“Aku melihat Ja’far di surga mempunyai dua sayap yang basah
mengeluarkan darah (Hadis nabi)
Dari keturunan bani Abdi Manaf,
ada lima orang yang sangat mirip sekali dengan Rasulullah. Hingga banyak sekali
mata yang tidak mengetahui apakah itu Rasulullah atau bukan.
Tidak diragukan lagi pasti para
pembaca yang budiman ingin mengetahui siapa saja lima orang yang menyerupai
Rasulullah Saw. tersebut.
Mari kita mengenal mereka.
Mereka adalah, yang pertama, Abu Sufyan bin Haris bin Abdul Muthalib, sepupu
Rasulullah dan saudara sepersusuan beliau. Yang kedua, Qutsam bin Abbas bin
Abdul Muthalib, juga sepupu beliau. Yang ketiga, Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid
bin Hasyim, kakek Imam Syafi’i Ra. Yang keempat adalah, Hasan bin Ali, cucu
Rasulullah Saw, dialah orang yang paling mirip dengan Rasulullah. Sedangkan
yang terakhir adalah Ja’far bin Abdul Muthalib, saudara Amirul Mukminin, Ali
bin Abi Thalib.
Mari kita simak bersama-sama
sejarah kehidupan Ja’far.
Abu Thalib, adalah orang yang mempunyai
anak banyak dan kehidupan yang sederhana, meskipun dikenal dengan kemuliaan dan
ketinggian derajatnya di kalangan kaum Quraisy.
Dari hari ke hari kondisinya
semakin kekurangan karena musim paceklik di Makkah saat itu. Semua binatang
ternak mati, dan semua manusia hanya bisa makan tulang-tulang kering.
Pada waktu itu dari kalangan
bani Hasyim tidak ada orang yang lebih kaya dari Muhammad bin Abdillah dan
pamannya Abbas.
Muhammad berkata kepada Abbas,
“Wahai pamanku, sesungguhnya saudaramu, Abu Thalib mempunyai keluarga yang
banyak. Sedangkan saat ini semua orang tertimpa musim paceklik hingga
kelaparan, sebagaimana yang engkau lihat. Pergilah bersamaku untuk lalu kita
menanggung salah satu di antara keluarganya. Aku menanggung satu anaknya dan
engkau menanggung satu anaknya yang lain kemudian kita cukupi nafkahnya.
Akhirnya
keduanya pergi hingga sampai di rumah Abu Thalib. Sesampainya di rumah Abu
Thalib keduanya berkata, “Kedatangan kami untuk meringankan beban keluarga yang
engkau tanggung agar engkau dapat terhindar dari krisis yang menimpa penduduk
kita.”
Abu Thalib berkata, “Jika yang
kalian ambil bukan Aqil bin Abu Thalib, maka silahkan.” Lalu nabi Muhammad
mengambil Ali sebagai tanggungannya, sedangkan Abbas mengambil Ja’far dan
membawanya berkumpul bersama keluarganya.
Ketika Ali hidup bersama
Rasulullah, Allah mengutusnya dengan membawa agama petunjuk dan kebenaran. Ali
adalah pemuda pertama yang beriman kepada Rasulullah.
Sedangkan Ja’far hidup bersama
Abbas hingga besar kemudian masuk islam dan mengambil manfaat dari Islam.
Ja’far bin Abi Thalib masuk ke dalam Islam bersama istrinya Asma’ binti Umais
sejak pertama kali Rasulullah diutus.
Keduanya masuk Islam lewat
perantara Abu Bakar as-Shiddiq sebelum Rasulullah masuk ke Darul Arqam.
Ja’far beserta istrinya juga
merasakan gangguan kaum Quraisy sebagaimana yang dirasakan oleh kaum muslimin
generasi pertama lainnya. Keduanya menjalani semuanya dengan sabar, karena
mereka yakin bahwa jalan masuk menuju surga dipenuhi dengan duri-duri yang menyakitkan.
Namun yang melemahkan semangat mereka adalah melarang mereka untuk melaksanakan
syariat Islam. Kaum Quraisy juga melarang mereka merasakan nikmatnya ibadah.
Mereka selalu mengawasi kaum muslimin dari berbagai arah dan selalu mengintai
mereka.
Pada waktu itulah Ja’far bin Abi
Thalib beserta istrinya minta izin kepada Rasulullah untuk berhijrah ke
Habasyah bersama dengan beberapa orang dari kalangan sahabat. Rasulullah
mengizinkan mereka dengan penuh kesedihan yang menyelimuti beliau.
Rasulullah merasa berduka karena
para sahabat yang sangat baik dan suci itu hendak meninggalkan rumah mereka dan
meninggalkan kampung halaman tempat dimana mereka dibesarkan. Mereka
meninggalkan tempat yang dulu mereka nimati sewaktu remaja bukan karena sebab
dosa yang mereka lakukan. Mereka hanya mengatakan, “Sesembahan kami adalah
Allah.” Namun Rasulullah juga sadar bahwa beliau tidak mempunyai daya dan
kekuatan untuk menghadapi siksaan kafir Quraisy.
Berangkatlah rombongan pertama
hijrah menuju Habasyah di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib Ra. Mereka hidup
di bawah perlindungan raja Najasyi, raja mereka yang adil dan shaleh.
Untuk pertama kalinya setelah
mereka masuk Islam mereka mendapatkan rasa aman. Mereka dapat merasakan
manisnya ibadah tanpa diganggu oleh siapapun yang merusak kenikmatan beribadah
atau kebahagiaan mereka.
Namun kafir Quraisy ketika
mengetahui perginya beberapa kaum muslimin ke negeri Habasyah, mereka tidak
tinggal dengan kaum muslimin yang merasakan nikmatnya ibadah dan merasakan aman
yang mereka. Kafir Quraisy memberikan ancaman kepada raja Habasyah agar
membunuh kaum muslimin atau memulangkan mereka menuju penjara besar (Makkah).
Kita simak bersama penuturan
Ummu Salamah yang mendengar dan melihat peristiwa tersebut dengan mata kepala
dan telinganya sendiri.
Ummu Salamah bercerita,
Ketika kami sampai di Habasyah,
kami merasakan hubungan pertetanggaan yang baik. Kami merasa aman dengan agama
kami. Kami menyembah Allah Swt. tanpa ada gangguan atau kami mendengar sesuatu
yang kami benci. Ketika kaum Quraisy mengetahui hal tersebut mereka mengirimkan
dua juru runding yang sangat kuat kepada raja Najasyi. Kedua orang kuat
tersebut adalah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Keduanya membawa
hadiah yang sangat melimpah dan terbaik dari negeri Hijaz untuk raja
Najasyi dan para pendeta mereka. Kaum Quraisy memberikan perintah kepada
keduanya agar memberikan hadiah yang sangat berharga tersebut kepada semua
pendeta sebelum mereka berbicara dengan raja Najasyi mengenai masalah kaum
muslimin.
***
Sesampainya kedua Quraisy itu di
Habasyah keduanya langsung membagi-bagikan hadiah tersebut kepada semua
pendeta. Mereka semua mendapatkannya tanpa ada yang tidak mendapatkannya satu
orangpun. Kedua orang tersebut berkata kepada raja Najasyi, “Ada beberapa orang
kaumku yang bodoh tinggal di negeri raja. Mereka keluar dari agama nenek moyang
mereka dan mereka memecah belah persatuan negeri kami. Jika nanti kami
merundingkan masalah ini dengan raja, maka bantulah kami untuk mendesaknya agar
menyerahkan kaum kami tanpa bertanya tentang agama mereka. Karena tokoh mereka
lebih mengetahui agama mereka dan lebih mengetahui keyakinan mereka.”
Para pendeta menjawab,
“Baiklah.”
Ummu Salamah berkata, “Yang
paling dibenci oleh Amr bin Ash dan temannya ialah apabila raja Najasyi
memanggil dan mendengarkan alasan salah seorang dari kami.
Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi
Rabi’ah menghadap raja Najasyi dan memberikan hadiah yang mereka bawa
kepadanya. Raja Najasyi sangat senang dan kagum dengan hadiah tersebut.
Akhirnya kedua orang Quraisy tersebut berkata, “Wahai Raja, ada beberapa
orang-orang jahat dari kaum kami yang berlindung ke negerimu. Mereka pergi
dengan membawa agama yang tidak kami tidak kenal dan kalianpun tidak
mengenalnya. Mereka meninggalkan agama kami dan tidak masuk ke dalam agamamu.”
“Kami diutus oleh para pemuka
kaum mereka, bapak maupun keluarga mereka agar engkau mengembalikan mereka pada
kami. Mereka adalah manusia yang paling pandai melakukan fitnah.
Raja Najasyi melihat para
pendetanya, para pendeta berkata, “Keduanya benar wahai Raja. Para tokoh
mereka lebih mengetahui tentang mereka. Kembalikanlah orang-orang tersebut ke
negeri mereka dan biarkanlah pemuka kaum mereka yang mengambil tindakan.”
Sang raja sangat marah dengan
perkataan pendetanya. Raja berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan
mereka sebelum aku memanggil mereka. Aku akan menanyakan kepada mereka dengan
pengakuan yang kalian lontarkan pada mereka. Jika mereka seperti yang
disampaikan oleh kedua orang tersebut maka aku akan menyerahkan mereka untuk
kalian berdua. Jika ternyata mereka tidak seperti yang dituduhkan, maka aku
akan tetap melindungi mereka, berbuat baik dengan mereka dan bertetangga dengan
mereka selagi mereka mau tinggal di negeri kami.”
****
Ummu Salamah melanjutkan
ceritanya,
Lalu raja Najasyi memanggil kami
untuk bertemu dengannya. Sebelum kami menghadapnya kami mengadakan musyawarah.
Salah seorang dari kami berkata, “Nanti raja akan bertanya kepada kalian
tentang agama kalian. Tunjukkanlah keimanan yang kalian pegang. Hendaklah yang
berbicara adalah Ja’far bin Abi Thalib, jangan ada yang berbicara selainnya.”
Kemudian kami pergi menghadap
raja Najasyi. Kami dapati raja sudah memanggil para pendetanya. Mereka duduk di
samping kanan dan samping kiri raja. Mereka memakai jubah dan peci mereka,
mereka juga membentangkan kitab di depan mereka. Di dekat mereka ada Amr bin
Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah.
Ketika kami sudah duduk tenang,
raja Najasyi menoleh ke arah kami dan bertanya, “Apa agama yang kalian sering
bincangkan hingga sebab agama itu kalian berpisah dengan kaum kalian. Kalian
juga tidak masuk ke dalam agamaku, dan juga tidak masuk dalam agama manapun.”
Majulah Ja’far bin Abi Thalib
dan berkata, “Wahai raja, dulu kami adalah kaum jahiliyyah (bodoh). Kami
menyembah berhala dan makan bangkai, kami melakukan perbuatan keji dan
memutuskan tali persudaraan dan kami berbuat jahat dengan tetangga. Orang-orang
yang kuat di antara kami memakan yang lemah. Kami terus menerus dalam kondisi
seperti itu hingga Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami. Kami
mengetahui nasabnya, kejujurannya, amanatnya, dan kehati-hatiannya dalam
menjaga diri.”
“Rasul tersebut menyeru kami
untuk menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan dengan siapapun. Dia juga
memerintahkan kami untuk meninggalkan sesembahan yang dulu kami sembah dari
selainNya baik itu berupa patung maupun berhala dari batu.”
“Rasulullah memerintahkan kami
untuk berkata jujur, menunaikan amanat, menyambung tali silaturrahim dan
bertetanggga dengan baik. Dia menyuruh kami untuk menghindari hal-hal haram dan
pertumpahan darah. Rasulullah juga melarang kami dari perbuatan keji, dusta,
memakan harta anak yatim, dan menuduh wanita baik-baik berzina.”
“Rasulullah memerintahkan kami
untuk mengesakan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, dan berpuasa di
bulan Ramadlan.”
“Kami membenarkannya dan beriman
dengannya. Kami mengikuti semua yang turun dari Allah. Kami menghalalkan yang
Allah halalkan dan mengharamkan yang Allah haramkan untuk kami.”
“Wahai Raja, sedangkan kaum kami
memusuhi kami menyiksa kami dan siksaan yang sangat pedih agar kami keluar dari
agama kami dan mengembalikan kami pada peribadatan kepada patung.”
“Ketika mereka terus menzalimi
kami, memaksa kami, menyudutkan kami, dan menghalang-halangi kami dari agama
kami, akhirnya kami pergi ke negerimu. Kami lebih memilihmu dari selainmu. Kami
lebih senang hidup berdampingan denganmu dengan harapan engkau tidak berbuat
zalim pada kami.”
Lalu Raja Najasyi menoleh ke
arah Ja’far bin Abi Thalib dan bertanya, “Apakah engkau membawa sesuatu yang
dibawa oleh nabiMu dari Allah?” Ja’far menjawab, “Iya, kami membawanya.” Raja
Najasyi berkata, “Bacakanlah padaku!”
Lalu Ja’far bin Abi Thalib
membaca,
1.Kaaf Haa Yaa ‘Ain
Shaad.2.(yang dibacakan Ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada
hamba-Nya, Zakaria, 3. Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan
suara yang lembut. (Maryam: 1-3)
Ja’far bin Abi Thalib membaca
hingga selesai permulaan surat.
Mendengar ayat tersebut raja
Najasyi menangis tersedu-sedu hingga air matanya membasahi jenggotnya. Para
pendetanyapun juga turut menangis hingga membasahi kitab mereka setelah mereka
mendengar ayat Allah.
Di sinilah raja Najasyi berkata
kepada kami, “Inilah yang dibawa nabi kalian dan nabi Isa dari satu cahaya.”
Kemudian raja Najasyi menoleh ke
arah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah seraya berkata, “Pergilah, demi
Allah, selamanya kami tidak akan menyerahkan mereka kepadamu.”
Ummu Salamah berkata, “Ketika
kami keluar dari hadapan raja Najasyi, Amr bin Ash mengancam kami dan berkata
kepada temannya, “Demi Allah, besok aku akan menghadap raja Najasyi. Aku akan
menyebutkan masalah-masalah agama mereka yang membuat dadanya dipenuhi dengan
api kemarahan dan kebencian kepada mereka. Aku juga akan membuat raja Najasyi
mencabut mereka hingga ke akar-akarnya.”
Lalu Abdullah bin Abi Rabi’ah
berkata, “Janganlah engkau melakukan hal tersebut wahai Amr bin Ash. Mereka
juga saudara kita, meskipun mereka berbeda dengan kita.”
Amr bin Ash menjawab,
“Biarkanlah aku! Biarkanlah aku! Demi Allah aku akan memberitahukannya dengan
apa yang membuat kaki mereka terguncang. Demi Allah aku akan mengatakan kepada
raja Najasyi bahwa mereka mengatakan bahwa Isa adalah budak.”
Dan benar, keesokan harinya Amr
menghadap raja Najasyi. Amr berkata kepada raja Najasyi, “Wahai raja,
sesungguhnya mereka yang berlindung kepadamu mengatakan masalah yang sangat
fatal tentang Isa bin Maryam. Panggillah mereka dan tanyakan pada mereka
masalah tersebut.”
Ummu Salamah bercerita, “Ketika
kami mendengar hal tersebut kami merasa gundah dan panik, kami belum pernah
sedikitpun merasakan kondisi tersebut.”
Salah seorang dari kami berkata,
“Apa yang akan kalian katakan jika raja Najasyi bertanya mengenai Isa bin
Maryam?”
Lalu kami berkata, “Demi Allah,
kami tidak akan mengatakan kecuali seperti yang dikatakan Allah. Kami tidak
akan keluar seujung kukupun dari yang dibawa Rasulullah. Semoga dengan itu akan
terjadi apa yang akan terjadi.”
Akhirnya kami sepakat bahwa yang
akan memberikan jawaban juga Ja’far bin Abi Thalib.
Ketika raja Najasyi memanggil
kami, kamipun menghadapnya. Kami mendapati para pendeta di sekitar raja dengan
kitab di depan mereka, persis seperti hari sebelumnya. Di hadapan raja juga
terdapat Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah.
Ketika kami sudah berada di
hadapan raja, dengan segera raja bertanya kepada kami, “Apa yang kalian katakan
mengenai Isa bin Maryam?”
Ja’far bin Abi Thalib
menjawabnya, “Kami akan mengatakannya sesuai dengan yang dikatakan oleh nabi
kami Saw.”
Raja Najasyi bertanya, “Apa yang
dikatakan oleh nabi kalian?”
Ja’far menjawab, “Nabi kami
mengatakan bahwa Isa adalah hamba Allah dan RasulNya. Isa adalah utusan Allah
dan kalimatNya yang dia titipkan dalam janin Maryam, wanita yang suci dan masih
gadis.”
Ketika raja Najasyi mendengar
jawaban Ja’far, seketika dia memukulkan tangannya ke atas tanah seraya berkata,
“Demi Allah, tidaklah Isa bin Maryam keluar seujung rambutpun dari yang kalian
sampaikan dari nabi kalian.”
Terdengar suara berisik dari
para pendeta sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap perkataan raja
Najasyi. Raja Najasyi berkata, “Meskipun kalian tidak setuju.”
Lalu raja Najasyi menoleh ke
arah kami seraya berkata, “Pergilah kalian, akan kujamin keselamatan kalian.
Barangsiapa yang mencela kalian, maka dia akan celaka. Siapa yang melawan
kalian maka akan mendapat hukuman. Demi Allah aku tidak senang memiliki
segunung emas, sedangkan salah seorang dari kalian tertimpa perbuatan yang
tidak diinginkan.”
Lalu raja Najasyi menoleh ke
arah Amr bin Ash dan sahabatnya seraya berkata, “Kembalikan hadiah-hadiah
kepada kedua orang ini! Aku tidak membutuhkannya!”
Ummu Salamah berkata, “Keluarlah
Amr bin Ash dan sahabatnya dalam keadaan malu, terhina dan perasaannya hancur
bertubi-tubi. Sedangkan kami tetap tinggal di rumah yang paling mulia dan
tetangga yang paling baik.
****
Ja’far bin Abi Thalib beserta
istrinya tinggal di Habasyah dengan penghormatan dari raja Najasyah selama 10
tahun dalam keadaan tenang dan tenteram.
Dan pada tahun 7 H keduanya
pergi meninggalkan Habasyah bersama dengan beberapa kaum muslimin menuju kota
Madinah. Sesampainya mereka di Madinah ternyata Rasulullah juga baru saja
kembali dari Khaibar,
setelah Allah menaklukkannya.
Rasulullah Saw. sangat bahagia
sekali bertemu dengan Ja’far. Aku tidak tahu apakah yang paling membuat
beliau bahagia. Apakah karena ditaklukkannya benteng Khaibar ataukah karena
bertemu dengan Ja’far?
Kebahagiaan semua kaum muslimin
dan orang-orang miskin dengan kedatangan Ja’far bin Abi Thalib belum seberapa
dibandingkan kebahagiaan beliau.
Ja’far adalah orang yang sangat
sayang dan pengertian dengan orang-orang miskin bahkan sering berbuat baik
kepada mereka, hingga mendapatkan julukan ‘Ayah orang-orang miskin’.
Abu Hurairah menceritakan
masalah tersebut, “Sebaik-baik manusia untuk kami orang miskin adalah Ja’far
bin Abi Thalib. Dia sering mengajak kami ke rumahnya dan memberikan kami semua
makanan yang dia miliki. Hingga ketika semua makanannya sudah habis, dia
mengeluarkan kantong yang biasa dia pakai untuk tempat keju. Keju yang ada di
dalamnya sudah habis. Lalu kami membelahnya dan menjilati sisa-sisa keju yang
ada di dalamnya.
Ja’far tidak tinggal lama di
Madinah. Pada awal tahun 8 Hijrah Rasulullah Saw. menyiapkan pasukan untuk
memerangi bangsa Romawi. Rasulullah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglima
dalam pasukan tersebut. beliau bersabda, “Jika Zaid terbunuh atau terluka, maka
panglima yang menggantikannya adalah Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far bin Abi
Thalib terbunuh, maka panglima yang menggantikannya adalah Abdullah bin
Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah juga terbunuh, maka biarlah kaum muslimin
yang memilih sendiri panglima dari kalangan mereka.”
Dan ketika pasukan muslimin
sampai di Mu’tah, yaitu sebuah desa yang terletak di depan Syam, Yordania.
Mereka mendapati pasukan Romawi mengerahkan 100.000 pasukannya ditambah dengan
100.000 pasukan nasrani dari kalangan arab yang berasal dari kabilah Lakhm,
Judzam dan Qudza’ah dsb.
Sedangkan pasukan muslimin hanya
berjumlah 3000 pasukan.
Ketika perang mulai berkecamuk,
seketika itu juga Zaid bin Haritsah tersungkur syahid dalam keadaan menghadapi
peperangan bukan melarikan diri. Dengan cepat Ja’far bin Abi Thalib melompat ke
atas kuda yang baru saja ditunggangi Zaid. Ja’far menusuk kuda tersebut hingga
mati agar tidak dapat digunakan oleh musuh.
Ja’far merengsek ke dalam
barisan musuh dengan membawa panji perang seraya bersyair,
Alangkah indahnya surga
Isinya menyenangkan dan
makanannya lezat-lezat
Sedangkan bangsa Romawi
telah dengan siksaannya
Mereka adalah bangsa kafir,
jauh dari keluarganya
Apabila aku berhadapan
dengan mereka aku harus membunuhnya
Ja’far berkeliling di barisan
musuh dengan menghunus pedangnya, hingga tangan kanannya terkena sabetan pedang
hingga tangan kanannya putus. Lalu Ja’far membawa panji perang dengan tangan
kirinya. Tidak berselang lama tangan kirnya juga mendapatkan sabetan pedang
hingga putus. Ja’far membawa panji perang itu dengan dada dan kedua lengannya.
Tidak lama berselang Ja’far tertimpa pukulan pedang yang ketiga hingga membelah
tubuhnya menjadi dua. Akhirnya Abdullah bin Rawahah mengambil panji perang
tersebut dari Ja’far. Abdullah bin Rawahah terus berperang hingga mendapatkan
syahid.
Berita terbunuhnya tiga panglima
Rasulullah sampai di telinga beliau. Rasulullah sangat sedih sekali. Seketika
itu juga beliau pergi ke rumah sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib dan mendapati
istrinya, Asma’ bersiap-siap menanti kehadiran suaminya yang pergi.
Asma’ sudah membuatkan adonan
kue untuk Ja’far dan juga sudah memandikan anak-anaknya, memberikan
wangi-wangian dan memakaikan mereka pakaian yang paling baik.
Asma’ berkata, “Ketika
Rasulullah Saw. menemui kami raut muka kesedihan menggelayuti wajah beliau yang
mulia. Kecemasan hinggap dalam diriku. Hanya saja aku tidak mau bertanya kepada
beliau mengenai Ja’far bin Abi Thalib karena takut jika aku mendengar berita
yang tidak aku inginkan dari beliau.”
Lalu Rasulullah mengucapkan
salam pada kami dan berkata, “Panggillah anak-anak Ja’far agar menghadapku!”
Akupun memanggil mereka agar bertemu Rasulullah.
Mereka berlarian gembira dan
menggeram. Mereka mengerubuti beliau. Semuanya ingin dekat dengan beliau. Lalu
Rasulullah merangkul mereka dan mencium mereka. Dan kedua matanya mengeluarkan
air mata yang terus menetes dari matanya.
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah,
demi ayah dan ibuku, apa yang membuatmu menangis? Apakah engkau mendengar
berita mengenai Ja’far dan kedua sahabatnya?” Beliau menjawab…..beliau
menjawab, “Iya, sungguh mereka bertiga mati syahid pada hari ini juga.”
Mendengar perkataan Rasulullah,
sirnalah senyum yang menghiasi wajah-wajah kecil anakku, apalagi ketika ibu
mereka menangis tersedu-sedu. Mereka berdiri tegak di tempat mereka. Mereka
tidak bergerak sedikitpun, seakan-akan di atas mereka ada burung yang hinggap.
Sedangkan Rasulullah pergi
dengan mengusap air mata yang menetes dari matanya. Beliau berdoa, “Ya Allah,
berilah ganti dari Ja’far kepada anak-anaknya…. Ya Allah, berilah ganti dari
Ja’far kepada keluarganya…” Lalu Rasulullah kembali bersabda, “Sungguh aku
melihat Ja’far berada di surga, dia memiliki dua sayap yang berlumuran darah.
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon