Jumat, 29 Maret 2013

UPACARA KELAHIRAN ADAT SASAK



Anak merupakan sesuatu yang sangat didambakan bagi pasangan suami istri, begitu pula dengan masyarakat sasak. Ketika mendapatkan seorang anak (melahirkan anak) masyarakat sasak umumnya melakukan berbagai upacara untuk mensyukuri kelahiran anaknya. Berikut adalah berbagai Upacara Kelahiran  yang dilakukan oleh masyarakat sasak sebelum dan ketika telah melahirkan anak.

A.    BRETES
Upacara bretes dilakukan setelah usia kandungan tujuh bulan dengan maksud memberikan keselamatan kepada ibu dan calon banyinya. Setelah banyi lahir, ari-arinya diperlakukan sama dengan sang  banyi, karena menurut mereka ari-ari adalah saudara sang banyi yang oleh orang-orang Sasak disebut adik-kakak, berarti bayi dan ari-arinya adalah adik-kakak.

Setelah ari-ari dibersihkan kemudian di masukkan ke dalam periuk atau tempurung kelapa setengah tua yang sudah dibuang airnya kemudian ditanam di wilayah penirisan yang diberi tanda dengan gundukan tanah seperti kuburan. Sebagai batu nisannya dipergunakan bambu kecil berlubang yang diletakkan berdampingan dengan lekesan daun sirih yang sudah digulung dan diikat dengan benang putih, pinang, kapur sirih dan rokok tradisional. Semua kelengkapan tadi ditata dalam rondon. Rondon tersebut dari daun pisang yang berbentuk segi empat menyerupai kotak.

B.     MELAHIRKAN ANAK
Setelah itu mengadakan sesaji atau selamatan melalui upacara  tertentu yang berkaitan aktivitas kehidupan mereka sehari-hari, sebagai mana halnya yang dilakukan wanita Sasak apabila melahirkan, maka suaminya segera mencari belian (dukun beranak) yang mengetahui seluk beluk melahirkan tersebut.

Dalam melahirkan, apabila calon ibu kesulitan dalam melahirkan maka belian atau dukun beranak menafsikan bahwa tingkah laku sang ibu sebelum hamil, misalnya kasar terhadap suami atau ibunya, untuk itu diadakan upacara seperti menginjak ubun-ubun, meminum air bekas cuci tangan yang disertai dengan mantra dan sebagainya agar mempercepat kelahiran sang bayi.

C.    MOLANG MALIK
Pada saat bayi berumur tujuh hari diadakan upacara molang malik (membuang sial) diperkirakan dalam usia tersebut pusar bayi telah gugur. Pada kesempatan itulah sang bayi diberi nama dan diperbolehkan keluar rumah. Belian (dukun beranak)  mengoleskan sepah sirih di atas dada dan dahi sang bayi maupun ibunya. Di beberapa tempat di Lombok selain upacara  molang malik dikenal juga upacara pedak api yang pada hakikatnya bertujuan sama. Prosesi pelaksanaan pedaq api adalah :
1.      Mem-boreh sang ibu dengan boreh yang sudah diramu atau di haluskan dan diberi doa oleh dukun beranak.
2.    Setelah selesai memboreh lalu dukun menyiapkan bara api yang terbuat dari sabut kelap yang di taburi kemenyan dari daun lemundi (sejenis tumbuhan pardu).
3.   Ibu bayi menggunkan kain secara berkembeng (kain sampai batas dada) sambil menggendong bayinya dan berdiri diatas bara api dan kemudian dukun memberinya doa / mantra.
4.    Setelah dukun beranak atau belian selesai berdoa bara api disiram dengan air bunga rampai (medak api)
5.    Kemudian sang ibu menyembe’ dan menjam-jam (mendoakan si bayi menurut kehendak sang ibu). Hal ini dilakukan apabila tali pusar sang bayi sudah kering dan terlepas dari pusarnya.

Pada saat itu juga diadakan upacara turun tanah (turun gumi) dengan menurunkan bayi tersebut sebanyak tujuh kali ke atas tanah. Bertepatan dengan ini juga diadakan pemberian nama pada si bayi. Untuk bayi perempuan diturunkan bilamana terdapat alat nyesek (menenun) dan untuk bayi laki-laki diturunkan bilamana terdapat tenggele/bajak (alat pertanian). Umumnya dibeberapa tempat, si bayi yang melangsungkan upacara pedaq api digendong memakai umbaq (lempot). Bila bayinya perempuan maka yang dipakai adalah umbaq yang dipakai milik ayah, sedangkan jika laki-laki maka yang dipakai adalah umbaq milik ibunya.

Bagi orang Sasak, pusar si bayi yang sudah jatuh disimpan dan dibungkus dengan kain putih dan kemudian dimasukkan  ke dalam tabung perak atau kuningan untuk dijadikan azimat. Selain itu air bekas siraman pusar bisa dijadikan obat apabila si anak sakit mata.

D.    NGURISANG

Upacara ini sangat penting artinya bagi sebuah keluarga, rambut yang di bawa dari dalam kandungan di sebut bulu panas, maka harus dihilangkan. Untuk itu masyarakat Sasak melakukan selamatan, doa atau upacara sederhana yang disebut ngurisang. Pada upacara ini pihak keluarga mengundang para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat untuk membacakan selakaran yang terdiri dari untaian do’a dan Shalawat Nabi.

Biasanya seorang laki-laki atau ayahnya menggendong bayi tersebut sambil berjalan berkeliling dihadapkan orang –orang yang sedang membacakan selakaran  serta masing –masing yang hadir memotong sedikit rambut sang bayi dengan gunting yang direndam dalam air bunga. Pada upacara ini dikenakan sabuk pemalik yakni alat yang dipergunakan untuk menggendong si bayi. Sabuk pemalik dianggap keramat karena proses pembuatan dan penyimpanannya berdo’a.

Upacara ngurisang biasanya diadakan secara besar-besaran dan diikuti dengan upacara bekekah yaitu memotong hewan kurban di sebut begawe kekah. Sering kali terkadang pelaksanaan bekuris agak mundur karena terkait dengan finansial. Namun jika tidak mampu cukup pergi ke dukun beranak yang telah membantu kelahirannya. Dalam hal ini cukup mengantar sesaji (andang-andang) dan sabuk katik (sejenis umbak tepi berukuran kecil dengan bentuk masih bersambung). Sabuk ketiq di masyarakat Sasak disebut Lempot puset atau sabuk kuning.

Beberapa kelompok masyarakat ada yang melaksanakan upacara ngurisang di pedewaq atau kemaliq (ritual waktu telu) disebut begawe rasul. Sebelum upacara ngurisang dimulai terlebih dahulu dibuatkan umbaq kombong yaitu umbaq yang rumbainya tidak terdapat ikatan kepeng bolong (uang logam China). Jika terdapat ikatan pada rumbainya maka umbaq tersebut dipergunakan pada upacara ngayu-ayu di masyarakat Sasak.

Tenun umbaq kombong dibuat oleh ibu atau nenek yang dipandang memiliki kemampuan secara spiritual dan tidak dalam keadaan kotor. Jika tidak memiliki kemampuan dapat mendatangkan  bencana bagi si penenun.

E.     NYUNATANG
Nyunatang (Khitanan) selain merupakan acara adat, juga merupakan acara keagamaan dalam hal ini terkenal dengan nama “nyunatang”. Pada umumnya suku Sasak memeluk agama Islam yang dalam ajarannuya diperintahkan bagi anak laki-laki untuk dikhitan ( nyunatang). Dalam nyunatang  terjadi pertalian antara nilai-nilai agama Islam dengan Tradisi lama yang berkembang dalam suku Sasak, sehingga diadakan pada bulan Maulid nabi besar Muhammad SAW. Anak laki-laki yang akan dikhitan bisanya berumur lima tahun atau tujuh tahun, namun dalam prakteknya anak-anak berumur empat tahun pun dikhitan. Dalam upacara nyunatang ada beberapa hal yang harus dilakukan :
a.       Menjelang Nyunatang
Upacara adat nyunatang adalah salah satu upacara yang sangat penting bagi masyarakat Sasak yang selalu dipestakan yang disebut  begawe. Dalam prosesi begawe ini banyak sekali dilalui berbagai macam acara seperti pergi membersihkan beras ke mata air yang diiringi dengan bunyi-bunyian musik tradisional gendang belek atau gamelan.

b.      Pelaksanaan Nyunatang
Sehari sebelum pelaksanaan nyunatang terlebih dahulu diambilkan air kemaliq untuk disiram ke ujung kemaluan yang akan dipotong , biasanya diiringi dengan bunyi-bunyian. Proses penyiraman dan pemandian dilangsungkan pada tengah malam. Pada keesokan harinya untuk menyenangkan anak yang akan disunat maka anak tersebut diarak dengan praja (kuda/singa kayu) yang diiringi dengan musik dan rombongan yang berpakaian adat.

Anak yang akan dikhitan dibawa ketempat penyunatan (sepekat). Setelah disunat segera diobati, untuk mengurangi pendcarahan pada bekas sunatan, ditaburi bulu kucing yang dicampur dengan kuning telur, supaya lekas kering ditaburi dengan batu karang yang telah ditumbuk halus.

Pada masyarakat Sasak, upacara nyunatang  dilaksanakan pada hari Kamis sebagai puncak acara dalam bulan Maulid. Hal ini dikaitkan dengan kelahiran seorang Rasul pembawa agama Islam. Kegiatan ini bermakna simbolis atas pengakuan, pembentukan dan pembinaan dalam fase awal untuk menjadi seorang muslim. Oleh karena itu, diyakini sangat tepat upacara nyunatang dirangkaikan dengan peringatan akhir kelahiran Nabi.

Kemudian, untuk keperluan nyunatang dibuatkan pepaosan yaitu balai yang dihias sebagaui tempat duduk undangan yang melambangkan derajat upacara resmi. Untuk menghias tempat pepaosan sering digunakan kereng kemaliq (kain yang disucikan ), sedangkan petugas yang disuruh membuat pepaosan adalah seorang nyaka dan mantri yang didatangkan dari berbagai kampung. Bagi anak-anak Sasak yang akan dikhitan diharuskan memakai kereng yang khusus ditenun  pada bulan Rabiul Awal.

Artikel Terkait

1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon