Selasa, 14 Mei 2013

The Last Samurai, Film Penuh Moralitas

Selasa malam 14/05/2013, kembali saya menonton film The Last Samurai di salah satu stasiun TV tak berbayar. Meski pernah nonton, tapi sepertinya tak bosan diri ini hingga memutuskan tak pindah ke lain kanal. Film yang berkisah tentang perjalanan hidup Kapten Nathan Algren menjadi seorang ksatria samurai.

Salah satu scene yang paling menarik bagi saya adalah ketika Kapten Algren dalam kondisi terluka parah, ditawan oleh laskar samurai pimpinan Katsumoto dan dibawa ke wilayah laskar samurai. Siapakah yang merawat? Tak lain dan tak bukan adalah Taka, adik kandung Katsumoto. Taka merawat Kapten Algren padahal dia adalah orang yang telah membunuh Hirotaro, adik ipar Katsumoto alias suami si Taka. Bagaimana mungkin seorang pembunuh yang terluka dirawat oleh istri seseorang yang telah menjadi korban si pembunuh. Kalau di dunia nyata sekarang, rasanya hil yang mustahal (istilahnya pak Asmuni Srimulat alm)

Tapi mengapa si Taka bisa melakukannya. Karena ketaatannya pada perintah Katsumoto selaku pimpinan tertinggi laskar samurai, bagi Taka taat pada kakak/pimpinan merupakan sebuah kehormatan. Katsumoto punya visi ke depan bahwa Kapten Algren harus tetap hidup karena dari dialah Katsumoto akan belajar strategi perang modern. Taka juga melakukannya karena menyadari bahwa Hirotaro (suaminya) dan Kapten Algren merupakan orang-orang yang sedang melaksanakan tugas. Untuk itulah Taka dapat lapang dada memaafkan apa yang telah dilakukan Kapten Algren terhadap suaminya. Terbunuh di medan perang, bagi seorang samurai adalah kehormatan. Untuk itulah, meski hati remuk redam, meski awalnya sulit namun Taka tetap tekun merawat Kapten Algren hingga sembuh. Taat pada pimpinan, tak ada dendam dan teguh melaksanakan tugas meski berisiko, itulah moralitas.

Tak hanya itu, moralitas juga terlihat dari perbedaan sikap antara dua sahabat yang dahulunya sama-sama mengabdi pada kaisar, Katsumoto dan Jendral Hasegawa. Kalau Katsumoto keukeh menjadi samurai lantaran kecewa dengan sang kaisar yang tak peduli dengan rakyatnya, Hasegawa kekeuh menjadi jendralnya kaisar karena sumpah setianya pada kaisar. Pada dasarnya Katsumoto juga masih menghargai kaisar, namun berbagai saran yang telah disampaikannya sepertinya tak digubris oleh kaisar. Kaisar lebih menuruti pendapat Omura - penasehat kaisar - yang condong memilih memodernisasi kehidupan bangsa Jepang. Nah kalau Omura ini tampaknya menjadi tokoh antagonis pada film ini (kayaknya siy…).

Samurai-man pastilah orang-orang yang berani, gagah berjuang dalam peperangan, namun selama berada di desa samurai, Kapten Algren menemukan lebih dari itu. Berbagai sikap yang tak pernah dia temui misalnya sikap disiplin berlatih para samurai-man, ketaatan Taka pada pimpinan, menjunjung tinggi kehormatan, suasana desa yang tenang. Oleh karena itu, salah satu kalimat yang tercetus dari Kapten Algren mengatakan bahwa  “menjadi samurai adalah mengabdi pada seperangkat moral dan mencari keheningan untuk berpikir jernih”.

Di tengah-tengah hiruk pikuk berbagai kabar tentang korupsi (daging sapi, hambalang, century, simulator SIM), tentu tak ada salahnya kalau kita selalu ingat pada sebaris kalimat  “mengabdi pada seperangkat moral”. Itu.


Sumber :
http://hiburan.kompasiana.com/film/2013/05/15/the-last-samurai-film-penuh-moralitas

Artikel Terkait

1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon