Khalifah (Arab:خليفة
Khalīfah) adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr
al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman",
atau "pemimpin orang-orang mukmin", yang kadang-kadang disingkat
menjadi "amir".
Setelah kepemimpinan Khulafaur
Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib),
kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah,
dan Kesultanan Utsmaniyah, dan beberapa kekhalifahan kecil, berhasil meluaskan
kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir.
Khalifah berperan sebagai
pemimpin ummat baik urusan negara maupun urusan agama. Mekanisme pemilihan
khalifah dilakukan baik dengan pemilu ataupun dengan majelis Syura' yang
merupakan majelis Ahlul Halli wal Aqdi yakni para ahli ilmu (khususnya
keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan mekanisme pengangkatannya
dilakukan dengan cara bai'at yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah
dengan ummat.
Khalifah memimpin sebuah Khilafah,
yaitu sebuah sistem pemerintahan yang begitu khas, dengan menggunakan Islam
sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist.
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin
An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia
(Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Dari
definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh
dunia.
Jabatan dan pemerintahan
kekhalifahan terakhir, yaitu kekhalifahan Utsmani berakhir dan dibubarkan
dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan
pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar
Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah
Keagamaan (The Presidency of Religious Affairs) atau sering disebut
sebagai Diyainah.
Kata
"Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti"
atau "perwakilan". Pada awal keberadaannya, para pemimpin Islam ini
menyebut diri mereka sebagai "Khalifat Allah", yang berarti perwakilan
Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi
"Khalifat rasul Allah" (yang berarti "pengganti Nabi
Allah") yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan
"Khalifat Allah". Meskipun begitu, beberapa akademisi memilih untuk
menyebut "Khalīfah" sebagai pemimpin umat Islam tersebut.
Kelahiran Kekhalifahan Islam
Kebanyakan
akademisi menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau
memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan
yang dihadapi ketika itu adalah: siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad,
dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?
Pengganti Nabi Muhammad
Fred M. Donner, dalam bukunya The
Early Islamic Conquests (1981), berpendapat bahwa kebiasaan bangsa Arab
ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga
(bani dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih
pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam syuro
atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki garis keturunan dari
pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya Nabi
Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk
menjadi penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya rasul, hingga saat ini apa
yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di
kalangan kaum Muslim, namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum muslim yang
hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah
penerus kepemimpinan Islam yang akan menggantikan rasul karena sebelum Nabi
Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad
sebagai imam shalat, dan akhirnya Abu Bakar pun terpilih menjadi Khalifah pertama
dalam sejarah Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad.
Namun beberapa kalangan dari
kaum Muslim Mekkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad telah
memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu
sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya. Mereka mengatakan bahwa Abū
Bakar merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan. Semua Khalifah
sebelum Ali juga dianggap melakukan hal yang sama oleh kalangan ini, hal inilah
yang memicu munculnya kaum Syiah belakangan pada masa kekhalifahan Muawiyah,
lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
Kekuasaan Khalifah
"Siapa yang akan
menggantikan Nabi Muhammad" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi
umat Islam saat itu; mereka juga perlu mengklarifikasi seberapa besar kekuasaan
pengganti sang nabi. Muhammad, selama masa hidupnya, tidak hanya berperan
sebagai pemimpin umat islam, tetapi sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk
umat Islam. Semua hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai dengan yang
disampaikan Nabi Muhammad. Musyawarah dilakukan pada persoalan ini untuk
menentukan seberapa besar kekuasaan seorang Khalifah.
Tidak satu pun dari para
khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah, karena Nabi Muhammad adalah nabi
dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang
menyebut diri mereka sendiri sebagai nabī atau rasul. Untuk
mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis
dan dikumpulkan menjadi Al-quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum
Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah
seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan kekuasaannya pun
dibatasi oleh Al-Qur'an dan Hadis.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti
yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas
untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran. Mereka juga
mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan
mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim
sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's
Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi
begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa
pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan
bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim
beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan
baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum
akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin
umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang
menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah
hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan perdebatan
di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama
tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah
kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para
ulama.
Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat
keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang
benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama. Patricia Crone dan
Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang
berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun
tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini
mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah
duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam
dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai Khulafa'ur
Rosyidin, Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan
berpegang pada hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam
segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk
memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar
dari aturan syariat.
Struktur Pemerintahan Negara Khalifah
Struktur pemerintahan Islam terdiri daripada 8
perangkat dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:
- Khalifah
Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara. - Mu'awin Tafwidh
Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengawalnya. - Mu'awin Tanfidz
Pembantu Khalifah dibidang administrasi tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya. - Amirul Jihad
Amirul Jihad membawahi bidang pertahanan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri. - Wali
Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur). Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya tetapi tidak mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan. - Qadi
Qadi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan: Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat dan berhak memberhentikan semua pegawai negara, termasuk memberhentikan Khalifah jika dianggap menyimpang dari ajaran Islam. - Jihaz Idari
Pegawai administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya. - Majelis Ummat
Majelis Ummat dipilih oleh rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majelis bertugas mengawasi Khalifah. Majelis juga berhak memberikan pendapat dalam pemilihan calon Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah, tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.
Karakter Kepemimpinan Kekhalifahan Islam
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam
ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah
kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini
didasarkan pada hadist yang berbunyi:
"It (sovereignty) is a trust, and on the Day
of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who
were deserving of it and did well."
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana
kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin
(imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk
menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan
bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian
dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari
jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama,
menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah
keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang
dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan
menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu
menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan
kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan
kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua
kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat.
Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad,
beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan
politik di dunia."
Pencabutan Gelar Khalifah
Kebanyakan ulama menolak pencabutan gelar Khalifah
apabila sudah terpilih. Tetapi fakta yang terjadi adalah sebaliknya, banyak
pemberontakan pada masa kekhalifahan, seperti Imam Husain yang melakukan
revolusi di Karbala melawan tirani Yazid atau pengkhianatan Ibnu al-Zubayr
kepada Yazid, untuk kebanyakan bagian telah terbatas keberadaannya.
Dr. Abdul Aziz Islahi berpendapat dalam masalah ini:
Mengikuti para filsuf Yunani, St. Thomas Aquinas juga
menggunakan sudut pandang ini, William Archibald Dunning berkomentar:
"Berhubungan dengan aksi-aksi individual dalam menjatuhkan pemerintahan
tirani, dia (Aquinas) menemukan bahwa lebih sering orang jahat melakukan
pemberontakan dibandingkan orang baik. Karena orang-orang jahat berpendapat
bahwa pemerintahan raja-raja tidak kurang beratnya daripada para tiran (raja
lalim, penindas), pengakuan hak-hak pribadi warga untuk membunuh para tiran
lebih menyangkut lebih besarnya peluang untuk kehilangan seorang raja daripada
membebaskan diri dari seorang tiran."
Sejarah
Abu Bakar
menunjuk Umar sebagai penggantinya sebelum kematiannya, kaum
Muslim menerima hal ini tanpa terjadi perdebatan. Pengganti Umar, Utsman
bin Affan, dipilih oleh dewan perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian,
Utsman dianggap memimpin seperti seorang "raja" dibandingkan sebagai
seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya dibunuh oleh
seseorang dari kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat oleh sebagian besar
Muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah, tetapi ia tidak diterima
oleh beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi beberapa pemberontakan dan
akhirnya terbunuh setelah memimpin selama lima tahun. Periode ini disebut
sebagai "Fitna", atau perang sipil islam pertama.
Bani Umayyah
Salah satu kelompok penentang ˤAlī adalah kelompok
yang dipimpin oleh Gubernur Syam waktu itu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga
sepupu Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah mengambil alih kekuasaan
kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muˤāwiyya, pendiri Bani Umayyah.
Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan turun-menurun.
Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia
dan Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah dan
kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen, dan berhasil
menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang selama
bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam
berkembang dengan pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika
Utara sampai ke Spanyol. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran,
bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah satu
di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya
didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim
lainnya seperti Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal
dari klan Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih
sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul
beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir
kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan
kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para pendukung Ali lagi-lagi
harus menelan kekecewaan ketika ternyata pemimpin kekhalifahan selanjutnya
adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib,
paman Nabi Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas
muslim akhirnya terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.
Bani Abbasyiah
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan
kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam
dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur
Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang
non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir
pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan
diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai
simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim
bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain,
seorang muslim Syi'ah dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak perempuannya
adalah keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909,
sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya
menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai
memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina,
sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya
telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani
Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani
Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian
mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya
dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Kekhlaifahan Bayangan
Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu
Khan berhasil menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan
mengeksekusi Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun
kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo,
di bawah perlindungan Kesultanan Mameluk. Meskipun begitu, otoritas garis
keturunan para khalifah ini dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan,
dan para sejarawan Muslim pada masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai
"khalifah bayangan".
Kekaisaran
Usmaniyah
Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan
Usmaniyah, para pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim
mereka ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan
Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab. Khalifah
Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara dan dikirim ke Istambul.
Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang
memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Sultan,
daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan
gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Menurut Barthold, saat dimana
gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan politik daripada sekedar simbol agama
untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian
damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran
Usmaniyah berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran
kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi
seperti misalnya daerah Crimea. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia,
kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I, menyatakan bahwa
mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini
menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui
secara politik oleh kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun
wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan
militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II
menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap
kolonialisme Eropa yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya
oleh Muslim di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada
Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya
mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang paling besar dan
paling kuat di dunia.
Kekhilafahan 'ala Minhaji an-Nubuwah
Setelah hampir satu abad sejak
runtuhnya kekhilafahan sebagai wadah pemersatu, umat islam semakin berpecah dan
menggolong-golongkan diri, dari bentuk negara islam, organisasi islam, partai
islam dan lain sebagainya. Tidak sedikit dari mereka yang meneriakkan
bersatunya umat, namun tak juga ditemukan titik temu walai sudah berbagai
kongres dan pertemuan terlaksana.
Keruntuhan kekhalifahan
Tepatnya pada tanggal 23 Maret
1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi
akibat adanya perseteruan di antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah
kemunduran ekonomi Turki.
Setelah menguasai Istambul
pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik dengan
menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga
bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam
negeri, sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang
semakin lemah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa
Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri
sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan
khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara.
Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan
khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan
khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan
Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan
membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus
pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini
diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang
diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua
parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan
republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29
November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun
ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti
korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa kelompok pendukung Sultan
Abdul Mejid II terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak
menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan
taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik
ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah
kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya, Khalifah
digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif,
Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian
disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan
"Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus
membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal
inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi
sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan. Mereka bertugas
untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di
dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara,
Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang
mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal religius dari
Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh
tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni.
Diyainah juga memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara
kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah, tidak seperti kekhalifahan yang
mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini
sesuai dengan prinsip sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan
urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan
untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman,
tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz
pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa Perang
Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul,
mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman.
Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah
Arab. Sultan Ottoman terakhir Mehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk
mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha
tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk
mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara
Muslim yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.
Gerakan Khilafat
Pada tahun 1920-an "gerakan
Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan kembali
kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan Inggris di Asia. Gerakan ini
sangat kuat di India, yang saat itu menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah
pertemuan kemudian diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan
pendirian Kekhalifahan. Tapi sayang, sebagian besar negara mayoritas Muslim
tidak berpartisipasi dan mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari
pertemuan ini. Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai oleh Raja Maroko
dan Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan
Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Organisasi
yang mendekati bentuk sebuah bentuk kekhalifahan saat ini adalah Organisasi
Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang
terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas
Muslim.
Perbandingan kekhalifahan dengan sistem pemerintahan lain
Khalifah sangat berbeda dari
sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini:
- Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
- Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.
Argumentasi tentang Pentingnya Khalifah
Dalil al-Qur'an
Di dalam al-Quran memang tidak
terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat
ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri)
dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan
taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. (Qs. An-Nisaa`
[4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan
kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini,
secara dalalatul iqtidha, berarti perintah pula untuk mengadakan atau
mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak
mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak
ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang
keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa
mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi
perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk
mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan
menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan
terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena
kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu
mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah
memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan
hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan)
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]:
48).
Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang
diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh
dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga
merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan
perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi
malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang
mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat
tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan
hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali
menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan
itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna.
Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara
untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.
Dalil as-Sunnah tentang Khalifah
- Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
- Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
- Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
- Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
- Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar)
dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa
akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah
SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang
adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan
(thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan
Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud
adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan
larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu)
maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al
fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan
tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum
syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti
(fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab
tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin
keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti
keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi
SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari
Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan
bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa
membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan
menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika
datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang
itu." [HR. Muslim].
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum
muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut
kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat
seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi
orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang
wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab
kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang
begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi
orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini
telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.
Dalil Ijma’
Sahabat
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat
menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah
SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar, Umar
bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan
Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban
menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang
Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu
kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman
jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para
Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata
sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat
Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat
lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama
menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka
mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta
ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan
kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin
terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih
wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup
mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering
muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat
menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun
mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah
SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu
Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat
Khalifah.
Dalil Dari
Kaidah Syar’iyah
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah
juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para
ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali
adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya." Menerapkan
hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib.
Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya
kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan
kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan
bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas
seluruh kaum muslimin.
Pendapat
Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa
kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al
Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
"Para
imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah
sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib
mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama
serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan
Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan
Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang
Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka
pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas syara’
yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8
hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan
Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al
Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah
sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh
Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam
yang wajib (bukan haram apalagi bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah
Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang
menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.
5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As
Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal.
62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al
Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu
Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany,
Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205,
Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul
Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As
Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam,
hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al
Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun ada pula buku yang menyatakan bahwa kekhalifahan
tidak wajib hukumnya, seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur
Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak
Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid.
Daftar
Khalifah
Khulafa'ur
Rasyidin di Madinah
Kekhalifahan
Bani Umayyah di Damaskus
Kekhalifahan
Bani Abbasiyah di Baghdad
|
Tanpa
Khalifah - 1258-1261
Kekhalifahan
Bani
Abbasiyah di Kairo
Kekhalifahan
Turki Utsmani
Catatan: Sejak 1908 sistem
pemerintahan Islam berakhir.
|
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon