Gautama
Buddha dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sansekerta: Siddhattha
Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia
kemudian menjadi sang Buddha (secara harafiah: orang yang telah mencapai
Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni atau Sakyamuni
('orang bijak dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata.
Orang
tua
Ayah
dari Pangeran Siddharta adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan
ibunya adalah Sri Ratu Mahä Mäyä Dewi. Ibunda Ratu meninggal dunia tujuh hari
setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam
Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu maka yang merawat Pangeran Siddharta adalah
Mahä Pajäpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
Kelahiran
Pangeran
Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya
berdiri memegang dahan pohon sal. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari
langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya angat. Arus tersebut membasuh
tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri
tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, tempat yang dipijakinya
tumbuh bunga teratai. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala
diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau
akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti
meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan
tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi
Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang
Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat
empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam
peristiwa itu adalah:
1. Orang
tua,
2. Orang
sakit,
3. Orang
mati,
4. Seorang
pertapa.
Masa
kecil
Sejak
kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan
sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang
masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Dalam usia 16
tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya
setelah memenangkan berbagai sayembara. Ternyata akhirnya Sang Pangeran melihat
empat peristiwa yang selalu diusahakan agar tidak berada di dalam
penglihatannya, setelah itu Pangeran Siddharta tampak murung dan kecewa melihat
kenyataan hidup yang penuh dengan derita ini. Dalam Usia 7 tahun Pangeran
Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi Pangeran
Siddharta kurang berminat dengan pelajaran tersebut. Pangeran Siddharta
mendiami tiga istana, yaitu istana musim semi, musim hujan dan pancaroba.
Masa
dewasa
Ketika
beliau berusia 29 tahun, putera pertamanya lahir dan diberi nama Rahula.
Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk
pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua,
sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alära Käläma dan kemudian
kepada Uddaka Ramäputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang
diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang
pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrim itu dan
bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.
Kata-kata
pertapa Asita membuat Baginda tidak tenang siang dan malam, karena khawatir
kalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara
tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat
Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala
bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta,
seperti sakit, umur tua, dan kematian. Sehingga Pangeran hanya mengetahui
kenikmatan duniawi.
Suatu
hari Pangeran Siddharta meminta ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada
kesempatan yang berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat
berarti, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Sehingga
Pangeran Siddharta bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa
arti kehidupan ini, kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian.
Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti,
yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya
sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci
yang akan memberikan semua jawaban tersebut.
Selama
10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan
batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada
saat putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta
memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya,
Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani
hidup sebagai pertapa.
Masa
pengembaraan
Didalam
pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa
Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu
pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari
cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang
diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa
seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama
meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa
menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat
Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di
Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakekat dan
tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada
suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasehati
anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:
“ Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu ”
“ Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu ”
Nasehat
tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk
menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah
tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama.
Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya
dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan
kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah
pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil berprasetya, "Meskipun darahku
mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan , tetapi aku
tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan
Sempurna."
Perasaan
bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa
menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat itu. Dengan kemauan yang
keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat
dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan
dirinya di ufuk timur.
Sekarang
pertapa Gautama menjadi terang dan jernih, secerah sinar fajar yang menyingsing
di ufuk timur. Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi
Samyaksam-Buddha [Sammasam-Buddha], tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan
Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM
pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei
tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang
Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang
berarti bhakti; kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah
yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung arti suci; jingga
berarti giat; dan campuran kelima sinar tersebut.
Setelah
mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang
antara lain : Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah
Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang
Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela
merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama
Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang
ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang
menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".
Buddha
Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada
umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya
mencapai usia 80 tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan
mencapai Parinibbana.
Sang
Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan
khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi
Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB
pada bulan Mei, 543 SM).
Khotbah
Buddha Gautama terakhir mengandung arti yang sangat dalam bagi siswa-siswa-Nya
karena mengandung prinsip-prinsip beragama, seperti
·
Percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan
Ajaran Sang Buddha;
·
Jadikanlah Ajaran Sang Buddha (Dharma)
sebagai pencerahan hidup;
·
Segala sesuatu tidak ada yang kekal
abadi;
·
Tujuan dari Ajaran Sang Buddha (Dharma)
ialah untuk mengendalikan pikiran;
·
Pikiran dapat menjadikan seseorang
menjadi Buddha, namun pikiran dapat pula menjadikan seseorang menjadi binatang;
·
Hendaknya saling menghormati satu dengan
yang lain dan dapat menghindarkan diri dari segala macam perselisihan;
·
Bilamana melalaikan Ajaran Sang Buddha,
dapat berarti belum pernah berjumpa dengan Sang Buddha.
·
Mara (setan) dan keinginan nafsu duniawi
senantiasa mencari kesempatan untuk menipu umat manusia;
·
Kematian hanyalah musnahnya badan
jasmani;
·
Buddha yang sejati bukan badan jasmani
manusia, tetapi Pencerahan Sempurna;
·
Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari
Pencerahan Sempurna akan hidup selamanya di dalam Kebenaran;
·
Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati
dan mengamalkan Dharma yang akan melihat Sang Buddha;
·
Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha
tidak ada yang dirahasiakan, ditutup-tutupi ataupun diselubungi.
Sang
Buddha bersabda, "Dengarkan baik baik, wahai para bhikkhu, Aku sampaikan
padamu: Akan membusuklah semua benda benda yang terbentuk, berjuanglah dengan
penuh kesadaran!" (Digha Nikaya II, 156)
Seorang
Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna)
yang diwujudkan oleh sabda Buddha Gautama, "Penderitaanmu adalah
penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku." Manusia adalah
pancaran dari semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya
kepada Pencerahan Sempurna.
Cinta
Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu
abadi, karena telah ada dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir
dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau
kebodohan batinnya. Jalan untuk mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan
ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu
Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat
Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas,
yaitu
1. Berusaha
menolong semua makhluk.
2. Menolak
semua keinginan nafsu keduniawian.
3. Mempelajari,
menghayati dan mengamalkan Dharma.
4. Berusaha
mencapai Pencerahan Sempurna.
Buddha
Gautama pertama melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua
makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh
tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu
·
Tubuh (kaya) : pembunuhan, pencurian,
perbuatan jinah.
·
Ucapan (vak) : penipuan, pembicaraan
fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
·
Pikiran (citta) : kemelekatan, niat buruk
dan kepercayaan yang salah.
Cinta
kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan
semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah
tertinggi terlimpah kepada mereka. Bagaikan hujan yang jatuh tanpa
membeda-bedakan, demikianlah "Cinta Kasih seorang Buddha". Akan
tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin
gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya,
Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang benar dan
mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan
Sempurna". Sang Buddha adalah ayah dalam kasih sayang dan ibu dalam cinta
kasih.
Sebagai
Buddha yang abadi, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan
berbagai cara Beliau telah berusaha untuk meringankan penderitaan semua
makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak
pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Beliau
hanya menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya.
Buddha
Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai
dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Beliau tidak saja
mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun bentuk
fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat manusia yang
mendambakan hidup abadi, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan
kematian untuk membangunkan perhatian mereka.
Seorang
Buddha memiliki sifat-sifat luhur sebagai berikut:
1. Bertingkah
laku baik;
2. Berpandangan
hidup luhur.
3. Memiliki
kebijaksanaan sempurna;
4. Memiliki
kepandaian mengajar yang tiada bandingnya;
5. Memiliki
cara menuntun dan membimbing manusia dalam mengamalkan Dharma.
Buddha
Gautama memelihara semangatNya yang selalu tenang dan damai dengan melaksanakan
meditasi. Sang Buddha membersihkan pikiran mereka dari kekotoran bathin dan
menganugerahkan mereka kegembiraan dengan semangat tunggal yang sempurna. Jangkauan
pikiran Sang Buddha melampaui jangkauan pikiran manusia biasa. Dengan
kebijaksanaan yang sempurna, Buddha Gautama dapat menghindarkan diri dari
sikap-sikap ekstrim dan prasangka, serta memiliki kesederhanaan. Oleh karena
itu Beliau dapat mengetahui dan mengerti pikiran dan perasaan semua orang dan
dapat melihat yang ada dan yang terjadi di dunia dalam sekejap, sehingga
mendapatkan julukan seorang yang telah Mencapai Pencerahan Sempurna
(Sammasam-Buddha) dan Yang Maha Tahu (Sugata).
Pengabdian
Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah didalam
berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan
keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha
adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu,
Sang Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Beliau dapat berkhotbah kepada semua
orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi
sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan
kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka
yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta
mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup.
Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya
sendiri.
Buddha
Gautama bersabda, "Hanya dengan jalan melalui kepercayaan, keyakinanlah,
mereka akan dapat mengikuti ajaranKu. Karena itu setiap orang hendaknya mau
mendengarkan ajaranKu, kemudian menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari."
Wujud
dan Kehadiran Buddha
Buddha
tidak hanya dapat diketahui dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya
semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati.
Jalan yang benar untuk mengetahui Buddha adalah dengan jalan mencapai
Pencerahan Sempurna. Buddha sejati tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa,
sehingga Sifat Agung seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Namun Buddha dapat mewujudkan diri-Nya dalam segala bentuk dengan sifat yang
serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti
Sifat Agung Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya,
dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan untuk melihat dan
mengetahui Buddha dengan benar.
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon