Di hari Bhayangkara, ada baiknya memutar cerita sukses polisi menjaga
keamanan republik. 2001 lalu, Jakarta heboh dengan pembunuhan Ketua Muda
Bidang Hukum Pidana Mahkamah Agung (MA), Syafiuddin Kartasasmita (60).
Setelah polisi melakukan penyelidikan, ternyata dalang peristiwa itu
adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy, putra mantan Presiden Soeharto.
Kamis pagi 26 Juli 2001, Syafiuddin bersama dengan sopirnya berangkat kerja dengan Honda CRV B 999 KX. Saat melintas di Jalan Pintu Air Serdang, Kemayoran, tiba-tiba kendaraan disalip oleh pengendara RX King yang berboncengan.
Pria yang dibonceng memuntahkan rentetan tembakan dari senjata FN 45. Timah panas tembus ke lengan, dada dan rahang kanan Syafiuddin. Hakim agung itu meregang nyawa, sedangkan sang sopir selamat.
Aparat Kepolisian Polda Metro Jaya yang menyelidiki kasus ini langsung membentuk tim yang diberi nama Tim Kobra. Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro Jaya Komisaris Polisi Tito Karnavian ditunjukan sebagai komandan.
Setelah melakukan serangkain penyelidikan ditambah keterangan saksi-saksi, polisi mensinyalir pembunuhan terkait dengan sejumlah kasus yang ditangani Syafiuddin. Sejumlah nama-nama besar di negeri ini masuk dalam bidikan polisi.
Kurang dari satu bulan, polisi menemukan titik terang. Pada 7 Agustus malam Mulawarman diringkus di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Sehari kemudian, polisi menangkap Noval Hadad di Bidara Cina, Jati Negara, Jakarta Timur.
"Mulawarman yang mengendarai sepeda motor. Sedangkan Noval yang menembak Syafiuddin," kata Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, Kepala Polda Metro Jaya kala itu.
Dari mulut keduanya terungkap jika dalang pembunuhan adalah Tommy Soeharto, anak mantan penguasa Orde Baru. Kepada petugas, tersangka Noval dan Maulawarman diperintah Tommy dengan imbalan Rp 100 juta.
Saat itu Tommy merupakan terpidana kasus tukar guling antara PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog, bersama Ricardo Gelael. Suami Tata itu divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lalu jaksa penuntut umum mengajukan kasasi.
Majelis Kasasi yang diketuai oleh Hakim Agung M Syafiuddin Kartasasmita pada 22 September 2000 menghukum Tommy dan Gelael masing-masing dengan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp 30,6 miliar. Namun Tommy kabur saat hendak dieksekusi.
Akhirnya, Kompol Tito bersama anak buahnya berhasil menangkap Tommy di sebuah rumah di kawasan Bintaro, Jakarta. Waktu itu Tomy telah berganti identitas dengan nama Ibrahim.
Keberhasilan Tim Kobra diapresiasi oleh Kapolri Jenderal S Bimantoro. Pangkat 25 orang anggota tim dinaikkan. Kompol Tito resmi berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP). Tito yang berusia 35 tahun menjadi perwira termuda dengan dua melati di pundaknya. Karir Tito terus melesat. Lulusan Akpol 1987 itu kini menjadi Kapolda Papua dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen).
Namun kerja keras polisi sepertinya dimentahkan oleh pengadilan. Jika Noval dan Mulawarman divonis hukuman seumur hidup, Tommy hanya dihukum 15 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian, Tommy mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang memimpin sidang PK Tommy meringankan hukumannya menjadi 10 tahun penjara. Padahal, dalam persidangan terungkap Tommy terbukti menyimpan sejumlah senjata api dan bahan peledak, terlibat pembunuhan Syafiuddin, dan kabur saat ditahan.
Kamis pagi 26 Juli 2001, Syafiuddin bersama dengan sopirnya berangkat kerja dengan Honda CRV B 999 KX. Saat melintas di Jalan Pintu Air Serdang, Kemayoran, tiba-tiba kendaraan disalip oleh pengendara RX King yang berboncengan.
Pria yang dibonceng memuntahkan rentetan tembakan dari senjata FN 45. Timah panas tembus ke lengan, dada dan rahang kanan Syafiuddin. Hakim agung itu meregang nyawa, sedangkan sang sopir selamat.
Aparat Kepolisian Polda Metro Jaya yang menyelidiki kasus ini langsung membentuk tim yang diberi nama Tim Kobra. Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro Jaya Komisaris Polisi Tito Karnavian ditunjukan sebagai komandan.
Setelah melakukan serangkain penyelidikan ditambah keterangan saksi-saksi, polisi mensinyalir pembunuhan terkait dengan sejumlah kasus yang ditangani Syafiuddin. Sejumlah nama-nama besar di negeri ini masuk dalam bidikan polisi.
Kurang dari satu bulan, polisi menemukan titik terang. Pada 7 Agustus malam Mulawarman diringkus di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Sehari kemudian, polisi menangkap Noval Hadad di Bidara Cina, Jati Negara, Jakarta Timur.
"Mulawarman yang mengendarai sepeda motor. Sedangkan Noval yang menembak Syafiuddin," kata Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, Kepala Polda Metro Jaya kala itu.
Dari mulut keduanya terungkap jika dalang pembunuhan adalah Tommy Soeharto, anak mantan penguasa Orde Baru. Kepada petugas, tersangka Noval dan Maulawarman diperintah Tommy dengan imbalan Rp 100 juta.
Saat itu Tommy merupakan terpidana kasus tukar guling antara PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog, bersama Ricardo Gelael. Suami Tata itu divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lalu jaksa penuntut umum mengajukan kasasi.
Majelis Kasasi yang diketuai oleh Hakim Agung M Syafiuddin Kartasasmita pada 22 September 2000 menghukum Tommy dan Gelael masing-masing dengan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp 30,6 miliar. Namun Tommy kabur saat hendak dieksekusi.
Akhirnya, Kompol Tito bersama anak buahnya berhasil menangkap Tommy di sebuah rumah di kawasan Bintaro, Jakarta. Waktu itu Tomy telah berganti identitas dengan nama Ibrahim.
Keberhasilan Tim Kobra diapresiasi oleh Kapolri Jenderal S Bimantoro. Pangkat 25 orang anggota tim dinaikkan. Kompol Tito resmi berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP). Tito yang berusia 35 tahun menjadi perwira termuda dengan dua melati di pundaknya. Karir Tito terus melesat. Lulusan Akpol 1987 itu kini menjadi Kapolda Papua dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen).
Namun kerja keras polisi sepertinya dimentahkan oleh pengadilan. Jika Noval dan Mulawarman divonis hukuman seumur hidup, Tommy hanya dihukum 15 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kemudian, Tommy mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang memimpin sidang PK Tommy meringankan hukumannya menjadi 10 tahun penjara. Padahal, dalam persidangan terungkap Tommy terbukti menyimpan sejumlah senjata api dan bahan peledak, terlibat pembunuhan Syafiuddin, dan kabur saat ditahan.