawa, dan menjadi teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama
Nusantara lainnya seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul
Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun beliau menetap di Mekah, tidka
bermakna beliau melupakan negeri leluhurnya. Syeikh Al-Falembani, menurut
Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik,
dan keagamaan di Nusantara.
Sejak
perpindahannya di tanah Arab itu, Syeikh Al-Palembani mengalami perubahan besar
berkaitan dengan intelektualitidan spiritual. Perkembangan dan perubahan ini
tidak terlepas dari proses ´pencerahan´ yang diberikan para gurunya. Beberapa
gurunya yang masyhur dan berwibawa dalam proses tersebut, antara lain Muhammad
bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im
Al-Damanhuri. Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Al-Palembani berguru
kepada ulama besar, antaranya Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad
Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu
di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, ´mengangkat´ dirinya menjadi salah
seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan ulama Arab,
juga Nusantara.
Mengkritik
Tarekat yang Berlebihan
Meskipun
mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani tidak kritis. Beliau
dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara
berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan
oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang
terbukti telah membawa banyak kesesatan di Acheh. Untuk mencegah apa yang
diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palembani menulis semula intipati dua kitab
karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, iaitu
kitab Lubab Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin), dan Bidayah
Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya
secara ´moderat´ dan membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.
Berkaitan
dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara
doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ´wahdatul wujud´ Ibnu Arabi; bahawa
manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha
Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi,
sehingga mampu ´melihat´ Allah s.w.t sebagai ´penguasa´ mutlak.
Di
Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar,
khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf. Ramai meriwayatkan cerita yang
menarik ketika Sheikh Abdus Shamad berada di negerinya Palembang. Oleh kerana
rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula dengan peristiwa di atas kapal itu,
beliau bertambah kecewa kerana melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang
pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Sultan.
Maka beliau
rasa tidak betah untuk diam di Palembang walaupun beliau kelahiran negeri itu.
Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa
pun, semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan solat istikharah.
Keputusannya, beliau mesti meninggalkan Palembang, mesti kembali ke Mekah
semula.
Lantaran
terlalu anti Belanda, beliau tidak mahu menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa
menebang kayu di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang yang patuh
sebagai muridnya. Walaupun sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang
pandai membuat perahu, namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri
untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai
pengetahuan membuat perahu seperti itu.
Ini
membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan
pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.
Penulis
Produktif dan Karya-Karyanya
Karya Sheikh
Abdus Shamad al-Falimbani tidak sebanyak karya sahabatnya, Sheikh Daud bin
Abdullah al-Fathani. Ini kerana Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani memperoleh
ilmu pengetahuan dalam usia muda dan umurnya juga panjang. Sedangkan Sheikh
Abdus Shamad al-Falimbani, mahupun Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah
al-Banjari umumnya jauh lebih tua daripada Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani
bahkan boleh dijadikan ayahnya.
Walau
bagaimanapun, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan Sheikh Muhammad Arsyad
al-Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang produktif. Sheikh Muhammad
Arsyad al-Banjari terkenal dengan fiqhnya yang berjudul Sabilul Muhtadin.
Sheikh
Abdush Shamad al-Falimbani adalah yang paling menonjol di bidang tasauf dengan
dua buah karyanya yang paling terkenal dan masih beredar di pasaran kitab
sampai sekarang ini ialah Hidayatus Salikin dan Siyarus Salikin.
Antara kitab
karangan Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani
1. Zahratul
Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.
2. Risalah Pada
Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
3. Hidayatus
Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
4. Siyarus
Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
5. Al-‘Urwatul
Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
6. Ratib Sheikh
‘Abdus Shamad al-Falimbani.
7. Nashihatul
Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina
fi Sabilillah.
8. Ar-Risalatu
fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
9. Mulhiqun fi
Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah
10. Zatul
Muttaqin fi Tauhidi Rabbil ‘Alamin
11. ‘Ilmut
Tasawuf
12. Mulkhishut
Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah ‘Alaihis Shalatu was Salam
13. Kitab
Mi’raj, 1201 H/1786 M.
14. Anisul
Muttaqin
15. Puisi
Kemenangan Kedah.
Pulang ke nusantara buat kali kedua
Setelah perahu siap dan kelengkapan pelayaran cukup,
maka berangkatlah Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dari Palembang menuju Mekah
dengan beberapa orang muridnya. Selama di Mekah, beliau bergiat dalam
pengajaran dan penulisan kitab-kitab dalam beberapa bidang pengetahuan
keislaman, terutamanya tentang tasauf, fikah, usuluddin dan lain-lain.
Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah,
dikarangnya sebuah buku tentang jihad. Buku yang penting itu berjudul Nasihatul
Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin fi Fadhail Jihadi fi Sabilillah wa Karamatul
Mujtahidin fi Sabilillah.
Kegiatan-kegiatannya di bidang penulisan akan
dibicarakan pada bahagian lain.
Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan beliau ke nusantara untuk kali kedua. Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani kali ini tidak ke Palembang tetapi ke Kedah. Saudara kandungnya Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah. Seorang lagi saudaranya, Sheikh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah dengan gelar
Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan beliau ke nusantara untuk kali kedua. Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani kali ini tidak ke Palembang tetapi ke Kedah. Saudara kandungnya Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah. Seorang lagi saudaranya, Sheikh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah dengan gelar
Seri Maharaja Putera Dewa.
Meskipun Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani lama menetap
di Mekah, namun hubungan antara mereka tidak pernah terputus.
Sekurang-kurangnya mereka berutus surat setahun sekal, iaitu melalui mereka
yang pulang selepas melaksanakan ibadah haji.
Selain hubungan beliau dengan adik-beradik di Kedah,
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani turut membina hubungan dengan kaum Muslimin di
seluruh Asia Tenggara. Pada zaman itu hampir semua orang yang berhasrat
mendalami ilmu tasauf terutama di sektor Tarekat Sammaniyah, Tarekat Anfasiyah
dan Tarekat Khalwatiyah menerima ilmu daripada beliau.
Beliau sentiasa mengikuti perkembangan di Tanah Jawi
(dunia Melayu) dengan menanyakan kepada pendatang-pendatang dari Pattani,
Semenanjung Tanah Melayu, dan negeri-negeri Nusantara yang di bawah penjajahan
Belanda (pada zaman itu masih disebut Hindia Belanda).
Ini terbukti dengan pengiriman dua pucuk surat kepada
Sultan Hamengkubuwono I, Sultan Mataram dan kepada Susuhunan Prabu Jaka atau
Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV. Surat-surat tersebut jatuh ke tangan
Belanda di Semarang (tahun 1772 M).
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani telah lama
bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu peperangan/pemberontakan melawan
penjajah. Namun setelah dipertimbangkan, beliau lebih tertarik membantu umat
Islam di Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam yang beragama Buddha.
Sebelum perang itu terjadi, Sheikh Wan Abdul Qadir bin
Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani, Mufti Kedah mengirim sepucuk surat kepada Sheikh
Abdus Shamad di Mekah. Surat itu membawa maksud agar diumumkan kepada kaum
Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat Islam Melayu Pattani dan Kedah sedang
menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan (tanah air) mereka.
Dalam peperangan itu, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan beliau bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi beliau bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.
Dalam peperangan itu, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan beliau bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi beliau bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.
Banyak orang menuduh bahawa orang sufi adalah
orang-orang jumud yang tidak menghiraukan dunia. Tetapi jika kita kaji beberapa
biografi ulama sufi, termasuk Sheikh Abdus Shamad yang diriwayat ini adalah
orang-orang yang bertanggungjawab mempertahankan agama Islam dan tanah air dari
hal-hal yang dapat merosakkan Islam itu.
Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad fi sabililah. Mereka tidak terikat dengan sanak keluarga, material duniawi, pangkat dan kedudukan dan sebagainya, mereka semata-mata mencintai Allah dan Rasul dari segala apa pun juga.
Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani ke Kedah memang pada awalnya bertekad demi jihad, bukan kerana mengajar masyarakat mengenai hukum-hukum keislaman walaupun beliau pernah mengajar di Mekah. Dipendekkan kisah akhirnya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan rombongan pun berangkat menuju ke Pattani yang bergelar ‘Cermin Mekah’.
Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad fi sabililah. Mereka tidak terikat dengan sanak keluarga, material duniawi, pangkat dan kedudukan dan sebagainya, mereka semata-mata mencintai Allah dan Rasul dari segala apa pun juga.
Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani ke Kedah memang pada awalnya bertekad demi jihad, bukan kerana mengajar masyarakat mengenai hukum-hukum keislaman walaupun beliau pernah mengajar di Mekah. Dipendekkan kisah akhirnya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan rombongan pun berangkat menuju ke Pattani yang bergelar ‘Cermin Mekah’.
Sayangnya kedatangan beliau agak terlambat, pasukan
Pattani telah hampir lemah dengan keganasan Siam. Sementara itu, Sheikh Daud
bin Abdullah al-Fathani dan pengikut-pengikutnya telah mengundurkan diri ke
Pulau Duyung, Terengganu untuk menyusun semula langkah perjuangan.
Pattani telah patah dan kekuatan lenyap dengan itu
Sheikh Abdus Shamad pun berkhalwat di salah sebuah masjid di Legor. Ada orang
mengatakan beliau berkhalwat di Masjid Kerisik yang terkenal dengan ‘Pintu
Gerbang Hang Tuah’ itu.
Para pengikut tasauf percaya di sanalah beliau
menghilang diri tetapi bagi kalangan bukan tasauf, perkara ini adalah mustahil
dan mereka lebih percaya bahawa beliau telah mati dibunuh oleh musuh-musuh
Islam.
Wafatnya
Dr M. Chatib Quzwain menulis dalam kertas kerja dan
bukunya berjudul Mengenal Allah Suatu Studi Mengenal Ajaran Tasauf Sheikh Abdus
Shamad al-Palimbani, halaman 180-181: Bahawa dalam tahun 1244 H/1828 M
dikatakan umur Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani 124 tahun. Baik pendapat Dr. M
Chatib Quzwain mahupun pendapat Dr. Azyumardi Azra perlu disanggah berdasarkan
fakta sejarah.
Azra menulis, “Meskipun saya tidak dapat menentukan
secara pasti angka-angka tahun di seputar kehidupannya, semua sumber bersatu
kata bahwa rentang masa hidup Al-Palimbani adalah dari dasawarsa pertama hingga
akhir abad kedelapan belas.
Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah
1200/1785. Tetapi kemungkinan besar dia meninggal setelah 1203/1789, iaitu
tahun ketika dia menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling masyhur, Sayr
Al-Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, mestinya umurnya adalah 85 tahun.
“Dalam Tarikh Salasilah Negeri Kedah diriwayatkan, dia
terbunuh dalam perang melawan Thai pada 1244/1828. Tetapi saya sukar menerima
penjelasan ini, sebab tidak ada bukti dari sumber-sumber lain yang menunjukkan
Al-Palimbani pernah kembali ke Nusantara. Lebih jauh lagi, waktu itu mestinya
umurnya telah 124 tahun terlalu tua untuk pergi ke medan perang.
“Walaupun Al-Baythar tidak menyebutkan tempat di mana
Al-Palimbani meninggal, ada kesan kuat dia meninggal di Arabia”.
Menurut Ustaz Wan Mohd Shaghir, sumber dari Al-Baythar
yang menyebut tahun kewafatan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani 1200 H/1785 M,
seperti yang disebut oleh Dr. Azyumardi Azra itu adalah ditolak.
Dengan disebutkannya bahawa Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani wafat tahun 1200 H/1785 M adalah sebagai bukti bahawa Al-Baythar
tidak banyak tahu tentang Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani. Bahkan tulisannya
sendiri bertentangan antara satu sama lainnya.
Coba diperhatikan kalimat Dr. Azyumardi Azra dalam
buku yang sama halaman 250, “Al-Baythar meriwayatkan, pada 1201/1787
Al-Palimbani mengadakan perjalanan ke Zabid di mana dia mengajar murid-murid
terutama dari keluarga Ahdal dan Al-Mizjadi”.
Bagaimanakah ini boleh terjadi, pada tempat lain Al-Baythar mengatakan Al-Palimbani wafat setelah 1200 H/1785 M. Di tempat yang lain disebutnya Al-Palimbani ke Zabid tahun 1201 H/1787 M. Oleh itu persoalan-persoalan lain yang bersumber dari Al-Baythar mengenai Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang menyalahi sumber-sumber yang telah dianggap benar oleh tradisi/mutawatir dunia Melayu adalah ditolak juga.
Sumber wafat 1200/1785 M menurut Ustaz Wan Shaghir adalah tidak tepat kerana menyalahi dengan tulisan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sendiri. Kitab-kitab yang dikarang/diselesaikan oleh Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sesudah tahun 1200 H/1785 M itu ialah Risalah Isra’ wa Mi’raj, yang dicatat oleh Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sendiri selesai menulisnya pada tahun 1201 H, kira-kira bersamaan 1786/87 M. Umumnya, juga diketahui ialah Siyarus Salikin jilid ke-IV, diselesaikan pada malam Ahad, 20 Ramadhan 1203 H di Taif, kira-kira bersamaan tahun 1789 M.
Pendapat Dr. Azyumardi Azra pada kalimatnya, “Ketika dia menyelesaikan karya ini, mestinya umurnya adalah 85 tahun”, adalah tertolak kerana tahun kelahiran Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang dikemukakan oleh kedua-dua sarjana tersebut adalah ternyata salah seperti yang telah disebutkan sebelum ini.
Bagaimanakah ini boleh terjadi, pada tempat lain Al-Baythar mengatakan Al-Palimbani wafat setelah 1200 H/1785 M. Di tempat yang lain disebutnya Al-Palimbani ke Zabid tahun 1201 H/1787 M. Oleh itu persoalan-persoalan lain yang bersumber dari Al-Baythar mengenai Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang menyalahi sumber-sumber yang telah dianggap benar oleh tradisi/mutawatir dunia Melayu adalah ditolak juga.
Sumber wafat 1200/1785 M menurut Ustaz Wan Shaghir adalah tidak tepat kerana menyalahi dengan tulisan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sendiri. Kitab-kitab yang dikarang/diselesaikan oleh Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sesudah tahun 1200 H/1785 M itu ialah Risalah Isra’ wa Mi’raj, yang dicatat oleh Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sendiri selesai menulisnya pada tahun 1201 H, kira-kira bersamaan 1786/87 M. Umumnya, juga diketahui ialah Siyarus Salikin jilid ke-IV, diselesaikan pada malam Ahad, 20 Ramadhan 1203 H di Taif, kira-kira bersamaan tahun 1789 M.
Pendapat Dr. Azyumardi Azra pada kalimatnya, “Ketika dia menyelesaikan karya ini, mestinya umurnya adalah 85 tahun”, adalah tertolak kerana tahun kelahiran Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang dikemukakan oleh kedua-dua sarjana tersebut adalah ternyata salah seperti yang telah disebutkan sebelum ini.
Malahan ramai yang menduga bahawa kewafatan Sheikh
Abdus Shamad al-Falimbani tahun 1203 H/1789 M.
Malah menurut Ustaz Wan Shaghir lagi, beliau tetap
yakin bahawa Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani memang terlibat langsung dalam
peperangan di antara Kedah-Patani melawan Siam yang terjadi jauh sesudah tahun
1203 H/1789 M itu. Ini berdasarkan cerita yang mutawatir, dikuatkan sebuah
manuskrip salinan Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu murid Sheikh Abdus
Shamad al-Falimbani, telah diketemukan kubur beliau dan lain-lain yang perlu
dikaji dengan lebih teliti.
Dr. M. Chatib Quzwain menyebut bahawa kubur Sheikh Abdus Samad al-Falimbani di Palembang, Dr. Azyumardi Azra pula menyebut, “ada kesan kuat dia meninggal di Arabia”, kedua-dua pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah. Juga bertentangan dengan cerita popular masyarakat Islam di Kedah, di Patani, Banjar, Mempawah/Pontianak dan tempat-tempat lain yang ada hubungan pertalian penurunan keilmuan tradisional Islam dunia Melayu.
Dr. M. Chatib Quzwain menyebut bahawa kubur Sheikh Abdus Samad al-Falimbani di Palembang, Dr. Azyumardi Azra pula menyebut, “ada kesan kuat dia meninggal di Arabia”, kedua-dua pendapat tersebut bertentangan dengan Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah. Juga bertentangan dengan cerita popular masyarakat Islam di Kedah, di Patani, Banjar, Mempawah/Pontianak dan tempat-tempat lain yang ada hubungan pertalian penurunan keilmuan tradisional Islam dunia Melayu.
Selain itu, bertentangan pula dengan manuskrip
Al-Urwatul Wutsqa karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang disalin oleh Haji
Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu, salah seorang murid Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani. Bertentangan pula dengan pembuktian bahawa diketemukan kubur
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani di perantaraan Kampung Sekom dengan Cenak
termasuk dalam kawasan Tiba, iaitu di di Utara Patani.
Menurut Ustaz Wan Shaghir lagi, tidak dipastikan
sumber manakah yang digunakan oleh Dr. Azyumardi Azra yang menyebut, “ada kesan
kuat dia meninggal di Arabia” itu.
6.
Muhammad
Nafis Al – Banjari
Muhammad
Nafis bin Idris bin Husein, demikianlah nama lengkapnya, ia lahir sekitar tahun
1148 H.11735 M., di kota Martapura, sekarang ibukota Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan, dari keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar yang garis
silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.)
Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam, yang dahulu bergelar Pangeran
Samudera.
Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta’in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta’in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
Muhammad
Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di Mahar Kuning,
Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua, Kabupaten
Tabalong. Dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata relijius
di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Tidak ada
catatan tahun yang pasti kapan ia pergi berangkat menuntut itmu ke tanah suci
Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pengetahuan ke tanah suci Makkah
sejak usia dini dan sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama
Islam di kota kelahirannya, Martapura. Di kemudian had, didapati ia belajar dan
menuntut ilmu agama Islam di kota Makkah, sebagaimana ia tuliskan dalam catatan
pendahuluan pada karya tulisnya “ad-Durrun Nafis” (….. dia yang menulis risalah
ini… yaitu, Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein, yang dilahirkan di Banjar
dan hidup di Makkah).
Juga tidak terdapat informasi dan catatan tentang apakah ia di Makkah dan Madinah belajar bersama Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan masa belajar Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa belajar Abdussamad al-Falimbani,Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya.
Juga tidak terdapat informasi dan catatan tentang apakah ia di Makkah dan Madinah belajar bersama Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan masa belajar Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa belajar Abdussamad al-Falimbani,Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya.
Kesimpulannya,
dengan melihat daftar nama-nama guru Muhammad Nafis al-Banjari besar
kemungkinan mereka belajar bersama pada satu masa atau masa yang Iain.
Sebagaimana kebiasaan para ulama Jawi (Indonesia/Asia Tenggara) abad ke 17 dan
ke 18, ia belajar dan menuntut ilmu pengetahuan keislaman kepada para ulama yang
terkenal di dunia Islam pada masa itu, baik yang menetap maupun yang
sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain, Makkah dan Madinah, dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, terutama tafsir, hadits, fiqih, tauhid
dan tasauf.
Di antara
guru-gurunya yang tercatat dalam bidang ilmu tasauf di Haramain adalah:
1. Syeikh
Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari.
2. Syeikh
Shiddiq bin Umar Khan.
3. Syeikh
Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Madani.
4. Syeikh Abdur
Rahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.
5. Syeikh
Muhammad bin Ahmad al-Jawhari.
6. Syeikh Yusuf
Abu Dzarrah al-Mishri.
7. Syeikh
Abdullah bin Syeikh Ibrahim al-Mirghani
8. Syeikh Abu
Fauzi Ibrahim bin Muhammad ar-Ra’is az-Zamzami al-Makki.
Karena kegigihannya dalam mempelajari ilmu tasauf
Muhammad Nafis akhirnya berhasil mencapai gelar “Syeikh al-Mursyid”, yaitu
seorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup
tentang tasauf, gelar yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta
diberi izin untuk mengajar tasauf dan tarekatnya kepada orang lain.
Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman ia
hanya sempat mengarang sedikit kitab. Yang sampai sekarang yang terlacak hanya
dua buah kitab saja yaitu:
Kanzus Sa’adah. Yaitu kitab yang berisi tentang
istilah-istilah ilmu tasauf. Kitab ini belum pernah dicetak masih berupa
manuskrip. Ad-Durrun Nafis. Yaitu kitab yang berisi tentang pengesaan perbuatan,
nama, sifat dan zat Tuhan.
Kitab ad-Durrun Nafis yang pada mulanya dikarang hanya
untuk memenuhi permintaan kawan-kawan, namun pada akhirnya banyak diminati dan
tersebar luas ke pelosok Nusantara bahkan sampai negara-negara di Timur Tengah
dan Asia Tenggara.
Menurut seorang yang kasyaf mengatakan bahwa kitab
ad-Durrun Nafis berisi bagian dari ilmu para wali Allah, barangsiapa
mempelajarinya, maka ia akan dicatat oleh para wali sebagai bagian dari mereka.
Ini merupakan salah satu karamah dari penyusunnya yaitu Syeikh Muhammad Nafis.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, seperti kebanyakan
ulama Melayu-Indonesia lainnya, mengikut Madzhab Syafi’i pada bidang fikih dan
Asy’ariyyah pada ilmu tauhid ia juga menggabungkan diri dengan Tarekat
Qadiriyyah, Syattariyyah, Samaniyyah, Naqsyabandyyah dan Khalwatiyyah.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari seperti ulama-ulama
sufi lainnya, ia juga mendapat tantangan dari orang-orang yang tidak sependapat
dengan ajaran tasaufnya. Namun tidak sehebat ta ntangan terhadap Syeikh Hamzah
al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam perkembangan mutakhir
golongan sufi dunia Melayu cukup sering dibicarakan.
Di satu pihak kitab itu dilarang atau diharamkan menggunakannya, di pihak lain ternyata lebih banyak surau ataupun masjid serta di rumah-rumah orang yang mengajarkannya. Bahkan KH. Haderanie HN., seorang ulama di Surabaya berusaha menyalin ke dalam huruf latin kitab tersebut, yang diberi kata sambutan oleh seorang ulama dan tokoh atau ahli politik Islam Indonesia, KH. Dr. Idham Chalid. ad-Durr an-Nafis yang disalin ke dalam huruf latin itu diberi judul Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah (ad-Durrun Nafis). Juga kitab ad-Durrun Nafis telah disalin secara lengkap ke dalam huruf latin dan diberi catatan kaki serta diberi indeks untuk kemudahan menelaahnya oleh Tim Sahabat Kandangan. Kitab ad-Durrun Nafis latin tersebut menjadi bagian dari buku Manakib Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari.
Di satu pihak kitab itu dilarang atau diharamkan menggunakannya, di pihak lain ternyata lebih banyak surau ataupun masjid serta di rumah-rumah orang yang mengajarkannya. Bahkan KH. Haderanie HN., seorang ulama di Surabaya berusaha menyalin ke dalam huruf latin kitab tersebut, yang diberi kata sambutan oleh seorang ulama dan tokoh atau ahli politik Islam Indonesia, KH. Dr. Idham Chalid. ad-Durr an-Nafis yang disalin ke dalam huruf latin itu diberi judul Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah (ad-Durrun Nafis). Juga kitab ad-Durrun Nafis telah disalin secara lengkap ke dalam huruf latin dan diberi catatan kaki serta diberi indeks untuk kemudahan menelaahnya oleh Tim Sahabat Kandangan. Kitab ad-Durrun Nafis latin tersebut menjadi bagian dari buku Manakib Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari.
7.
Muhammad
Nawawi Al – Bantani
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd
al-Mu'ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal
dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung
Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314
H/1897 M, Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia
dimakamkan di Ma'la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi.
Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di
desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum'at terakhir bulan
Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh
Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu
yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan
yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu
keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama
Sunyararas (Tajul 'Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam
Ja'far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina
Husen, Fatimah al-Zahra.
Latar
belakang pendidikan
Nawawi sebelum melancong ke Mekkah Ia di-didik
langsung dalam dekapan orang tuanya di Tanara, terbukti sejak usia kanak-kanak
beliau sudah hafal al-Qur’an pada usia 15 tahun (1830 M), hingga akhirnya
diusianya yang relatif masih dini ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah
menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam,
bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga
tahun belajar di Mekkah ia kembali ke Tanah kelahiran tahun 1833, kemudian
menambah pelajaran kepada salah satu seorang ulama Karawang, Jawa Barat.
Setelah itu, baru ia kembali kekampung halamannya, Tanara, Banten, untuk
mengembangkan pengetahuan yang telah diperolehnya.
Dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup
lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil
telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat,
Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh
santri yang datang dari berbagai pelosok.
Namun hanya beberapa tahun kemudian dengan situasi
politik Kolonial Belanda tidak memberikan keluasaan bergerak untuknya.
Karenanya, kemudian ia memutuskan untuk kembali ke Mekkah.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang
terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas
(Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani
Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada
Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di
Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan
pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Tercatat dalam
sejarah bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir.
Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh
Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah
guna menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada
tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi
mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia
tercatat sebagai Syekh. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus
banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya
yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab.
Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang
berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya.
Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas
permohonan sahabatnya. Hasil karya tulis Nawawi tercatat tidak kurang dari 99
buah, meliputi bidang fikih, tafsir, hadist, sejarah, tauhid, akhlak dan
bahasa. Salah satu karya Syeikh Nawawi yang memperoleh pengakuan dan
penghargaan ulama Mekkah dan Mesir adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim at-tanzih.
Ketika naskah ini selesai, tahun 1886 ( 5 Rabi’ul Akhir 1305 H), terlebih
dahulu disodorkan kepada ulama Mekkah dan kemudian diserahkan kepada ulama
Mesir untuk diteliti.
Akhirnya, kitab tafsir tersebut diterbitkan di Mesir.
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh)
dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami.
Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan
untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif)
dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syeikh Nawawi selalu
berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya
terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota
penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas
maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru
dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi
bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M.
Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A'yan 'Ulama' al-Qarn aI-Ra M' 'Asyar
Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mullaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid
'Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan
dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia
sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Di sana santri
pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum
belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami
kesulitan. Sebut KH. Hasyim Asya’ari adalah salah satu murid Syeikh Nawawi yang
merintis pesantren di jawa timur. Sedikitnya Hasyim mengikuti metode yang
dipakai oleh syeikh Nawawi. Ketika menyampaikan disiplin ilmu al-Hadist.
Dasar pemikiran dan bidang teologi
Karya-karya besar Syeikh Nawawi yang gagasan pemikiran
pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh
kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi,
bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali
bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang
ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang
penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan
Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Syeikh Nawawi yang tersebar membuat
kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara
konprehenshif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Syeikh Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy'ari (al-Asyari al-I'tiqodiy). Dan kita bisa melihat dibeberapa Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su'ud.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Syeikh Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy'ari (al-Asyari al-I'tiqodiy). Dan kita bisa melihat dibeberapa Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su'ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir
yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syeikh Nawawi mengikuti aliran teologi
Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut
Asya’riyah. Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang
muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari
perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatan-Nya. Dia membagi sifat Allah
dalam tiga bagian :
1. Wajib
(Wujud)
2. Mustahil (
‘Adam )
3. Mungkin.
(mumkin)
Pertama,
Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak
adanya.
Kedua, Sifat
mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak
adanya.
Ketiga,
Sifat mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.
Meskipun
Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam
konteks Indonesia Syeikh Nawawi inilah orang yang berhasil memperkenalkan
teologi Asya’riyah sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian
mengenai dalil naqliy dan 'aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama,
tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus
didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan
keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari
aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap
mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal
pikirannya.
Tema yang
perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah. Sebagaimana teolog
Asy'ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada
di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah,
sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan
Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini
bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak
disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Untuk hal
ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Syeikh Nawawi telah berhasil
membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan
berhasil menemukan titik kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah
di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya sebagian sejarawan
modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak
dapat menggugah perlawanan kolonialisme.
Padahal
fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan
tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang
bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah
dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari
kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri
kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah.
Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak
peranan Syeikh Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti
dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam "koloni
Jawa". Dalam beberapa kesempatan Syeikh Nawawi sering memprovokasi bahwa
bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan
seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena
memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di
bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai
"obor" mazhab imam Syafi'i untuk konteks Indonesia. Melalui
karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq,
Nihayat az-Zain fi Irsyad am-Mubtadi'in dan Tasyrih Fathul Qarib, sehingga
Syeikh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi'i secara sempurna dan, atas
dedikasi Syeikh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis
mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah
tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri
bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir
pemah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi
ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syeikh Nawawi sudah
dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
8.
Hamka (H. Abdul Malik Karim Abdullah)
Haji Abdul
Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan
namanya, (lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari
1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan
Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.
Belakangan
ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal
dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang
yang dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka
mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika
usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang
Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga
pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama
terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.
Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka
mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing
Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian
dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu,
beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor
Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau
menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi
meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi
pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi).
Hamka adalah
seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya
ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan,
Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab
juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert
Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl
Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran
dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas
Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.
Hamka juga
aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti
pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid'ah,
tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau
mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka
mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau
menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua
Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah,
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali
pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun
1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli
1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua
umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada
tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan
politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai
politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha
kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan
gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua
Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.Disamping Front PertahananNasional yang
sudah ada didirikan pula Badan Pengawal Negeri & kota (BPNK). Pimpinan
tersebut diberi nama Sekretariat yang terdiri dari lima orang yaitu HAMKA,
Chatib Sulaeman, Udin, Rasuna Said dan Karim Halim. Ia menjadi anggota
Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pemilihan Umum tahun
1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno
karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis
Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari
penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional,
Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga
Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif
dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis,
editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah
surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan
Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah
al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman
Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga
menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen.
Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang
mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura
termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan
Merantau ke Deli.
Hamka pernah
menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan internasional seperti
anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor
Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono
dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka
meninggal dunia pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa
sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima sebagai
seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di
seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon