|
Kedelai |
Seperti jatuh ke lubang yang sama, produsen tempe dan tahu kini
sedang mengulang episode kenaikan harga kedelai setiap terjadi gejolak
nilai tukar rupiah. Belitan masalah yang dihadapi produsen makanan
rakyat ini terjadi karena ketergantungan terhadap produk bahan baku
impor tinggi.
Sambil mendengarkan radio, Dadi (20) mengencerkan
gilingan kedelai rebus dengan air di rumah produksi tahu di Semper
Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (27/8/2013). Dadi
merasa kesepian karena tidak ada yang menemani. ”Dua hari ini saya kerja
sendiri,” ujarnya.
Dua teman kerja Dadi, Cece (35) dan Qoyum (24), pulang ke kampung
di Majalengka, Jawa Barat, sejak Senin (26/8). Keduanya jadi korban
berkurangnya aktivitas produksi karena permintaan tahu turun. Ketimbang
menganggur, Cece dan Qoyum memilih pulang kampung.
Dadi dan kawan-kawan biasanya mengolah 4-6 karung atau 2-3
kuintal kedelai per hari. Namun, sejak harga jual tahu dinaikkan
rata-rata Rp 2.000 per loyang (ukuran 50 cm x 50 cm) jadi Rp 22.000 dan
Rp 32.000 per loyang (bergantung pada ketebalan), pedagang pengecer
mengurangi permintaan.
Pemilik usaha tempat ketiganya bekerja, pasangan Cecep (58)-Encan
(48), mengaku tak punya pilihan untuk menyiasati situasi itu, kecuali
mengurangi produksi. ”Harga kedelai terus naik sejak sebelum Ramadhan,
dari Rp 6.600 kini menjadi Rp 9.300 per kilogram,” kata Encan.
Hal sama menimpa ratusan pengusaha tempe dan tahu di Kedaung,
Pamulang, Tangerang Selatan. Maman, pemilik pabrik tahu, mengatakan,
jika harga kedelai tidak kembali normal, ia akan memulangkan pekerjanya
ke kampung halaman.
”Kami mengurangi produksi hingga 50 persen lebih. Jika sebelumnya
bisa mengolah 1 ton kedelai, kini paling 3-4 kuintal sehari. Kalau
harga sudah normal, baru anak-anak kami panggil lagi,” kata Maman yang
punya 20 pekerja asal Majalengka.
Transaksi turunRatusan pengusaha tempe dan tahu di Gondrong
Kenangan dan Gang Jambu, Cipondoh, Tangerang, juga bersiasat sama.
Caryoni, misalnya, terpaksa mengurangi tiga pekerjanya. ”Sekarang ini
kami masih bisa bertahan dengan mengurangi produksi dan jumlah pekerja.
Bahkan, pendapatan pas-pasan untuk modal usaha berputar saja sudah cukup
bagi kami,” kata Caryoni (47).
Dampak berkurangnya produksi itu juga terlihat dari sepinya
transaksi pembelian kedelai di Koperasi Serba Usaha (KSU) Berkah Amanah
Sejahtera, Cipondoh. Sejak empat hari setelah Lebaran sampai hari ini,
pembelian kedelai menurun.
”Pembelinya sepi. Dalam kondisi normal, kedelai terjual sampai
1,5 ton per hari. Namun, sekarang ini, penjualan tertinggi hanya 1 ton.
Terkadang tidak sampai 1 ton,” kata Adi, pegawai KSU Berkah Amanah
Sejahtera.
Bukan hanya produsen, kenaikan harga kedelai juga berpengaruh
terhadap para pedagang makanan khas Indonesia ini. Pedagang tempe dan
tahu di beberapa pasar di Jabodetabek, terpaksa mengurangi stok karena
pembeli berkurang.
Di Pasar Kebayoran Lama dan Pasar Blok A di Jalan Fatmawati,
Jakarta, makanan ini tetap dicari meski tingkat penjualan menurun. ”Saya
biasanya bisa jual 20-30 papan tempe, sekarang bisa separuh saja sudah
bagus. Sudah seminggu ini saya minta stok tempe paling banyak 10 papan,”
kata Yan, pedagang di Kebayoran Lama.
Di Pasar Gondangdia, Jakarta, saat hari sudah siang, tempe dan
tahu dagangan Slamet Riyadi (41) masih banyak tersisa, padahal pasar
mulai sepi. ”Sejak harga mahal, dagangan saya sering bersisa. Tidak
selalu habis,” ujar Slamet.
Tahu dan tempe yang dijajakannya adalah buatan sendiri. Kenaikan
harga kedelai tidak membuat Slamet dan produsen lain serta-merta
menaikkan harga. ”Saya pernah menaikkan harga tempe dari Rp 5.000
menjadi Rp 6.000 setelah Lebaran, konsumen protes. Mereka tak mau
membeli tempe dengan harga Rp 6.000,” katanya.
Pelanggan restoran yang kerap mengambil tempe-tahu dari Slamet
juga menolak harga baru. Akhirnya, Slamet hanya bisa menyiasati keadaan
dengan mengecilkan ukuran tempe dan tahu. Selain itu, dia juga hanya
bisa pasrah menerima penurunan omzet dan keuntungan sampai 40 persen
sebagai ekses kenaikan harga ini.
Melejitnya harga kedelai bukan sekali ini terjadi. Nasib produsen
tahu dan tempe ini seperti mengulang kisah pada Juli 2012, saat harga
kedelai melambung dari Rp 5.500 menjadi Rp 8.200 per kilogram. Ketika
itu, ribuan produsen tempe dan tahu mogok produksi tiga hari sebagai
bentuk protes kepada pemerintah. ”Pemerintah harus segera mengendalikan
harga kedelai sehingga kami tidak gulung tikar,” kata Rujito, Bendahara
Kopti Tangsel.
Kini ribuan pengusaha dan makanan rakyat ini menunggu realisasi
stabilisasi harga kedelai. Mereka tidak ingin usahanya hancur. Mereka
berharap tidak terbelenggu berkepanjangan oleh harga kedelai tinggi
akibat ketergantungan kepada impor.