Alloh yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali dengan hikmah yang agung. Alloh berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
 (Adz Dzariyat: 56). Mungkin kita sudah hafal tujuan tersebut karena 
sering kita dengar, tapi pernahkah terlintas di benak kita apakah ibadah
 kita itu diterima ataukah tidak? Maka, tidak ada seorang pun yang dapat
 menjamin hal ini, sehingga sudah seharusnya bagi tiap mukmin untuk 
beramal dengan senantiasa berharap dan cemas. Berharap agar ia mendapat 
ridho Alloh serta janji-janji yang sudah ditetapkan Alloh dalam Al 
Qur’an dan cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Dan janganlah ia 
berdecak kagum atas amal yang ia lakukan dan merasa bahwa ibadahnya 
pasti diterima.
Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah: 
‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
 perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam 
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat 
sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103, 104). Siapakah yang lebih rugi 
dari orang semacam ini? yang telah beramal dengan susah payah sewaktu 
masih hidup di dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Alloh
 Ta’ala.
Apakah Makna Ibadah?
Ibadah secara bahasa bermakna merendahkan diri dan tunduk.
 Sedang secara istilah, ulama banyak memberikan makna. Namun makna yang 
paling lengkap adalah seperti yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam 
Ibnu Taimiyah, yaitu: Suatu kata yang meliputi segala perbuatan dan perkataan; zhohir maupun batin yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh Ta’ala. Dengan demikian ibadah terbagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan.
Syarat Diterimanya Amal Ibadah
Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima bila memenuhi dua syarat, yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam). Kedua syarat ini terangkum dalam firman Alloh, “…Barangsiapa
 mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan 
amal yang sholih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam 
beribadat kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110). Beramal sholih 
maksudnya yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah 
diajarkan oleh Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah maksudnya  
mengikhlashkan ibadah hanya untuk Alloh semata.
Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, “(Tidak demikian) dan 
bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Alloh, sedang ia berbuat
 kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Robbnya dan tidak ada 
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
 (Al-Baqoroh: 112). Menyerahkan diri kepada Alloh berarti mengikhlashkan
 seluruh ibadah hanya kepada Alloh saja. Berbuat kebajikan (ihsan) berarti mengikuti syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat pertama 
(persaksian tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh semata). Sebab 
persaksian ini menuntut kita untuk mengikhlashkan semua ibadah kita 
hanya untuk Alloh saja. Sedang syarat kedua (mutaba’ah) adalah konsekuensi dari syahadat kedua (persaksian Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai hamba dan utusan-Nya).
Ikhlash dalam Ibadah
Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Alloh semata. 
Walaupun seseorang beribadah siang dan malam, jika tidak ikhlash 
(dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut. Alloh berfirman, “Padahal
 mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan 
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar 
mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah 
agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi hatinya, 
kemanakah maksud hati tatkala ia beribadah, apakah untuk Alloh, ataukah 
untuk selain Alloh. Perhatikanlah jenis amal-amal berikut:
Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya 
supaya dilihat makhluk atau karena tujuan duniawi. Amalan seperti ini 
hangus, tidak bernilai sama sekali dan pelakunya pantas mendapat murka 
Alloh. Amalan yang ditujukan kepada Alloh dan disertai riya’ dari sejak 
awalnya, maka nash-nash yang shohih menunjukkan amalan seperti ini 
bathil dan terhapus. Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai niat 
lain selain riya’. Seperti jihad yang diniatkan untuk Alloh dan
 karena menghendaki harta rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang 
pahalanya dan tidak sampai batal dan tidak sampai terhapus amalnya.
Amalan yang awalnya ditujukan untuk Alloh kemudian terbesit riya’ di tengah-tengah, maka amalan ini terbagi menjadi dua, jika riya’ tersebut terbersit sebentar dan segera dihalau maka riya’ tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Namun jika riya’
 tersebut selalu menyertai amalannya maka pendapat terkuat diantara 
ulama salaf menyatakan bahwa amalannya tidak batal dan dinilai niat 
awalnya sebagaimana pendapat Hasan Al Bashri. Namun dia tetap berdosa 
karena riya’nya tersebut dan tambahan amal (perpanjangan amal karena riya’)
 terhapus. Sedang amal yang ikhlash karena Alloh kemudian mendapat 
pujian sehingga dia senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidak 
berpengaruh apa-apa terhadap amalnya.
Beribadah Hanya Dengan Syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah
 merupakan sesuatu yang diridhoi Alloh, dan engkau tidak akan mengetahui
 apa yang diridhoi Alloh kecuali setelah Alloh kabarkan atau dijelaskan 
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh kebaikan telah diajarkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,
 tidak tersisa sedikit pun. Tidak ada dalam kamus ibadah sesorang 
melaksanakan sesuatu karena menganggap ini baik, padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala ditanya, “Mengapa engkau melakukan ini?” lalu ia menjawab, “Bukankah ini sesuatu yang baik? Mengapa engkau melarang aku dari melakukan yang baik?”
 Saudaraku, bukan akal dan perasaanmu yang menjadi hakim baik buruknya. 
Apakah engkau merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Ingatlah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Perhatikanlah, ibadah kita harus mencocoki tatacara Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hal:
Sebabnya. Ibadah kepada Alloh dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah
 dan tidak diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat tahajjud pada 
malam dua puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah 
malam Mi’roj Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam 
(dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajjud adalah ibadah tetapi karena 
dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan syari’at maka sholat karena
 sebab tersebut hukumnya bid’ah.
Jenisnya. Artinya 
ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya, contoh seseorang yang
 menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi 
syari’at dalam jenisnya. Jenis binatang yang boleh dijadikan kurban 
adalah unta, sapi dan kambing.
Kadar (bilangannya). 
Kalau ada seseorang yang sengaja menambah bilangan raka’at sholat zhuhur
 menjadi lima roka’at, maka sholatnya bid’ah dan tidak diterima, karena 
tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan roka’atnya. 
Dari sini kita tahu kesalahan orang-orang yang berdzikir dengan 
menenentukan jumlah bacaan tersebut sampai bilangan tertentu, baik dalam
 hitungan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka tidak 
mendapatkan apa-apa kecuali capek dan murka Alloh.
Kaifiyah (caranya). 
Seandainya ada seseorang berwudhu dengan cara membasuh tangan dan muka 
saja, maka wudhunya tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang 
ditentukan syariat.
Waktunya. Apabila ada
 orang menyembelih binatang kurban Idul Adha pada hari pertama bulan 
Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari’at menentukan penyembelihan 
pada hari raya dan hari tasyriq saja.
Tempatnya. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain Masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di Masjid.
Wahai saudaraku… Marilah kita wujudkan tuntutan dua kalimat syahadat 
ini, yaitu kita menjadikan ibadah yang kita lakukan semata-mata hanya 
untuk Alloh dan kita beribadah hanya dengan syari’at yang dibawa oleh 
Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam setiap 
tarikan nafas dan detik-detik kehidupan kita, semoga dengan demikian 
kita semua menjadi hamba-Nya yang bersyukur, bertaqwa dan diridhoi-Nya. Wallohu a’lam bish showaab.
Sumber :
http://muslim.or.id/aqidah/agar-ibadah-diterima-di-sisi-alloh.html
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon