Saat ini juga momen untuk menyegarkan kembali ingatan kita bahwa khasanah astronomi dalam Islam tak melulu berkutat pada kalender maupun penentuan awal bulan kalender Hijriah semata, tetapi juga meliputi sejumlah aspek lain termasuk arah kiblat. Pun inilah momen yang mengingatkan kita kembali betapa hisab dan rukyat merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan sehingga menceraikannya akan berakibat serius.
Pada Minggu 14 Juli hingga Selasa 16 Juli 2013, tepatnya pada pukul 12:27 waktu Mekkah yang bertepatan dengan pukul 16:27 WIB di Indonesia, bakal terjadi peristiwa istimewa di mana Matahari akan berkedudukan di titik zenith dalam bola langit horizon kota suci Mekkah.
Sederhananya, saat itu Matahari persis berada di atas kiblat sehingga segala jenis benda yang tersinarinya pada saat itu akan tepat sejajar dengan arah kiblat pada akurasi yang cukup tinggi, sepanjang benda tersebut tepat tegak lurus paras air rata-rata.
Fenomena ini menarik untuk dicermati, mengingat dalam realitasnya jumlah masjid/musala yang arahnya belum berimpit dengan arah kiblat bagi Indonesia masih cukup besar. Yakni merentang antara 60 hingga 80 %, merujuk pada survei cepat yang pernah dilakukan Badan Hisab dan Rukyat (BHR) DIY dan BHR Daerah Kebumen (Jawa Tengah) secara terpisah di daerahnya masing-masing.
Arah kiblat Indonesia
Kiblat merupakan hal esensial bagi Umat Islam, mengingat shalat hanya bisa dinyatakan sah bila telah menghadap kiblat. Dan segenap ulama dan cendekiawan Muslim bersepakat bahwa kiblat berporos pada Ka’bah, bangunan suci peninggalan Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS.
Arah hadap ke kiblat dikenal sebagai arah kiblat dan menjadi elemen terpenting bagi masjid/musala di mana pun.
Dengan Ka’bah sebagai bangunan kecil di tengah keluasan muka Bumi, pengukuran arah kiblat dari titik-titik yang berjarak sangat jauh dari kota suci Makkah, akan menemui kesulitan besar yang melampaui batas toleransi alat ukur. Sebagai kompensasinya, kiblat perlu didefinisikan secara tersendiri dibanding Ka’bah. Sehingga, bila pengukuran dilakukan, kaidah tidak memberatkan dalam beragama tetap terpenuhi. Namun kiblat masih tetap berhubungan erat dengan Ka’bah.
Dalam konteks ini, saya, Muh. Ma’rufin Sudibyo (2011) melontarkan gagasan untuk mendefinisikan ulang kiblat sebagai area lingkaran beradius 45 km berpusat di Ka’bah yang melingkupi segenap batas-batas tanah suci Mekkah. Usulan ini didasarkan fakta bahwa arah Masjid Nabawi dan Masjid Quba’, dua masjid bersejarah yang dibangun sendiri oleh Nabi SAW, ternyata menyudut terhadap arah kiblat masing-masing sebesar 3 dan 7,5 derajat.
Dengan status Nabi SAW yang ma’shum (terbebas dari kesalahan) dan perbuatan/kata-katanya menjadi salah satu sumber hukum, maka realitas arah Masjid Nabawi dan Masjid Quba’ menjadi acuan mengonstruksi definisi baru tentang kiblat.
Arah kiblat tak bisa lepas dari jarak terdekat antara sebuah titik di muka Bumi dengan kiblat. Secara umum, jarak terdekat antara dua titik di permukaannya adalah melalui busur lingkaran besar (orthodrom), bukan melewati sisi miring yang mematuhi teorema Phytagoras dalam bidang datar (loksodrom). Hal ini karena bentuk Bumi yang bulat pepat (geoida), sehingga permukaannya melengkung.
Penggunaan konsep loksodrom bagi muka Bumi akan membuat jarak yang terhitung jauh lebih besar dibanding senyatanya. Misalnya, dalam kasus jarak antara Sabang (Indonesia) dan Mekkah (Saudi Arabia), yang sejatinya hanya 6.214 km. Namun, jika konsep loksodrom dipaksakan maka akan diperoleh nilai 8.063 km atau 1.849 km lebih besar.
Dengan mengikuti jarak terdekat itu, maka arah kiblat merupakan besaran azimuth dengan nilai tertentu dalam bola langit horizon.
Arah kiblat di Indonesia bervariasi di antara nilai azimuth 290,15 hingga 295,55 dengan toleransi yang diperbolehkan bagi setiap titik hanyalah sebesar 0,5 derajat. Untuk mempermudah menerjemahkan angka-angka ini, secara sederhana konsep azimuth dapat kita bayangkan seperti arah-arah mata angin, hanya saja tiap arah dipatok pada nilai tertentu.
Arah utara memiliki azimuth 0, sementara timur azimuth 90, selatan dengan azimuth 180 dan barat mempunyai azimuth 270. Nilai terkecil arah kiblat Indonesia terjadi di Kabupaten Merauke (Papua) sementara yang terbesar adalah Kabupaten Manna (Bengkulu).
Rukyat arah Kiblat
Layaknya yang terjadi dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya, salah satu masalah dalam khasanah arah kiblat di Indonesia adalah dipaksa pisahnya hisab terhadap rukyat arah kiblat.
Perbedaan dalam sistem hisab
arah kiblat memang nyaris tak dijumpai, tak seperti penentuan awal bulan
kalender Hijriyyah yang ragamnya sampai 26 macam. Tetapi, akibat kurang
dipahaminya tata cara rukyat arah kibla,t membuat masjid/musala di
Indonesia yang jumlahnya mencapai lebih dari 800.000 buah (hanya yang
terdaftar di Kementerian Agama) didominasi oleh masjid/musala yang
arahnya menyudut (tak berimpit) terhadap arah kiblat Indonesia.
Inilah yang memicu heboh arah kiblat pada 2010 silam, saat arah kiblat
dianggap bergeser karena beragam sebab.Padahal, yang terjadi adalah
masjid/musala itu sejak awal pembangunannya memang tidak berimpit dengan
arah kiblat.
Masjid/musala di Indonesia umumnya berdiri di atas lahan yang
terbatas. Sehingga, arsitektur bangunannya disesuaikan dengan luasan
lahan dan hanya barisan shalat (shaff)-nya yang disesuaikan terhadap
arah kiblat. Rukyat arah kiblat yang terpopuler adalah yang berdasarkan
kompas magnetik.
Namun, harus digarisbawahi bahwa penggunaan kompas magnetik
mengandung risiko tersendiri, mengingat kinerjanya yang sangat
dipengaruhi oleh garis-garis medan magnet Bumi setempat.
Kontur lahan
tak rata, konsentrasi logam ferromagnetik dalam tanah/bangunan, tidak
berimpitnya kutub utara Bumi dengan kutub utara magnetik Bumi, kedekatan
dengan jaringan listrik bertegangan sangat tinggi hingga aktivitas
cuaca antariksa dalam wujud badai Matahari merupakan variabel-variabel
yang dapat mengganggu jarum kompas hingga demikian signifikan.
Untuk meminimalisir gangguan-gangguan tersebut, rukyat arah kiblat
umumnya memanfaatkan benda-benda langit tertentu sebagai patokan
azimuth. Salah satunya adalah Matahari. Bila menggunakan Matahari,
terdapat momen khusus pada akhir Mei dan pertengahan Juli di setiap
tahun Masehi (Tarikh Umum). Sebab, pada saat itu, Matahari berkedudukan
persis di atas kiblat.
Cukup dengan menggunakan pendulum berbobot cukup yang tergantung pada
sebuah stasioner dan jam yang telah dikalibrasikan terhadap waktu
standar, rukyat arah kiblat dapat dilaksanakan.
Pada 14 hingga 16 Juli 2013, jika jam tepat menunjukkan pukul 16:27
WIB atau 17:27 WITA, bayang-bayang pendulum tepat berimpit dengan arah
kiblat setempat. Inilah rukyat arah kiblat yang sederhana dan praktis,
namun terjamin akurasinya.
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon