“Aku melihatmu wahai Abu
Abdirrahman dalam mimpi, engkau shalat di Ka’bah dan Nabi berada di pintunya,
beliau bersabda kepadamu, ‘Bukalah penutup mukamu dan terangkanlah bacaanmu
wahai Thaawus’” (Mujahid)
Hampir saja khalifah
muslimin Sulaiman ibn Abdul Malik sampai dan menetap di ujung al-Baitul ‘Atiq (Ka’bah)
dan membasahi kerinduannya kepada Ka’bah yang agung hingga ia menoleh kepada
penjaganya dan berkata, “Carilah seorang alim untuk kita yang dapat memberikan
pemahaman agama kepada kita dan mengingatkan kita pada hari yang mulia dari
hari-hari Allah ini.”
Penjaga tersebut pergi
memandangi wajah-wajah Ahlul Mausim (kumpulan orang yang berhaji), dan mulai
menanyai mereka tentang keinginan amirul mukminin, lalu ada yang memberitahukan
kepadanya, “Ini Thaawus ibn Kaisan, Ahli fiqih masanya, orang yang paling jujur
bahasanya dalam berdakwah kepada Allah, ambillah ia.!”
Penjaga tersebut menemui
Thaawus dan berkata, “Penuhilah undangan amirul mukminin wahai syaikh.”
Thaawus memenuhi
undangan tanpa berlambat-lambat, hal itu karena ia meyakini bahwa wajib bagi
para dai kepada Allah ta’ala agar memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan
kepadanya di mana mereka pasti sesegera mungkin mengambil kesempatan itu. Ia
meyakini bahwa kalimat yang paling afdhal (utama) adalah Kalimatul Haq
(Perkataan benar) yang diharapkan dapat meluruskan kebengkokan para pemimpin
dan menjauhkan mereka dari kezhaliman serta mendekatkan mereka kepada Allah
ta’ala.
Thaawus pun pergi
bersama penjaga. Ketika masuk menemui amirul mukminin, ia menyalaminya.
Khalifah membalas salamnya dengan yang lebih baik dari itu dan memuliakan
penyambutannya dan mendekatkan majlisnya.
Ia (khalifah) mulai
menanyainya tentang apa yang musykil (pelik) dari manasik-manasik haji dan ia
(Thaawus) mendengarkannya dengan penuh penghormatan dan pengagungan.
Thaawus berkata, “Ketika
aku merasa bahwa amirul mukminin telah sampai kepada keinginannya dan tidak
tersisa apa yang akan ditanyakannya. Aku berkata dalam diriku, ‘Sesungguhnya
majlis ini adalah majlis yang Allah akan menanyaimu tentangnya wahai Thaawus.!”
Kemudian aku menghadap kepadanya dan berkata, ‘Wahai amirul mukminin,
sesungguhnya ada batu besar berada di tepi sumur di jurang Jahannam. Ia terus
menggelinding di sumur tersebut selama tujuh puluh tahun hingga sampai pada
dasarnya. Tahukah anda untuk siapa Allah menyiapkan satu sumur dari sumur-sumur
Jahannam ini wahai amirul mukminin?.”
Tanpa berpikir, ia pun
menjawab, “Tidak.” Kemudian ia kembali kepada dirinya dan berkata, “Aduh
celaka, untuk siapa Allah menyiapkannya.?”
Aku menjawab, “Allah
telah menyiapkannya untuk orang yang telah Dia jadikan sebagai wali dalam
hukum-Nya kemudian ia berbuat aniaya.!”
Sulaiman terkejut
ketakutan dibuatnya. Aku mengira bahwa nyawanya akan keluar dari badannya. Ia
mulai menangis tersedu-sedu mengiris urat jantung. Aku meninggalkannya dan
beranjak pergi sementara ia mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika Umar ibn
Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, ia mengirim surat kepada Thaawus ibn
Kaisan dan berkata kepadanya, “Wasiatilah aku wahai Abu Abdirrahman.”
Thaawus menulis risalah
kepadanya dalam satu baris yang isinya, “Apabila engkau menginginkan agar
seluruh amalanmu baik, maka pekerjakanlah Ahlul Khair (orang-orang yang baik),
wassalam.” Ketika Umar membaca risalah tersebut, ia berkata, “Cukuplah ini
sebagai mauidzah…cukuplah ini sebagai mau’izhah.!!”
Ketika khilafah
berpindah kepada Hisyam ibn Abdul Malik, ada kejadian-kejadian masyhur yang
diriwayatkan antara Thaawus dengannya.
Di antarnya adalah bahwa
Hisyam datang ke Baitul Haram menunaikan haji. Sesampainya di al-Haram, berkatalah
ia kepada orang-orang terdekatnya dari penduduk Mekkah, “Carilah untuk kami
seseorang dari sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam.” Mereka menjawab,
“Sesungguhnya para sahabat -wahai Amirul Mukminin- telah bertemu dengan Rabb
mereka satu demi satu hingga tidak tersisa seorang pun dari mereka.”
“Kalau demikian, maka
dari tabi’inm,” katanya. Lalu didatangkanlah Thaawus ibn Kaisan.Ketika masuk
menemuinya, ia melepas kedua sandalnya di ujung permadaninya. Kemudian ia
menyalami sang khalifah tanpa memanggilnya dengan sapaan Amirul Mukminin tapi
memanggilnya dengan namanya tanpa menggunakan kunyah-nya. Ia juga duduk sebelum
diizinkan untuk duduk.
Kemarahan menyala dalam
diri Hisyam hingga terlihat di kedua matanya. Yang demikian itu karena ia melihat
tingkah laku Thaawus yang begitu berani terhadapnya dan merendahkan wibawanya
di hadapan anggota majlis serta para bawahannya. Hanya saja ia langsung
teringat bahwa ia sedang berada di tanah haram Allah . Ia menenangkan dirinya
dan berkata kepada Thaawus, “Apa yang membuatmu melakukan hal tersebut wahai
Thaawus.?!” “Apa yang telah aku lakukan,?” katanya. Khalifah kembali marah dan
murka seraya berkata, “Kamu melepaskan sandallmu di ujung karpetku. Kamu tidak
menyalamiku dengan sapaan amirul mukminin tapi kamu memanggilku dengan namaku
bukan dengan kunyah-ku, lalu kamu duduk tanpa izin dariku.!”
Dengan tenang Thaawus
menjawab, “Adapun kenapa aku melepas sandalku di ujung karpetmu, maka aku
melepaskannya di hadapan Rabbul ‘Izzah setiap hari lima kali sedangkan Dia
tidak mencelaku dan marah kepadaku.!? Adapun ucapanmu bahwa aku tidak
menyalamimu dengan sapaan amirul mukminin, karena tidak seluruh muslimin ridha
dengan kepemimpinanmu sehingga aku takut berdusta bila memanggilmu dengan
amirul mukminin. Adapun celaanmu terhadapku bahwa aku memanggilmu dengan namam,
bukan dengan julukanmu, maka sesungguhnya Allah memangggil para nabi-Nya
menggunakan nama-nama mereka, Allah berfirman, “Wahai Daud…wahai Yahya…wahai
‘Isa!!” namun Dia malah memberikan julukan kepada para musuh-Nya, Dia
berfirman, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab (paman Nabi) dan sesungguhnya dia
akan binasa.” (QS.al-Masad:1) Adapun perkataanmu bahwa aku duduk sebelum engkau
mengizinkan, sesungguhnya aku mendengar amirul mukminin, ‘Ali ibn Abi Thalib berkata,
‘Apabila engkau ingin melihat kepada seseorang dari ahli neraka, maka lihatlah
kepada orang yang duduk sedangkan di sekelilingnya orang-orang berdiri di
hadapannya,” maka aku tidak mau kalau engkau menjadi orang yang termasuk dari
ahli neraka itu.!!”
Hisyam lalu menundukkan
pandangannya ke tanah karena malu, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata,
“Nasihati aku wahai Abu Abdirrahman.” Ia menjawab, “Aku mendengar ‘Ali ibn Abi
Thalib berkata, ‘Sesungguhnya di Jahannam ada ular-ular yang seperti tiang yang
tinggi kokoh dan kalajengking-kalajengking yang besarnya seperti Bighal (hasil
dari perkawinan antara kuda dengan keledai, penj). Ia menyengat setiap pemimpin
yang tidak adil terhadap rakyatnya.!!”
Kemudian ia bangkit dan
pergi. Sebagaimana Thaawus mendatangi sebagian ulil amri untuk mengingatkan dan
mengarahkan mereka. Ia juga berpaling dari sebagian yang lain untuk merendahkan
dan mencela mereka. Putranya menceritakan, “Pada suatu tahun kami keluar
bersama ayah untuk menunaikan haji dari Yaman, kami singgah di beberapa kota.
Kota tersebut memiliki seorang pejabat yang dikenal dengan sebutan ‘Ibn
Nujaih.’ Ia adalah pejabat yang paling busuk, orang yang paling berani terhadap
kebenaran dan orang yang demikian banyak terjerumus ke dalam kebathilan.
Kami mendatangi masjid
negeri tersebut untuk melaksanakan shalat fardhu. Ternyata Ibn Nujaih telah
mengetahui kedatangan ayahku. Ia datang ke masjid dan duduk di hadapannya serta
menyalaminya. Ayahku tidak menjawabnya dan memalingkan punggungnya.!? Ia mendatangi
daru sebelah kanannya dan mengajaknya berbicara, namun ayahku tetap berpaling
darinya. Ia berpindah ke sebelah kirinya dan mengajaknya bicara, tetapi ia
berpaling juga darinya. Ketika melihat hal tersebut, aku bangkit kepadanya dan
menjulurkan tanganku ke arahnya. Aku menyalaminya dan berkata kepadanya,
‘Sesungguhnya ayahku belum mengenalmu.’ Ia menjawab, ‘Bahkan, sesungguhnya
ayahmu telah mengenalku. Dan sesungguhnya lantaran begitu kenal denganku
membuatnya berbuat seperti apa yang kamu lihat tadi.!’ Ia kemudian pergi, diam
dan tidak berkata sepatah pun.
Ketika kami kembali ke
persinggahan, ayahku menoleh kepadaku dan berkata, ‘Wahai dung.! (mengapa) kamu
mencela mereka dengan lidah tajammu di saat mereka tidak ada. Dan bila mereka
datang, kamu lembutkan perkataanmu kepada mereka!! Bukankah ini benar-benar
nifak?!.’”
Demikianlah, Thaawus ibn
Kaisan tidaklah mengkhususkan para khalifah dan umara dengan
mauidzah-mauidzahnya, akan tetapi mencurahkannya kepada setiap orang yang
merasa memiliki hajat dan raghbah (kecintaan) kepadanya.
Di antaranya yang
diriwayatkan oleh ‘Athaa ibn Abi Rabbah, ia berkata, “Thaawus ibn Kaisan
melihatku di suatu tempat yang ia tidak merasa senang. Ia berkata, ‘Wahai
‘Athaa, jauhi olehmu untuk mengangkat hajat-hajatmu kepada orang yang menutup
pintunya di wajahmu serta menempatkan para penjaganya di depanmu. Akan tetapi
mintalah hajatmu dari Dzat yang membuka pintu-pintuNya untukmu dan menuntutmu
untuk berdoa kepada-Nya dan berjanji akan mengabulkan untukmu.!”
Ia pernah berkata kepada
anaknya, “Wahai anakku, temanilah orang-orang yang berakal, niscaya kamu akan
dinasabkan kepada mereka, walaupun engkau tidak termasuk dari mereka (bukan
seperti mereka). Janganlah engkau berteman dengan orang-orang yang jahil,
karena sesungguhnya bila engkau bersahabat dengan mereka, engkau akan
dinisbatkan kepada mereka walaupun engkau tidak termasuk dari golongan mereka
(bukan seperti mereka).
Ketahuilah bahwa segala
sesuatu memiliki tujuan dan sesungguhnya tujuan seorang manusia adalah
kesempurnaan agamanya dan kesempurnaan akhlaknya.” Putra beliau, Abdullah telah
tumbuh di bawahan asuhan dan didikan sang orang tua, berakhlak seperti
akhlaknya dan mengikuti jejak perjalanan hidupnya. Di antaranya, bahwa Khalifah
al-‘Abbasi (khalifah Bani Abbasiyah), Abu Ja’far al-Manshur telah memanggil
putra Thawus, yakni Abdullah ibn Thaawus serta (memanggil) Malik ibn Anas*
untuk menziarahinya. Ketika keduanya masuk menemuinya dan mengambil tempat
duduknya di dekatnya, khalifah menoleh kepada Abdullah ibn Thaawus dan berkata,
“Riwayatkan kepadaku sesuatu dari hadits yang telah disampaikan ayahmu
kepadamu.”
Ia menjawab, “Ayahku
telah bercerita kepadaku bahwa manusia yang peling keras adzabnya pada hari
kiamat adalah seseorang yang telah Allah jadikan sebagai pemimpin yang
mengurusi urusan kaum muslimin dalam kekuasaannya, kemudian ia memasukkan
kezhaliman dalam putusannya.”
Malik ibn Anas berkata,
“Ketika mendengar perkataannya ini, aku mendekap pakaianku takut darahnya
menimpaku. Hanya saja Abu Ja’far terdiam sesaat dan tidak berkata. Kemudian
kami berlalu dari situ dengan selamat.
Thaawus ibn Kaisan telah
diberi umur panjang hingga mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Hanya
saja ketuaan dan usia yang lanjut tidak sedikitpun mempengaruhi kejernihan
akalnya dan ketajaman pikirannya serta kecepatan dalam menjawab.
Abdullah asy-Syaami
menceritakan, “Aku mendatangi Thaawus di rumahnya untuk menimba ilmu darinya
padahal aku tidak mengenalnya. Maka ketika aku mengetuk pintu, keluarlah
seorang syaikh tua menemuiku. Aku mengucapkan salam kepadanya dan aku berkata,
‘Apakah anda Thaawus ibn Kaisan.?” Ia menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.’
Aku berkata, ‘Bila kamu adalah putranya, aku tidak merasa aman bila syaikh
menjadi pikun dan rusak akalnya (karena ketuaan), sesungguhnya aku menujunya
dari tempat yang jauh untuk menimba ilmunya.’ Ia menjawab, ‘Celaka engkau!
Sesesungguhnya para pengemban kitab Allah tidak rusak akalnya! Masuklah
menemuinya.”
Aku masuk menemui
Thaawus dan menyalaminya seraya berkata, ’Sungguh, aku telah mendatangimu untuk
menimba ilmumu dan cinta kepada nasehatmu.’ Ia (Thaawus) berkata, ‘Tanyakanlah
dan ringkaslah. ’Aku menjawab, ‘Aku akan menyingkatnya semampuku, insya Allah.’
Ia berkata, ‘Apakah kamu ingin agar aku mengumpulkan untukmu inti dari apa yang
ada dalam Taurat, Zabur (kitab Nabi Daud AS), Injil dan al-Qur’an?’ ‘Ya,’
jawabku.
Ia berkata, ‘Takutlah
kepada Allah ta’ala dengan penuh rasa takut dimana tidak ada sesuatupun yang
lebih kamu takuti dari-Nya. Dan berharaplah dari Dia dengan pengharapan yang
lebih besar dari rasa takutmu kepada-Nya. Cintailah untuk manusia apa-apa yang
kamu cintai untuk dirimu.!!’”
Pada malam kesepuluh
dari bulan Dzulhijjah tahun 106 H, bertolaklah syaikh yang telah berusia
lanjut, Thaawus ibn Kaisan bersama para jema’ah haji dari Arafah menuju
Muzdalifah untuk yang keempat puluh kalinya. Ketika ia menjejakkan kakinya di
tanahnya yang suci dan melaksanakan shalat Maghrib bersama Isya (jamak takdim).
Ia merebahkan punggungnya ke tanah dan ingin istirahat sebentar. Sesaat
kemudian, kematian menjemput beliau.
Ia menemui kematiannya
jauh dari sanak keluarga dan kampung halaman, dalam keadaan bertaqarrub kepada
Allah. Bertalbiyah dan berihram mengharapkan pahala Allah, keluar dari
dosa-dosanya seperti ia dilahirkan oleh ibunya berkat karunia Allah.
Ketika subuh telah
muncul dan orang-orang ingin menguburnya. Mereka tidak mampu mengeluarkan
jenazahnya karena saking banyaknya orang yang berdesak-desakan terhadapnya.
Maka Emir Mekkah mengarahkan penjaga untuk menggiring kerumunan manusia itu
dari jenazahnya hingga memudahkan prosesi penguburannya.
Begitu banyak orang yang
menyalatinya sehingga tidak ada yang bisa menghitung jumlahnya kecuali Allah.
Dan di antara kelompok yang menyhalatinya itu adalah khalifah kaum muslimin,
Hisyam ibn Abdul Malik.
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon