Minggu, 25 Agustus 2013

Ini perbedaan krisis ekonomi 1998, 2008 dan 2013 versi BI

krisis ekonomi.
Indonesia sudah beberapa kali mengalami guncangan dalam perekonomian nasional, yakni tahun 1998 dan 2008. Kini, mulai terasa kembali guncangan terhadap stabilitas ekonomi dalam negeri.

Ingatan masyarakat tidak lepas saat guncangan melanda perekonomian Indonesia pada krisis 1998. Itu diakui sebagai guncangan paling dahsyat dan menjadi masa gelap dalam perekonomian nasional. Ada kekhawatiran, guncangan serupa akan terjadi kembali tahun ini.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah memaparkan, ada perbedaan gejolak ekonomi di tahun 1998, 2008 dan saat ini.

"Waktu 1998 itu pada waktu pembalikan dana uang asing BI dan pemerintah tidak punya statistik yang lengkap dari utang luar negeri. Ternyata banyak utang luar negeri dan itu mentriger kita untuk semakin panik," tutur Difi di Jakarta, Sabtu (24/8).

Saat itu, kata Difi, Bank Indonesia harus melakukan intervensi besar-besar. Sebab, nilai tukar Rupiah anjlok dari yang dipatok pemerintah di angka tertentu.

Sedangkan saat krisis ekonomi kembali menghantam di 2008, ini dikenal sebagai krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Di mana kredit perumahan di AS diberikan kepada debitur-debitur yang memiliki portofolio kredit yang buruk.

"2008, itu subprime di Amerika. Tidak adil juga waktu itu karena masalahnya di negara lain tapi kita kena imbasnya. Jadi di kita disebutnya krisis sektor keuangan. Tapi, kondisi perbankan kita sudah kuat saat itu. 1998 itu PR yang besar peningkatan sektor perbankan. Secara umum di 2008 selamat. Ada outflow juga. Tapi yang lain kan masih jalan," jelas Difi.

Saat ini, lanjut Difi, yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang sangat cepat, namun di saat yang sama impor meningkat. AKibatnya, defisit neraca perdagangan dan neraca berjalan makin lebar dan tak terkendali.

"Sekarang, ekonomi tumbuh dengan baik. Ekonomi tumbuh dari konsumsi domestik. Cuma memang pak Darmin bilang, setiap tumbuh 6 persen impor kita naik," jelas Difi.

Impor yang terus meningkat diiringi dengan ekspor yang melambat, memicu defisit neraca berjalan semakin melebar.

"Maka kita minta pengusaha terutama importir, hati-hati. Pertumbuhan ekonomi kan naik turun, kita tidak mau saat turun itu hard landing, kita mau soft landing," imbuh Difi.

Meskipun saat ini ekonomi melambat, Difi meyakini Indonesia masih sangat eksotik di mata investor. Jebloknya IHSG akan menarik dana asing kembali masuk ke Indonesia. "Satu hal lagi, Indonesia tetap eksotik. Ini siklus saja," tutup Difi.

Artikel Terkait

1. Silahkan masukkan komentar
2. Berkomentar dengan kata-kata yang santun
3. Jangan menggunakan kata-kata kotor
4. Jika anda tidak suka dengan yang kami sajikan, lebih baik jangan di baca
5. Tinggalkan link web/blog anda agar admin bisa visit back
6. Jadilah pengunjung yang baik
7. Kami hanya memberikan informasi dari sumber-sumber yang bisa admin percaya.
8. Maaf jika ada salah satu artikel tidak ada sumbernya.
EmoticonEmoticon