Jumat, 29 Maret 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN KARATE




Ilmu beladiri sebenarnya sudah dikenal sejak manusia ada, hal itu dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan purbakala, diantaranya : senjata-senjatadari batu, lukisan-lukisan pada dinding goa yang menggambarkan pertempuranatau perkelahian dengan binatang buas menggunakan senjata seperti tombak,kapak batu, dan panah. Pada saat itu, beladiri bersifat untuk mempertahankandiri dari gangguan binatang buas atau alam sekitarnya. Setelah manusia berkembang, gangguanpun timbul tidak hanya dari binatang buas dan alam sekitarnya tapi juga dari manusia itu sendiri. Setelah Sidartha Gautama, pendiri Budha wafat, para pengikutnya mendapat amanat untuk mengembangkan ajaran Budha ke seluruh dunia.

Karena sulitnya medan yang dilalui, para pendeta dibekali ilmu beladiri. Sekitar abad ke-5, seorang pendeta Budha dari India yang bernama Bodhidharma(Daruma Daishi), mengembara ke China untuk menyebarkan dan membetulkanajaran Budha yang sudah menyimpang saat itu. Setelah ada selisih paham atauperbedaan pandangan dalam ajaran Budha dengan Kaisar Wu, Kaisar Kerajaan Liang waktu itu, Daruma Daishi kemudian mengasingkan diri di Biara Shaolin Tsu, di Pegunungan Sung, bagian selatan Loyang, Ibukota Kerajaan Wei.

Daruma Daishi melanjutkan pengajaran Agama Budhanya di biara itu, yangkemudian merupakan cikal bakal ajaran Zen. Di samping mengajarkan agama,beliau juga memberikan Buku Petunjuk mengenai Latihan Fisik kepada muridmuridnya.Buku Petunjuk itu juga mengajarkan teknik-teknik pukulan, yangbernama 18 Arhat. Berawal dari situ biara tersebut terkenal sebagai Shaolin Chuan, pusat beladiri di daratan China hingga sekarang.

Pada jaman Dinasti Sung (920-1279 M) muncul seorang ahli beladiri yang sangat terkenal, yaitu Chang Sang Feng (Thio Sam Hong), yang pada awalnya belajar beladiri di Shaolin Tsu, kemudian mengasingkan diri di Gunung Wutang (Butong) dan menciptakan gaya perkelahian yang khas dengan pribadinya, yang diberi nama Aliran Wutang. Perbedaannya, Shaolin Chuan hanya dipraktekan dalam biara shaolin oleh para pendetanya, sedangkan Aliran Wutang diperuntukkan kepada orang awam yang tidak ada ikatan dengan kuil manapun.

Aliran Wutang mengajarkan teknik menerima pukulan dengan gaya lemah gemulai, ada gerak melingkar yang luwes seperti air mengalir dan menyerang dengan gerakan ujung yang tajam, dengan satu kepastian atau satu kali pukul untuk mengakhiri perlawanan. Aliran ini mempunyai dampak yang luas dalam perkembangan beladiri di China, tersebar merata di seluruh China bagian utara, kemudian berkembang menjadi Taichi-Chuan, Hsingi-Chuan, dan Pakua-Chuan.

Banyak tokoh seni beladiri muncul di seluruh wilayah China dan menciptakan gaya serta alirannya masing-masing, gaya dan aliran tersebut dikembangkan menurut sifat dan kondisi lingkungan masing-masing. Bermacam gaya dan aliran yang ada pada umumnya dapat dibagi menjadi dua aliran pada umumnya, yaitu Aliran Utara dan Selatan. Aliran Utara berkembang di wilayah China Utara bagian hulu Sungai Yang Tse, dengan sifat dan kondisi daerah pegunungan. Wilayah ini banyak orang yang terlibat perburuan binatang dan penebangan kayu sebagai sumber nafkah, oleh karena itu aliran ini lebih menekankan pada gerakan yang lincah dan penggunaan teknik tendangan. Aliran Selatan berasal dari daerah China Selatan bagian hilir Sungai Yang Tse, beriklim sedang, banyak aliran sungai, dan masyarakat banyak yang mempunyai kegiatan perekonomian bercocok tanam, atau sebagai petani.


Rakyat setempat cenderung bertubuh gempal, kuat dan lebih berkembang pada badan bagian
atas karena bekerja di sawah dan mendayung perahu, hal ini dikarenakan banyaknya aliran sungai sebagai jalur transportasi utama. Aliran ini lebih menekankan pada gaya melentur dan penggunaan teknik tangan serta kepala.

Selama peralihan dari Dinasti Ming ke Dinasti Ching, sejumlah ahli beladiri China melarikan diri ke negara lain agar terbebas dari penindasan dan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang Manchu sebagai penguasa China saat itu. Akibatnya, ilmu beladiri tersebar ke berbagai negara lain seperti Jepang, Korea, Asia Tenggara, dan juga Kepulauan Okinawa.

Sampai abad ke-15 Kepulauan Okinawa masih terbagi menjadi 3 kerajaan dan pada tahun 1470 Youshi Sho dari golongan Sashikianji berhasil mempersatukan semua pulau di Kepulauan Okinawa dibawah kekuasaannya. Shin Sho sebagai penguasa ke-2 dari golongan Sho, menyita dan melarang penggunaan senjata tajam. Kemudian Keluarga Shimazu dari Pulau Kyushu berhasil menguasai Kepulauan Okinawa, tetapi larangan terhadap kepemilikan senjata tajam masih diberlakukan.

Akibatnya, rakyat hanya dapat mengandalkan pada kekuatan dan keterampilan fisik mereka untuk membela diri. Pada saat yang sama, ilmu beladiri China mulai diperkenalkan di Kepulauan Okinawa melalui para pengungsi China yang berdatangan. Pengaruh ilmu beladiri China sangat cepat berkembang di seluruh Kepulauan Okinawa. Melalui ketekunan dan kekerasan dalam berlatih, rakyat Okinawa berhasil mengembangkan sejenis gaya dan teknik perkelahian baru, yang akhirnya dapat melampaui sumber asli dari teknik-teknik setempat atau aliran yang berasal dari Okinawa itu sendiri, yaitu seni beladiri Okinawa-te (Tode atau Tote). Tode/Tote atau te yang artinya tangan, merupakan suatu seni beladiri tangan kosong atau tanpa menggunakan senjata yang telah mengalami perkembangan selama berabad-abad di Okinawa.

Peraturan pelarangan penggunaan senjata tajam masih tetap diberlakukan oleh Keluarga Satsuma dari Kagoshima setelah mereka memegang kendali pemerintahan atas Okinawa pada tahun 1609, bahkan keluarga itu juga melarang keras latihan-latihan Tote, sehingga menyebabkan latihan-latihan Tote, yang menjadi alat terakhir untuk membela diri, dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan penuh rahasia. Orang Okinawa kemudian mengembangkan seni perkasa ini menjadi beladiri yang betul-betul mematikan dan dapat digunakan untuk membebaskan mereka dari penindasan saat itu.

Karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan penuh rahasia hingga ada keluarga yang tidak tahu jika di antara anggota keluarganya melakukan latihan beladiri ini. Keadaan seperti itu berlangsung hingga tahun 1905 ketika Sekolah biasa di Shuri dan Sekolah Menengah Pertama dari Propinsi, menetapkan Karate sebagai mata pelajaran resmi untuk Pendidikan Jasmani.

Kekuatan yang membinasakan dari karate mulai dikenal di kalangan tertentu dengan istilah Reimyo Tote (Karate Ajaib) dan Shimpi Tote (Karate penuh rahasia). Karena sifatnya yang penuh rahasia sehingga upaya untuk mempopulerkan pada masyarakat umum mengalami kesusahan. Tahun 1921, Gichin Funakoshi (1886-1957), orang dari Suri, berhasil memperkenalkan beladiri Tote di Jepang. Peristiwa itu menandai dimulainya pengalaman baru beladiri Tote secara benar dan sistematis. Tahun 1929, GichinFunakoshi mengambil langkah-langkah revolusioner dalam perjuangannya yang ulet dan pantang menyerah untuk mengubah Tote menjadi Karate-do, sesuai karakter dan aksen masyarakat Jepang.

Dengan demikian Tote atau Karate telah mengalami perubahan dari segi penampilan maupun isinya. Teknik asli Okinawa menjadi suatu seni perkasa Jepang baru. Dari situ kemudian timbul istilah baru, yaitu “Kime” sebagai pengganti “Ikken Hisatsu” atau Kill with One
Blow (sekali pukul roboh). Pada era 1920-an dan permulaan tahun 1930-an, seni beladiri ini tambah disenangi oleh semua lapisan masyarakat di Jepang, antara lain ; pakar hukum, seniman, pengusaha dan tak terkecuali para pelajar atau mahasiswa. Mereka sangat tertarik dan bersemangat dalam mempelajari seni perkasa ini.

Populernya karate di kalangan pelajar/mahasiswa sangat menguntungkan bagi perkembangan karate dan membantu merubah pandangan masyarakat dari karate ajaib dan penuh rahasia menjadi karate modern. Atas usahanya itu, Gichin Funakoshi kemudian diberi gelar “Bapak Karate Modern”. Masatoshi Nakayama, salah seorang murid Gichin Funakoshi, turut mempopulerkan beladiri ini. Dalam mengajarkan karate, beliau menggunakan metode yang sistematis sehingga dapat lebih diterima oleh nalar. Karate juga dapat dipertandingkan seperti olahraga lain dengan tetap tidak mengabaikan unsur beladirinya, asal dilakukan dengan benar.

Dalam bukunya “The Best Karate”, beliau berpesan : “Bila suatu pertandingan karate diselenggarakan, hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan semangat yang benar, nafsu untuk memenangkan pertandingan semata-mata hanya akan menghasilkan ketidaksungguhan dalam mempelajari karate, sehingga menjadi buas dan lupa sikap hormat pada lawan”. Padahal sikap hormat itulah yang merupakan hal terpenting dalam setiap pertandingan karate-do. Menentukan siapa yang menang/kalah bukan merupakan tujuan akhir karate-do melainkan pembinaan mental melalui latihan-latihan tertentu sehingga seorang karate-ka mampu mengatasi segala rintangan hidup.

Secara harfiah Karate-do dapat diartikan sebagai berikut ; Kara = kosong, cakrawala, Te = tangan atau seluruh bagian tubuh yang mempunyai kemampuan, Do = jalan. Dengan demikian Karate-do dapat diartikan sebagai suatu taktik yang memungkinkan seseorang membela diri dengan tangan kosong tanpa senjata. Setiap anggota badan dilatih secara sistematis sehingga suatu saat dapat menjadi senjata yang ampuh dan sanggup menaklukan lawan dengan satu gerakan yang menentukan. Beladiri karate merupakan keturunan dari ajaran yang bersumber agama Budha yang luhur.

Oleh karena itu, orang yang belajar karate seharusnya rendah hati dan bersikap lembut, punya keyakinan, kekuatan dan percaya diri. Sekarang ini karate hampir mencapai titik puncak penyempurnaan dan penyebaran di seluruh belahan dunia. Bahkan di luar Jepang, di negara Eropa, Amerika dan Asia sudah menyamai Jepang dalam tingkat kemampuan bertandingnya, tak terkecuali Indonesia.

Di Indonesia, karate masuk bukan dibawa oleh tentara Jepang melainkan dibawa oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studinya di Jepang. Tahun 1963 beberapa mahasiswa Indonesia antara lain ; Baud AD Adikusumo, Muchtar dan Karyanto mendirikan Dojo di Jakarta. Merekalah yang pertama memperkenalkan karate (aliran Shoto-kan) di Indonesia.

Selanjutnya mereka membentuk wadah yang diberi nama PORKI. Beberapa tahun kemudian berdatangan alumni Mahasiswa Indonesia dari Jepang seperti : Setyo Haryono (pendiri Gojukai), Anton Lesiangi (salah satu pendiri Lemkari), Sabeth Muchsin (salah satu pendiri Inkai) dan Choirul Taman turut mengembangkan karate di tanah air. Di samping alumni Mahasiswa, orangorang Jepang yang datang ke Indonesia dalam rangka bisnis ikut pula memberi warna bagi perkembangan karate di Indonesia. Mereka antara lain : Matsusaki (Kushinryu-1966), Oyama (Kyokushinkai-1967), Ishi (Gojuryu-1969) dan Hayashi (Shitoryu-1971).

Artikel Terkait

1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon