Kamis, 28 Maret 2013

KISAH CINTA ALI BIN ABI THALIB DAN FATIMAH AZ ZAHRA




Salah seorang wanita dunia yang memiliki keistimewaan di syurga dan menjadi junjungan seluruh penghuni syurga termasuk bidadari adalah Fatimah Az-Zahra (anak dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Khadijah binti Khuwalid). Fatimalah yang merupakan satu-satunya puteri yang paling dikasihi oleh Rosulullah selepas kewafatan isterinya yang paling dicintai. Fatimah lah wanita terkemuka di dunia dan penghuni syurga di akhirat yang memahami sifat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fatimah dalam jodohnya dipilihkan oleh Rosulullah bukanlah memandang harta, tetapi memandang agamanya. Meskipun semua laki-laki yang melamarnya tidaki meragukan agamanya dan kesholehannya, Rosulullah dengan pertimbangan lain justru Ali bin Abi Thalib yang dipilihnya untuk dijadikan suami anak kesayangannya itu.

Bersuamikan Ali bin Abi Thalib bukanlah satu kebanggaan yang menjanjikan kekayaan harta. Karena Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang daripada empat sahabat yang sangat rapat dengan Rasulullah merupakan sahabat yang sangat miskin berbanding dengan yang lain (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan). Namun jauh di sanubari Rasulullah tersimpan perasaan kasih dan sayang yang sangat mendalam terhadap Ali bin Abi Thalib. Rasulullah pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Fatimah lebih kucintai daripada engkau, namun dalam pandanganku engkau lebih mulia daripada dia.” (HR Abu Hurairah). Dengan demikian wanita pilihan untuk lelaki pilihan. Fatimah mewarisi akhlak ibunya Siti Khadijah. Tidak pernah membebani dan menyakiti suami dengan kata-kata atau sikap. Senantiasa senyum menyambut kepulangan suami hingga hilang separuh masalah suaminya. Dengan mas kawin hanya 400 dirham,  dia memulakan penghidupan dengan wanita yang sangat dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat. Dan ’Ali pun menikahi Fathimah, dengan menggadaikan baju besinya kepada Ustman bin Affan itulah, dan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Rosulullah berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Kemudian Rosulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”. Selanjutnya  Rasulullah  mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).

Dalam suatu kisah menceriterakan tentang keadaan rumah tanggal Ali bin Abi Thalib yang hidup miskin dan serba kekurangan setelah menikah dengan Fatimah binti Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku bersabarlah. Sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah yang bermanfaat bagi keluarganya”. Itulah jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Fatimah mengadukan keadaan keluarganya.

Suatu ketika, Rosulullah keluar dari rumah Fatimah dengan tanda-tanda kemarahan di wajahnya. Padahal beliau baru saja sampai di rumah Fatimah. Sikap itu sebagai reaksi beliau atas penampilan anaknya yang mengenakan giwang dan rantai terbuat dari perak, serta selot pintu rumah yang terbuat dari bahan sejenis perak. Karena memahami sifat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fatimah segera mencopot perhiasan dan selot pintu dan menyerahkannya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata. : “Jadikanlah semua ini di jalan Allah, ya ayahku”. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat terharu, dan bersabda “Sungguh kamu telah melakukannya, wahai anakku. Ketahuilah, dunia ini bukan untuk Muhammad dan keluarganya. Seandainya dunia ini bernilai di sisi Allah sebesar sayap nyamuk, tak akan ada orang kafir diberi minum setetespun”.

Bukannya  Ali bin Abi Thalib tidak mau menyediakan seorang pembantu untuk isterinya tetapi memang keadaan kefakiranlah yang sedemikian rupa. Ali bin Abi Thalib pun cukup memaklumi isterinya yang setiap hari menguruskan anak-anak, memasak, membasuh dan menggiling tepung, dan yang lebih memenatkan lagi bila terpaksa mengambil air melalui jalan yang berbatu-batu jauhnya sehingga kelihatan tanda di bahu kiri dan kanannya. Suami mana yang tidak saying kepada isterinya. Pada suatu ketika bila Ali bin Abi Thalib berada di rumah turut  menyinsing lengan membantu istrinya menggiling tepung di dapur. “Terima kasih suamiku,” bisik Fatimah kepada suaminya. Usaha sekecil itu, di celah-celah kesibukan sudah cukup berkesan dalam membelai perasaan seorang isteri.

Suatu hari, Rasulullah masuk ke rumah anaknya, didapati puterinya (Fatimah) yang berpakaian kasar itu sedang mengisar biji-biji gandum dalam linangan air mata. Fatimah segera mengesat air matanya tatkala menyedari kehadiran ayahanda kesayangannya itu. Lalu ditanya oleh baginda, “Wahai buah hatiku, apakah yang engkau tangiskan itu? Semoga Allah menggembirakanmu.”. Dalam nada sayu, Fatimah berkata, “Wahai ayahanda, sesungguhnya anakmu ini terlalu penat kerana terpaksa mengisar gandum dan menguruskan segala urusan rumah seorang diri. Wahai ayahanda, kiranya tidak keberatan bolehkah ayahanda meminta suamiku menyediakan seorang pembantu untukku?”.

Rosulullah tersenyum seraya bangun mendapatkan kisaran tepung itu. Dengan lafaz Bismillah, Rosulullah meletakkan segenggam gandum ke dalam kisaran itu. Dengan izin Allah, maka berpusinglah kisaran itu dengan sendirinya. Hati Fatimah sangat terhibur dan merasa sangat gembira dengan hadiah istimewa dari ayahandanya itu. Habis semua gandumnya dikisar dan batu kisar itu tidak akan berhenti selagi tidak ada arahan untuk berhenti, sehingga Rasulullah menghentikannya. Bersabdalah Rasulullah dengan kata-kata yang masyhur, “Wahai Fatimah, Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadaku untuk menjadi emas, namun ayahanda memilih untuk keluarga kita kesenangan di akhirat.” Jelas, Rasulullah mau mendidik puterinya bahawa kesusahan bukanlah penghalang untuk menjadi solehah.

Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang, “Puteriku, mahukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta itu?”. “Tentu sekali ya Rasulullah,” jawab Siti Fatimah kegirangan. Rasulullah  bersabda, “Jibril telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai sembahyang, hendaklah membaca ‘Subhanallah’ sepuluh kali, Alhamdulillah’ sepuluh kali dan ‘Allahu Akbar’ sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca ‘Subhanallah’, ‘Alhamdulillah’ dan ‘Allahu Akbar’ ini sebanyak tiga puluh tiga kali.”

Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Siti Fatimah. Semua pekerjaan rumah tangga dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun tanpa pembantu rumah. Itulah hadiah istimewa dari Allah buat hamba-hamba yang hatinya sentiasa mengingatiNya.

Suatu hari masuklah Rasulullah menemui anandanya Fathimah az-Zahra radhiallahu ‘anha didapati anandanya sedang menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah bertanya kepada anandanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah?, Semoga Allah tidak menyebabkan matamu menangis”. Fathimah berkata, “Ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumahtanggalah yang menyebabkan ananda menangis”. Lalu duduklah Rasulullah di sisi anandanya. Fathimah melanjutkan perkataannya, “Ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta ‘aliy (suaminya) mencarikan ananda seorang jariah untuk menolong ananda menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah”.

Mendengar perkataan anandanya ini maka bangunlah Rasulullah mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya “Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah. Rasulullah meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk anandanya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Allah dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya.

Rasulullah berkata kepada gilingan tersebut, “Berhentilah berputar dengan izin Allah”, maka penggilingan itu berhenti berputar. Lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata. Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, “Ya Rasulullah, demi Allah, Tuhan yang telah menjadikan baginda dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Kalaulah baginda menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah suatu ayat yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan”.

Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka. Rasulullah kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, “Bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fathimah az-Zahra di dalam syurga”. Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.
Rasulullah bersabda kepada anandanya,
“Jika Allah menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat. 

Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat. 

Ya Fathimah perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit. 

Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang. 

Ya Fathimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat. 

Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak ridha denganmu tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa ridha suami itu daripada Allah dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah?. 

Ya Fathimah, apabil seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah  akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni berperang sabil. Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman sorga, dan Allah akan mengkaruniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat. 

Perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah akan memakaikannya sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikaruniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah.
Ya Fathimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah akan memandangnya dengan pandangan rahmat. 

Ya Fathimah perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menata rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit (malaikat), “Teruskanlah amalmu maka Allah telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang”.
 
Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya serta menggunting kukunya maka Allah akan memberinya minuman dari sungai-sungai sorga dan Allah akan meringankan sakarotulmaut-nya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga seta Allah  akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian Shirat”.  (Syarah ‘Uquudil lijjaiin-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani).

Sekarang apa rahasia Ali bin Abi Thalib mencintai Fathimah? Fathimah adalah teman karib semenjak kecil, puteri tersayang Rosulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rosulullah yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya maupun kecerdasannya. Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya (Rosulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah (sang ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Ali bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah laku Fatimah) disebut cinta?. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali bin Abi Thalib. Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia dibanding dengan Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa kanak-kanak kurang pergaulan. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali bin Abi Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi Thalib. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”. Cinta tak pernah meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak, dan Ali bin Abi Thalib terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri menyambut Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab.

Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar bin Khaththab memang masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali bin Abi Thalib mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab..”.  Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin Khaththab melakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rosulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

Umar bin Khaththab  telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’. Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib), sekali lagi sadar. Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.  Umar bin Khaththab  jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib pun ridha.

Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk menanti. tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan. Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung ketika mendengar kabar lamaran Umar bin Khaththab  juga ditolak.

Ingin menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Rosulullah? Yang seperti ’Utsman bin Affan, sang miliyader yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri  Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya.

”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”.
 Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”.
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”.
Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

Ali bin Abi Thalib pun menghadap Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya menikahi Fathimah. Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya terjawab, ”Ahlan wa sahlan!” . Kata itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi Thalib pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan?
Bagaimana lamaranmu?”.
”Entahlah..”.
”Apa maksudmu?”.
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban ?”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka.

”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”.
Dan ’ Ali bin Abi Thalib  pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” . Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Seperti ’ Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan,  dan yang kedua adalah keberanian. 

Ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda
”.Ali bin Abi Thalib terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”.
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”. 

 Kemudian Rosulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”.

Selanjutnya, Rasulullah mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).

Demikian yang dapat disampaikan, semoga dapat mengambil hikmahnya baik dari sisi si laki-laki maupun sisi perempuan dimana Ali bin Abi Thalib dan Fathimah merupakan dua orang hamba yang menghuni syurga. Terima kasih atas note-note dari saudara Maulana Malik Ibrahim, saudara Muhammad Al-Farizi dan saudari Ummi Hayfa yang tergabung dalam Group Menata Hati, semoga amalnya dapat dibalas oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala…amiin. Bilahit taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh 

Artikel Terkait

1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon