Nasab dan Keluarganya
Muhammad bin Ishaq. Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Sang
pengembara yang mencari ilmu ke berbagai negara, seorang pakar hadits Islam Abu
Abdillah Muhammad, putra seorang ahli hadits yang bernama Abu Ya’qub Ishaq bin
al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Yahya bin Mandah. Nama asli Mandah adalah
Ibrahim bin al-Walid bin Sandah, berasal dari Ashfahan (disebut juga Isfahan
atau Ashbahan, 300km dari Teheran, Iran).
Keturunan
keluarga Mandah adalah orang-orang yang sangat perhatian dalam meriwayatkan
hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu
muncullah dari keturunan mereka para ulama besar dalam bidang hadits dan pakar
dalam memahami kandungannya. Dalam Wafayat al-A’yan, Ibnu Kholikan memberikan komentar
tatkala menjelaskan biografi seorang cucu Ibnu Mandah yang bernama Yahya bin
Abdul Wahhab bin Muhammad bin Ishaq bin Mandah. Beliau berkata, “Dia adalah seorang muhaddits,
putra seorang muhaddits -Abdul Wahhab- yang juga putra seorang muhaddits
-Muhammad bin Ishaq- anak seorang muhaddits -Ishaq bin Mandah- yang juga putra
seorang muhaddits -Mandah-.”
Dalam usia
yang masih belia, Ibnu Mandah sudah mulai mendengar penuturan hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu -tahun
318 H- Ibnu Mandah masih berumur antara 7 hingga 8 tahun. Beliau mendengarkan
hadits dari ayahnya -Ishaq- dan juga dari paman ayahnya Abdurrahman bin Yahya
bin Mandah, dan juga dari para ulama Ashbahan yang lain.
Kelahiran dan Tempat Tinggalnya
Beliau
dilahirkan pada tahun 310 atau 311 H. Di dalam Lisan al-Mizan,
al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Mandah lahir pada tahun 316 H dan mulai mendengar hadits
pada tahun 318 H dan sesudahnya.” Namun ucapan Ibnu Hajar ini adalah jelas
sebuah kekeliruan, sebagaimana ditegaskan oleh pen-tahqiq Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah.
Ibnu Mandah
dilahirkan di Ashbahan, salah satu kota di wilayah Khurasan. Di kota inilah
banyak dilahirkan sosok ulama besar semacam Abu Nu’aim al-Ashbahani penulis Hilyatul Auliya’,
Dawud azh-Zhahiri, Abul Fadhl al-Ashbahani -yang dijuluki dengan Qowamus Sunnah- dan
lain sebagainya. Di kota inilah Ibnu Mandah menimba ilmu, belajar akhlak dan
mengejar keutamaan kepada para ulamanya. Pada tahun 330 H -ketika itu umurnya
tidak lebih dari 20 tahun- beliau mulai mengadakan perjalanan untuk menimba
ilmu ke Naisabur. Beliau pun terus melakukan perjalanan untuk menimba ilmu ini
ke berbagai negeri selama 40 tahun lamanya. Setelah itu, beliau pulang ke
negeri asalnya dalam keadaan telah menjadi seorang ulama besar yang telah
mencatat ilmu dari 1700 orang guru.
Di Ashbahan
itulah, ketika umurnya sudah melewati 60 tahun, Ibnu Mandah menikah lalu
dikaruniai beberapa orang anak. Salah satu putranya bernama Abdurrahman yang
biasa dipanggil dengan kun-yahAbul Qasim. Putranya ini pun tumbuh menjadi
ulama besar. Imam adz-Dzahabi memujinya dengan ungkapan, “Beliau adalah al-Hafizh,
al-’Alim, al-Muhaddits…” Yahya
bin Abdul Wahhab berkomentar tentang Abdurraman ini -pamannya-, “Pamanku adalah pedang yang
menebas ahli bid’ah…”
Gigih Dalam Menimba Ilmu dan Berdakwah
Ibnu Mandah
mengadakan perjalanan ke berbagai negeri untuk menimba ilmu. Beliau datang ke
Naisabur, Iraq, Damaskus, Beirut, Gaza, Baitul Maqdis (Palestina), Mesir,
Mekah, Madinah, dan kota-kota yang lainnya. Ibnu Mandah adalah sosok yang
sangat mencintai Sunnah dan membenci bid’ah. Diriwayatkan dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah,
bahwa beliau pernah mengatakan, “Aku telah berkeliling ke negeri Timur dan Barat sebanyak dua
kali. Aku tidak pernah mau mendekat (belajar) kepada orang yang tidak jelas.
Dan aku pun tidak mau mendengar dari para ahli bid’ah walaupun cuma satu
hadits.”
Beliau juga
menyusun kitab-kitab bantahan untuk ahli bid’ah. Di antara karyanya adalah ar-Radd ‘alal Lafzhiyah dan ar-Radd ‘alal Jahmiyah. Beliau
juga sangat perhatian dalam masalah akidah, oleh karenanya beliau menulis
kitabnya yang sangat terkenal Kitab at-Tauhid. Ibnu Mandah bukan hanya pakar
dalam bidang hadits, beliau juga ahli di bidang tafsir dan mumpuni di bidang
sejarah dan qiro’at.
Sanjungan Para Ulama
Ahmad bin
Ja’far al-Hafizh berkata, “Aku telah mencatat hadits dari 1000 orang guru lebih, dan tidak
ada di antara mereka yang lebih kokoh hafalannya daripada Ibnu Mandah.” Ja’far
bin Muhammad al-Mustaghfiri berkata, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih kuat hafalannya
daripada Abu Abdillah Ibnu Mandah…” Abu Isma’il al-Anshari -guru besar di
negeri Harat- berkata, “Abu Abdillah Ibnu Mandah adalah sayyid/pemimpin umat di masanya.” Imam
adz-Dzahabi menyebutnya sebagai da’i kepada Sunnah dan penjaga atsar.
Qowamus Sunnah Abul
Fadhl al-Ashbahani mengatakan, “Keutamaan Imam ini sangatlah banyak. Dia adalah pemuka umat di
zamannya dalam hafalan, ketekunan beragama, dan pembelaan terhadap Sunnah serta
mematikan bid’ah. Dia berkeliling dunia untuk mencari hadits. Aku mengetahui
kedudukannya sejak dia masih muda. Yaitu tatkala Abu Ahmad al-’Assal
–’al-’Assal adalah seorang imam di masanya’– mengirim surat kepadanya ketika
dia berada di Naisabur, menanyakan kepadanya tentang suatu hadits yang sulit
dipahami. Maka Ibnu Mandah menjawabnya dan menerangkan hal itu kepadanya.” Abu
Nu’aim pun memuji Ibnu Mandah dengan mengatakan bahwa beliau adalah Jabalun minal Jibaal;
artinya beliau adalah termasuk jajaran ulama penghafal hadits yang sangat
handal.
Guru-Guru Ibnu Mandah
Diantara
ulama yang menjadi guru Ibnu Mandah dan paling banyak menjadi narasumber
riwayatnya adalah: Abu Ahmad al-’Assal, Abu Ishaq bin Hamzah, Abu Sa’id bin
al-A’rabi, Abul ‘Abbas al-Asham, dan lain-lain. Ibnu Mandah menuturkan, “Aku telah mencatat ilmu dari
seribu tujuh ratus guru, dan aku belum pernah melihat ada di antara mereka yang
seperti al-’Assal dan Abu Ishaq bin Hamzah.”
Abu Ahmad
al-’Assal adalah salah seorang imam besar dalam ilmu hadits. Abu Nu’aim pun
memujinya, “Abu Ahmad -al-’Assal- adalah termasuk jajaran ulama besar yang
memiliki ilmu yang mendalam, pemahaman yang mapan dan hafalan yang kuat.” Demikian pula Abu Ishaq bin Hamzah
-guru Ibnu Mandah yang lain- adalah seorang imam ahli hadits besar. Abu Nu’aim
berkata tentangnya, “Beliau adalah orang yang memiliki hafalan paling kokoh di
masanya.” Ibnu Mandah
juga berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih kuat hafalannya
daripada Abu Ishaq bin Hamzah.”
Murid-Murid Ibnu Mandah
Diantara
murid Ibnu Mandah yang kemudian menjadi ulama besar dan yang paling terkenal di
antara mereka adalah: Abu Amr Abdul Wahhab bin Mandah -anaknya-, Hamzah bin
Yusuf as-Sahmi, Abu Bakr bin Manjawaih, dan Tammam bin Muhammad ar-Razi. Abu
‘Ali al-Ahwazi berkata, “Aku belum pernah melihat orang sehebat Tammam. Beliau adalah
seorang ulama yang sangat mengetahui hadits dan mendalami seluk-beluk
periwayatnya.”
Perselisihan Antara Ibnu Mandah dengan Abu Nu’aim
Para ulama
menceritakan bahwasanya antara kedua ulama ini telah terjadi perselisihan dalam
sebagian masalah akidah, yaitu tentang persoalan lafaz al-Qur’an. Bangkitlah
Abu Nu’aim menulis bantahan kepada Ibnu Mandah dengan kitabnya ar-Radd ‘alal Hurufiyah wal
Hululiyah. Demikian juga sebaliknya, Ibnu Mandah menulis bantahan
dengan kitabnya ar-Radd ‘alal Lafzhiyah. Keduanya saling men-jarh/mengkritik satu sama lain.
Imam Ibnul
Jauzi menjelaskan bahwa Abu Nu’aim termasuk penganut paham Asy’ari. Beliau
lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa tilawah atau bacaan al-Qur’an adalah makhluk.
Adapun Imam Ibnu Mandah berpegang kepada akidah salaf. Beliau berpendapat
bahwasanya lafaz al-Qur’an bukanlah makhluk. Peselisihan yang terjadi antara
Imam Bukhari dengan Imam Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli pun muncul akibat
permasalahan serupa.
Oleh sebab
itu para ulama tidak menerima komentar miring dari salah seorang di antara
mereka berdua terhadap lawannya. Tatkala menanggapi komentar miring dari Abu
Nu’aim tentang Ibnu Mandah, Imam adz-Dzahabi berkata, “Kami tidak mau ambil pusing
dengan ucapanmu mengenai musuhmu karena permusuhan yang ada. Sebagaimana kami
juga tidak mau mendengar komentar darinya mengenai anda…”Inilah
kaidah yang dipegang oleh para ulama. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Setiap orang yang telah terbukti
kredibilitasnya, maka tidak bisa diterima celaan atasnya dari siapa pun kecuali
apabila tuduhan itu benar-benar didukung keterangan yang jelas sehingga tidak
ada kemungkinan lain kecuali harus mengarahkan jarh/kritikan kepada dirinya.”
Apakah Melafazkan al-Qur’an Itu Makhluk?
Untuk
menjelaskan hal ini, kami sengaja bawakan keterangan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah yang telah diringkas oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitabnya Fathu Rabbil Bariyyah (hal. 70 cet. Dar Ibnul Jauzi tahun
1424 H).
al-Qur’an merupakan kalam/ucapan Allah. Ini sudah jelas. Akan
tetapi, bolehkah kita katakan bahwa lafaz al-Qur’an itu makhluk, atau bukan
makhluk, atau harus diam dalam persoalan ini?!
Jawaban
yang benar, memberikan hukum umum dalam permasalahan ini, yaitu dengan serta
merta menolak atau menerima pernyataan ‘lafaz al-Qur’an adalah makhluk’ adalah
tidak tepat. Sebab hal ini harus dirinci terlebih dahulu. Jika yang dimaksud
dengan lafaz itu adalah perbuatan (fi’il)
mengucapkannya yang hal itu termasuk perbuatan hamba maka jelas ini adalah
makhluk. Karena hamba beserta perbuatannya adalah makhluk. Namun, apabila yang
dimaksud dengan lafaz itu adalah ucapan yang dilafazkan (maf’ul) maka itu adalah kalam/ucapan Allah dan bukan
makhluk. Karena kalam Allah merupakan salah satu sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya
bukan makhluk.
Perincian
semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan, “Barangsiapa yang berpendapat
bahwa lafazku dalam membaca al-Qur’an adalah makhluk dan yang dia maksud
dengannya adalah al-Qur’an maka dia adalah penganut paham Jahmiyah.” Perkataan
Imam Ahmad ‘dan yang dia maksud adalah al-Qur’an’ menunjukkan bahwa apabila yang dia
maksudkan bukanlah al-Qur’an akan tetapi perbuatan melafazkan yang ini
merupakan perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya tidak bisa dicap
sebagai penganut paham Jahmiyah.
Karya-Karya Ibnu Mandah
Dalam
bidang akidah, beliau menulis kitab: al-Iman, ar-Radd ‘alal Jahmiyah, ar-Ruh wa an-Nafs,
dan ar-Radd ‘alal Lafzhiyah. Dalam bidang hadits: Ma’rifatush Shahabah, al-Amali,
al-Kuna wal Alqaab, al-Asami wal Kuna, dan lain-lain. Dalam bidang
sejarah: Tarikh Ashbahan, at-Tarikh, Dala’il an-Nubuwah. Dalam
bidang ilmu al-Qur’an: an-Nasikh wal Mansukh. Ibnu Mandah juga memiliki
kitab-kitab yang lain seperti as-Sunnah, sebagaimana disinggung oleh Ibnu Taimiyah
dan al-Kattani. Namun sayangnya, sebagian kitab-kitab tersebut hilang atau
tidak ditemukan seperti kitab al-Fawa’id, at-Tarikh, Dala’il an-Nubuwah, dan an-Nasikh wal Mansukh.
Salah satu
kitab karyanya yaitu Kitab al-Iman, telah diterbitkan oleh penerbit Universitas
Islam Madinah cetakan pertama tahun 1401 H, dengan tahqiq oleh Dr. Ali Nashir al-Faqihi -salah
seorang ulama yang sekarang menjadi guru besar di Universitas Islam Madinah,
dosen pembimbing Ustadz Ali Musri, pen-. Demikian juga Kitab at-Tauhid, telah dicetak oleh Dar Hadyu Nabawi Mesir
dan Dar al-Fadhilah Saudi pada tahun 1428 H, dengan tahqiq oleh Dr. Muhammad
bin Abdullah al-Wuhaibi dan Dr. Musa bin Abdul Aziz al-Ghushn. Pada asalnya
kitab ini adalah risalah magister (S2) milik mereka berdua yang diajukan kepada
Universitas Islam Muhammad bin Su’ud di bawah pengawasan Syaikh Dr. Abdullah
bin Abdurrahman al-Jibrin yang dipresentasikan pada tahun 1406 H. Judul lengkap
kitab ini adalah at-Tauhid wa Ma’rifatu Asma’illahi ‘Azza wa Jalla wa Shifatihi
‘alal Ittifaq wat Tafarrud.
Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah adalah kitab akidah
yang dibawakan dengan metode ahli hadits. Di dalamnya beliau menyebutkan
hadits-hadits tentang tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat. Metode
ini adalah metode kebanyakan ulama mutaqaddimin/terdahulu dalam karya-karya mereka,
seperti kitab al-Iman karya
Abu Bakr bin Abi Syaibah, as-Sunnah karya
Abdullah putra Imam Ahmad, as-Sunnahkarya Ibnu Abi ‘Ashim, Khalqu Af’alil ‘Ibad karya Imam Bukhari, Syarh Ushul I’tiqad Ahlis
Sunnah karya Imam
al-Lalika’i, ‘Aqidatu Ash-habil Hadits karya ash-Shabuni, dan lain
sebagainya.
Wafatnya Ibnu Mandah
Ibnu Mandah
wafat pada tahun 395 H. Sebagaimana penjelasan Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya; Siyar A’lam an-Nubala’, Tadzkiratul Huffazh,
dan Mizanul I’tidal. Demikian pula penjelasan al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. Keterangan Ibnu Abi Ya’la dalam
kitabnya Thabaqat al-Hanabilah, Ibnul ‘Imad dalam Syadzarat adz-Dzahab.
Dan keterangan Ibnu Taghri Bardi dalam an-Nujum az-Zahirah. Dan inilah pendapat Abu Nu’aim
dalam Tarikh Ashbahan.
Sementara
para ulama yang lain berpendapat bahwa Ibnu Mandah wafat pada tahun 396 H.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam al-Muntazham, Imam
Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam Ibnul Atsir dalam al-Kamil, dan
ash-Shofadi dalam al-Wafi bil Wafayat. Dan ini adalah pendapat al-Hakim
an-Naisaburi. Kedua pendapat ini dibawakan oleh Imam Ibnu ‘Asakir dalam kitabnyaTarikh Damaskus.
Pen-tahqiq Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah menjelaskan bahwa
pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Abu Nu’aim. Karena Abu Nu’aim dan Ibnu
Mandah tinggal di negeri yang sama. Terlebih lagi antara keduanya telah terjadi
permasalahan; suatu sebab yang boleh jadi menjadi pendorong untuk mengikuti
berita-berita tentangnya. Selain itu, Abu Nu’aim juga membawakan tambahan ilmu (ziyadah). Sementara sebagaimana dimaklumi di kalangan
para ulama hadits bahwa ziyadatu tsiqah -tambahan
keterangan dari perawi yang terpercaya- itu diterima.
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon