Kamis, 28 Maret 2013

MASA KECIL RASULULLAH SAMPAI MASA KENABIAN


MASA KANAK-KANAK
Menurut sebagian besar ulama, Muhammad (SAW) dilahirkan di kota Makkah pada Senin pagi di hari ke-sembilan bulan Rabiul Awal (kira-kira tanggal 20 atau 22 April 571 M), kira-kira 50 atau 55 hari setelah peristiwa kehancuran pasukan bergajah yang sedang bergerak menuju Baitullah di kota Makkah. Kakek beliaulah yang memberikan nama Muhammad (SAW). Beliau adalah bagian dari suku Quraisy yang dihormati. Namun demikian, keluarga beliau sangatlah miskin. Ayahanda beliau, Abdullah, telah wafat sebelum beliau dilahirkan.

IBU-SUSU
Sesuai dengan tradisi Arab, sekelompok perempuan dusun datang ke kota Makkah untuk menjual jasa menyusui bayi. Kebanyakan dari mereka mencari bayi dari keluarga kaya. Tak satupun dari mereka peduli untuk menyusui bayi Muhammad (SAW) lantaran ia yatim dan dari keluarga yang sangat miskin. Akhirnya, Halimah bersedia menjadi ibu-susunya dengan harapan keluarganya dapat membina hubungan baik dengan suku Quraisy. 

Dalam perjalannya kembali kerumah, banyak hal istimewa yang dialaminya;
1.      Keledai kurus dan lemah yang dikendarai Halimah dan bayi Muhammad (SAW) berubah menjadi kuat dan cepat langkahnya, sehingga meninggalkan rombongannya jauh di belakang.
2.      Halimah ketika itu sedang tidak keluar air-susunya, sehingga anaknya sendiri pun menangis semalaman karena tak mandapatkan air susu. Ketika ia memberikan giliran menyusui kepada bayi Muhammad (SAW) ia dapati air-susunya mencukupi untuk diberikan kepada bayi Muhammad (SAW) dan juga untuk anaknya sendiri. Setelah itu kedua bayi itupun tertidur nyenyak.
3.      Onta betina milik Halimah pun telah beberapa hari tidak menghasilkan air susu. Setelah diambilnya bayi yatim Muhammad (SAW) sebagai bayi-susuannya, suami Halimah mendapati bahwa onta betina mereka begitu banyak mengeluarkan air susu. Halimah dan suaminya pun meminum susu onta ini hingga kenyang sehingga mereka bisa tidur nyenyak.
4.      Lahan mereka yang biasanya tandus ditumbuhi rerumputan menghijau sehingga ternak mereka bisa merumput sebanyak-banyaknya. Telah banyak keberkahannya Bayi Muhammad (SAW) bagi keluarga ini. Setelah berumur dua tahun, sang bayi diantarkan kembali kepada ibundanya. Kepada Aminah, ibunda Muhammad (SAW), mereka meminta ijin untuk diperbolehkan mengasuh sang bayi di pedesaan selama dua atau tiga tahun lagi. Aminah menyetujui permintaan mereka.

Disebutkan dalam hadits Muslim, diriwayatkan oleh Anas (RA), suatu hari si kecil Muhammad (SAW) sedang bermain bersama anak-anak sebayanya. Malaikat Jibril (AS) datang, membelah dada Muhammad (SAW) dan mengeluarkan hatinya. Jibril membuang sebuah gumpalan darah seraya berkata, "Gumpalan ini adalah bagian dari setan yang ada pada dirimu." Selanjutnya Jibril (AS) mencuci hati itu dengan air Zam-Zam kemudian mengembalikannya ke dalam dada Muhammad (SAW). Teman-teman bermain Muhammad (SAW) mengadukan kepada Halimah bahwa seseorang telah membunuh Muhammad (SAW). Halimah pun bergegas menuju tempat anak-anak itu bermain dan mendapati Muhammad (SAW) dalam keadaan baik-baik saja, hanya saja nampak pucat. Setelah kejadian ini Halimah menjadi selalu khawatir atas keselamatan anak asuhnya ini. Maka iapun mengembalikan Muhammad (SAW) kepada Ibundanya.

ANAK YATIM YANG LEMAH
Muhammad (SAW) tinggal bersama ibundanya hingga mencapai usia 6 tahun. Aminah tak memiliki apapun untuk menghidupi diri dan anaknya. Iapun pulang ke kota Madinah, tempat dimana keluarganya tinggal agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka ala kadarnya. Di Madinah, Aminah jatuh sakit. Tak berapa lama berselang iapun wafat dan dimakamkan di sebuah dusun bernama Abwa.

Jadilah Si kecil Muhammad (SAW) yatim-piatu. Ia pun sedih, menyendiri dan tak ada gairah bermain dengan teman-temannya. Selera makannya pun hilang dan kian hari kian bertambah lemah. Para sanak-saudaranya mengantarkannya kepada kakeknya, Abdul Muththalib. Sang kakek meninggal dunia di usia 110 Tahun. Sekali lagi Muhammad (SAW) kecil kembali tanpa daya di usianya yang ke-10. Pengasuhan dirinya dilanjutkan oleh sang Paman Abu Thalib di rumahnya.

Abu Thalib dikenal sebagai orang baik dan salah seorang pemuka suku Quraisy. Namun ia pun sangat miskin sehingga tak mampu menanggung beban keluarganya yang besar. Muhammad (SAW) terpaksa mencari pekerjaan sebagai buruh; di usianya yang baru sepuluh tahun; agar dapat menghidupi dirinya sendiri. Mulailah ia menjadi penggembala ternak milik orang lain, di daerah gurun Makkah yang amat sangat panas. Ia makan dari tetumbuhan liar yang terdapat di gurun dan meminum susu dari kambing atau domba yang di gembalakannya. Dengan bertelanjang kaki dan mengenakan pakaian yang tak cukup untuk sekedar menutupi tubuhnya, ia habiskan waktu seharian di gurun pasir. Biasanya ia kembali ke rumah sang paman di malam hari untuk sejenak bermalam disana.

Di gurun pasir itulah ia menghayati bentuk alamiah dari kehidupan. Kesulitan hidup, kesendirian, dan rasa tanggung-jawab menjadikannya lebih matang daripada usianya. Sang paman yang pedagang terkesan dengan kecerdasan dan kematangan keponakannya. Maka ketika Muhammad (SAW) berusia 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya dalam perjalanan dagang ke Syria.

SARAN SEORANG PENDETA
Ketika kafilah dagang mereka sampai di kota Basra di wilayah Syria Besar, seorang pendeta terkenal di masa itu, Buhairah, menghampiri Abu Thalib dan mengatakan, "Aku mengenali anak muda ini, sebagai sosok yang kelak akan dinobatkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Hal ini tetulis jelas dalam kitab-kitab kami." Buhairah selanjutnya menyarankan kepada Abu Thalib, “Lindungi anak muda ini dari orang-orang Yahudi, lebih baik bawa ia kembali ke Makkah.”Abu Thalib menuruti saran sang pendeta tersebut.

REMAJA TELADAN
Kala itu belum ada sistem kepolisian maupun peradilan. Masing-masing suku menyelesaikan persoalan diantara mereka menurut cara mereka sendiri. Jika suku yang lemah diperlakukan sewenang-wenang oleh seorang dari suku yang berkuasa, suku yang lemah hanya bisa terdiam seribu-basa. Sebagai contoh, seorang lelaki kaya mengambil paksa anak perempuan pengunjung Makkah yang miskin, maka sang ayah tidak mempunyai jalan keluar untuk mendapatkan kembali anak gadisnya.

Remaja Muhammad (SAW) tidak senang dengan kekacauan tatanan demikian. Dikumpulkannya beberapa pemuda dan dibentuknya satuan sukarelawan untuk melawan kejahatan. Mereka memberi dukungan kepada suku-suku yang miskin dan lemah. Kelompok ini sangat berhasil dalam mencapai berbagai tujuan/sasarannya. Hal ini bukanlah sebuah langkah biasa. Langkah ini dengan cepat membawa perubahan total pada tatanan peradilan di Makkah, dan penghargaan masyarakat pun tertuju kepada remaja Muhammad (SAW).

PEDAGANG YANG JUJUR
Kejujuran, perilaku sopan-santun, kerja keras, dan kecerdasan pemuda Muhammad (SAW) merebut hati setiap orang. Hampir seluruh orang Quraisy adalah pedagang. Khadijah (RA) adalah seorang janda kaya. Ia meminta Muhammad (SAW) untuk memasarkan barang-barang dagangannya ke Syria.

Seorang pendeta yang lain berkata kepada Muhammad (SAW) bahwa, kelak ia akan menghapuskan penyembahan berhala dan menyerukan agama yang benar. Muhammad (SAW) kembali ke Makkah dengan membawa laba penjualan yang melimpah. Khadijah (RA) pun mengutus lagi misi perdagangan untuk kedua kalinya, dan sekali lagi misi ini menghasilkan laba yang menggembirakan. Maisarah, pelayan Khadijah (RA), menyertai Muhammad (SAW) dalam dua perjalan dagang itu. Ia menuturkan secara rinci berbagai kualitas yang dimiliki oleh Muhammad (SAW) kepada Khadijah (RA). Muhammad (SAW) adalah juga seorang pemuda yang menarik. Ketika itu Khadijah (RA) telah berusia 40 tahun, ia sangat tertarik dengan pribadi Muhammad (SAW) yang baru berusia 25 tahun, dan berkeinginan menikah dengannya. Maka, iapun menitip pesan kepada Maisarah untuk Muhammad (SAW). Namun setelah pesan disampaikan, Maisarah kembali kepadanya tanpa membawa jawaban.

Maka ia meminta bantuan teman dekatnya, Nafisah untuk menyampaikan pesan yang sama kepada Muhammad (SAW). Nafisah pun menyampaikan maksud hati Khadijah dan memberikan motivasi kepada Muhammad (SAW) agar bersedia menikahi Khadijah (RA). Akhirnya gayung bersambut, Muhammad menerima lamaran Khadijah dan merekapun menikah. Setelah menikah, Muhammad (SAW) mengambil dua hal penting.

Pertama, Muhammad (SAW) hendak menolong pamannya, Abu Thalib, yang miskin. Maka diambilnya anak sang paman, yakni Ali bin Abi Thalib (RA), untuk diasuh dan dibesarkannya.

Kedua, Khadijah (RA) menghadiahinya seorang budak yang ketika itu masih beragama nasrani dan berasal dari Syria, yaitu Zaid bin Harits (RA). Muhammad (SAW) memerdekakannya. Zaid (RA) pun sangat mengagumi kepribadian Muhammad (SAW), maka ia menolak kembali kepada orangtuanya dan rememilih menghabiskan sisa umurnya menemani Muhammad (SAW).

KETURUNAN DARI KHADIJAH (RA)
Keturunan pertama Muhammad (SAW) dari Khadijah (RA) adalah seorang putra yang diberi nama Qasim; ia meninggal dunia di usia kanak-kanak. Demikian juga dua putra beliau yang lain pun meninggal semasa kanak-kanak. Keturunan beliau besama Khadijah (RA) yang tumbuh dewasa adalah empat orang putri. Mereka adalah, Ruqayyah (RA), Zainab (RA), Umi Kulsum (RA) dan Fatimah (RA).

PRIBADI YANG TERPERCAYA (AL-AMIN)
Ketika Muhammad (SAW) berusia 35 tahun, terjadi dua bencana di Makkah. Pertama, terjadi kebakaran pada Ka’bah. Kedua, Banjir akibat hujan meruntuhkan sebagian dari Ka’bah. Pembangunan kembali Ka’bah dilakukan oleh suku Quraisy. Perselisihan tajam terjadi diantara sepuluh kelompok dalam suku Quraisy, ini terjadi karena masing-masing kelompok menginginkan kelompoknyalah yang mendapat kehormatan meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempatnya semula di dinding Ka’bah.

Pertumpahan darah nyaris terjadi sebagai pilihan penyelesaian perselisihan ini. Namun, akhirnya mereka sampai pada kesepakatan bulat untuk menyerahkan urusan ini kepada Muhammad (SAW), mengingat bahwa diantara seluruh penduduk Makkah, beliau dikenal sebagai sosok yang paling jujur dan condong pada berlaku adil. Berbekal kecerdasan akal budi dan pandangan yang jauh ke depan, Muhammad (SAW) dapat dengan singkat menyajikan jalan keluar atas persoalan yang diperselisihkan.

Dimintanya selembar kain dan dibentangkannya kain ini diatas tanah. Kemudian, diletakkanlah Hajar Aswad di atas kain ini, dan masing-masing pimpinan kelompok secara bersama memegang lembaran kain dan mengangkatnya ke dekat dinding Ka’bah. Kemudian Muhammad (SAW) dengan tangannya sendiri meletakkan kembali Hajar Aswad pada tempatnya semula di dinding Ka’bah.

WAHYU PERDANA
Muhammad (SAW) memiliki kebiasaan merenung di sebuah goa yang disebut goa Hira’. Di usianya yang ke-40, suatu hal luarbiasa terjadi ketika beliau sedang berada di goa ini. Malaikat Jibril (AS) hadir disini dan meminta Muhammad (SAW) untuk membaca (dalam bahasa Arab; Iqra’! = bacalah!).

Muhammad (SAW) pun menjawab, "Aku tak bisa membaca." Jibril (AS) memeluknya dengan erat dan berkata sekali lagi, “Iqra!” Muhammad (SAW) pun menjawab lagi, "Aku tak bisa membaca." Jibril (AS) memeluknya lagi dengan sangat erat dan berkata untuk ke-tiga kali-nya, “Iqra!” " Akhirnya, Muhammad (SAW) sanggup mengikuti bacaan malaikat Jibril yang mengumandangkan lima ayat pertama Surah Al-Alaq berikut ini (Al-Alaq, Ayat 1-5):

Artinya :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

DUA PELAJARAN PENTING
Pertama, Kalimat pertama wahyu ini; Iqra’ (yang berarti “Bacalah”); menghadirkan arti penting dalam pendidikan dan dakwah Islam. Sebagian ulama berpendapat bahwa menuntut ilmu Islam adalah kewajiban setiap Muslim (fardu’ ain).

Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat dimana Allah (SWT) memerintahkan kita untuk mendahulukan mempelajari fakta-fakta atau mencari ilmu pengetahuan, untuk selanjutnya mempraktekkannya sesuai dengan pemahaman tentangnya.

Ini berarti, bahwa pengetahuan atas prinsip-prinsip Islam harus terlebih dahulu dikuasai oleh seseorang sebelum ia menerapkannya. Melaksanakan Islam tanpa didasari pengetahuan tidak sepatutnya dilakukan. Islam adalah satu-satunya agama yang mengedepankan pentingnya pendidikan dan pemahaman semenjak awal kehadirannya.

Kedua, setiap insan Muslim haruslah memulai segala sesuatu yang dilakukannya dengan menyebut nama Allah (SWT) [Basmallah]. Ini bermakna bahwa ia mengarahkan perhatian dan mengedepankan penghargaan kepada Allah (SWT). Contohnya, ketika seorang Muslim memulai makan dengan membaca basmallah, ia menyadari bahwa bermacam-macam zat yang terkandung didalam makanannya tercipta, terkandung gizi, terpelihara, dan tersedia atas ke-Maha-Pemurahan Allah (SWT). Sesungguhnya perbuatan ini pada diri orang beriman membedakannya dari orang kafir, dan juga menjadi indikator kemurnian dan kekuatan imannya sebagai Mukmin.

Allah (SWT) telah mengajarkan dua pelajaran penting ini kepada Rasulullah (SAW) dan para pengikutnya sejak tahap paling awal dari turunnya wahyu kepada Muhammad (SAW).

SEORANG ISTRI YANG LUAR BIASA
Setelah wahyu pertama di goa Hira’, Muhammad (SAW) kembali ke rumah dengan membawa pengalaman yang tidak biasa ini dan beliau sangat cemas terhadap keselamatannya. Istri beliau, Khadijah (RA), menghibur dan menenteramkannya, juga meyakinkannya bahwasanya Allah (SWT) tak akan memperlakukan sesuatu yang membahayakannya mengingat bahwa beliau (SAW) berperilaku sangat mulia. Khadijah menambahkan pula, “Engkau memiliki hubungan baik dengan saudara-saudaramu sedarah, engkau menolong yang lemah dan yang miskin, dan engkau sangat ramah-tamah. Engkau menjunjung tinggi kebenaran”. Demikianlah, Khadijah (RA) bukan hanya sosok perempuan yang tulus, cerdas, dan seorang istri ideal, iapun seorang Muslim pertama yang menerima dengan sepenuh hati apapun yang telah diwahyukan kepada Muhammad (SAW).

Untuk lebih menenteramkan hati sang suami, Khadijah (RA) mengajak Muhammad (SAW) mengunjungi sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang memeluk dan mengamalkan agama Nasrani yang benar. Setelah menyimak penuturan Muhammad (SAW), Waraqah berkata, "Malaikat yang telah menjumpaimu itu adalah juga yang dahulu datang kepada Musa (AS) menyampaikan firman Allah (SWT). Semoga saya masih hidup ketika kelak terjadi peristiwa dimana masyarakat mengusirmu dari tanah kelahiranmu sendiri." Muhammad (SAW) bertanya, "Akankah mereka benar-benar mengusirku?" Waraqah berkata, "Masyarakat selalu bersikap tak bersahabat terhadap seorang pembawa risalah seperti dirimu." Beberapa hari setelah pertemuan itu Waraqah pun wafat.

Khadijah (RA) menyerahkan seluruh harta dan berbagai sumber-daya yang dimilikinya mengikuti arahan Nabi Muhammad (SAW) demi menegakkan Islam. Ia tegar berdiri di sisi sang suami dalam senang maupun susah. Sebagai contoh, ketika para penyembah berhala di Makkah melancarkan boikot sosial dan ekonomi kepada warga Bani Hasyim dan Bani Al-Muthalib yang berlangsung selama tiga tahun. Kesulitan hidup pun semakin tak tertahankan. Para pengikut Nabi (SAW) terpaksa harus mengkonsumsi dedaunan tumbuhan liar dan kulit hewan untuk bertahan hidup. Erangan tangisan anak-anak tak henti-hentinya karena sakit menahan lapar. Khadijah (RA) yang sebelum masa boikot adalah warga kaya dan hidup nyaman, bersama sang suami pun ikut tak luput merasakan penderitaan sebagaimana yang lain selama masa boikot itu.

Dua orang anak perempuan Khadijah dipaksa bercerai oleh kaum kafir, sebagai sarana menambah kepedihannya dalam penderitaan itu. Merasa belum puas dengan perlakuan itu, putrinya yang bernama Raqayyah, yang dinikahi Utsman bin Affan (RA) dijadikan sasaran berikutnya. Pasangan ini bahkan disiksa jauh lebih parah sehingga mereka hijrah ke Habsyah.

Allah (SWT) menyukai keteguhan iman, ketabahan, kesetiaan, dan ketulusan Khadijah (RA). Didalam hadits Bukhari, dirawayatkan oleh Abu Hurrairah (RA), suatu hari malaikat Jibril (AS) sedang duduk bersama Nabi Muhammad (SAW); Jibril (AS) berkata kepada Nabi (SAW), "Khadijah (RA) sedang mendatangimu dengan membawa makanan didalam sebuah kemasan. Manakala ia tiba, sampaikanlah salam Allah (SWT) dan salamku kepadanya. Berilah kabar gembira kepadanya tentang sebuah rumah berhiaskan aneka batu permata disediakan untuknya di Surga Firdaus. Suasana disana amatlah tentram dan damai, tiada kegaduhan dari apapun juga. Ia sedikitpun takkan mengalami kesulitan dan kepayahan di rumahnya didalam Surga.” Betapa ia seorang perempuan istimewa dan ditinggikan derajatnya. Jika para Muslimah mampu menerapkan ketulusan dan kesabaran serupa terhadap para suami mereka, Allah (SWT) pun akan memberikan ganjaran serupa kepada mereka.

WAHYU BERIKUTNYA YANG MENGGETARKAN
Wahyu ke-dua yang diturunkan adalah, tujuh ayat pertama dari surat Al-Muddatstsir. Setiap ayatnya begitu singkat namun sangat bertekanan dan bermakna sangat dalam.
Surah Al-Muddatstsir, Ayat 1-7:

Artinya :
1.      Hai orang yang berkemul (berselimut), [Wahai engkau Muhammad (SAW). Engkau sedang beristirahat dengan nyaman, bangkitlah untuk berjuang atau berjihadlah untuk menegakkan kalimat Allah (SWT)].
2.      Bangunlah, lalu berilah peringatan! [Bangunlah dan peringatkanlah manusia perihal akibat perilaku mereka yang menentang Allah (SWT). Didalam kalimat ini terkandung peringatan akan datangnya Hari Kiamat.]
3.      Dan Tuhanmu agungkanlah. [Tegakkanlah Keagungan Tuhanmu di bumi ini. Berbagai bentuk perlawanan terhadap risalah ini hendaklah kamu tumbangkan]
4.      Dan pakaianmu bersihkanlah, [Peliharalah kebersihan dirimu baik luar maupun dalam, juga jiwamu, yang mana hal ini dengan sendirinya menjadi daya-tarik terhadap orang lain kepadamu.]
5.      Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, [Jauhkan dirimu dari penyembahan terhadap berhala-berhala.]
6.      Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. [Janganlah berharap balasan yang besar atas setiap pengorbanan yang engkau telah lakukan. Teruslah berjuang dengan semangat untuk melakukan pengorbanan yang lebih besar lagi.]
7.      Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. [Hadapilah semua tantangan terhadap risalah yang engkau emban dengan penuh kesabaran untuk menggapai ridha Allah (SWT).]

Ayat-ayat diatas menyatakan tujuan dan sasaran risalah baru ini (Islam), jangka pendek dan jangka panjang. Pergerakan ini bukan hanya bersifat religius namun juga mencakup aspek sosial dan ekonomi. Dengan demikian Nabi Muhammad (SAW) telah diutus untuk melaksanakan perubahan/revolusi simultan dibidang agama, sosial dan ekonomi.

Artikel Terkait

1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon