Stasiun televisi Iran, Press TV, sedianya akan
menyiarkan musim kedua dari War; American Style. Serial dokumenter tersebut
menyelidiki keterlibatan AS dalam segala peperangan yang terjadi setelah Perang
Dunia II.
Disutradarai oleh Hossein Sharif, film dokumenter
tersebut menyoroti mengenai keterlibatan AS dalam perang Vietnam, Perang
Dingin, Perang Gurun, Perang di Bosnia, Haiti, Sudan, dan Kosovo. Dan tentunya,
penjajahan AS di Afghanistan dan Irak.
War; American Style menyoroti kehadiran lansung para
tentara AS dalam perang-perang tersebut dengan alasan memerangi terorisme dan
memburu Al-Qaidah. Musim kedua dari serial dokumenter War; American Style
terdiri dari 12 episode akan diudarakan pada tanggal 12 Desember 2012.
Sementara musim pertama serial dokumenter tersebut hanya terdiri dari 6
episode.
AS telah melakukan berbagai bentuk propaganda dalam
setiap peperangan yang diterjuninya. Propaganda tersebut tertuang dalam doktrin
yang disebarkan kepada kalangan luas. Setiap orang yang menentang doktrin
tersebut akan berada dalam masalah karena menentang doktrin berarti menentang
AS.
Masyarakat dalam iklim demokrasi memiliki kebebasan
untuk mengemukakan pendapat, oleh karena itu tidak bisa begitu saja dibungkam
dengan kekerasan. Untuk kalangan masyarakat seperti ini, pihak penguasa
mengendalikan isi dari pendapat masyarakat tersebut, dengan kata lain
pemerintah membuat propaganda untuk mengendalikan pemikiran masyarakat.
Salah satunya dengan cara menciptakan perdebatan
politik yang seolah-olah menampung banyak pemikiran, namun sejatinya memiliki
sekat pembatas yang amat sempit. Harus dipastikan bahwa kedua kubu yang
terlibat dalam perdebatan akan menerima asumsi-asumsi tertentu, dan asumsi
tersebut didasarkan pada propaganda AS. Sepanjang semua orang menerima
propaganda tersebut, maka acara debat seperti apapun akan diberikan ijin.
Perang Vietnam adalah sebuah contoh klasik sistem
propaganda AS. Di sejumlah media-media utama AS – New York Times, CBS, dan
lain-lain – perang tersebut diperdebatkan secara sengit. Perdebatan tersebut
dilakukan oleh dua kubu, sebut saja kubu "merpati" dan kubu
"elang". Kubu elang mengatakan, "Jika kita melanjutkan (perang),
maka kita akan menang." Kubu merpati mengatakan, "Bahkan jika kita
meneruskan peperangan, maka harga yang harus dibayar kelewat mahal, selain itu,
kita akan menghilangkan banyak nyawa." Meski berdebat, kedua kubu
menyepakati satu hal, bahwa AS memiliki hak untuk melakukan agresi di Vietnam
Selatan. Kubu merpati maupun elang sama-sama tidak pernah menyebutkan bahwa AS
tengah melakukan invasi. Kedua kubu menyebutkan bahwa kehadiran militer AS di
Asia Tenggara adalah untuk mempertahankan Vietnam Selatan. Kelicikan propaganda
AS menanamkan kata "mempertahankan" dan membuang jauh-jauh kata
"agresi" untuk mencuci otak rakyatnya sendiri dan siapapun yang
menjadi pembaca atau pemirsa media-media yang telah dikendalikan AS. Walaupun
pada kenyataannya, AS melakukan agresi, menyerbu Vietnam.
Misalnya, pada tahun 1962, angkatan udara AS melakukan
serangan langsung dan membombardir masyarakat pedesaan di Vietnam Selatan.
Serangan tersebut merupakan bagian dari sebuah program untuk mengenyahkan
jutaan penduduk yang kemudian "diungsikan" ke dalam sebuah area yang
dibatasi oleh kawat berduri dan para pasukan bersenjata. AS mengatakan bahwa
para penduduk akan "dilindungi" dari para gerilyawan yanng mendukung
"Viet Cong," cabang sebelah selatan dari gerakan yang dulunya
merupakan gerakan pelawanan terhadap Perancis (Vietminh). Pemerintahan Vietnam
yang berpusat di Saigon tidak memiliki kekuasaan dan hanya memiliki sedikit
dukungan. Kepemimpinan Vietnam kemudian digulingkan dalam sebuah kudeta yang
didalangi AS karena AS khawatir jika pihak pemerintah mengadakan kesepakatan
dengan Viet Cong. Sekitar 70.000 orang "Viet Cong" telah dibunuh
bahkan sebelum AS melakukan invasi pada tahun 1972.
AS menciptakan sebuah pemerintahan boneka di Saigon
agar pasukan AS bisa masuk dengan leluasa. Serbuan AS tersebtu murni agresi
militer. Namun siapapun di AS yang berpendapat bahwa kebijakan pemerintah AS
salah, sama sekali tidak diijinkan untuk masuk dalam diskusi yang membahas
perang Vietnam.
Yang sama sekali dihapuskan dalam perdebatan adalah
pandangan bahwa AS bersalah karena melakukan agresi militer, pandangan yang
dianut oleh berbagai gerakan perdamaian yang amat jarang terdengar di berbagai
media utama. Dalam buku sejarah Amerika, jika membuka halaman mengenai perang
Vietnam, maka tidak akan ada peristiwa serangan AS ke Vietnam Selatan. Tidak
pernah diketemukan satupun referensi mengenai Invasi AS di Vietnam Selatan.
Dalam sistem doktrin Amerika, peristiwa semacam itu tidak pernah terjadi dan
tidak dituliskan dalam sejarah.
Di AS, masyarakat lebih bebas, mereka dibebaskan untuk
mengeekspresikan diri. Itulah mengapa setiap penguasa merasa perlu untuk
mengendalikan pemikiran setiap orang.
Propaganda AS berfungsi dengan sempurna di kalangan
masyarakat terpelajar, alasannya, kaum terpelajar lebih banyak membaca, oleh
karena itu otak mereka menerima lebih banyak propaganda. Alasan lainnya adalah
karena mereka bekerja dalam jajaran manajemen, media, dan akademis, oleh karena
itu mereka bertindak sebagai agen propaganda tersebut, mereka mempercayai apa
yang digariskan oleh sistem.
Di sisi lain, pemerintah AS memiliki masalah dalam
mengendalikan pemikiran pepulasi masyarakat umum. Menurut sebuah penelitian,
sekitar 70 persen warga AS masih berpendapat bahwa perang tersebut salah dan
tidak bermoral. Karena banyaknya orang yang menentang perang Vietnam, maka
sistem propaganda AS kehilangan cengkeramannya di masyarakat AS. Masyarakat
menjadi skeptis terhadap apapun yang dikatakan oleh pemerintah. Pemerintah AS
menyebutnya dengan nama "sindrom Vietnam", sebuah penyakit mematikan
di mata kalangan pejabat elit AS karena masyarakat mengetahui terlalu banyak.
Ketika foto-foto para tahanan Irak disiksan dan
dianiaya oleh pasukan AS bocor, banyak warga AS yang merasa ngeri, jijik, dan
terkejut akan kelakuan para prajurit AS melakukan tindakan yang begitu biadab
terhadap masyarakat Irak.
Para pejabat pemerintahan George W. Bush, menginginkan
rakyat AS untuk mempercayai bahwa apa yang terjadi di penjara Abu Ghraib
hanyalah ulah segelintir oknum militer, padahal fakta yang terjadi di lapangan
tidaklah demikian. Penggunaan penyiksaan oleh pemerintah AS telah memiliki
jejak sejarah yang panjang di AS dan di luar negeri.
Dalam artikel Bruce Fanklin yang berjudul "The
American Prison and the Normalization of Torture" (Penjara Amerika dan
Normalisasi Penyiksaan), dituliskan bahwa sistem penjara Amerika berkembang
menjadi sebuah institusi sentral masyarakat AS, yang membuat tindak penyiksaan
dan penganiayaan sebagai sebuah kegiatan rutin dan bisa diterima. Pernyiksaan
fisik, mental, dan seksual di Abu Ghraib adalah makanan sehari-hari bagi dua
juta orang yang dikurung di penjara-penjara AS.
Artikel Jane Franklin yang bertajuk "Penjara Guantanamo,"
mengungkapkan bahwa penjajahan AS di wilayah Kuba sekitar seabad yang lalu
adalah untuk mendirikan sebuah penjara. Pada awalnya dipergunakan untuk menahan
orang-orang Haiti dan Kuba, kemudian dipergunakan untuk para tahanan
"perang melawan teror", basis militer AS telah menjadi sebuah
pangkalan penyiksaan yang kemudian diekspor ke Afghanistan dan Irak.
1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon