Kekhalifahan Abbasiyah (Arab:
الخلافة العباسية, al-khilāfah
al-‘abbāsīyyah) atau Bani Abbasiyah (Arab: العباسيون, al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad
(sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan
dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan
tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya
dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Bani
Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu
Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke
dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus
ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah
naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara
kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150
tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan
kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan.
Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb
dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258
disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan
Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di
perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah
termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di timur laut Tikrit,
Iraq sekarang.
Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit
dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan
kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan
ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah
berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang
kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali
kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya
Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika
orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk
di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan
tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa
pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat
disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah
mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya
sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika
Utara.
Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya.
Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya
telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani
Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani
Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian
mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya
dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Menuju Puncak Keemasan
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah
sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah.
Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik,
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima
periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
- Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai
masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun
setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini
sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu
Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama
dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya,
tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu
disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya
sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir
dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim
al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani
pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah,
dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang
baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.
Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga
eksekutif dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru
dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir
pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia
juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan
tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah
sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan
pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali
daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan
memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia
pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan
mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine
V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut
Kaspia, Turki di bagian lain Oxus, dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali
berubah. Dia berkata:
“
|
Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya
saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
|
”
|
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya
dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa'
al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah,
khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar takhta", seperti
al-Manshur, dan belakangan gelar takhta ini lebih populer daripada nama yang
sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah
diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak
keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi
(775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun
(813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil
(847-861 M).
Pada masa al-Mahdi
perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi
dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.
Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di
zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun
(813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan
farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di
samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan
berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai
khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani,
ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain
yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak
mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan
tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi
peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktek orang-orang muslim
mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani
Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak
tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan
Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan
sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika
Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antarbangsa dan
aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode
pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada
perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak
terdapat di zaman Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan
kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan
tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas
sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah
mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di
samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan
berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh
perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku
sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping
itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju
tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang
tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi
al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi
dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode
rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits
dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi,
(tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan
ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama
dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat
memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767
M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi
di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena
itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits.
Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman
Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah
(713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat
dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah
(767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang
mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta
memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman
para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam
dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping empat
pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para
mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan
madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran
dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani
Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi
perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di
ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih
kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas
periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa
pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran
Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan
al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang
teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir
pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini
terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama
berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada
masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas
dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam
perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran,
filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari
sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang
dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi
dan Ibnu Sina.
Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga
seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di
antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi
kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami,
yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang
menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut
teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke
mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa
logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak
dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad
ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang
menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr
wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga
ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa
Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara
lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku
tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap
filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat,
yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat
lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang
filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada
masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di
bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah
diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani,
Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di
antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan
yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani
dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan
mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal
di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika,
dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya
diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang
pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring
dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa
keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya
terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode
ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran. Wallahul
Musta’an.
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon