Kesultanan Utsmaniyah
(1299–1923), atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman,
(Turki Utsmaniyah Lama: Devlet-i ʿĀliye-yi ʿOsmāniyye, Utsmaniyah Akhir
dan Turki Modern: Osmanlı Devleti atau Osmanlı İmparatorluğu, Bahasa
Arab: دولت عليه عثمانيه ,Daulat 'Aliah Utsmaniah) adalah negara
multi-etnis dan multi-religius. Negara ini diteruskan oleh Republik Turki yang
diproklamirkan pada 29 Oktober 1923.
Negara ini didirikan oleh Bani
Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin
oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa
negara kecil.
Kesultanan ini menjadi pusat
interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya,
Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel
(sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus
dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium.
Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan
utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.
Kekuatan Kesultanan Usmaniyah
terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar
runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah
yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi.
Kebangkitan Kesultanan (1299-1453)
Pada pertengahan abad ke-13, Kekaisaran Bizantium yang
melemah telah kehilangan beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu
kabilah ini berada daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin
oleh Osman I, anak dari Ertuğrul, yang kemudian mendirikan Kesultanan
Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Ertugrul bermigrasi ke
Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam
perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk).
Ertuğrul bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan
kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan
Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir. Sepeninggal Ertuğrul pada tahun
1281, Osman I menjadi pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah.
Osman I kemudian memperluas wilayahnya sampai ke batas
wilayah Kekaisaran Bizantium. Ia memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan
memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan
tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki
untuk hitam) atas keberaniannya, Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan
dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat
istilah di Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau
menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad
pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos
yang mana Osman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi
wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.
Pada periode ini terlihat terbentuknya pemerintahan
formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat
abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan
nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة), yang mana kelompok agama dan
suku minoritas dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan
kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.
Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan
Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan.
Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Pertempuran
Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut
dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke
Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium
terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan
kesultanan berkat serangan Tamerlane ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid
I sebagai tahanan.
Sepeninggal Tamerlane, Mehmed II melakukan perombakan
struktur kesultanan dan militer, dan menunjukkan keberhasilannya dengan
menaklukkan Kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453 pada usia 21 tahun.
Kota tersebut menjadi ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum Mehmed II
terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Korsika, Sardinia, dan Sisilia.
Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.
Perkembangan
Kerajaan (1453–1683)
Penaklukkan Konstantinopel oleh
Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut
sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini
Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah,
memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan,
angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang
kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah
jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
Kesultanan ini memasuki zaman
kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara
dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti
Safavi dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan
sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.
Pewaris takhta Selim, Suleiman
yang Agung (1520-1566) melanjutkan ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd
tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di
Eropa Tengah. Ia kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun
gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa
pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil
menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535, mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia
dan Teluk Persia.
Di bawah pemerintahan Selim dan
Suleiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan,
mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya
meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; evakuasi umat Muslim dan
Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol;
dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan
terakhir terjadi atas nama Perancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja
François I dan Hayreddin Barbarossa, admiral angkatan laut Turki saat itu. Perancis
dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas
kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada
masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi
antar Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Perancis hak untuk
melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu,
Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu
dengan Perancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg
Austria.
Pemberontakan dan Kebangkitan Kembali(1566–1683)
Sepeninggal Suleiman tahun 1566,
beberapa wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan
kerajaan-kerajaan Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa
ke Asia melemahkan perekonomian Kesulatanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan
struktur birokrasi warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan dibawah
pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi
kekuatan ekspansi yang besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 yang
menandakan berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.
Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha
mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah
dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua
baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan
mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap
semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.
Di Eropa Selatan, sebuah koalisi
antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk
mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania.
Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya
Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571
mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa
keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.
Di medan perang, Kesultanan
Utsmaniyah secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang
Eropa dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer
kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan
taktik militer di Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi
tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan
oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yanisari yang
melebihi pasukan militer lainnya.
Murad IV (1612-1640), yang
menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun 1639 dari kesultanan Safavi,
adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang
kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin
pasukannya maju ke medan perang.
Pemberontakan Jelali (1519-1610)
dan Pemberontakan Yenisaris (1622) mengakibatkan ketidakpastian hukum
dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan berhasil
menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 bukan hanya masa
stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan
Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas
yang baru, internal maupun eksternal.
Kesultanan Wanita (1530-1660)
adalah peridode di mana pengaruh politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di
mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem
Sultan yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh
perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan
bijaksana. Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan
menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan
terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode ini digantikan oleh Era
Köprülü (1656-1703), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali
dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh beberapa
Perdana Menteri (Grand Vizier).
Keadaaan Politik Menjelang Keruntuhan
Politik di sini dibagi jadi dua.
Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di
wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum,
menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan
syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam. Arti kedua
adalah politik luar negeri, (belum selesai)
Politik dalam negeri
Ada 2 faktor yang membuat khalifah Turki Utsmani
mundur:
- Pertama, buruknya pemahaman Islam.
- Kedua, salah menerapkan Islam.
Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat
kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini
tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena
jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah
terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan
kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis İbrahim Çelebi (1549)
sebagai pedoman dalam hal syariah dan muamalah sehingga administrasi negara
menjadi lebih mudah dan terstruktur rapi. Padahal khilafah Islam bukan negara
mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya
1 mazhab.
Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk
perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh
Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa
dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan
Suleiman yang Agung, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa
I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrahim bin Ahmed
(1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II
(1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I
(1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I
(1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yenisari-yang dibentuk Sultan
Orhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka
dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan
mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini
memicu pemberontakan kaum Druze yang dipimpin Fakhruddin II
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah
dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari
pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini
membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi
memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan
menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah
ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini
membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti
tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat
emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat
kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang
para diluncurkan khilafah
tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang kuruş di
abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada
paruh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300
juta lira.
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang
Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam
ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat
Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shahih
Bukhari di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788).
Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh
mazhab membaca kitab itu tiap hari.
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad ke-15,
Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad ke-16 saat
penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini
membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar
agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah
adanya Konferensi Westfalen (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti.
Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571),
khilafah hanya mempertahankan wilayahnya.
Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia
untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Karlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia,
Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas;
masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan
wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian
San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan
reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi
gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan
pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana
menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi
Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul
Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam
yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin
kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara
Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh
Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
Konfirasi Menghancurkan Khilafah
Gerakan misionaris
Di dalam negara, ahlu dzimmah-khususnya
orang Kristen-yang mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut
persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk
melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah
dengan Perancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa
ini, jumlah orang Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini
dimanfaatkan misionaris-yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta
dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka
menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773. Di tengah mundurnya
intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai kedok
gerakannya.
Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Perancis, dan Amerika
Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di
Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini
sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian
Ketimuran sejak abad ke-14.
Gerakan misionaris dan
orientalis itu merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di
Dunia Islam. Untuk menguasainya - meminjam istilah Imam al-Ghozali - Islam
sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan
pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran
Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan
memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah
lumpuh, sehingga agar bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif
untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan
patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput
dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz.
Gerakan nasionalisme dan separatisme
Nasionalisme dan separatisme
telah dipropagandakan negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, dan Rusia.
Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya
memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan
Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya saja, usaha
ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes Inggris dan
Perancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti Baghdad, Damsyik,
Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan
misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan
peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat Islam menjadi kafir dan
mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan
peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.
KeduBes negara Eropapun mulai
aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai
Desentralisasi yang diketuai Rofiqul 'Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan
Forum harfiah dibentuk. Inggris dan Perancis mulai menyusup ke tengah orang
Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab
berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan
di Konsulat Perancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada
khilafah yang didukung Inggris dan Perancis.
Di Markas Istambul,
negara-negara Eropa tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah
dan universitas lewat propaganda. Mereka ingin memukul
khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah
mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat
dan hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan Mustafa Reşid Pasha, MenLu zaman
Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga,
Naskah Terhormat (Kholkhonah) - yang dijiplak dari UU di Eropa -
diperkenalkan.
Tahun 1855, negara-negara Eropa-khususnya Inggris-memaksa khilafah Utsmani
mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat
Pasha, salah satu anggota Freemasonry diangkat jadi perdana menteri (1
September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi
Belgia. Inilah
yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi
ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan
melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari'at. Midhat Pashapun
dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang
berpusat di Salonika-pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908). Kholifah
dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin-mengumumkan UUD yang
diumumkan Turki Muda di Selanik, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam
khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan
syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke
Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.
Tampaknya Inggris belum puas
menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914)
dimanfaatkan Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gelibolu. Dari sinilah
kampanye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di
kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal
Pasha-yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915).
Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda
Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia
menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919
M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah,
sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina,
Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu
sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan
Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri
atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
Runtuhnya Khilafah Turki Ustmani
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara
sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris
menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup
kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya
mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan
kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal
Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri
sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di
Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau
kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan
khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan
khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan
Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan
membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus
pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini
diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang
diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha
mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang
dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen
sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang
telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan
Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak
menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan
taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik
ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem
pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus
dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha
mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat
kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari
negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
Respon Atas Runtuhnya Turki ustmani di Hindia Belanda (Indonesia)
Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah
komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh
Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan
wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres
khilafah di Kairo. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan
Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, yang
diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofdbestuur)
maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10
cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari
seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan
diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap
sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan
untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji
Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi.
Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan
Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan
ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat
mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni
mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan
pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa'ud], penguasa baru di Arab Saudi agar
kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan. Komite inilah yang diubah
namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari
1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama.
Pada tahun yang sama diselenggarakan Muktamar Alam
Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia
Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang
diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi. Pada tanggal 13-19 Mei 1926,
diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Hindia Belanda hadirlah H. Abdullah
Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan Kongres
Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni Tjokroaminoto
(Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka
ditetapkan pada Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan V di
Bandung (6 Februari 1926). Mereka berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan
kapal Rondo dan dielu-elukan masyarakat. Sesampai di Tanjung Priok banyak
pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan.
Pada tahun 1927 berlangsung Kongres Khilafah II di
Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI).
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon