Sarat Wajib adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum
melaksanakan suatu ibadah. Seseorang yang tidak memenuhi syarat wajib,
maka gugurlah tuntutan kewajiban kepadanya. Sedangkan rukun adalah
hal-hal yang harus dilakukan dalam sebuah ibadah.
Adapun Syarat pertama seseorang itu diwajibkan menjalankan
ibadah puasa, khususnya puasa Ramadhan, yaitu ia seorang muslim atau
muslimah. Karena puasa adalah ibadah yang menjadi keharusan atau rukun
keislamannya, sebagaimana termaktub dalam hadits yang diriwayat kan oleh
Imam Turmudzi dan Imam Muslim:
عَنْ أَبِي
عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ
الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ
Dari Abi Abdurrahman, yaitu Abdullah Ibn Umar Ibn Khattab
r.a, berkata: saya mendengar Rasulullah s.a.w, bersabda: Islam didirikan
dengan lima hal, yaitu persaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah utusan-Nya, didirikannya shalat, dikeluarkannya zakat,
dikerjakannya hajji di Baitullah (Ka’bah), dan dikerjakannya puasa di
bulan Ramadhan. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 7 dan Muslim: 19)
Syarat yang kedua
seseorang itu berkewajiban menjalankan ibadah puasa ramadhan, yaitu ia
sudah baligh, dengan ketentuan ia pernah keluar mani dari kemaluannya
baik dalam keadaan tidur atau terjaga, dan khusus bagi perempuan sudah
keluar haid. Dan syarat keluar mani dan haid pada batas usia minimal 9
tahun.
Dan bagi yang belum keluar mani dan haid, maka batas
minimal ia dikatakan baligh pada usia 15 tahun dari usia kelahirannya.
Dengan syarat ketentuan baligh ini, menegaskan bahwa ibadah puasa
ramadhan tidak diwajibkan bagi seorang anak yang belum memenuhi
cirri-ciri kebalighan yang telah disebutkan di atas.
Syarat yang ketiga
bagi seorang muslim dan baligh itu terkena kewjiban menjalankan ibadah
puasa, apabila ia memiliki akal yang sempurna atau tidak gila, baik gila
karena cacat mental atau gila disebabkan mabuk.
Seseorang yang
dalam keadaan tidak sadar karena mabuk atau cacat mental, maka tidak
terkena hukum kewajiban menjalankan ibadah puasa, terkecuali orang yang
mabuk dengan sengaja, maka ia diwajibkan menjalankan ibadah puasa
dikemudian hari (mengganti di hari selain bulan ramadhan).
رُفِعَ
اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظُ وَعَنِ
اْلمَجْنُوْنِ حَتّى يُفِيْقَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ
Tiga golongan yang tidak terkena hukum syar’i: orang yang tidur
sapai ia terbagngun, orang yang gila sampai ia sembuh, dan anak-anak
sampai ia baligh. (Hadits Shahih, riwayat Abu Daud: 3822, dan Ahmad:
910. Teks hadits riwayat al-Nasa’i)
Syarat keempat adalah kuat menjalankan ibadah puasa. Selain
islam, baligh, dan berakal, seseorang harus mampu dan kuat untuk
menjalankan ibadah puasa. Dan apabila tidak mampu maka diwajibkan
mengganti di bulan berikutnya atau membayar fidyah. Untuk keterangan
lebih detailnya akan dijelaskan pada fasal selanjutnya yang insyaallah
akan diterangkan pada pasal permasalahan-permasalahan yang berkenaan
dengan ibadah puasa.
Syarat kelima Mengetahui Awal Bulan
Ramadhan. Puasa Ramadhan diwajibkan bagi muslim yang memenuhi
persyaratan yang telah diuraikan di atas, apabila ada salah satu orang
terpercaya (adil) yang mengetahui awal bulan Ramadhan dengan cara
melihat hilal secara langsung dengan mata biasa tanpa peralatan
alat-alat bantu. Dan persaksian orang tersebut dapat dipercaya dengan
terlebih dahulu diambil sumpah, maka muslim yang ada dalam satu wilayah
dengannya berkewajiban menjalankan ibadah puasa. Dan apabila hilal tidak
dapat dilihat karena tebalnya awan, maka untuk menentukan awal bulan
Ramadlon dengan menyempurnakan hitungan tanggal bulan sya’ban menjadi 30
hari.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad s.a.w, yang diriwayatkan oleh Imam Buchori, r.a:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُواعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Berpuasa dan berbukalah karena melihat hilal, dan
apabila hilal tertutup awan maka sempurnakanlah hitungannya bulan
menjadi 30 hari (H.R. Imam Buchori)
عَنْ عِكْرِمَةَ
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ اَعْرَبِيُّ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اِنِّي رَاَيْتُ اْلهِلَالَ فَقَالَ:
اَتَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلّاَ اللهَ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَتَشْهَدُ
اَنْ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: يَا بِلَالُ اَذِّنْ فِى النَّاسِ
فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا
Dari ‘ikrimah, ia dapatkan dari Ibnu Abbas, berkata:
datanglah orang Arab Badui menghadap Nabi s.a.w, ia berkata:
sesungguhnya aku telah melihat hilal. Nabi menjawab: apakah kamu akan
bersaksi (bersumpah) “sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah”, orang Arab
Badui tadi menjawab; “ia”. Lalu Nabi bertanya lagi: apakah kamu akan
bersaksi (bersumpah) “ sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah”, dan
Orang Arab Badui menjawab “ia”. Lalu Nabi bersabda; “wahai Bilal
perdengarkanlah adzan ditengah-tengah kerumunan manusia, dan
perintahkanlah mereka untuk mengerjakan puasa pada esok hari” (Hadits
Shahih diriwayatkan oleh lima Imam, kecuali Ahmad)
Adapun
Rukun puasa hanya dua, pertama Niat. Niat puasa Ramadhan merupakan
pekerjaan ibadah yang diucapkan dalam hati dengan persyaratan dilakukan
pada malam hari dan wajib menjelaskan kefarduannya didalam niat
tersebut, contoh; saya berniat untuk melakukan puasa fardlu bulan
Ramadhan, atau lengkapnya dalam bahsa Arab, sebagai berikut:
نـَوَيْتُ صَوْمَ غـَدٍ عَـنْ ا َدَاءِ فـَرْضِ شـَهْرِ رَمـَضَانِ هـَذِهِ السَّـنـَةِ لِلـّهِ تـَعَالىَ
Saya niat mengerjakan ibadah puasa untuk menunaikan keajiban bulan Ramadhan pada tahun ini, karena Allah s.w.t, semata.
Sedangkan dalil yang menjelaskan niat puasa Ramadhan
dilakukan pada malam hari adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w, sebagai
berikut:
مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
Siapa yang tidak membulatkan niat mengerjakan puasa
sebelum waktu hajar, maka ia tidak berpuasa. (Hadits Shahih riwayat Abu
Daud: 2098, al-Tirmidz: 662, dan al-Nasa’i:2293).
Adapun dalil yang menjelaskan waktu mengucapkan niat untuk puasa sunnah, bisa dilakukan setelah terbit fajar, yaitu:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ : دَخَلَ عَلَّيَّ رَسُولُ اللهِ صَلِّي اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ شَيْءٍ ؟ فَقُلْنَا
لَا فَقَالَ: فَاِنِّي اِذًنْ صَائِمٌ. ثُمَّ اَتَانَا يَوْمًا اَخَرَ،
فَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ اُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ: اَرِيْنِيْهِ
فَلَقَدْ اَصْبَحْتُ صَائِمًا فَاَكَلَ
Dari Aisyah r.a, ia menuturkan, suatu hari Nabi s.a.w,
dating kepadaku dan bertanya, “apakah kamu punya sesuatu untuk
dimakan?”. Aku menjawab, “Tidak”. Maka Belaiu bersabda, “hari ini aku
puasa”. Kemudian pada hari yang lain Beliau dating lagi kepadaku, lalu
aku katakana kepadanya, “wahai Rasulullah, kami diberi hadiah makanan
(haisun)”. Maka dijawab Rasulullah, “tunjukkan makanan itu padaku,
sesungguhnya sejak pagi aku sudah berpuasa” lalu Beliau memekannya.
(Hadits Shahih, riwayat Muslim: 1952, Abu Daud: 2099, al-Tirmidzi; 666,
al-Nasa’i:2283, dan Ahmad:24549)
Dan rukun kedua adalah
Menahan Diri Dari Segala Sesuatu Yang Membatalkan Puasa. Untuk detailnya
apa-apa yang membatalkan puasa akan dijelaskan pada pasal sesuatu yang
membatalkan puasa.
...فَاْلئَنَ
باَشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوْا
وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ
اْلخَيْطِ اْلاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ ثُمَّ اَتِّمُوْا الصِّيَامَ اِلَى
اللَّيْلِ...
“…maka sekarang campurilah, dan carilah apa yang telah
ditetapkan oleh Allah untukmu, serta makan dan minumlah sampai waktu
fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai waktu malam tiba...(QS.
al-Baqarah, 2: 187)