Pada tahun pertama dari khilafah Usman
bin Affan, yaitu tahun 24 Hijriah, negeri Rayyi berhasil ditaklukkan.
Sebelumnya, negeri ini pernah ditaklukkan, tetapi kemudian dibatalkan. Pada
tahun yang sama, berjangkit wabah demam berdarah yang menimpa banyak orang.
Khalifah Usman bin Affan sendiri terkena sehingga beliau tidak dapat
menunaikan ibadah haji. Pada tahun ini, Usman bin Affan mengangkat Sa'ad
bin Abi Waqqash menjadi gubernur Kufah menggantikan Mughirah bin Syu'bah.
Di tahun 25 Hijriah, Usman bin
Affan memecat Sa'ad bin Abi Waqqash dari jabatan gubernur Kufah dan
sebagai gantinya diangkatlah Walid bin Uqbah bin Abi Mu'ith (seorang shahabi
dan saudara seibu dengan Usman bin Affan). Inilah sebab pertama
dituduhnya Usman bin Affan melakukan nepotisme.
Pada tahun 26 Hijriah, Usman bin
Affan melakukan perluasan Masjidil Haram dengan membeli sejumlah tempat
dari para pemiliknya lalu disatukan dengan masjid. Pada tahun 17 Hijriah,
Mu'awiyah melancarkan serangan ke Qubrus (Siprus) dengan membawa pasukannya
menyeberangi lautan. Di antara pasukan ini terdapat Ubadah bin Shamit dan
istrinya, Ummu Haram binti Milhan al-Ansharish. Dalam perjalanan, Ummu Haram
jatuh dari kendaraannya kemudian syahid dan dikuburkan di sana. Nabi saw pernah
memberi-tahukan kepada Ummu Haram tentang pasukan ini, seraya berdoa agar Ummu
Haram menjadi salah seorang dari anggota pasukan ini. Pada tahun
ini, Usman bin Affan menurunkan Amru bin Ash dari jabatan gubernur
Mesir dan sebagai gantinya diangkatlah Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh. Dia
kemudian menyerbu Afrika dan berhasil menaklukkannya dengan mudah. Di tahun ini
pula, Andalusia berhasil ditaklukkan.
Tahun 29 Hijriah, negeri-negeri lain
berhasil ditaklukkan. Pada tahun ini, Usman bin Affan memperluas masjid
Madinah al- Munawarah dan membangunnya dengan batu-batu berukir. Ia
membuat tiangnya dari batu dan atapnya dari kayu (tatal). Panjangnya 160 depa
dan luasnya 150 depa.
Negeri-negeri Khurasan ditaklukkan
pada tahun ke-30 Hijriah sehingga banyak terkumpul kharaj (infaq penghasilan)
dan harta dari berbagai penjuru. Allah memberikan karunia yang melimpah dari
semua negeri kepada kaum Muslimin.
Pada tahun 32 Hijriah, Abbas bin Abdul
Muththalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas'ud, dan Abu Darda'
wafat. Orang -orang yang pernah menjabat sebagai hakim negeri Syam sampai saat
itu ialah Mu'awiyah, Abu Dzarr bin Jundab bin Junadah al-Ghiffari, dan Zaid bin
Abdullah. Pada tahun ke-33 Hijriah, Abdullah bin Mas'ud bin Abi Sarh menyerbu
Habasyah.
Seperti diketahui, Usman bin Affan
mengangkat para kerabatnya dari bani Umaiyyah menduduki berbagai jabatan.
Kebijakan ini mengakibatkan dipecatnya sejumlah sahabat dari berbagai jabatan
mereka dan digantikan oleh orang yang diutamakan-nya dari kerabatnya. Kebijakan
ini mengakibatkan rasa tidak senang banyak orang terhadap Usman bin Affan.
Hal inilah yang dijadikan pemicu dan sandaran oleh orang Yahudi yaitu Abdullah
bin Saba' dan teman-temannya untuk membangkitkan fitnah.
Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa
penduduk Kufah umumnya melakukan pemberontakan dan konspirasi terhadap Sa'id
ibnul Ash, pemimpin Kufah. Mereka kemudian mengirim utusan kepada Usman
bin Affan guna menggugat kebijakannya dan alasan pemecatan sejumlah orang
dari bani Umayyah. Dalam pertemuan ini, utusan tersebut berbicara
kepada Usman bin Affan dengan bahasa yang kasar sekali sehingga
membuat dadanya sesak. Beliau lalu memanggil semua pimpinan pasukan untuk
dimintai pendapatnya.
Akhirnya, berkumpullah di hadapannya,
Mu'awiyah bin Abu Sufyan (pemimpin negeri Syam), Amr ibnul Ash
(pemimpin negeri Mesir), Abduliah bin Sa'ad bin Abi Sarh
(pemimpin negeri Maghrib), Sa'id ibnul Ash (pemimpin negeri Kufah),
dan Abdullah bin Amir (pemimpin negeri Bashrah). Kepada mereka, Usman
bin Affan meminta pandangan mengenai peristiwa yang terjadi dan perpecahan
yang muncul.... Masing-masing dari mereka kemudian mengemukakan pendapat dan
pandangannya. Setelah mendengar berbagai pandangan dan mendiskusikannya,
akhirnya Usman bin Affan memutuskan untuk tidak melakukan penggantian
para gubernur dan pembantunya. Kepada masing-masing mereka, Usman bin
Affan memerintahkan agar menjinakkan hati para pemberontak dan pembangkang
tersebut dengan memberi harta dan mengirim mereka ke medan peperangan lain dan
pos-pos perbatasan.
Setelah peristiwa ini, di Mesir muncul
satu kelompok dari anak-anak para sahabat. Mereka menggerakkan massa untuk
menentang Usman bin Affan dan menggugat sebagian besar tindakannya.
Kelompok ini melakukan tindakan tersebut tentu setelah Abdullah bin Saba'
berhasil menyebarkan kerusakan dan fitnah di Mesir. Ia berhasil menghasut
sekitar enam ratus orang untuk berangkat ke Madinah dengan berkedok melakukan
ibadah umrah, namun sebenarnya mereka bertujuan menyebarkan fitnah dalam
masyarakat Madinah. Tatkala mereka hampir memasuki Madinah, Usman bin
Affan mengutus Ali bin Abu Thalib untuk menemui mereka dan
berbicara kepada mereka. Ali bin Abu Thalib kemudian berangkat menemui mereka
di Juhfah. Mereka ini mengagungkan Ali bin Abu Thalib dengan sangat berlebihan,
karena Abdullah bin Saba' telah berhasil mempermainkan akal pikiran mereka
dengan berbagai khurafat dan penyimpangan. Setelah Ali bin Abu Thalib membantah
semua penyimpangan pemikiran yang sesat itu, mereka menyesali diri seraya
berkata, "Orang inikah yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk
memerangi dan memprotes Khalifah (Usman bin Affan)?" Mereka kemudian
kembali dengan membawa kegagalan.
Ketika menghadap Usman bin Affan,
Ali bin Abu Thalib melaporkan kepulangan mereka dan mengusulkan agar Usman
bin Affan menyampaikan pidato kepada orang banyak, guna meminta maaf atas
tindakannya mengutamakan sebagian kerabatnya dan bahwa ia telah bertobat dari
tindakan tersebut.
Usulan ini diterima olehnya.
dan Usman bin Affan kemudian berpidato di hadapan orang banyak pada
hari Jum'at. Dalam pidato ini, di antaranya Usman bin
Affan mengatakan, "Ya Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku
bertobat kepada-Mu. Ya Allah, aku adalah orang yang pertama bertobat dari apa
yang telah aku lakukan."
Pernyataan ini diucapkannya sambil
menangis sehingga membuat semua orang ikut menangis. Usman bin
Affan kemudian menegaskan kembali, bahwa ia akan menghentikan kebijakan
yang menyebabkan timbulnya protes tersebut. Ditegaskan-nya bahwa ia akan
memecat Marwan dan kerabatnya.
Setelah penegasan tersebut, Marwan bin
Hakam menemui Usman bin Affan. Dia menghamburkan kecaman dan protes
kemudian berkata, "Andaikan ucapanmu itu engkau ucapkan pada waktu engkau
masih sangat kuat, niscaya aku adalah orang yang pertama menerima dan
mendukungnya, tetapi engkau mengucapkannya ketika banjir bah telah mencapai
puncak gunung. Demi Allah, melakukan suatu kesalahan kemudian meminta ampunan
dari-Nya adalah lebih baik daripada tobat karena takut kepada-Nya. Jika suka,
engkau dapat melakukan tobat tanpa menyatakan kesalahan kami."
Marwan kemudian memberitahukan
kepadanya bahwa di balik pintu ada segerombolan orang. Usman bin
Affan menunjuk Marwan untuk berbicara kepada mereka sesukanya. Marwan lalu
berbicara kepada mereka dengan suatu pembicaraan yang buruk, sehingga merusak
apa yang selama ini diperbaiki oleh Usman bin Affan. Dalam pembicaraannya,
Marwan berkata, "Kalian datang untuk merebut kerajaan dari tangan kami.
Keluarlah kalian dari sisi kami. Demi Allah, jika kalian membangkang kepada
kami, niscaya kalian akan menghadapi kesulitan dan tidak akan menyukai
akibatnya."
Setelah mengetahui hal ini, Ali bin
Abu Thalib segera datang menemui Usman bin Affan dan dengan nada
marah, ia berkata, "Mengapa engkau merelakan Marwan, sementara dia tidak
menghendaki kecuali memalingkan engkau dari agama dan pikiranmu! Demi Allah,
Marwan adalah orang yang tidak layak dimintai pendapat tentang agama atau
dirinya sekalipun. Demi Allah, aku melihat bahwa dia akan menghadirkan kamu
kemudian tidak akan mengembalikan kamu lagi. Saya tidak akan kembali setelah
ini karena teguran-ku kepadamu."
Setelah Ali bin Abu Thalib keluar,
Na'ilah masuk menemui Usman bin Affan (ia telah mendengarkan apa yang
diucapkan Ali bin Abu Thalib kepada Usman bin Affan) kemudian berkata,
"Aku harus bicara atau diam!" Usman bin Affan menjawab,
"Bicara lah!" Na'ilah berkata, "Aku telah mendengar ucapan Ali
bin Abu Thalib bahwa dia tidak akan kembali lagi padamu, karena engkau telah
menaati Marwan dalam segala apa yang dikehendakinya," Usman bin
Affan berkata, "Berilah pendapatmu kepadaku." Na'ilah memberikan
pendapatnya,"Bertaqwa lah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Ikutilah sunnah kedua sahabatmu yang terdahulu (Abu Bakar As Siddiq dan Umar
Bin Khattab), sebab jika engkau menaati Marwan, niscaya dia akan membunuhmu.
Marwan adalah orang yang tidak memiliki harga di sisi Allah, apalagi rasa takut
dan cinta. Utuslah seseorang menemui Ali bin Abu Thalib guna meminta
pendapatnya, karena dia memiliki kekerabatan denganmu dan dia tidak layak
ditentang."
Utsman bin Affan kemudian mengutus
seseorang kepada Ali bin Abu Thalib, tetapi Dia menolak datang. Ali bin Abu
Thalib berkata, "Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa aku tidak akan
kembali lagi. Sikap ini merupakan permulaan krisis yang menyulut api fitnah dan
memberikan peluang kepada para tukang fitnah, untuk memperbanyak kayu bakarnya
dan mencapai tujuan-tujuan busuk yang mereka inginkan.
Utsman bin Affan menjabat sebagai
khalifah selama dua belas tahun. Tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan celah
untuk mendendam-nya. Beliau bahkan lebih dicintai oleh orang-orang Quraisy
umumnya ketimbang Umar bin Khattab, karena Umar bin Khattab bersikap keras
terhadap mereka, sedangkan Usman bin Affan bersikap lemah lembut dan
selalu menjalin hubungan dengan mereka.
Akan tetapi, masyarakat mulai berubah
sikap terhadapnya, tatkala ia mengutamakan kerabatnya dalam pemerintahan,
sebagaimana telah kami sebutkan. Kebijakan ini dilakukan Usman bin
Affan atas pertimbangan silaturrahim yang merupakan salah satu perintah
Allah. Akan tetapi, kebijakan ini pada akhirnya menjadi sebab pembunuhannya.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari
az-Zuhri, ia berkata, "Aku pernah berkata kepada Sa'id bin Musayyab,
'Ceritakanlah kepadaku tentang pembunuhan Usman! Bagaimana hal ini sampai
terjadi!' Ibnul Musayyab berkata, 'Usman dibunuh secara aniaya. Pembunuhnya
adalah kejam dan pengkhianatnya adalah orang yang memerlukan ampunan. Ibnul
Musayyab kemudian menceritakan kepada az-Zuhri tentang sebab pembunuhannya dan
bagaimana hal itu dilakukan. Kami sebutkan di sini secara singkat.
Para penduduk Mesir datang mengadukan
Ibnu Abi Sarh. Setelah pengaduan ini, Usman bin Affan menulis surat
kepadanya yang berisikan nasihat dan peringatan terhadapnya. Akan tetapi, Abu
Sarh tidak mau menerima peringatan Usman bin Affan, bahkan mengambil
tindakan keras terhadap orang yang mengadukannya.
Selanjutnya, para tokoh sahabat,
seperti Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah mengusulkan
agar Usman bin Affan memecat Ibnu Abi Sarh dan menggantinya dengan
orang lain. Usman bin Affan lalu berkata kepada mereka,
"Pilihlah orang yang dapat menggantikannya." Mereka mengusulkan
Muhammad bin Abu Bakar. Usman bin Affan kemudian menginstruksikan hal
tersebut dan mengangkatnya secara resmi. Surat keputusan ini kemudian dibawa
oleh sejumlah sahabat ke Mesir. Baru tiga hari perjalanan dari Madinah,
tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang pemuda hitam berkendaraan unta yang
berjalan mundur maju.
Para sahabat Rasulullah itu kemudian
menghentikannya seraya berkata, "Mengapa kamu ini! Kamu terlihat seperti
orang yang lari atau mencari sesuatu!" Ia menjawab, "Saya adalah
pembantu Amirul Mukminin yang diutus untuk menemui Gubernur Mesir." Ketika
ditanya, "Utusan siapa kamu ini!" Dengan gagap dan ragu-ragu, ia
kadang -kadang menjawab, "Saya pembantu Amirul Mukminin," dan kadang-
kadang pula ia menjawab,"Saya pembantu Marwan." Mereka kemudian
mengeluarkan sebuah surat dari barang bawaannya. Di hadapan dan disaksikan oleh
para sahabat dari Anshar dan Muhajirin tersebut, Muhammad bin Abu Bakar membuka
surat tersebut yang ternyata berisi, "Jika Muhammad beserta si fulan dan
si fulan datang kepadamu, bunuhlah mereka dan batalkan-lah suratnya. Dan
tetaplah engkau melakukan tugasmu sampai engkau menerima keputusanku. Aku
menahan orang yang akan datang kepadaku mengadukan dirimu."
Akhirnya, para sahabat itu kembali ke
Madinah dengan membawa surat tersebut. Mereka kemudian mengumpulkan para tokoh
sahabat dan memberitahukan ihwal surat dan kisah utusan tersebut.
Peristiwa ini membuat seluruh penduduk
Madinah gempar dan benci terhadap Usman bin Affan. Setelah melihat hal
ini, Ali bin Abu Thalib segera memanggil beberapa tokoh sahabat,
antara lain Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin
Abu Waqqash, dan Ammar. Bersama mereka, Ali bin Abu Thalib dengan membawa
surat, pembantu, dan unta tersebut, masuk menemui Usman bin Affan. Ali bin Abu
Thalib bertanya kepada Usman bin Affan, "Apakah pemuda ini
pembantumu?" Usman bin Affan menjawab "Ya." Ali bin
Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah unta ini untamu?" Usman bin
Affan menjawab "Ya." Ali bin Abu Thalib bertanya lagi,
"Apakah kamu pernah menulis surat ini?" Usman bin
Affan menjawab,"Tidak." Usman bin Affan kemudian
bersumpah dengan nama Allah, "Aku tidak pernah menulis surat tersebut,
tidak pernah memerintahkan penulisan surat, dan tidak mengetahui ihwal surat
tersebut." Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah stempel ini,
stempel-mu?" Usman bin Affan menjawab, "Ya." Ali bin
Abu Thalib bertanya lagi "Bagaimana pembantumu ini bisa keluar dengan
menunggang untamu dan membawa surat yang distempel, dengan stempel-mu,
sedangkan engkau tidak mengetahuinya?" Usman bin Affan kemudian
bersumpah dengan nama Allah, "Aku tidak pernah menulis surat ini, tidak
pernah memerintahkannya, dan tidak pernah pula mengutus pembantu ini ke
Mesir."
Mereka kemudian memeriksa tulisan
surat tersebut dan mengetahui bahwa surat itu ditulis oleh Marwan. Mereka lalu
meminta kepada Usman bin Affan agar menyerahkan Marwan kepada mereka,
tetapi Usman bin Affan tidak bersedia melakukannya, padahal Marwan
saat itu berada di dalam rumahnya. Akhirnya, orang-orang keluar dari
rumah Usman bin Affan dengan perasaan marah. Mereka mengetahui
bahwa Usman bin Affan tidak berdusta dalam bersumpah, tetapi mereka
marah karena dia tidak bersedia menyerahkan Marwan kepada mereka.
Setelah itu, tersiarlah berita
tersebut di seluruh Kota Madinah, sehingga sebagian masyarakat mengepung
rumah Usman bin Affan dan tidak memberikan air kepadanya.
Setelah Usman bin Affan dan keluarganya merasakan kepayahan akibat
terputusnya air, ia menemui mereka seraya berkata, "Adakah seseorang yang
sudi memberi tahu Ali bin Abu Thalib agar memberi air kepada kami ?"
Setelah mendengar berita ini, Ali bin Abu Thalib segera mengirim tiga qirbah
air. Kiriman air ini pun sampai kepada Usman bin Affan melalui cara
yang sulit sekali.
Pada saat itu, Ali bin Abu Thalib
mendengar desas-desus tentang adanya orang yang ingin membunuh Usman bin
Affan, lalu ia berkata "Yang kita inginkan darinya adalah Marwan, bukan
pembunuhan Usman bin Affan." Ali bin Abu Thalib kemudian berkata
kepada kedua anaknya, Hasan dan Husain, "Pergilah dengan membawa pedang
kalian untuk menjaga pintu rumah Usman. Jangan biarkan seorang pun masuk
kepadanya." Hal ini juga dilakukan oleh sejumlah sahabat Rasulullah saw
demi menjaga Usman bin Affan. Ketika para pengacau menyerbu pintu
rumah Usman bin Affan ingin masuk dan membunuhnya, mereka dihentikan
oleh Hasan dan Husain serta sebagian sahabat.
Sejak itu, mereka mengepung
rumah Usman bin Affan lebih ketat dan secara sembunyi-sembunyi
berhasil masuk dari atap rumah. Mereka berhasil menebaskan pedang sehingga
Khalifah Usman bin Affan terbunuh. Ketika mendengar berita ini, Ali
bin Abu Thalib datang dengan wajah marah, seraya berkata kepada dua orang
anaknya, "Bagaimana Amirul Mukminin bisa dibunuh, sedangkan kalian berdiri
menjaga pintu?" Ali bin Abu Thalib kemudian menampar Hasan dan
memukul dada Husain, serta mengecam Muhammad bin Thalhah dan Abdullah bin
Zubair. Demikianlah, pembunuhan Usman bin Affan merupakan pintu dari
mata rantai fitnah yang terus membentang tanpa akhir.
Pertama, di antara keutamaan dan keistimewaan
yang dapat dicatat pada periode pemerintahan Usman bin Affan ialah
banyaknya penaklukan dan perluasan. Pada periode ini, seluruh Khurasan berhasil
ditaklukkan. Demikian pula Afrika sampai Andalusia. Di samping itu, tercatat
pula sejumlah prestasi mulia dan agung yang pernah dilakukan Usman bin
Affan, seperti menyatukan orang dalam bacaan dan tulisan al-Qur'an yang
tepercaya setelah berkembangnya berbagai bacaan yang di khawatirkan dapat
membingungkan orang. Juga seperti prestasinya memperluas Masjid Nabawi di
Madinah al-Munawwarah.
Tidaklah merusak kemuliaan Usman
bin Affan jika dalam berbagai penaklukannya ia mempergunakan Abdullah bin
Sa'id bin Abi Sarh dan orang-orang semisalnya, karena Islam menghapuskan semua
dosa sebelumnya. Barangkali Ibnu Sarh dengan amal-amalnya yang mulia ini telah
menghapuskan segala yang pernah dia lakukan sebelumnya. Bahkan seperti
diketahui, ia tetap di jalan lurus setelah itu dan termasuk orang yang tetap
baik agamanya.
Kedua, betapapun keras kritik yang
dilontarkan kepada Usman bin Affan karena kebijakannya dalam memilih
para gubemur dan pembantunya dari kaum kerabatnya (bani Umayyah), kita harus
menyadari bahwa kebijakan tersebut merupakan ijtihad pribadinya. Usman bin
Affan bahkan telah mempertahankan pendapat tersebut di hadapan sejumlah
besar para sahabat. Bagaimanapun sikap kita terhadap pendapat dan pembelaan
tersebut, sewaktu mengkritik, kita tidak boleh melanggar adab dalam melontarkan
analisis atau pendapat. Juga kesalahan yang dilakukannya tersebut -jika hal itu
kita anggap sebagai suatu kesalahan- jangan sampai melupakan kita pada
kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah saw, keutamaannya sebagai generasi
pertama dalam Islam, dan sabda Rasulullah saw kepadanya pada Perang
Tabuk,"Tidaklah akan membahayakan Usman apa yang dilakukannya
setelah hari ini."
Hendaknya kita pun menyadari bahwa
pembicaraan dan sanggahan para sahabat, terhadap kebijakannya saat itu, tidak
sama dengan kritik dan gugatan yang kita lakukan sekarang terhadap masalah yang
sama.
Sanggahan para sahabat terhadapnya,
pada saat itu, merupakan pencegahan bagi suatu permasalahan yang ada dan
mungkin dapat diubah atau diperbaiki. Segala pembicaraan, di saat itu,
sekalipun ber motivasikan kritik dan menyalahkan, merupakan tindakan positif
dan bermanfaat. Sementara itu, pembicaraan kita pada hari ini, setelah masalah
tersebut menjadi suatu peristiwa sejarah, hanyalah merupakan tindakan kurang
ajar terhadap para sahabat yang telah diberikan pujian oleh Rasulullah saw.
Beliau melarang kita bersikap tidak sopan kepada mereka, terutama Khilafah
Rasyidah.
Bagi siapa saja yang menginginkan
amanah ilmiah dalam mengemukakan peristiwa ini, cukuplah dengan berpegang teguh
kepada penjelasan yang dikemukakan oleh para penulis dan ahli sejarah
tepercaya, seperti Thabari, Ibnu Katsir, dan Ibnul Atsir.
Ketiga, bersamaan dengan munculnya benih-benih
fitnah pada akhir-akhir pemerintahan Usman bin Affan, muncul pula nama
Abdullah bin Saba' di pentas sejarah. Peranan Ibnu Saba' sangat menonjol dalam
mengobarkan api fitnah ini. Abdullah bin Saba' adalah seorang Yahudi berasal
dari Yaman. Ia datang ke Mesir pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Ia
menghasut orang untuk membangkang pada Usman bin Affan dengan dalih
mencintai Ali bin Abu Thalib dan keluarga (ahlul bait) Nabi saw. Di antaranya,
ia mengatakan kepada orang-orang, "Tidakkah Muhammad saw lebih baik dari
Isa as di sisi Allah? Jika demikian halnya, Muhammad saw lebih berhak kembali
kepada manusia daripada Isa as. Akan tetapi, Muhammad saw akan kembali kepada
mereka dalam diri anak pamannya, Ali bin Abu Thalib, yang merupakan orang
terdekat kepadanya."
Dengan khurafat ini, Abdullah bin
Saba' berhasil menipu masyarakat Mesir, padahal sebelumnya ia gagal mendapatkan
pengikut di Yaman. Orang-orang yang tertipu oleh perkataannya inilah yang
berangkat ke Madinah guna memberontak kepada Usman bin Affan. Akan tetapi,
mereka berhasil dihalau oleh Ali bin Abu Thalib, sebagaimana telah Kita
ketahui.
Dari sini, kita mengetahui bahwa
kelahiran perpecahan umat Islam menjadi dua kubu: Sunni dan Syi'i, dimulai pada
periode ini. Perpecahan ini sepenuhnya merupakan buah tangan Abdullah bin
Saba'. Belum lagi penyiksaan dan kekejaman yang dialami oleh Ahlul Bait atau
Syi'ah di tangan pemerintahan Umawiyah dan lainnya. Yang penting, bagaimanapun
kedua peristiwa ini telah masuk ke dalam sejarah, tetapi kita tidak boleh
melupakan realitas lainnya.
Keempat, sekali lagi, kita harus mendapatkan
kejelasan tentang hakikat hubungan yang berlangsung antara Usman bin
Affan dan Ali bin Abu Thalib selama periode khilafah yang ketiga ini, juga
hakikat sikap yang diambil Ali bin Abu Thalib terhadap Usman bin Affan.
Seperti telah kita ketahui bahwa Ali bin Abu Thalib segera membaiat Usman
bin Affan sebagai khalifah, bahkan menurut kebanyakan ahli sejarah,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, bahwa Ali bin Abu Thalib adalah orang
yang pertama membaiat Usman bin Affan. Kemudian kita ketahui bagaimana Ali
bin Abu Thalib mengatakan kepada Usman bin Affan, ketika ia mendengar
segerombolan orang yang dikerahkan oleh Abdullah bin Saba' ke Madinah untuk menggerakkan
orang menentangnya, "Aku bereskan kejahatan mereka!" Ali bin Abu
Thalib kemudian berangkat dan menemui mereka di Juhfah sampai berhasil
menghalau mereka kembali ke Mesir seraya mengatakan,"Inikah orang yang
kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk memerangi dan memprotes khalifah
(Usman bin Affan)?" Kita telah mengetahui bagaimana Ali bin Abu Thalib
dengan penuh keikhlasan, kecintaan, dan kemauan yang jujur memberikan nasihat
kepadanya. Sebagaimana kita tahu pula Ali bin Abu Thalib membelanya sampai
akhir kehidupannya; bagaimana ia memobilisasi kedua putranya, Hasan dan Husain,
untuk menjaga Usman bin Affan dari ulah orang-orang yang
mengepungnya?
Dengan demikian, Ali bin Abu Thalib
merupakan pendukung Usman bin Affan yang terbaik selama khilafahnya,
di samping merupakan pembela terbaiknya tatkala menghadapi cobaan berat. Ia
bersikap tegas dan keras dalam memberikan nasihat kepadanya di belakang hari,
tidak lain dan tidak bukan, hanyalah karena cinta dan ghirah kepadanya.
Hendaklah kita memahami hal ini dengan
baik agar kita juga mengetahui bahwa orang besar seperti Sayyidina Ali bin
Abu Thalib patut diteladani oleh setiap orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Bukti rasa cinta hanyalah berupa "shidqul ittiba"
(mengikuti secara jujur) dan istiqamah (terus menerus) dalam meneladani.
Marilah kita jadikan suri tauladan-nya sebagai teladan yang terbaik bagi kita
dan bukti paling nyata yang mengungkapkan cinta sejati kepada beliau.
Sumber
: http://majlisdzikrullahpekojan.org/kisah-sahabat-nabi/utsman-bin-affan.html
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon