Rabu, 26 Juni 2013

Semangat Soekarno dalam secangkir kopi tubruk

Josep Broz-Soekarno.
Aroma kopi tubruk yang pekat menggelorakan semangat Soekarno muda di Bandung. Di kemudian hari, rasa sedap kopi menemaninya untuk egaliter sebagai penyambung lindah rakyat.

Bandung, akhir Juni 1921. Kota indah dengan benih-benih nasionalisme yang mulai bersemi. Soekarno muda tiba dari Surabaya. Datang untuk menjadi mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng.

Tapi dunia pergerakan lebih menarik minat Soekarno muda daripada teori di bangku kuliah. Dengan cepat dia menjadi salah satu orator handal yang dikenal karena pidato-pidato yang membakar soal kebangsaan.

Di Bandung pula Soekarno menemukan gairah dan cinta pada ibu kosnya sendiri, Inggit Garnasih. Kedewasaan Inggit membuat pemuda Soekarno merasa terayomi. Mereka menjalin asmara. Lupa kalau Soekarno sudah beristrikan Oetari dan Inggit sudah bersuamikan Sanusi.

Cinta menemukan jalannya, Soekarno menikahi Inggit yang lebih tua 13 tahun. Saat itu Soekarno baru berusia 20 tahun sementara Inggit 33 tahun. Dengan setia Inggit mendampingi Soekarno. Rumah Inggit di Jalan Ciateul Bandung menjadi pusat pergerakan kaum nasionalis kala itu.

Soekarno organisatoris handal. Tapi dia tak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga. Maka Inggitlah yang jadi tulang punggung perekonomian dengan berjualan kosmetik. Wanita Sunda yang cantik ini menyediakan makanan, rumah tinggal, bahkan uang saku dan kopi kegemaran Soekarno.

Inggit segera paham kebiasaan suaminya. Sampai-sampai dia tahu kapan harus menyediakan kopi dan panganan bagi para nasionalis muda itu. Saat debat pada puncaknya. Saat mereka mulai menggebrak meja dan seolah-olah ingin adu tinju. Maka Inggit akan muncul dengan nampan berisi gelas-gelas kopi. Perdebatan para politikus ini berhenti sesaat untuk menikmati secangkir kopi panas. Inggit pun tersenyum lega.

Soekarno sangat menyukai kopi tubruk yang hitam pekat. Tapi menikmati kopi di kedai sambil mengobrol berjam-jam, sebuah kemewahan yang jarang dirasakannya. Sebuah kegembiraan jika seorang kawan yang punya uang lebih mentraktirnya minum kopi dan makan peyeum, makanan khas Bandung yang terbuat dari singkong.

Soekarno lebih sering tak punya uang. Dia tak tertarik mencari uang, dunia politik benar-benar menyita seluruh hasratnya.

Ceritanya suatu hari seorang kawan bernama Sutoto datang ke rumah. Seperti biasa Soekarno tak punya uang untuk menjamu tamunya.

"Selagi kami duduk-duduk dengan muram di tangga depan, seorang wartawan lewat naik sepeda. Aku memanggilnya. Wartawan itu sedang mencari bahan artikel untuk korannya. Aku menawarkan untuk membuatkan dengan imbalan sepuluh rupiah," kata Soekarno dalam biografi yang ditulis Cindy Adams.

Setelah tawar menawar, akhirnya wartawan itu setuju dengan harga dua rupiah. Cuma butuh lima belas menit bagi Soekarno untuk menyelesaikan artikel 1.000 kata itu. Soekarno dengan mudah menuliskan seluruh pikirannya dengan mudah.

"Dan dengan seluruh uang bayaranku, aku membawa Sutoto dan Inggit minum kopi dan menikmati peyeum," kata Soekarno gembira.

Setelah Indonesia merdeka, Soekarno tetap rajin ngopi. Satu hal yang menarik, presiden pertama ini tak pernah minum minuman beralkohol.

"Bung Karno tidak pernah minum alkohol. Apapun minumannya," ujar mantan ajudan Presiden Soekarno, Bambang Widjanarko dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno' yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia.

"Kalau dalam suatu resepsi resmi dihadirkan champagne atau anggur (wine), khusus bagi Bung Karno disediakan air jeruk."

Walau berada dalam nightclub di luar negeri dan dijamu oleh presiden negara lain, Soekarno tetap tidak mau minum alkohol. Tahun 1950-an, Soekarno diajak Presiden Tito dari Yugoslavia menghadiri ramah tamah di nightclub Hotel Mertopole Beograd.

"Seperti biasa, Bung Karno hanya minta air jeruk. Dia memang tidak pernah minum alkohol," kenang Bambang.

Selama delapan tahun mendampingi Soekarno, Bambang mengingat kebiasaan makan dan minum proklamator itu. Pada pagi hari Soekarno selalu minum kopi. Untuk makannya, hanya roti yang diolesi sedikit mentega dan gula.

Nah, saat minum kopi pagi di Istana inilah yang selalu seru. Soekarno selalu mengajak seluruh ajudan, pegawai istana maupun sarapan bersama. Sangat egaliter.

Suasana penuh canda tawa selalu terjadi di Istana setiap pagi. Tak ada batas antara Presiden dan para bawahannya. Kadang waktu minum kopi pagi ini juga dimanfaatkan Soekarno untuk berdiskusi dengan para menteri dan pejabat mendiskusikan masalah negara.

"Dari pengalaman saya selama berada di dekat Bung Karno selama delapan tahun, saya dapat mengatakan bahwa semua orang yang pernah bekerja secara langsung di bawah Bung Karno atau di dekatnya, pasti mencintai Bung Karno setulus hati. Hal ini terutama karena sikap Bung Karno yang hidup sederhana dan merakyat," ujar perwira Marinir TNI AL ini.
 

Artikel Terkait

1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon