Segala puji bagi Allah, Rabb
pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman.
Sebagian
orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta.
Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang
sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti.
Mengenai
zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ
وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ
فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ
يُحِبُّوكَ ».
Dari Sahl
bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah,
tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan
mencintaiku dan begitu pula manusia.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa
yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu
Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang
hasan)
Dalam hadits di atas terdapat dua
nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan
zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan
manusia.
Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia
dalam Al Qur’an dan Hadits
Masalah
zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang
menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang
orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun
yang mengatakan,
وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا
قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا
هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
(39)
“Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku
akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan
(sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.”
(QS. Ghafir: 38-39)
Dalam ayat
lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
(QS. Al A’laa: 16-17)
Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى
الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ
يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti
jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari
telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR.
Muslim no. 2858)
Al Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang
tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah
air yang masih tersisa di lautan.” Bayangkanlah,
perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!
Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا
تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ
مَاءٍ
“Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap
nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk
air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia
Yang
dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al
Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan
diri darinya serta membebaskan diri darinya. Adapun mengenai zuhud
terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya
disampaikan oleh sahabat Abu Dzar.
Abu Dzar
mengatakan,
الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا
لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ
فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ
اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا
أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ
“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan
bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau
begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di
tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih
mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi
padamu.”
Yunus bin
Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau
menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”
Ibnu Rajab
Al Hambali rahimahullah mengatakan,
“Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang
kesemuanya adalah amalan batin (amalan hati), bukan amalan lahiriyah
(jawarih/anggota badan). Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena
zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“
Cobalah
kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian
zuhud yang telah disebutkan di atas.
Pertama:
Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap
dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu,
Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang
ada di sisimu (berupa harta dan lainnya –pen) lebih engkau harap dari apa yang
ada di sisi Allah.”
Abu Hazim
–seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun
berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin:
rasa yakin pada Allah dan tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”
Lanjut
lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia
memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan
Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di
bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”
Al
Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah
‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang
“ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”
Intinya,
pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.
Kedua: Di
antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia
berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala
dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di
atas rasa yakin yang sempurna.
Siapakah
yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika
harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang
dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin
yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya
daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas
dasar iman yang mantap.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a
yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu
ringan menghadapi musibah.
Do’a tersebut adalah,
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا
مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا
تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا
مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا
“Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa
wa baina ma’aashiika, wa min thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa
minal yaqiini maa tuhawwinu bihi ‘alainaa mushiibaatid dunyaa” (Ya
Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami
dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada
SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di
dunia) (HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak
begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap
adalah pahala di sisi Allah.
‘Ali
bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia
akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini
adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang.
Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin
akan janji Allah di balik musibah.
Ketiga:
Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran
itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia
hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan
dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu
mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji
dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan
satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho
Ar Rahman.
Orang yang
zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia.
Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho
manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang
berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan
manusia.”
Al Hasan Al
Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia
katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat
zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk
dalam pengertian zuhud yang ketiga.
Pengertian
zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di
atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap
sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia
peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua.
Pengertian Zuhud yang Amat Baik
Jika kita
lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud
yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang
disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama
berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang
mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang
mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang
memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun
definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,
أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ
مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari
mengingat Allah.”
Ibnu Rajab
Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus.
Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”
Jika bisnis
yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud
adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu
berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah
meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.
Dunia Tidak Tercela Secara
Mutlak
Ada sebuah
perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali
pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia
adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik.
Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah
negeri ghoni (yang
berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. …”
Oleh karena
itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang
dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji
bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”
Ingatlah
baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu
jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan
beramal sholih.
Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta
Sebagaimana
sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian
orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan
pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud
dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh
menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar
memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang
zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas,
itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi
kita dalam memahami arti zuhud.
Abul ‘Abbas
As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa
‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata
pada Ibnul Mubarok,
أنت تأمرنا بالزهد والتقلل،
والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟
“Engkau
memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan
(tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta.
Mengapa bisa begitu?”
Ibnul
Mubarok mengatakan,
يا أبا علي، إنما أفعل ذا
لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.
“Wahai Abu
‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk
menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan
kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.
Semoga
pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah
kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian
sifat yang mulia ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
1. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 346, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
2.
Fathul Bari, Ibnu
Hajar Al Asqolani, 11/232, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
3.
Idem.
4.
HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100. Abu Isa
berkata: Hadits ini
gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur sanad ini, adapun Abu Idris
Al Khaulani namanya adalah A’idzullah bin ‘Abdullah, sedangkan ‘Amru bin Waqid
dia adalah seorang yang munkar haditsnya. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan,
“Yang tepat riwayat ini mauquf (hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana
dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)
5.
Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dari riwayat Muhammad
bin Muhajir, dari Yunus bin Maysaroh. (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam,
hal. 347)
6.
Jaami’ul Ulum, hal.
347.
7.
Kami sarikan
point ini dengan sedikit perubahan redaksi dari Jaami’ul
Ulum, hal. 347-348.
8.
Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut,
cetakan keempat, 1405 H.
9.
Jaami’ul Ulum, hal.
350.
10. Jaami’ul Ulum,
hal. 350
11. Siyar A’lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387, Mawqi’ Ya’sub
(penomoran halaman sesuai cetakan).
Dari artikel 'Memahami Arti Zuhud — Muslim.Or.Id'
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon